BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Krisis finansial yang terjadi di Bursa Saham dunia pada tahun 2008 merupakan pengulangan dari krisis yang terjadi pada 19 Oktober 1987, lebih dikenal dengan black Monday. Bahkan di Bursa Efek Indonesia sendiri sampai terjadi penutupan sementara bursa pada bulan Oktober 2008 tersebut. Kondisi ini disebabkan karena indeks mengalami penurunan hingga mencapai 10,3% dibandingkan hari sebelumnya (Sasadara, 2008). Penyebab terjadinya kejatuhan di pasar modal saat itu adalah perilaku panik dari para investor. Hal tersebut menyebabkan terjadinya penurunan harga dan indeks saham secara tidak wajar di pasar modal. Perilaku panik merupakan situasi dimana banyak pemegang saham yang berusaha untuk mengurangi eksposur sahamnya setelah melihat adanya penurunan harga saham pada saat yang sama (Lauterbach dan Ben-Zion, 1993). Paham yang konsisten dengan perilaku irrasional investor menyatakan bahwa krisis disebabkan pecahnya gelembung spekulatif. Terbentuknya gelembung spekulatif dimulai dengan naiknya harga saham yang jauh melebihi nilai intrinsiknya (overvalued). Sehingga sebagian kecil investor yang mengetahui keadaan, segera menjual sahamnya sebelum terjadi krisis.
1
Sedangkan untuk investor lain yang tidak mengetahui keadaan yang terjadi di pasar saham, masih terus membeli dengan harapan dapat menjual kembali pada pihak lain dengan tingkat keuntungan yang tinggi. Sampai pada titik tertentu, harga saham mulai turun menuju nilai intrinsiknya. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kepanikan di kalangan investor sehingga membuat mereka berusaha untuk menjual saham yang dimilikinya untuk mengurangi kerugian. Hal ini dapat dijelaskan melalui speculative market theory dimana menyatakan bahwa pada pasar yang spekulatif, permintaan terhadap suatu saham disebabkan adanya harapan bahwa harga saham akan terus meningkat dengan kurang mempertimbangkan nilai intrinsiknya (Raines dan Leather, 1994). Krisis yang terjadi pada tahun 1987, telah mendorong The Brady Commission pada tahun 1988 memformulasikan circuit breaker dengan tujuan melindungi sistem yang berlaku di pasar. Diterapkannya mekanisme circuit breaker oleh regulator pasar bertujuan untuk mencegah terjadinya volatilitas harga saham yang berlebihan. Circuit breaker merupakan sistem yang terdiri dari sistem penghentian perdagangan (trading halt) dan price limit (Kodres dan O’Brien, 1994). Dalam pelaksanaannya mekanisme trading halt berbeda dengan price limit. Perbedaan tersebut meliputi: trading halt menghentikan perdagangan sedangkan price limit tidak menghentikan perdagangan. Sistem trading halt tidak terjadi setiap hari, tidak diketahui pada saham apa dan pada harga berapa, sedangkan price limit diberlakukan setiap hari. Trading halt diberlakukan
2
berdasarkan pertimbangan pejabat bursa, sedangkan price limit berlaku secara otomatis setiap hari (Mahyuni, 2003). Diterapkannya price limit menurut The Brady Commission adalah untuk mengurangi informasi asimetri sehingga diharapkan dapat mengurangi jumlah noise
trading
yang
menyebabkan
terjadinya
volatilitas
berlebihan;
memfasilitasi proses pembentukan harga keseimbangan baru secara rasional; mengatasi reaksi berlebihan (overreaction) dan tidak mengganggu aktifitas perdagangan karena price limit tidak menghentikan perdagangan. Berdasarkan studi, ditemukan bukti bahwa investor jangka pendek akan berperilaku overreaction (Otchere dan Chan, 2003; Michayluk dan Neuhauser, 2006). Dalam hal ini, market overreaction diduga menciptakan volatilitas berlebihan yang tidak diharapkan. Sehingga mekanisme pasar yang dapat mengurangi overreaction akan menguntungkan investor dan mengamankan regulator jika keuntungan lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan. Akan tetapi studi Bildik dan Elekdag (2004) terkait price limit di Istambul Stock Exchange menemukan bukti bahwa price limit bertentangan dengan overreaction. Untuk menentukan apakah price limit mengurangi overreaction, data transaksi harus digunakan karena transitory volatility menyebabkan overreaction dan akan tercermin didalam data transaksi. Sebagai contoh, jika perubahan di dalam volatilitas terjadi secara signifikan hanya selama jam pertama perdagangan baik sebelum atau setelah limit hit, data harian tidak akan memperlihatkan dampak nyata dari price limit. Akan tetapi pada saat
3
menggunakan data transaksi untuk menguji dampak price limit, hasilnya bertentangan. Cho et al. (2003) menggunakan data intraday dari TWSE untuk menguji efek magnet dan menemukan kecenderungan secara statistik dan ekonomis harga saham meningkat secara signifikan menuju batas atas dari harga yang mendekati limit serta kurangnya bukti yang mendukung peningkatan menuju batas bawah dari harga yang mendekati limit. Didalam mengontrol volatilitas pada harga saham, maka dilakukan dengan memberlakukan price limit pada harga aset. Price limit adalah penetapan batas oleh regulator pasar untuk membatasi pergerakan harian dari harga sekuritas hanya di dalam rentang harga yang telah ditetapkan. Kebanyakan regulator merasa price limit akan mengurangi volatilitas pasar saham, tetapi yang lain juga merasa bahwa price limit akan memperburuk volatilitas pasar saham. Price limit memiliki dua ciri didalam mengontrol volatilitas yaitu yang pertama menetapkan batasan harga; yang kedua menyediakan waktu bagi investor melakukan penilaian ulang secara rasional saat perdagangan panik. Sehingga, price limit akan menjaga harga dari kejatuhan dan pergerakan liar serta memberikan jangka waktu untuk “cooling off” terhadap para investor. Dari penelitian sebelumnya terkait efficiency market hypothesis, belum terdapat bukti yang konsisten mendukung kinerja price limit (De Bondt dan Thaler, 1985; Barberis dan Thaler, 2003).
4
Negara-negara yang menerapkan price limit memiliki persentase atau rentang yang berbeda satu sama lain. Secara umum, terdapat dua kelompok penganut price limit yaitu negara dengan rentang price limit sempit dan negara dengan rentang price limit lebar (Rita dan Tandelilin, 2007). Contoh kelompok negara yang memiliki rentang price limit sempit adalah Austria 5 persen, China 10 persen, Perancis 7 persen, Taiwan 7 persen, adapun kelompok negara dengan rentang price limit lebar antara lain; Italia 10-20 persen, Jepang 10-60 persen, Korea 15 persen, dan Malaysia 30 persen. Adapun Indonesia termasuk negara yang menganut rentang price limit lebar yaitu berkisar antara 20-50 persen. Berdasarkan penelitian terdahulu, diketahui bahwa terdapat dua pandangan yang berbeda yaitu pandangan yang mendukung price limit dengan menyatakan bahwa price limit dapat menurunkan volatilitas harga saham, mengatasi reaksi berlebihan, memberi kesempatan pada investor untuk melakukan penilaian kembali secara rasional, serta tidak mengganggu aktifitas perdagangan. Studi yang mendukung price limit antara lain penelitian yang dilakukan oleh Ma et. al. (1989) serta Kodres dan O’Brien (1994). Pandangan yang menolak justru mengatakan sebaliknya bahwa price limit menimbulkan volatilitas yang lebih tinggi pada hari setelah saham mencapai limit (Mahyuni, 2003; Bildik dan Gulay, 2006).
5
Meski price limit dapat menghentikan penurunan atau peningkatan harga saham yang melewati limit pada hari perdagangan, pendapat yang bertentangan menyatakan bahwa harga akan terus bergerak ke arah keseimbangan, ketika batas perdagangan yang baru ditetapkan pada hari perdagangan berikutnya. Beberapa studi terdahulu yang menguji secara langsung dampak price limit, secara umum menggunakan kumpulan data yang relatif kecil serta mendapatkan kesimpulan yang berbeda. Penelitian Arak dan Cook (1997) di pasar berjangka, menemukan bukti bahwa price limit bertindak sebagai stabilisator pasar dimana pasar mengalami “cooling off”. Sedangkan penelitian di pasar saham oleh Kim dan Rhee (1997) serta Bildik dan Gulay (2006) menemukan bukti bahwa price limit menunda penemuan harga dan mengganggu aktifitas perdagangan di pasar saham Jepang dan Turki. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dinyatakan bahwa keefektifan price limit terjadi pada pasar modal dengan persentase price limit yang lebar (Chen, 1998; Bildik & Elekdag, 2004). Yaitu semakin lebar persentase price limit, semakin kecil tingkat distorsi terhadap proses terjadinya pembentukan harga keseimbangan baru, sehingga dapat mengurangi jumlah saham yang mencapai limitnya dan membuat pasar menjadi lancar. Indonesia sebagai negara yang juga mengalami krisis tahun 1998, mulai memberlakukan kebijakan price limit sejak tanggal 3 Desember 2001 melalui surat edaran nomor SE-009/BEJ/12-2001, yang lebih dikenal dengan sistem auto rejection yaitu suatu sistem yang secara otomatis menolak penawaran jual
6
dan atau beli yang melampaui parameter yang telah ditetapkan bursa. Selanjutnya
disempurnakan
melalui
surat
edaran
nomor
SE-
00001/BEI.PSH/01-2009 tanggal 14 Januari 2009. Bursa Efek Indonesia didalam menerapkan persentase auto rejection menggunakan rentang price limit yang lebar dengan mendasarkan atas empat kelompok harga, mengacu kepada harga terakhir di pasar reguler pada hari bursa sebelumnya (previous price). Ini berbeda dengan ketentuan persentase auto rejection sebelumnya yang mendasarkan atas lima kelompok harga. Terkait dengan diterapkannya aturan baru mengenai auto rejection oleh bursa efek Indonesia, diharapkan akan dapat menjaga terlaksananya perdagangan efek secara teratur, wajar dan efisien di pasar saham. Tabel 1. Persentase Auto Rejection Perdagangan Saham di BEI Closing Previous Price di pasar regular (Rp) <50
Auto Rejection Corporate Action Kondisi normal (3 hari)
50-200
35%
35%
>200-5.000
25%
25%
>5.000
20%
20%
Sumber: www.idx.co.id
7
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka permasalahan utama dalam penelitian ini adalah apakah penerapan price limit di bursa efek Indonesia, efektif mempengaruhi volatilitas saham setelah diterapkan surat edaran SE-00001/BEI.PSH/01-2009 tanggal 14 Januari 2009. Berdasarkan masalah utama dalam penelitian ini, maka rumusan masalah dalam penelitian ini diuraikan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah penerapan price limit efektif mengurangi volatilitas return saham? 2. Apakah price limit efektif didalam mengatasi terjadinya overreaction?
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin peneliti capai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menguji efektivitas price limit untuk mengurangi volatilitas return saham dengan membandingkan tingkat volatilitas sebelum dan setelah mencapai price limit. 2. Menguji efektivitas price limit untuk mengurangi volatilitas return dengan membandingkan kelompok saham yang mencapai limit dengan saham kontrol pada periode setelah pencapaian limit. 3. Menguji efektivitas price limit dalam mengatasi overreaction dengan membandingkan price reversal kelompok saham yang mencapai limit dengan saham kontrol.
8
1.4. Manfaat Penelitian Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai pelengkap dari studi terdahulu terkait efektivitas price limit yaitu dengan menghadirkan bukti empiris mengenai efektivitas penerapan price limit terhadap volatilitas saham. Didalam penelitian ini, penulis juga memperhatikan pengaruh overreaction terhadap price limit. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengevaluasi dan sebagai bahan pertimbangan didalam mengambil kebijakan yang digunakan oleh Bursa Efek Indonesia terkait efektivitas penerapan price limit terhadap volatilitas saham
1.5. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, penulisan penelitian ini disusun dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut: Bab I
Pendahuluan Bab ini berisi tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka dan Pengembangan Hipotesis Dalam bab ini dibahas teori-teori yang melandasi penelitian sehingga dapat memperkuat argumen dalam penelitian ini yang terkait dengan price limit, volatilitas dan overreaction.
9
Bab III Metode Penelitian Bab ini membahas mengenai populasi dan sampel, metode analisa data, tehnik analisa data dan tehnik pengujian hipotesis Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab ini merupakan inti dari penelitian di mana pada bab ini disajikan deskripsi sampel, dan analisa data terhadap volatilitas dan overreaction, Bab V Penutup Pada bab ini dipaparkan kesimpulan dari analisis penelitian, keterbatasan penelitian serta saran yang diharapkan berguna bagi berbagai pihak yang berkepentingan dengan hasil penelitian.
10