BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Proses pembangunan daerah diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Salah satu indikator yang biasa digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi memegang peranan penting karena dapat dipakai untuk menilai kinerja perkembangan perekonomian suatu negara atau daerah. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi merefleksikan perkembangan tingkat kegiatan ekonomi secara dinamis dari tahun ke tahun (Arsyad, 2005: 7-8). Namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu mencerminkan kesejahteraan masyarakat yang merata, sehingga keberhasilan pembangunan tidak hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga diikuti dengan distribusi hasil pembangunan secara merata. Pengertian pembangunan sebelumnya bersifat ekonomis, yaitu didefinisikan sebagai
kemampuan
ekonomi
suatu
negara
untuk
meningkatkan
dan
mempertahankan PDRB secara terus menerus dalam jangka panjang. Selanjutnya definisi pembangunan ekonomi menjadi lebih luas dan menekankan pada peningkatan pendapatan per kapita dalam jangka panjang yang disertai perbaikan sistem kelembagaan. Pengertian baru ini melihat pembangunan sebagai suatu proses yang multidimensional dan menganjurkan agar tidak hanya memusatkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi, namun juga suatu proses yang saling
1
terkait dan mempengaruhi antarfaktor-faktor pembangunan ekonomi (Arsyad, 2005: 5-6). Widodo (2006: 6) juga berpendapat bahwa salah satu penyebab hasil pembangunan sering tidak sesuai dengan target yang diharapkan adalah adanya kesalahan persepsi tentang arti pembangunan yang hanya berusaha mencapai produk domestik bruto yang tinggi tanpa memperhatikan faktor lain. Kondisi tersebut dapat menimbulkan masalah sosial yang pada akhirnya berdampak pada tingginya kesenjangan sosial dan ekonomi. Selanjutnya Todaro dan Smith (2011: 25) menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dilihat dari tiga nilai inti pembangunan. 1. Kecukupan, yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar baik barang maupun layanan dasar yang diperlukan untuk mendukung kehidupan manusia pada tingkat paling minimum. 2. Harga diri sebagai syarat untuk menjadi manusia seutuhnya, yaitu perasaan berharga yang dinikmati suatu masyarakat jika sistem dan lembaga sosial, politik dan ekonominya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan seperti kehormatan, integritas dan kemandirian. 3. Kebebasan dari sikap menghamba sehingga memiliki kemampuan untuk memilih. Masyarakat memiliki berbagai alternatif untuk memuaskan keinginannya dan setiap orang dapat mengambil pilihan sesuai keinginannya. Pembangunan adalah proses perubahan secara terus menerus ke arah yang lebih baik, namun seringkali hasil dan dampak pembangunan tersebut belum dapat dirasakan secara merata antarwilayah yang menyebabkan terjadinya ketimpangan
2
antarwilayah. Ketimpangan ini pada dasarnya tidak dapat dihindari karena masing-masing daerah memiliki karakteristik dan permasalahan yang berbeda, diantaranya potensi wilayah, pertumbuhan ekonomi, investasi, infrastruktur, pendidikan dan masalah sosial budaya lainnya. Perbedaan ini mengakibatkan berbedanya
aktivitas
ekonomi
yang
berpengaruh
terhadap
keberhasilan
pembangunan ekonomi. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004, memberikan kewenangan yang semakin luas kepada daerah untuk memberdayakan potensi daerahnya. Hal itu juga berlaku di Daerah Istimewa Yogyakarta yang sejak otonomi daerah memiliki kewenangan yang lebih besar untuk menggunakan segala potensi yang ada untuk kesejahteraan warganya. Selain itu, dengan disahkannya UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadikan Pemerintah Daerah DIY berbeda dengan pemerintah daerah lain. Undang-undang tersebut memberikan
kewenangan
keistimewaan
terhadap
Pemda
DIY
yang
penyelenggaraannya didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat. Kewenangan istimewa itu meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan, kebudayaan, pertanahan dan tata ruang. Daerah Istimewa Yogyakarta terletak dibagian tengah Pulau Jawa bagian selatan dan berbatasan dengan beberapa kabupaten di Jawa Tengah dengan luas 3.185,80 km2 atau 0,17 persen dari luas Indonesia. Secara administratif DIY terdiri dari 5 kabupaten/kota dengan luas wilayah terbesar Kabupaten
3
Gunungkidul sebesar 46,63 persen dan wilayah terkecil adalah Kota Yogyakarta dengan luas 1,02 persen. Meskipun secara geografis memiliki wilayah yang relatif kecil, bukan berarti Daerah Istimewa Yogyakarta terlepas dari masalah sosial dan ekonomi. Dari tahun 2010-2012, PDRB ADHK 2000 dan pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta relatif meningkat tetapi jika dilihat dari Indeks Gini yang menggambarkan ketimpangan pendapatan warganya juga cenderung meningkat. Pada tahun 2012 dan 2013 Indeks Gini DIY sebesar 0,43 dan 0,44 yang merupakan Indeks Gini tertinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa dan diatas angka nasional yang sebesar 0,41. Tabel 1.1 PDRB ADHK 2000 dan Pertumbuhan Ekonomi Menurut Provinsi di Pulau Jawa dan Nasional, 2010-2012 Provinsi (1)
PDRB ADHK 2000 (Miliar Rupiah) 2010 2011 2012 (2)
(3)
(4)
Pertumbuhan Ekonomi (%) 2010 2011 2012 (5)
(6)
(7)
DKI Jakarta
395.622
442.237
449.821
6,50
6,73
6,53
Jawa Timur
342.281
366.983
393.666
6,68
7,22
7,27
Jawa Barat
322.224
343.111
364.405
6.20
6,48
6,21
Jawa Tengah
186.993
198.270
210.848
5,84
6,03
6,34
Banten
88.552
94.207
100.000
6,11
6,39
6,15
DIY
21.044
22.132
23.309
4,88
5,17
5,32
Nasional 2.222.987 2.364.065 Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan, diolah
2.512.992
6,14
6,35
6,30
Selama kurun waktu 2010-2012 terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan PDRB ADHK 2000 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tetapi angka tersebut bila dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa menduduki peringkat terbawah. Salah satu penyebabnya adalah wilayah DIY yang relatif kecil sehingga sumber daya alam yang dimiliki terbatas dan skala pengembangan industri
4
pengolahan tidak sebesar provinsi lain di Jawa. Nilai PDRB ADHK 2000 dan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat ternyata belum bisa dinikmati oleh warga DIY secara merata yang terbukti dengan tingginya Indeks Gini, sehingga DIY bisa dibilang sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa dengan ketimpangan pendapatan yang tertinggi.
0.5 0.48 0.46
Nasional
0.44
DKI Jakarta
0.42
Jawa Barat
0.4
Jawa Tengah
0.38
DIY
0.36
Jawa Timur
0.34
Banten
0.32 0.3 2008
2009
2010
2011
2012
2013
Gambar 1.1 Indeks Gini Menurut Provinsi di Pulau Jawa dan Nasional, 2008-2013 Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan, diolah
Jika dilihat dari skala kabupaten/kota, selama kurun waktu 2010-2012 terdapat 2 kabupaten/kota yang rata-rata pertumbuhan ekonominya melampaui rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sebesar 5,12 persen, yaitu Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta. Wilayah dengan ratarata pertumbuhan ekonomi terendah adalah Kabupaten Kulon Progo (4,35 persen) diikuti
oleh
Kabupaten
Gunungkidul
(4,44
persen),
sehingga
dari
5
kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kurun waktu yang sama,
5
rata-rata pertumbuhan ekonominya tidak ada yang melebihi rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,30 persen. Tabel 1.2 PDRB ADHK 2000 dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di DIY, 2010-2012 Kabupaten/Kota
PDRB ADHK 2000 (Miliar Rupiah)
Pertumbuhan Ekonomi (%)
2010
2011
2012
2010
2011
2012
Rata-rata
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
Kab. Kulon Progo
1.781
1.869
1.963
3,06
4,95
5,03
4,35
Kab. Gunungkidul
3.330
3.474
3.642
4,15
4,33
4,84
4,44
Kab. Bantul
3.967
4.177
4.400
4,97
5,27
5,34
5,19
Kota Yogyakarta
5.505
5.816
6.151
4,98
5,64
5,76
5,46
Kab. Sleman
6.373
6.704
7.069
4,49
5,19
5,44
5,04
21.044 22.132 23.309 Provinsi Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan, diolah
4,88
5,17
5,32
5,12
(1)
Kondisi PDRB per kapita ADHK 2000 kabupaten/kota juga tidak jauh berbeda meskipun selama tahun 2010-2012 cenderung meningkat. Kota Yogyakarta meskipun di periode yang sama memiliki PDRB dibawah Kabupaten Sleman tetapi PDRB per kapitanya jauh lebih tinggi dibanding Kabupaten Sleman maupun wilayah lainnya, hal ini disebabkan karena jumlah penduduk di Kota Yogyakarta relatif lebih sedikit dibandingkan wilayah lain. Pada tahun 2012 PDRB per kapita Kota Yogyakarta sebesar Rp15.610.926 dan terendah adalah Kabupaten
Bantul
dengan
PDRB
per
kapita
sebesar
Rp4.730.116.
Ketidakmerataan PDRB per kapita ini ditunjukkan oleh Gambar 1.2, terlihat bahwa Kabupaten Bantul, Gunungkidul dan Kulon Progo sebagai daerah berpendapatan rendah dengan PDRB per kapita di bawah angka provinsi, sedangkan Kabupaten Sleman memiliki PDRB per kapita relatif sama dengan angka provinsi berkisar pada angka Rp6.000.000.
6
PDRB Per Kapita ADHK 2000 (Rp)
16000000 14000000 12000000
DIY
10000000
Kulon Progo Bantul
8000000
Gunungkidul
6000000
Sleman
4000000
Yogyakarta
2000000 2010
2011
2012
Tahun Gambar 1.2 PDRB Per Kapita ADHK 2000 Menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2010-2012 (Rupiah) Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan, diolah
Dilihat dari indikator kemiskinan, selama periode 2010-2012 persentase jumlah penduduk miskin cenderung menurun tetapi angka tersebut masih di atas angka nasional. Persentase penduduk miskin terbesar terdapat di Kabupaten Kulon Progo dan Gunungkidul dengan nilai diatas 20 persen. Tetapi bila dilihat dari garis kemiskinan, nilainya diatas nilai nasional kecuali Kabupaten Gunungkidul. Tabel 1.3 Garis Kemiskinan dan Persentase Penduduk Miskin Kabupaten/Kota di DIY, 2010-2012 Garis Kemiskinan
Penduduk Miskin
(Rupiah)
( %)
Kabupaten/Kota 2010 (2)
2011 (3)
2012 (4)
2010 (5)
Kab. Kulon Progo
225.059
240.301
250.854
23,15
23,62
23,32
Kab. Gunungkidul
203.873
220.479
228.745
22,05
23,03
22,72
Kab. Bantul
245.626
264.546
277.792
16,09
17,28
16,97
Kab. Sleman
247.688
267.107
281.644
10,70
10,61
10,44
(1)
Kota Yogyakarta Provinsi
290.286 224.258
314.311
333.232
9,75
2011 (6)
9,62
2012 (7)
9,38
249.629
270.11
16,83
16,14
15,88
Nasional 211.726 233.740 Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan, diolah
259.520
13,33
12,36
11,66
7
Secara umum sudah diketahui bahwa Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulon Progo merupakan daerah yang tertinggal dibandingkan dengan tiga daerah lainnya. Meskipun demikian perlu dikaji lebih dalam lagi sejauhmana tingkat ketimpangan antar dan dalam wilayah kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta serta menganalisis faktor-faktor dominan yang mempengaruhi ketimpangan antarwilayah tersebut, sehingga dapat sebagai bahan perumus kebijakan
agar
ketimpangan
tidak
semakin
melebar
dan
menghambat
pembangunan.
1.2 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai pertumbuhan dan ketimpangan antardaerah sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Sebagai bahan acuan dan pembanding beberapa uraian singkat penelitian tersebut diuraikan dalam Tabel 1.4. Tabel 1.4 Hasil Berbagai Penelitian Sebelumnya Mengenai Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan No. 1.
Peneliti Mahakso
Tahun 2013
Metoda analisis Indeks Williamson dan regresi data panel metoda FEM
Hasil Penelitian 1. Ketimpangan antarwilayah di Provinsi Jambi relatif sedang. 2. Ketimpangan secara signifikan dipengaruhi oleh belanja modal (+), angka partisipasi sekolah (+), dan panjang jalan (-). 3. Pertumbuhan secara signifikan tidak mempengaruhi ketimpangan.
2.
Yeniwati
2013
Indeks Williamson dan regresi OLS metoda REM
1. Sebanyak 5 provinsi dari 10 provinsi di Sumatera memiliki indeks ketimpangan lebih besar dari rata-rata. 2. Ketimpangan di Sumatera secara signifikan dipengaruhi oleh variabel investasi (-), aglomerasi (+) dan sumber daya alam (-).
8
Tabel 1.4 lanjutan No.
Peneliti
Tahun
Metoda analisis
Hasil Penelitian
3.
Kurniawan dan Sugianto
2013
Regresi panel
data
1. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap ketimpangan tetapi tidak signifikan. 2. Konsentrasi sektor industri dan pertanian berpengaruh positif siginfikan terhadap ketimpangan. 3. Jumlah orang yang bekerja berpengaruh negatif terhadap ketimpangan tetapi tidak signifikan.
4.
Cheong dan Wu
2013
Indeks Gini dan regresi data panel
1. FDI berkorelasi negatif terhadap ketimpangan regional intra-provinsi. 2. Tingkat industrialisasi, perkembangan sektor jasa, dan infrastruktur mempunyai korelasi positif terhadap ketimpangan. 3. Perdagangan internasional tidak berpengaruh terhadap ketimpangan secara signifikan sedangkan perdagangan domestik mempunyai korelasi negatif terhadap ketimpangan. 4. Ketimpangan makin tinggi saat kinerja sektor primer (pertanian) menurun.
5.
Mapa dkk,
2013
Spatial 1. Dimensi geografis berpengaruh terhadap dependence, pertumbuhan pendapatan provinsi. Indeks Moran 2. Adanya ketergantungan ekonomi secara dan intra-country spasial yang positif antarprovinsi di growth model Filipina.
6.
Nistor
2012
Regresi panel
data
1. FDI memperparah tingkat ketimpangan. 2. FDI memberikan dampak positif terhadap perekonomian Rumania, tetapi efeknya bagi perekonomian regional tidak selalu positif. 3. FDI harus disertai dengan perencanaan dan kebijakan yang tepat mengenai lokasi FDI, tidak berpusat di wilayah tertentu.
7.
Ramly
2012
Regresi panel
data
1. Belanja modal dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif signifikan terhadap ketimpangan. 2. PMDN, PMA, tingkat pendidikan dan belanja barang berpengaruh negatif terhadap ketimpangan tetapi tidak signifikan. 3. Ekspor berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap ketimpangan.
8.
Sutherland dan Yao
2011
Indeks Gini
Pertumbuhan ekonomi selama 30 tahun (1978-2007) meningkatkan kesenjangan pendapatan secara signifikan.
9
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Cheong dan Wu (2013), Kurniawan dan Sugiyanto (2013) serta Ramly (2012). Perbedaan dari penelitian sebelumnya adalah penggunaan Indeks Entropi Theil sebagai variabel terikat, Cheong dan Wu menggunakan Indeks Gini, Kurniawan dan Sugianto menggunakan PDRB per kapita relatif sedangkan Ramly menggunakan Indeks Williamson. Perbedaan lainnya adalah penggunaan variabel bebas belanja modal, investasi, konsentrasi sektor jasa dan konsentrasi pertanian serta menggunakan data panel dalam jangka waktu 10 tahun yaitu tahun 2003-2012.
1.3 Rumusan Masalah Dari berbagai penelitian yang sudah ada, ketimpangan dalam pembanguan ekonomi
terjadi
baik
antarnegara,
antarprovinsi
di
Indonesia
maupun
antarkabupaten/kota di Indonesia. Ketimpangan dalam pembangunan pada dasarnya tidak bisa dihindari karena perbedaan potensi dan karakter antarwilayah, yang menjadi masalah adalah ketika ketimpangan tersebut terus meningkat selama beberapa periode yang mengakibatkan tidak meratanya distribusi hasil pembangunan yang dinikmati oleh warga di daerah yang bersangkutan. Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu provinsi yang relatif kecil di Indonesia dengan dengan tren peningkatan PDRB maupun PDRB per kapita dengan diiringi penurunan jumlah penduduk miskin. Kondisi ini tidak sejalan dengan tren kenaikan nilai Indeks Gini yang bahkan selama tahun 2012-2013 merupakan tertinggi di Indonesia, sehingga perlu untuk dilakukan identifikasi tingkat ketimpangan pembangunan antarwilayah melalui penentuan tipologi wilayah dan pengukuran ketimpangan pembangunan antarwilayah serta
10
mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
tingkat
ketimpangan
pembangunan antarwilayah di DIY.
1.4 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana tipologi wilayah kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta dari tahun 2003-2012? 2. Bagaimana perkembangan tingkat ketimpangan kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta dari tahun 2003-2012? 3. Bagaimana pengaruh realisasi belanja modal, realisasi investasi, konsentrasi sektor
jasa
dan
konsentrasi
sektor
pertanian
terhadap
ketimpangan
antarkabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta?
1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang sudah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut. 1. Menganalisis tipologi wilayah kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Menganalisis ketimpangan PDRB per kapita antarkabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta. 3. Menganalisis pengaruh realisasi belanja modal, realisasi investasi, konsentrasi sektor
jasa
dan
konsentrasi
pertanian
terhadap
ketimpangan
antarkabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta.
11
1.6 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran, yaitu: 1. memberikan bahan masukan dan informasi bagi perencana dan pengambil kebijakan khususnya di lingkup Pemerintah Daerah DIY, sehingga dapat merumuskan kebijakan pembangunan yang terarah dan sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah, serta mengoptimalkan peran provinsi sebagai koordinasi kebijakan kabupaten/kota; 2. menjadi sumber referensi dan informasi bagi penelitian selanjutnya khususnya terkait masalah pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antarwilayah.
1.7 Sistematika Pembahasan Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I Pendahuluan, menjelaskan latar belakang, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab II Kajian Pustaka, menjelaskan teori yang menjadi acuan dalam penelitian, kajian terhadap penelitian terdahulu, formulasi hipotesis, dan model penelitian. Bab III Metoda Penelitian, menjelaskan desain penelitian, metoda pengumpulan data, definisi operasional, instrumen penelitian dan metoda analisis data. Bab IV Analisis, menjelaskan deskripsi data yang diperoleh, uji hipotesis, dan pembahasan. Bab V Simpulan dan Saran, memuat simpulan sesuai dengan rumusan dan pertanyaan penelitian, implikasi, keterbatasan penelitian dan saran.
12