BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup, khususnya manusia pasti membutuhkan zat gizi sebagai penunjang kelancaran pertumbuhan dan perkembangan. Apabila zat gizi yang dibutuhkan tidak mencukupi maka pertumbuhan dan perkembangan manusia menjadi kurang optimal. Oleh karena itu, pemenuhan zat gizi harus benar – benar diperhatikan sehingga proses pertumbuhan dan perkembangan manusia dapat berjalan dengan normal. Untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia memerlukan makanan yang mengandung zat gizi yang seimbang, diantaranya karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral (Winarno, 1992). Salah satu zat gizi yang diperlukan oleh tubuh manusia adalah mineral. Kalsium adalah salah satu mineral yang penting bagi tubuh manusia. Kalsium merupakan sumber kehidupan manusia dalam setiap tahap perkembangan, sejak masa kanak-kanak sampai lanjut usia. Kalsium memainkan peranan penting dan merupakan unsur yang mutlak diperlukan. Tubuh kita mengandung lebih banyak kalsium daripada mineral yang lain. Sebagian besar kalsium terkonsentrasi pada tulang rawan dan gigi, sisanya terdapat dalam cairan tubuh dan jaringan lunak (Poedjiadi, 2005). Menurut SEAMIC (2000), asupan kalsium masyarakat Indonesia sebanyak 254 mg/hari. Hal ini masih sangat rendah dibanding Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan menurut Almatsier (2002) yaitu 500-1500 mg/hari. Sumber kalsium
1
2
dapat diperoleh melalui bahan makanan kaya kalsium seperti olahan susu dan brokoli. Bahan makanan tersebut ditinjau dari segi ekonomi cukup mahal. Dengan demikian perlu dilakukan terobosan teknologi yang murah, memberikan dampak nyata, diterima oleh masyarakat dan berkelanjutan. Salah satu solusi perbaikan gizi adalah dengan cara fortifikasi makanan. Menurut WHO (2006), fortifikasi merupakan program perbaikan gizi yang paling murah biayanya diantara berbagai program kesehatan. Fortifikasi makanan adalah pendekatan jangka panjang yang efektif untuk meningkatkan status besi populasi. Fortifikasi harus dipandang sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas pangan selain dari perbaikan praktek-praktek pertanian yang baik (good agricultural practices), perbaikan pengolahan dan penyimpangan pangan (good manufacturing practices), dan memperbaiki pendidikan konsumen untuk mengadopsi praktek-praktek penyediaan pangan yang baik. Fortifikasi bahan pangan yang direkomendasikan WHO ada dalam kategori senyawa yang mudah larut dalam air, kurang larut dalam air tetapi larut dalam asam encer, sama sekali tidak larut dalam air tetapi larut dalam asam encer dan bentuk encapsulated. Pemilihan fortifian tergantung pada jenis bahan pangan yang menjadi target fortifikasi, karena berpengaruh terhadap efektifitas fortifikasi makanan tersebut. Bahan fortifian hendaknya mudah didapat dan harganya terjangkau misalnya dari limbah cangkang telur. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) produksi telur di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 1.540.750 ton dan mengalami peningkatan 5,48% dari tahun 2011. Kenyataan ini mengakibatkan potensi limbah yang cukup besar.
3
Cangkang telur merupakan limbah buangan organik yang sudah tidak terpakai. Cangkang telur jika tidak dimanfaatkan secara maksimal maka akan merusak keindahan lingkungan, hal ini karena cangkang telur membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengurai secara alami. Cangkang telur menyusun sekitar 11% dari total berat telur yang merupakan by-product (hasil ikutan) yang dihasilkan oleh industri penetasan komersil, industri makanan, dan restoran. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur (2012) menyatakan bahwa produksi telur (ayam ras, ayam kampung, itik dan burung puyuh) tahun 2011 tercatat sebesar 257,18 ribu ton. Tahun 2012 menjadi
271,82 ribu ton atau naik sebesar 5,69%. Banyaknya
cangkang telur (by-product) yang dihasilkan belum dimanfaatkan secara optimal sehingga menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan. Selama ini cangkang telur hanya dimanfaatkan sebagai salah satu materi hiasan dinding, hasil kerajinan, pakan ternak, dan pupuk. Pengolahan byproduct tersebut tentunya belum mempunyai nilai tambah yang besar karena masih terbatas dari segi harga maupun jumlah produksinya. Menurut Romanoff (1949), kandungan cangkang telur yaitu sekitar 98,2% kalsium karbonat, 0,9% magnesium, dan 0,9% fosfor (Rauf, 2014). Cangkang telur dapat dibuat tepung sebagai sumber kalsium dengan ukuran nanopartikel. Kalsium cangkang telur dengan ukuran nanopartikel dapat meningkatkan kelarutan dan penyerapan oleh tubuh. Kalsium pada cangkang telur merupakan kalsium laktat yang diketahui aman untuk digunakan dalam industri pangan. Fortifikasi kalsium cangkang dalam produk pangan akan memberikan kesempatan
4
yang sangat baik untuk menigkatkan asupan kalsium dalam tubuh. Oleh karena itu, adanya sebuah alternatif untuk memenuhi kebutuhan sebagian konsumen melalui fortifikasi kalsium dalam produk makanan, seperti bakpia. Bakpia adalah makanan yang terbuat dari campuran kacang hijau dengan gula yang dibungkus dengan tepung, lalu dipanggang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bakpia berbentuk bundar agak pipih, bagian luarnya mudah remuk, terbuat dari terigu dengan isi kacang hijau. Kue pia berasal dari negeri Tiongkok atau Cina yang aslinya bernama Tou Luk Pia yang berarti kue pia kacang hijau. Kue pia mulai berakulturasi dengan budaya Jawa bahkan menjadi makanan khas Yogyakarta saat ini. Bahan yang digunakan untuk membuat kue pia antara lain terigu, minyak goreng, air, gula dan garam. Kue pia merupakan salah satu jenis kue yang dioven atau dipanggang (Rahzarni, 2011). Berdasarkan hasil observasi peneliti salah satunya di home industri kue, limbah cangkang telur sangat melimpah. Berlimpahnya limbah cangkang telur sangat mengganggu lingkungan, terutama aroma amis (anyir) yang ditimbulkan limbah ini mengundang lalat sehingga bisa berpotensi mengganggu higienitas dan sanitasi home industri kue. Fortifikasi kalsium cangkang telur dalam produk bakpia diharapkan dapat memberikan kesempatan yang sangat baik untuk meningkatkan asupan kalsium dalam tubuh. Hasil penelitian ini diharapkan mampu mengurangi limbah cangkang telur yang jumlahnya sangat melimpah. Penelitian ini akan dikembangkan sebagai sumber belajar berupa buku saku, pada tingkatan SMA kelas X semester II khususnya pada materi Perubahan lingkungan/iklim dan daur ulang limbah.
5
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Fortifikasi Tepung Cangkang Telur Terhadap Kualitas Bakpia Kering (Dikembangkan Sebagai Sumber Belajar Biologi)”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pada uraian latar belakang, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana pengaruh fortifikasi tepung cangkang telur pada pembuatan bakpia kering?
2.
Pada komposisi berapa fortifikasi tepung cangkang telur menghasilkan bakpia kering yang berkualitas?
3.
Bagaimana kelayakan buku saku hasil penelitian fortifikasi tepung cangkang telur terhadap kualitas bakpia sebagai sumber belajar biologi?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Menganalisis pengaruh fortifikasi tepung cangkang telur pada pembuatan bakpia kering. 2. Menentukan konsentrasi tepung cangkang telur yang memberikan hasil terbaik pada pembuatan bakpia kering. 3. Mewujudkan buku saku yang layak digunakan dari penelitian pengaruh fortifikasi tepung cangkang telur terhadap kualitas bakpia kering.
6
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat mencapai beberapa manfaat
diantaranya: 1. Secara Teoritis Memberikan pemahaman dan bisa menerapkan teknologi pengolahan pangan yang telah diperoleh dan memberikan sumbangan pengetahuan mengenai manfaat kandungan tepung cangkang telur yang difortifikasikan pada bakpia kering. 2. Secara Praktis a. Bagi Guru Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif sumber belajar biologi SMA kelas X semester II, khususnya pada materi Perubahan lingkungan/iklim dan daur ulang limbah berupa buku saku. b. Bagi Siswa Hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan kepada peserta didik tentang pengolahan limbah dari penelitian fortifikasi tepung cangkang telur pada pembuatan bakpia kering yang dikembangkan sebagai sumber belajar biologi dalam bentuk buku saku. c. Bagi Peneliti Penelitian ini akan semakin memperkaya wawasan peneliti terkait fortifikasi tepung cangkang telur pada pembuatan bakpia kering yang dikembangkan sebagai sumber belajar biologi dalam bentuk buku saku.
7
1.5
Batasan Penelitian Untuk menghindari kesalahan persepsi dan meluasnya masalah pada
penelitian ini, maka perlu diadakan pembatasan masalah sebagai berikut: 1. Tepung cangkang telur yang dijadikan bahan penelitian berasal dari cangkang telur ayam ras petelur. 2. Konsentrasi tepung cangkang telur dalam penelitian ini adalah 0%, 2,5%, 5%, 7,5%, dan 10% dari berat tepung terigu. 3. Bahan pembuatan bakpia kering yaitu tepung 1 kilogram, kacang hijau 500 gram, gula 350 gram, tepung cangkang telur (sesuai konsentrasi), mentega 50 gram, minyak 4 ons, air 3 ons, garam 1 sendok teh dan vanili 1 sendok teh. Bakpia kering akan dipanggang atau dioven pada suhu 2000C selama 1 jam. 4. Parameter kualitas bakpia yang dipakai dalam penelitian ini adalah kandungan gizi (kadar kalsium, kadar protein, kadar air) dan karakteristik organoleptik (warna, aroma, rasa, tekstur). 5. Pengujian kandungan gizi bakpia kering dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Teknologi Pangan FPP Universitas Muhammadiyah Malang. Pengujian karakteristik organoleptik akan diuji oleh 25 panelis dari mahasiswa Pendidikan Biologi UMM yang mengambil konsentrasi ilmu pangan dan gizi. 6. Sumber belajar yang terwujud dari penelitian ini berupa buku saku pada materi Perubahan Lingkungan/Iklim dan Daur Ulang Limbah kelas X semester II SMA.
8
1.6
Definisi Istilah Adapun definisi istilah dalam penelitian ini yaitu:
1. Fortifikasi adalah menambahkan bahan pada makanan satu atau lebih zat gizi mikro atau makro tertentu untuk meningkatkan mutu gizi (Soekirman, 2006). 2. Tepung cangkang telur adalah bagian terluar
telur yang berfungsi memberi
perlindungan bagi komponen-komponen isi telur dari kerusakan, baik secara fisik, kimia maupun mikrobiologis yang diolah menjadi serbuk (Jamila, 2014). 3. Bakpia kering adalah kue berbentuk bundar agak pipih, bagian luarnya mudah remuk, terbuat dari terigu dengan isi kacang hijau (Rustandi, 2010). 4. Sumber belajar adalah semua sumber baik berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu (Rohani, 2004).