BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar belakang Kehutanan suatu sistem pengurusan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang
diselenggarakan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Pemanfaatan hutan dan hasilnya
bertujuan untuk
mensejahterakan seluruh masyarakat secara berkeadilan (tidak dinikmati oleh perorangan, kelompok atau golongan), melainkan harus didistribusikan secara berkeadilan untuk dinikmati masyarakat luas dengan tetap menjaga fungsi hutan secara lestari.(vide pasal 1, 2 pasal 23 dan penjelasannya UU Kehutanan). Hutan yang berfungsi produksi (hutan produksi) adalah kawasan hutan yang ditumbuhi oleh pepohonan keras yang perkembangannya selalu diusahakan dan dikhususkan untuk dipungut hasilnya, baik berupa pohon kayu maupun hasil-hasil sampingan lainnya, seperti getah, damar, akar, dan lain-lain. 1 Hutan yang didominasi unsur pepohonan (pohon kayu), dikaitkan dengan kemanfaatan dan peranan hutan, maka pohon kayu berfungsi sebagai modal pembangunan nasional baik manfaat ekologi, sosial budaya, maupun manfaat ekonomi serta sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global yang saling keterkaitan dengan dunia Internasional, maka unsur pohon kayu dalam pengertian
1
Arifin Arief, M.P Hutan & Kehutanan, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal 63
Universitas Sumatera Utara
hutan memiliki nilai kemanfaatan dan peranannya yang sangat besar dan strategis.
2
Berkaitan dengan hutan produksi, Indonesia telah membangun kurang lebih 64,3 juta hektar atau 33% dari luas kawasan hutan yang ada untuk mempertahankan fungsi hutan produksi sejak tahun 2001. Namun pada sisi lain di Irian, Kalimantan, di Sumatera dalam angka kuantitatif terjadi deforestasi jutaan hektar setiap tahunnya melalui: konversi hutan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit, untuk pertambangan dan akibat illegal logging. 3 Khusus di wilayah Sumatera Utara telah terjadi deforestasi puluhan ribu hektar setiap tahunnya melalui:
konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit, untuk
pertambangan dan akibat illegal logging ratusan ribu meter kubik kayu berbagai jenis setiap tahunnya yang berasal dari hutan lindung, hutan konservasi dan atau hutan produksi tanpa hak dengan menyalahgunakan izin yang diperoleh dari pejabat yang berwenang berupa Hak Penguasaan Hutan (HPH) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-Alam), adanya penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) pada hutan alam, adanya penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Kayu Tanaman Masyarakat (IPKTM) dan Izin Pemungutan Kayu (IPK) pada hutan produksi, pada hutan lindung
2
Undang-undang Kehutanan dan Perubahannya, Op. Cit, hal 37, tentang penjelasan umum UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan. 3 Diakses tanggal 14 Desember 2010 pkl 12.00 wib di www.rullysyumanda.org/ 20071122783/deforestasi-illegal-logging.html “Deforestasi dan Illegal Logging”.
Universitas Sumatera Utara
dan hutan konservasi 4. Puluhan kasus perambahan dan pendudukan kawasan hutan Mangrove di Propinsi Sumatera Utara untuk dialih fungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit dan lahan pertambakan udang. 5 Usaha dan/atau kegiatan pengalihan fungsi hutan, pemanfaatan hasil hutan, perambahan dan pendudukan kawasan hutan tersebut telah menimbulkan kerusakan hutan (kerusakan ekologi), kerugian negara dengan nilai mencapai ratusan miliaran rupiah, 6 dan terjadi pengalihan fungsi pokok hutan produksi, lindung dan konservasi menjadi perkebunan mencapai ribuan hekar yang selalu berlindung dibalik campur tangannya administrasi negara selaku pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan kebijakan publik; ribuan mater kubik kayu dari hutan alam berbagai jenis disita, hilangnya hak-hak negara berupa PSDH dan DR bernilai ratusan miliaran rupiah, dan sebagainya. 7 Data hasil penyidikan pada penyidik Polri Polda Sumut dan jajarannya khusus kasus pemanfaatan hasil hutan kayu secara illegal (illegal logging) pada periode lima tahun terakhir (2006-2010) ada 1.210 ( seribu dua ratus sepuluh) kasus, yang dapat diselesaikan pada tingkat penyidikan dan diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebanyak 654 (enam ratus lima puluh empat) kasus, atau 54,04%, dengan barang bukti kayu bulat dan olahan dari berbagai jenis sebanyak ±12.966 M³, sebagian besar 4
Data dari Sat IV/Tipiter Direktorat Reskrim Polda Sumut periode tahun 2005-2010. Dan data diakses melalui http://www.isai.or.id/?q= bagian+pertama-kasus+di+sumatera. 5 Laporan Penelitian Pengegakan Hukum Terhadap Perusakan Ekosistem Hutan Mangrove, Direktorat Penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi Kepolisian (PTIK) Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, 2009, hal 37-60. 6 Loc Cit Data dari Sat IV/Tipiter Direktorat Reskrim Polda Sumut periode tahun 2005-2010 dan hasil penelitian “Bambang Hero”, IPB Bogor 7 Ibid
Universitas Sumatera Utara
telah dilelang dengan nilai lelang Rp. 6.251.171.350 (enam miliar dua ratus lima puluh satu juta seratus tujuh puluh satu ribu tiga ratus lima puluh rupiah). Dari sejumlah kasus tersebut, ada 22 (dua puluh dua) kasus dengan dengan latar belakang memiliki izin dalam bentuk IUPHHK dan IPKTM diputus bervariasi, ada yang terbukti secara sah dan meyakinkan, ada yang terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan atau bebas murni (vrijspraak), dan ada putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging). Pertimbangan hukum dalam putusan bebas, yaitu karena telah memiliki izin, belum dilakukan penata batasan kawasan hutan sehingga tidak ada kepastian hukum atas batas-batas kawasan hutan dan non kawasan hutan. Khusus dalam kasus an Terdakwa ADELIN LIS selaku Direktur Keuangan /umum PT.KNDI yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam hal pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dalam hutan produksi dengan fasilitas negara dalam bentuk IUPHHK diputus bebas (vrijpraak) di PN. Medan dengan pertimbangan, bahwa PT. KNDI ada memiliki izin , maka oleh karenanya seandainya ada melakukan “perbuatan melawan hukum, yakni tidak melakukan kewajiban hukumnya, hanya dikenakan sanksi administrasi berdasarkan PP. No. 34 tahun 2002”. 8 Sementara itu dalam dakwaan JPU mendalilkan bahwa “perbuatan melawan hukum” tidak sama atau identik dengan tindak pidana atau perbuatan pidana oleh karena yang dimaksud dengan melawan hukum adalah suatu kewajiban atau larangan
8
Putusan PN Medan an. Adelin Lis No: 2240/Pid.B/2007/PN. Medan, tanggal 05 Nopember 2007 dan Surat Menhut RI nomor: S.613/Menhut-II/2006 tanggal 27 Septermber 2006.
Universitas Sumatera Utara
yang ditetapkan oleh suatu peraturan tertulis dan apabila tidak dilaksanakan atau dilanggar maka mengakibatkan suatu tindak pidana, misalnya perbuatan “mark up”, dan perbuatan “tidak sesuai dengan bestek”. 9 Oleh karena itu JPU menempuh upaya kasasi. Pertimbangan hukum dalam putusan MARI tentang pengertian” perbuatan melawan hukum” menggunakan yurisprudensi perkara Lindenbaum Cohen tahun 1919, bahwa perbuatan melawan hukum meliputi perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku, MARI: mendalilkan “bahwa pelanggaran hukum administrasi negara termasuk dalam kwalifikasi bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, yang merupakan salah satu kriteria suatu perbuatan melawan hukum”. 10 Dalam hal pengenaan “sanksi administratif”, JPU berdasarkan ketentuan pasal 80 ayat (2) UU Kehutanan menyatakan: “Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif”. Terjadi multi tafsir dalam penegakan hukum pidana kehutanan oleh karenanya peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Studi Kasus Terhadap Putusan
9
Memori Kasasi JPU akta Nomor: 85/Akta.Pid / 2007/PN.Mdn tanggal 27 Nopember 2007, hal 109 10 Putusan MARI No. 68 tahun 2008 hal 297-298
Universitas Sumatera Utara
MARI No 68 K/PID.SUS/2008 An ADELIN LIS)” sangat penting untuk diteliti, walaupun sudah ada penelitian-penelitian sebelumnya terhadap putusan tersebut.
B.
Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dirumuskan permasalahan untuk
dijawab dalam penelitian, sebagai berikut: 1.
Bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan, khususnya pemanfaatan hasil hutan kayu ?
2.
Bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu dalam kasus Adelin Lis ?
3.
Apa hambatan dalam penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu dalam kasus Adelin Lis ?
C.
Tujuan penelitian Berdasarkan pada pokok permasalahan tersebut di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui tentang: 1.
Pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan, khususnya pemanfaatan hasil hutan kayu.
2.
Penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu dalam kasus Adelin Lis.
3.
Hambatan dalam penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu dalam kasus Adelin Lis.
Universitas Sumatera Utara
D.
Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis
maupun untuk praktis, yaitu: 1.
Secara Teoritis, hasil penelitian
ini diharapkan dapat menjadi sumbangan
pemikiran bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian lanjutan, serta menambah kepustakaan. 2.
Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi khususnya dalam proses penegakan hukum pidana (law in action) terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu dan para pelaku usaha pemanfaatan hasil hutan kayu.
E.
Keaslian Penelitian Penelitian yang berkaitan dengan kasus Adelis Lis sudah pernah dilakukan oleh
mahasiswa magister ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas nama Marsudi, dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon Di Luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan” dan permasalahan: pertama, Apakah penebangan kayu diluar RKT bagi pemilik IUPHHK memenuhi unsur perbuatan melawan hukum dalam UU kehutanan ?; kedua, Bagaimanakah pertanggung jawaban pidana penebangan pohon diluar RKT bagi pemegang IUPHHK?; Ketiga, bagaimana penanggulangan penebangan pohon diluar RKT bagi pemegang IUPHHK? Sedangkan atas nama Robet Kennedy, dengan judul “ Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya
Universitas Sumatera Utara
Penanggulangan Money Laundering: Studi Kasus Adelin Lis (Direksi PT Keang Nam Development Indonesia)” dengan permasalahan: Pertama, bagaimana pengaturan hukum terhadap penegakan hukum tindak pidana kehutanan dan money laundering di Indonesia?; kedua, Bagaimana pertanggung jawaban pelaku tindak pidana kehutanan dalam kasus Adelin Lis, atau direksi PT KNDI?; Ketiga, bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kehutanan dalam upaya menanggulangi money laundering? 11 Keduanya memiliki rumusan permasalahan yang berbeda, sedangkan permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian lanjutan ini juga berbeda dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini juga menjunjung tinggi kode etik penulisan karya ilmiah, oleh karena itu, penelitian ini adalah benar keasliannya baik dilihat dari judul, permasalahan, pembahasannya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
F.
Kerangka Teori dan Konsep
1.
Kerangka Teori Untuk menjawab permasalahan di muka, maka dalam penelitian ini, digunakan
teori sistem hukum sebagai pisau analisisnya yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman, yang memandang hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari sub-sistem, yakni substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum
12
. Alasan penggunaan
teori ini didasarkan pada pandangan bahwa pembahasan terhadap penegakan hukum 11
website perpustakaan USU Program Magister Ilmu Hukum http://repository.usu.ac.id/ Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Terjemahan M. Khozim, Bandung, 2009, hal 12. 12
Universitas Sumatera Utara
pidana kehutanan, khususnya dalam pemanfaatan hasil hutan kayu tidak dapat dianalisis hanya secara parsial, akan tetapi harus secara komprehensip atau secara utuh dan sistemis, pembahasan dimulai dari aspek substansi peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana kehutanan, termasuk instrumen pemanfaatan hasil hutan kayu, terhadap aspek struktur hukumnya meliputi lembaga penegak hukum kehutanan mulai dari penyidik (Polri, PPNS Kehutanan), jaksa penuntut umum, hakim, pengacara, termasuk instrumen (manusia) yang terkait dengan perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu yang belum sinergi, dan aspek kultur hukumnya, yakni budaya hukum penegak hukum yang kurang konsisten dalam penegakan hukum pidana kehutanan terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu karena dipengaruhi faktor kepentingan, seperti suap. Perumusan masalah tersebut, diangkat dari studi kasus dalam penegakan hukum pidana kehutanan, yakni UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan, yang diubah dengan UU No 19 tahun 2004, tentang penetapan Perpu No 1 tahun 2004, tentang perubahan atas UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan, khususnya penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu dengan IUPHHK dari Menteri Kehutanan RI: SK Menhut RI No. 805/Kpts-VI/1999, tanggal 30 September 1999 yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) berdasarkan putusan MARI No 68 K/PID.SUS/2008, an Adelin Lis selaku direktur keuangan PT Keang Nam Development & Co (PT KNDI) dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan illegal logging pada kawasan hutan produksi tetap di Desa Singkuang, Kec. Muara Batang Gadis, Kab Madina, Propinsi
Universitas Sumatera Utara
Sumatera Utara. Adelin Lis dipidana Penjara 10 tahun dan wajib membayar uang sebesar Rp.119.802.393.040 dan US$ 2.938.556,24
13
. Persoalan-persoalan yang
timbul dari rumusan permasalahan diasumsikan sebagai berikut: (1) Substansi hukum pasal 80 ayat (1) (2) UU kehutanan menetapkan ganti rugi dan sanksi administrasi apabila pemegang IUPHHK melanggar ketentuan pidana diluar pasal 78, yakni: Ayat (1)
“Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biayarehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan”
Ayat (2)
“Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif.”
Penetapan rumusan ini menimbulkan multi tafsir dan kontroversial terhadap prinsip-prinsip dan cita-cita pengaturan kehutanan termasuk penegakan hukum pidana kehutanan itu sendiri. Timbulnya multi tafsir dan kontroversial diantara penegak hukum berdasarkan fakta hukum dalam kasus Adelin Lis, yakni : 1). Terbitnya surat Menhut RI No.S.613/Menhut-II/2006, tanggal 27 September 2006 yang menyatakan bahwa “penebangan diluar RKT 13
Diakses terakhir tanggal 30 Juli 2011, melalui- http://putusan.mahkamahagung.go.id/ putusan/ 12fe57d986ae4d4b34603935ed40720a
Universitas Sumatera Utara
dipandang sebagai pelanggaran administratif dan bukan merupakan perbuatan pidana”; 14 2). Jaksa Penuntut Umum
menuntut dengan pidana kehutanan, dan
pidana korupsi; 3). Judex facti memutuskan putusan bebas (vrijpraak), akan tetapi pada putusan kasasi membatalkan putusan tersebut dengan putusan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan kehutanan. (2) Peluang multi tafsir atas sanksi dalam pasal 78 terhadap pasal 80 ayat (2) UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan, timbul hambatan dalam penegakan hukumnya, terutama pelaksanaan eksekusi, baik terhadap Adelin Lis tidak dapat dilakukan karena setelah putusan bebas oleh PN Medan yang bersangkutan melarikan diri dan saat penelian status Daftar Pencarian orang (DPO) maupun pelaksanaan eksekusi terhadap harta kekayaannya untuk membayar uang pengganti oleh Jaksa Penuntut Umum belum dapat dilakukan. Lawrence M. Friedman membagi sistem hukum kedalam tiga subsistem, yakni substansi, struktur dan kultur hukum/budaya hukum 15.
14
Putusan Yudex Facti tersebut telah dianulir dengan putusan MARI No 68/PIDSUS/2008 hal 252 memutuskan: 1) Bahwa Menhut tidak mempunyai kompetensi untuk menyatakan suatu perbuatan merupakan tindak pidana atau tindakan administratif; 2) Bahwa yang berwenang menyatakan apakah suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana adalah hakim; 3) Bahwa tindakan hakim yang membenarkan isi kedua surat tersebut adalah suatu pembenaran bagi lembaga lain selain pengadilan untuk bertindak sebagai hakim.
Universitas Sumatera Utara
Substansi hukum adalah aturan, norma, peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berada dalam sistem hukum itu. Substansi hukum tidak hanya menyangkut peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam kitap-kitab hukum (law in books), “produk”
16
tetapi juga pada tataran hukum yang hidup (living law)
17
yakni
berupa keputusan-keputusan administrasi negara yang dihasilkan oleh
pejabat publik dalam lingkup sistem hukum itu, misalnya surat keputusan. Struktur hukum adalah agensi-agensi, organ-organ, pejabat-pejabat, badan dan lembaga yang mengawasi peraturan hukum dan melaksanakan fungsi struktural tersebut yang diawasi dengan sebuah sistem pengawasan yang memadai
18
. Setiap
peraturan perundang-undangan harus mempunyai lembaga pengawas dan berfungsi untuk menegakkan undang-undang. Lembaga pengawas ditetapkan pada pasal 59 sampai pasal 64 dalam UU Kehutanan, yakni pemerintah pusat, daerah dan masyarakat. Kultur hukum (budaya hukum) lahir dari sejumlah fenomena yang saling berkaitan. Pertama, dari pemahaman publik mengenai pola-pola sikap dan perilaku terhadap sistem hukum antara seorang ke orang lain akan berbeda, misalnya apakah pengadilan itu telah adil?, kapan orang-orang bersedia menggunakan pengadilan?, unsur hukum mana yang sah (ligitimate), bagaimana pemahaman mereka mengenai hukum? Kedua, satu jenis kultur hukum kelompok, yakni kultur hukum para 15
Lawrence M. Friedman. “American Law An Introduction,” (Secon Edition), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,Jakarta: Tata Nusa, 2001), hal 7. 16 Ibid hal 7 17 Ibid hal 8 18 Lawrence M. Friedman. “American Law An Introduction,” (Secon Edition), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,Jakarta: Tata Nusa, 2001), hal 7.
Universitas Sumatera Utara
profesional hukum bisa meliputi persoalan-persoalan kepercayaan, nilai, pemikiran dan harapan manusia terhadap hukum dan sistem hukum, dan prinsip-prinsip para pengacara, hakim dan lain-lainnya yang bekerja dalam lingkaran ajaib sistem hukum 19
. Budaya hukum dapat diartikan pula sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan
sosial
yang
menentukan
bagaimana
hukum
digunakan,
dihindari,
atau
disalahgunakan. Budaya hukum sangat dipengaruhi oleh “sub-budaya hukum” berdasarkan ras, seperti orang kulit putih, kulit hitam, berdasarkan agama, yakni Katholik, Protestan, Yahudi, Polisi, Penjahat, Penasehat hukum, Pengusaha dan lain sebagainya. Sub-budaya hukum yang sangat menonjol dan sangat berpengaruh terhadap hukum adalah budaya dari “orang dalam” (insiders) yaitu hakim, dan mereka yang terlibat bekerja dalam sistem hukum itu 20. Selain menggunakan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman,
juga
menggunakan
teori
hukum
pembuktian
untuk
menjawab
permasalahan penegakan hukum dari perpektif hukum pembuktian mulai pada tahap penyidikan sampai pada proses pemeriksaan sidang pengadilan hingga putusan hakim atas perkara Adelin Lis berkekuatan hukum yang tetap (inkracht). 2.
Kerangka Konsepsi (Definisi Operasional) Dalam melakukan penelitian tesis ini, dijelaskan beberapa istilah sebagai
definisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan, yaitu: 19
Ibid Lawrence M. Friedman. “Sistem Hukum perspektif ilmu sosial”, Penterjemah: M. Khozim, diterjemahkan dari buku Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York: Russel Sage Fundation, 1975),Bandung, Nusa Media, 2009, hal 254-255 20 Lawrence M. Friedman. “American Law An Introduction,” (Secon Edition), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,Jakarta: Tata Nusa, 2001), hal 10
Universitas Sumatera Utara
a)
Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum atau “penerapan hukum” adalah
pelaksanaan penegakan hukum secara konkrit dalam kehidupan masyarakat seharihari terhadap pelanggaran hukum. Dalam bahasa asing (Belanda: Rechtdtoepassing, rechtshandhaving; dan Amerika: Law enforcement, application); 21 Peradilan adalah proses mengadili, yaitu pada saat hakim memeriksa dan mengadili suatu perkara. Hakim memeriksa kenyataan yang terjadi, dan menghukuminya dengan peraturan yang berlaku. Hasil akhir proses peradilan adalah putusan pengadilan atau putusan hakim.
22
Yang dimaksud penegakan hukum dalam penelitian ini adalah suatu proses
penegakan hukum pidana dengan hukum formal yang dirumuskan dalam hukum formal, yakni: kitab undang-undang hukum acara pidana, yakni UUNo. 8 tahun 1981, tentang KUHAP, yang lebih dikenal dengan administrasi keadilan (administration of justice);
23
dan ketentuan formal yang melekat pada undang-undang yang
bersangkutan, contoh: Pasal 78 ayat (14) (15) UU Kehutanan, yang menetapkan: tentang pertanggung jawaban tindak pidana dijatuhkan pada pengurusnya dan hak/wewenang penegak hukum dalam mengurus barang bukti dengan merampas untuk Negara atas “semua hasil hutan (corpora delicti ) dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat angkutnya (instrumental delicti) yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran” Kehutanan, yang menetapkan
dan pasal 79 ayat (1) UU
hak/wewenang penegak hukum melelang untuk
Negara atas “kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa 21
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal 181 Ibid hal 182 23 Ibid hal 183
22
Universitas Sumatera Utara
temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran dan hukum pidana formal lainnya yang terkait terhadap penegakan hukum materiil. b)
Hukum Pidana: Menurut Moeljatno 24 “Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1). Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut atau disebut perbuatan pidana (criminal act). 2). Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan atau Pertanggungjawaban hukum pidana (criminal liability atau criminal responsibility) 3). Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. (a)
(b)
24
Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana, kita menganut asas yang dinamakan asas legalitas (principles of legality), yakni asas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang (pasal 1 ayat 1 KUHP) atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada dan berlaku bagi terdakwa (pasal 4 ayat (2) UUDS dahulu) sebelum orang dapat dituntut untuk dipidana karena perbuatannya. Barang siapa melakukan perbuatan pidana diancam dengan pidana. Akan tetapi ini belum berarti bahwa tiap-tiap orang yang melakukan perbuatan tersebut lalu mesti dipidana. Sebab untuk memidana seseorang disamping melakukan perbuatan yang dilarang, dikenal asas yang berbunyi: “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.” Dalam bahasa belanda “Geen straf zonder schul.” Jerman: “Keine Straf ohne Schuld.” Dalam hukum pidana Inggris asas dikenal dalam bahasa Latin yang berbunyi: “Actus non facit, nisi mens sit rea. (An act does not make a person guilty, unless the mind is guilty). Asas tersebut tidak kita dapat dalam KUHP sebagaimana halnya dengan asas legalitas. Juga tidak ada dalam lain-lain perundangan. Asas ini adalah asas yang ada dalam hukum yang tidak tertulis, yang hidup dalam anggapan masyarakat dan yang tidak kurang mutlak berlakunya daripada asas yang tertulis dalam perundangan. Buktinya ialah, andaikata ada orang yang dipidana tanpa mempunyai kesalahan, misalnya dia Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta-2008) hal 1-9
Universitas Sumatera Utara
melakukan perbuatan yang tidak tahu, bahkan tidak mungkin untuk mengetahuinya bahwa merupakan perbuatan pidana, niscaya hal itu akan melukai perasaan keadilan. Seyogianya dalam hal yang demikian, sipelanggar diberi peringatan dahulu. Perwujudan dalam KUHP tentang tidak dipidananya orang yang telah melakukan perbuatan pidana, misalnya pasal 44 KUHP mengenai orang yang tidak mampu bertanggungjawab, pasal 48 KUHP mengenai orang yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa (overmacht). c)
Tindak pidana, Menurut Moeljatno, adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana, adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan itu ditujukan pada perbuatan (yaitu suatu keadaan, atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakukan orang)
sedangkan
menimbulkannya. feit”,
Moeljatno
25
ancaman
pidananya
ditujukan
kepada
orang
yang
Kata “tindak pidana” merupakan terjemahan dari “strafbaar menggunakan
istilah
“perbuatan
pidana”,
Tirtaamidjaja
menggunakan istilah “pelanggaran pidana”, sedangkan Utrecht menggunakan istilah “peristiwa pidana”. Sinonim dari tidak pidana adalah “delik”, yang dalam bahasa latin adalah delictum yang artinya perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap perundang-undangan pidana.
26
Dalam penelitian
ini akan digunakan Tindak Pidana.
25
Dikutip dari buku Pietrus Waine “Penyidikan Tindak Pidana Tertentu (beberapa Ketentuan Pidana di Luar KUHP”, Sanggar Krida Aditama Semarang, 2008, hal 11 26 Ibid,hal 10
Universitas Sumatera Utara
d)
Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah segala bentuk usaha yang memanfaatkan
dan mengusahakan hasil hutan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokok hutan, sebagaimana ditetapkan pada pasal 1ayat (7) PP. No 34 tahun 2002, tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. e)
Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan Produksi pada hutan alam
dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu disingkat IUPHHK melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pemeliharaan (pembibitan, permudaan pengayaan/ rehabilitasi/reklamasi), dan pemasaran (vide pasal 28 ayat (2) UU Kehutanan dan pasal 1ayat (13) PP. No 34 tahun 2002, tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan). f)
Yang dimaksud dengan Tindak Pidana kehutanan adalah perbuatan yang
ditentukan sebagai perbuatan pidana sebagaimana telah diatur dan ditetapkan dalam pasal 78 UU Kehutanan. Dalam penelitian ini terbatas pada tindak pidana kehutanan pada pasal 78 ayat (1) (5) (7) jo pasal 50 ayat (2), ayat (3) huruf e,f, h UU Kehutanan. g)
Yang dimaksud dengan Tindak pidana Korupsi adalah perbuatan yang
ditentukan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diatur dan ditetapkan dalam pasal 2 s/d pasal 24 UU No. 31 tahun 1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah di ubah dengan UU No. 20 tahun 2001. Dalam penelitian ini terbatas pada tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian Keuangan Negara sebagaimana di tetapkan pada pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun
Universitas Sumatera Utara
1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang di ubah dengan UU No. 20 tahun 2001 (untuk selanjutnya disebut UU TPK).
G.
Metode Penelitian. Ada 2 (dua) jenis penelitian hukum, yakni penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum empiris (sosiologis). 27 Adapun metode penelitian yang akan digunakan dalam mengeksplorasi permasalahan penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal yang mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundangundangan (law in books), atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas, mempersoalkan hukum sebagai apa yang seharusnya (das sollen). 28 Penelitian hukum normatif akan mengkaji objek dari sistematika berdasar ketaatan pada struktur hukum secara hierarkis untuk memberikan sebuah pendapat hukum yang menempatkan sistem norma sebagai objek kajiannya. Sistem norma dimaksud terdiri dari substansi, struktur dan kultur hukum itu sendiri.
29
Di dalam penelitian ini menggunakan
metode studi kasus (case study), yakni suatu studi terhadap kasus an. Adelin Lis atas putusan MARINo. 68.K/PID.SUS/2008, tanggal 31 Juli 2008 dari perpektif hukum pidana dan hukum administrasi negara untuk dapat menjawab permasalahan, apa 27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1983), hal 51, dikutip oleh Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyajakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal 153 28 Ibid hal 36 29 Ibid hal 38
Universitas Sumatera Utara
yang seharusnya (aliran hukum positivisme) akan dibandingkan dengan apa yang senyatanya (aliran hukum sosiologisme). Peter Mahmud, penelitian hukum normatif yang mengkaji sistem norma dapat menggunakan logika deduktif dengan alat silogisme yang menempatkan dalil, kaidah hukum dalam perundang-undangan, prinsip-prinsip hukum, dan ajaran atau doktrin hukum sebagai premis mayor dan menghubungkannya dengan fakta atau peristiwa tindak pidana yang dipersangkakan terhadap Adelin Lis sebagai premis minor untuk membuat suatu kesimpulan yang bertujuan untuk membangun preskritif kebenaran hukum. 30 Dalam studi kasus (case study) ini, akan menganalisa alasan-alasan hukum (ratio decidendi atau reasoning) apa yang digunakan oleh majelis hakim PN Medan untuk sampai kepada putusan pidana bebas murni (vrisjpraak) bagi Adelin Lis dan sebaliknya oleh majelis hakim kasasi yang memutuskan perkara Adelin Lis terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan. 31 1.
Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif menempatkan sistem norma sebagai objek kajian. 32 Alasan penggunaan metode penelitian hukum normatif ini analisis kualitatif yang didasarkan pada hubungan dinamis antara teori sistem norma atau sistem hukum menurut 30
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum” Kencana, Jakarta, 2008, hal 41-51, hal 94. Penelitian hukum normatif dengan pendekatan kasus (case approach),adalah dengan melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan studi kasus (case study) hanya terhadap suatu kasus tertentu yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dari perspektif hukum pidana, hukum administrasi negara, hukum tata negara. 31 Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Op. Cit. hal 191 32 Mukti Fajar ND dan Yuliyanto Achmad, Op. Cit. hal 38
Universitas Sumatera Utara
Lawrence M. Friedman, terori hukum pembuktian dalam penegakan hukum, konsepkonsep atau definisi operasional
dan data
yang menjadi objek kajian dalam
penelitian ini adalah perundang-undangan yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu. Sifat penelitian adalah penelitian deskritif, yakni menggambarkan atau memaparkan secara tepat, akurat dan sistematis gejala-gejala hukum terkait dengan penegakan hukum pidana yang dikaitkan dengan hukum administrasi negara kaitannya dengan pemanfaatan hasil hutan kayu dalam kasus Adelin Lis selaku Direktur PT KNDI. 2.
Sumber Bahan Hukum Penelitian hukum normatif yang menitik beratkan pada data sekunder atau pada
penelitian kepustakaan atau data kepustakaan atau dikenal dengan bahan hukum, maka sumber bahan hukum yang digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu: a. Bahan hukum primer, yang terdiri atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi atau keputusan pengadilan (lebih-lebih bagi penelitian yang berupa studi kasus), dan perjanjian Internasional (traktat) yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen (Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan); 2) Undang-Undang No 41 tahun 1999, tentang kehutanan yang diubah dengan UU No 19 tahun 2004;
Universitas Sumatera Utara
3) Undang-Undang No 31 tahun 1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang di ubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. 4) Undang-Undang No 40 tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas. 5) UU No 17 tahun 2003, tentang keuangan negara 6) Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2002, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan yang di ubah dengan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. 7) Peraturan Pemerintah No 45 tahun 2004, tentang Perlindungan Hutan, yang di ubah dengan Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2009, tentang Perlindungan hutan. 8) Peraturan Pemerintah No 44 tahun 2004, tentang Perencanaan Kehutanan. 9) Permenhut RI No 126 tahun 2003 10) Permenhut RI No 48 tahun 2006 11) Peraturan Menteri Kehutanan RI No 55 tahun 2006 12) SK Menhut RI No. 805/Kpts-VI/1999, tanggal 30 September 1999 13) Kep Dirjen Pengusahaan Hutan No. 151/KPTS/IV/-BPHH/1993, tanggal 19 Oktober 1993.
Universitas Sumatera Utara
14) Putusan PN Medan Nomor: 2240/Pid.B/2007/PN. Medan, tanggal 05 Nopember 2007 dan putusan MARINo. 68.K/PID.SUS/2008, tanggal, 31 Juli 2008. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan
terhadap
bahan-bahan
hukum
primer,
seperti
rancangan
perundang-unangan, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar (koran), pamplet, lefleat, brosur, dan berita internet, digunakan untuk membantu memahami bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer, yang terdiri dari: 1) Buku-buku 2) Jurnal-Jurnal 3) Majalah-Majalah 4) Artikel-artikel; dan 5) Berbagai tulisan lainnya c. Bahan hukum tertier diperlukan untuk berbagai hal dalam hal penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer khususnya kamus-kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ensiklopedi, leksikon, dan lain-lain. 3.
Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data Keseluruhan data sekunder ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan (library
research) dengan studi dokumen dari berbagai sumber yang dipandang relevan,
Universitas Sumatera Utara
antara lain instansi terkait penelitian Direktorat Reskrim Polda Sumut, perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan mengakses melalui internet dan narasumber yang ahli dibidang hukum administrasi negara dan hukum perseroan terbatas untuk menambah bahan hukum sekunder dalam penelitian hukum normatif. 4.
Metode Analisa Data Analisa data merupakan kegiatan dalam penelitian berupa melakukan kajian
atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori sistem hukum oleh Lawrence M. Friedman, dan teori hukum pembuktian menurut KUHAP, termasuk konsep operasional yang berkaitan dengan rumusan permasalahan yang telah ditetapkan dimuka. Metode analisa data ini bersifat kualitatif yang disajikan secara deskritif analitis, dengan menggambarkan dan memaparkan pertimbanganpertimbangan hukum dalam mengambil suatu putusan atas perkara Adelin Lis, baik pada tingkat Pengadilan Negeri sampai pada tingkat kasasi guna membuat suatu jawaban terhadap permasalahan yang telah dirumuskan, kemudian menarik suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan teori.
Universitas Sumatera Utara