BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Menghadapi perekonomian di masa depan, Indonesia diyakini akan menghadapi tantangan berupa era globalisasi ekonomi yang tidak lagi bisa dihindari, terdekat adalah integrasi ekonomi ASEAN dalam bentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlangsung tahun 2015. Negara, wilayah hingga kota yang tidak memiliki inovasi dalam pembangunan ekonomi tidak akan mampu bersaing. Tren yang ada saat ini adalah setiap daerah bersaing menonjolkan identitasnya, mengemas potensi daerah yang dimiliki sedemikian rupa sehingga berbeda dari kompetitornya. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Amanat dari peraturan tersebut erat kaitannya dengan marketing atau pemasaran dan semakin didukung dengan perkembangan entrepreneurial city. Pemasaran daerah atau marketing places menjadi salah satu model entrepreneurial yang cukup terkenal bagi pemerintah sejak tahun 1970 (Griffiths, 1998). Kartajaya et al. (2002: 78) berpendapat bahwa entrepreneurial adalah pemerintah yang jeli dan selalu berpikir keras untuk melihat dan memanfaatkan peluang yang muncul dalam upaya memakmurkan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Ashworth dan Voogd (1994) menambahkan 3 atribut pada teori pemasaran daerah sebagai pengembangan dalam disiplin ilmu marketing
1
yaitu pemasaran pada organisasi non-profit, social marketing dan marketing image yang berkontribusi pada kebebasan aliran pemasaran konvensional yang harus diterapkan sesuai dengan tujuan awalnya. Pemasaran yang diterapkan pada sebuah kota dapat menjadi proses untuk mengemas image sebuah kota menjadi positif untuk menarik perhatian dari potensi wisatawan, investor dan penduduk. Kota Medan merupakan salah satu dari kota-kota yang memiliki banyak peninggalan masa lalu yang kental dengan kekayaan budaya dan arsitektur bangunan bersejarah. Kota Medan, kota multietnis, ibukota Provinsi Sumatera Utara memiliki peran penting dalam konstelasi ekonomi Pulau Sumatera. Kota ini merupakan kota perdagangan dan hubungan penerbangan internasional terpenting yang menghubungkan kota-kota di Pulau Sumatera ke negara-negara tetangga seperti
Singapura, Malaysia dan Thailand, sehingga bukan sesuatu yang
berlebihan jika menyebutkan kota ini sebagai pintu gerbang Indonesia di bagian barat yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian utara. Perjalanan terbentuknya Kota Medan memiliki nilai perjuangan dan perkembangan sosial budaya masyarakat dengan berbagai peninggalan berupa artefak, bangunan yang mengandung karakter khas lokal bernilai sejarah serta nilai pengetahuan yang tinggi baik dari ciri khas arsitektural yang sangat berguna dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kajian sejarah maupun pertumbuhan perekonomian Kota Medan. Permasalahan yang kemudian muncul adalah kondisi bangunan dan kawasan bersejarah baik secara kuantitas maupun kualitas semakin menurun ditinjau dari segi arsitektur, segi konstruksi serta segi fungsi bangunan karena adanya tekanan nilai ekonomis yang mendorong terjadinya alih fungsi
2
bangunan dan kawasan bersejarah menjadi bangunan/kawasan yang lebih bernilai ekonomis jangka pendek. Nilai lahan yang semakin tinggi sementara nilai bangunan/kawasan bersejarah yang semakin turun akibat penyusutan nilai ekonomis menyebabkan desakan tersebut semakin besar. Sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, Kota Medan mengalami dinamika pesat yang ditandai dengan pertambahan penduduk yang tinggi serta laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Menurut data BPS, Kota Medan memiliki laju pertumbuhan ekonomi dengan tren positif dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2007 – 2011), berdasar harga konstan tahun 2000 rata-rata pertumbuhan ekonomi Kota Medan sebesar 6.865 persen, di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun yang sama yaitu sebesar 6.29 persen. Sebuah prestasi pada sektor ekonomi yang cukup membanggakan. Dalam hal peran suatu sektor dalam menunjang perekonomian daerah di Kota Medan dapat dilihat dari data PDRB menurut lapangan usaha, sebagaimana diuraikan dalam Tabel 1.1 berikut. Tabel 1.1 Struktur PDRB Kota Medan Atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha Tahun 2007 – 2011 (Persen) No
Sektor/Lapangan Usaha
1. Primer. a. Pertanian b. Pertambangan dan Penggalian 2. Sekunder. a. Industri Pengolahan b. Listrik, Gas dan Air Bersih c. Konstruksi 3. Tersier. a. Perdagangan, Hotel dan Restoran b. Transportasi dan Telekomunikasi c. Keuangan dan Jasa Perusahaan d. Jasa-jasa lainnya Total Sumber: BPS Kota Medan, 2012
2007 2,85 2,84 0,01 27,93 16,28 1,88 9,77 69,21 25,44 19,02 14,13 10,63 100
2008 2,82 2,81 0 27,26 15,96 1,75 9,55 69,92 25,92 19,08 14,63 10,29 100
Tahun 2009 2,79 2,79 0 26,2 14,95 1,71 9,54 71,01 26,85 19,63 13,85 10,67 100
2010 2,67 2,67 0 26,45 14,97 1,7 9,78 70,87 26,92 18,95 14,27 10,72 100
2011 2,5 2,5 0 26,57 14,38 1,69 10,5 70,92 25,92 19,02 15,11 10,88 100
3
Berdasarkan Tabel 1.1 dapat diketahui bahwa sektor tersier selama kurun waktu tahun 2007 – 2011 mendominasi perekonomian di Kota Medan dengan rata-rata kontribusi 70.386 persen (terbesar berasal dari sektor perdagangan, hotel dan
restoran).
Tentunya
bagi
kalangan
pelaku
bisnis
di
sektor
ini,
mempertahankan nilai-nilai budaya relatif dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Sebagai tambahan, kontradiksi dengan tren pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik ini, Ikatan Ahli Perencana (IAP) Indonesia melakukan survei livable city terhadap kota-kota besar di Indonesia pada Tahun 2009 dan 2011. Livable city adalah sebuah lingkungan dan suasana kota yang nyaman sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat untuk beraktivitas yang dilihat dari berbagai aspek baik aspek fisik (tata ruang, lingkungan, transportasi, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan dan infrastruktur) serta aspek non-fisik (ekonomi, kemanan dan sosial-budaya). Kota Medan bertahan pada peringkat terbawah selama kurun waktu tahun 2009 – 2011 dengan capaian hanya sebesar 52,28 persen dan 46,67 persen. Kondisi tersebut bahkan lebih buruk dari capaian Kota Jakarta yaitu sebesar 50,71 persen. Hasil survei secara lengkap ditampilkan pada Tabel 1.2 berikut. Tabel 1.2 Most Livable City Index Kota-Kota di Indonesia Tahun 2009 dan 2011 (Persen) No 1 2 3 4 5 6 7
Kota Yogyakarta Denpasar Makassar Manado Surabaya Semarang Banjarmasin
Index Tahun 2009 65,34 NA 56,52 59,9 53,13 52,52 52,61
Index Tahun 2011 66,52 63,63 58,46 56,39 56,38 54,63 53,16
4
Index Tahun 2009 8 Batam NA 9 Jayapura 53,86 10 Bandung 56,37 11 Palembang NA 12 Palangkaraya 52,04 13 Jakarta 51,9 14 Pontianak 43,65 15 Medan 52,28 Sumber: Ikatan Ahli Perencana, 2013 No
Kota
Index Tahun 2011 52,6 52,56 52,32 52,15 50,86 50,71 46,93 46,67
Snapshot sederhana dan aktual mengenai persepsi warga kota yang tergambarkan dalam index livable city tersebut menunjukkan bahwa Kota Medan khususnya masih jauh dari kondisi ideal sebagai kota nyaman dan di masa depan akan semakin tidak nyaman apabila tidak ada tindakan berani, kreatif dan progresif dari para pemimpin kota. Padahal antara tahun 1920 – 1930-an, Kota Medan telah menjadi kota perdagangan yang indah dan jaya dengan sebutan “Parijs van Sumatera”. Sisa-sisa dari wujud nyata julukan tersebut masih terekam dalam wujud fisik bangunan-bangunan yang berdiri kokoh hingga kini dan telah berumur lebih dari setengah abad bahkan beberapa bangunan telah berumur lebih dari seratus tahun. Bersama bangunan-bangunan tersebut terekam sejarah perkembangan Kota Medan, meskipun sebagian dari bangunan-bangunan tersebut telah dirobohkan. Pada Tahun 2013 terdapat sebanyak 175 hotel di Kota Medan dengan ratarata tingkat pertumbuhan sebesar 4,2 persen/tahun (BPS Kota Medan, 2013), seharusnya Kota Medan mampu menarik orang untuk stay di Kota Medan. Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata tingkat okupansi hotel tidak lebih dari 50 persen dengan rata-rata lama kunjungan wisatawan hanya 1,67 hari (bandingkan dengan rata-rata lama menginap wisatawan di Indonesia menurut
5
BPS Nasional yaitu 7.84 hari pada Tahun 2011 dan 7.70 hari pada Tahun 2012). Angka yang relatif kecil bagi sebuah kota yang bertumpu pada perkembangan sektor tersier. Tabel 1.3 Tingkat Okupansi dan Lama Tamu Menginap (Stay Overnight) Hotel di Kota Medan Tingkat Okupansi (persen) 2008 51,26 2009 47,76 2020 51,19 2011 53,81 2012 52,34 Rata-rata 51,272 Sumber: BPS Kota Medan, 2013 Tahun
Lama menginap Tamu Medan (hari) NA 1,61 1,51 1,85 1,71 1,67
Kondisi tersebut diatas pada akhirnya mengakibatkan Kota Medan hanya dijadikan sebagai “kota transit” bagi kalangan wisatawan karena belum menemukan objek dan daya tarik wisata yang menarik di Kota Medan. Wisatawan dalam hal ini menggunakan definisi dari International Union of Office Travel Organization (IUOTO) dan World Tourism Organization (WTO) yang juga digunakan oleh BPS, di mana wisatawan adalah seseorang atau sekelompok orang yang melakukan perjalanan ke sebuah atau beberapa negara di luar tempat tinggal biasanya atau keluar dari lingkungan tempat tinggalnya untuk periode kurang dari 12 bulan dan memiliki tujuan untuk melakukan berbagai aktivitas wisata (leisure dan pleasure) atau tanpa bermaksud memperoleh penghasilan di tempat yang dikunjungi. Beberapa objek wisata Kota Medan yang tercatat oleh BPS adalah Museum Perjuangan, Museum Rahmad, Taman Margasatwa, Taman Budaya, Istana Maimun dan Mesjid Raya Kota Medan. Padahal dengan seringnya Kota Medan menjadi tujuan MICE seharusnya Kota Medan memiliki potensi pasar
6
pariwisata yang cukup baik. Namun hal ini tidak termanfaatkan dengan baik karena potensi wisatawan tersebut lebih memilih untuk melakukan wisata pada objek dan daya tarik wisatawan yang terletak di kota dan kabupaten berdekatan dengan Kota Medan antara lain Kabupaten Tapanuli Utara (Danau Toba dan Pulau Samosir), Kabupaten Langkat (Bukit Lawang dan Tangkahan), Kabupaten Karo (Berastagi, Air Terjun Sipiso-piso dan Bukit Gundaling) serta beberapa objek wisata menarik lainnya. Kekayaan heritage berupa bangunan bernilai sejarah yang berpotensi menarik wisatawan justru tidak terkelola dengan baik. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, 10 dari 42 bangunan bernilai sejarah telah beralih fungsi atau bahkan dihancurkan. Padahal menurut Kearns dan Philo (1993), kemungkinan promosi sebagai bagian dari pemasaran daerah juga bisa dilakukan melalui seni, festival dan daya tarik kebudayaan. Hal ini juga sudah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Trueman et al. (2004) bahwa city of Bradford di Inggris berhasil melakukan rebranding yaitu mengubah image dari sebuah kota industri yang kotor dan tua melalui kekayaan heritage yang dikombinasikan dengan ide-ide baru dan kreativitas. Namun jika Kota Medan ingin melakukan rebranding seperti apa yang dilakukan oleh city of Bradford melalui pemanfaatan heritage bukanlah perkara mudah. Penyebabnya adalah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Hatz dan Schultz (2001), bahwa penciptaan brand sebuah kota akan sangat sulit karena merujuk pada interaksi tiga variabel yaitu visi, budaya dan image yang perlu disejajarkan dalam rangka menciptakan brand yang kuat. Akan tetapi kota dengan sebuah new brand yang terintegrasi dengan framework
7
destinantion branding dan strategi pengembangan pariwisata telah terbukti memiliki kontribusi besar terhadap aliran kunjungan wisatawan, investasi dan menarik orang untuk tinggal menjadi penduduk tetap. City branding menurut pendapat berbagai ahli merupakan tindakan menjual image kota yang telah terbentuk. Setelah kota memiliki image maka branding selanjutnya berperan untuk menumbuhkan, mempengaruhi persepsi orang lain mengenai image kota itu sendiri. Dengan kata lain, upaya menciptakan kota sesuai dengan brand yang dipilih karena city branding berfokus pada menciptakan persepsi orang mengenai kota dan membentuk kota seperti image yang ditetapkan dengan upaya-upaya tertentu. 1.1.1 Studi Kasus Singapura: “Uniquely Singapore” Singapura adalah salah satu negara dengan pertumbuhan sektor pariwisata sangat tinggi. Keterbatasan budaya dan sumber daya alam yang dimiliki menyebabkan pertumbuhan tersebut tidak hanya diperoleh melalui investasi dan pembangunan mega proyek saja, melainkan peran marketing yang cukup besar (Henderson, 2007). Dimulai pada tahun 1970-an, Singapura menggunakan brand “Instan Asia” yang menunjukkan bahwa pengunjung dapat menikmati budaya utama Asia di multiras Singapura dan kemudian diganti menjadi “Surprising Singapore” pada 1980-an yang menjanjikan perpaduan eksotis oriental dan gaya barat modernitas. Karakteristik kemudian terus berganti menjadi “New AsiaSingapura” yang diperkenalkan pada akhir 1990-an untuk mengungkapkan bagaimana Singapura menginginkan dunia melihat apa yang terjadi pada negaranya di akhir abad ke-20.
8
Pentingnya memiliki image tujuan yang kuat telah disorot dalam beberapa tahun terakhir karena persaingan meningkat dan beberapa krisis ekonomi yang menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Singapura masih belum stabil. Hal ini kemudian mendorong peninjauan kembali terhadap brand “New Asia Singapura” pada awal abad ke-21. Titik inilah yang kemudian mendorong terjadinya revolusi brand di Singapura. Pada pertengahan tahun 2003, Pemerintah Singapura melakukan upaya penggantian brand tersebut menjadi sebuah brand baru yang lebih kredibel, menarik, berbeda dan universal. Melakukan dialog bersama 400 stakeholder kunci, terdiri dari perwakilan pemerintah, mitra industri di dalam dan di luar negeri, wisatawan dan investor serta warga Singapura, hasilnya adalah “Uniquely Singapura”. Brand baru ini menekankan pada diversity, kosmopolitan, infrastruktur kelas dunia, delivery (akses, efisien, ramah, aman), experience (nyaman,
bebas
stres,
welcome)
dan
benefit
(terpenuhi,
memuaskan,
menyenangkan, bermanfaat/memperkaya). Point-point tersebut yang kemudian menentukan atribut brand kosmopolitan, modern, keragaman budaya, kualitas efisien dan campuran keragaman tersebut pada sebuah lingkungan hidup berdampingan yang nyaman. 1970-an “Instant Asia”: Budaya utama asia pada multiras yang dimiliki Singapura
1980-an “Surprising Singapore”: Perpaduan eksotis oriental dan modernitas
1990-an “New Asia Singapore”: Relaksasi peraturan demi kenyamanan
2003-an “Uniquely Singapore”: kosmopolitan, modern, diversity, efisien dan kenyamanan
Gambar 1.1 Milestone City Branding Singapura
9
“Uniquely Singapore” resmi digunakan pada bulan Maret 2004. City branding tersebut kemudian terintergasi dengan program lainnya dan tertuang dalam strategi pariwisata yang dikenal dengan Tourism 2015 (T2015). Hal ini merupakan sinyal kuat bahwa Pemerintah Singapura berniat untuk mengubah sektor pariwisata menjadi pendorong ekonomi utama bagi Singapura. Target yang ingin dicapat adalah memperoleh penerimaan 3 kali lebih besar menjadi S$30.000.000.000, kedatangan pengunjung dua kali lipat menjadi 17 juta orang dan menciptakan 100.000 lapangan pekerjaan yang berkaitan dengan pariwisata pada akhir tahun perencanaan yaitu tahun 2015. Hasilnya adalah pada tahun 2013 jumlah kedatangan wisatawan ke Singapura mendekati angka target, tepatnya 15.567.923 wisatawan atau meningkat sebesar 154,10 persen dari awal brand dilaunching yaitu tahun 2003 dengan total penerimaan dari sektor pariwisata sebesar S$23.000.000.000. Meskipun secara kuantitatif masih diperlukan studi yang memisahkan dampak spesifik dari marketing akan tetapi setidaknya peningkatan secara signifikan terjadi setelah adanya launching city brand “Uniquely Singapore”, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.4 dan Gambar 1.2 berikut. Tabel 1.4 Jumlah Kedatangan Internasional dan Lama Kunjungan Wisatawan di Singapura Tahun 1966 – 2013 Tahun 1966 1970 1980 1990 2000 2001
Jumlah (orang) 128.670 579.284 2.562.085 5.332.654 7.691.000 7.522.000
Lama Kunjungan (hari) NA NA NA NA 3,2 3,2
10
Jumlah Lama Kunjungan (orang) (hari) 2002 7.567.112 3,1 2003 6.126.569 3,2 2004 8.328.118 3,2 2005 8.940.000 3,4 2006 9.751.141 3,4 2007 10.284.545 3,6 2008 10.116.054 4 2009 9.682.690 4 2010 11.641.701 4 2011 13.171.303 3,7 2012 14.496.091 3,5 2013 15.567.923 3,7 Sumber: Singapore Tourism Board, 2014 Tahun
Jumlah kedatangan internasional
Gambar 1.2 Jumlah Kedatangan Internasional di Singapura Tahun 1966 – 2013 (orang) Sumber: Singapore Tourism Board, 2014
1.1.2 Studi Kasus George Town, Malaysia: “City of Living Culture” Kota Sejarah George Town, Penang (Malaysia), dijuluki sebagai “the city of living culture”, menyusun strategi untuk mewujudkan kotanya sesuai dengan brandnya. Fokus Pariwisata di Kota bersejarah George Town adalah heritage dan
11
local wisdom, yang merupakan kulminasi dari penjajahan masa lalu dan kekayaan sejarah. Kota Sejarah George Town memfokuskan upaya konservasi pada bangunan pra-perang. Upaya pemerintah untuk menempatkan kota tua atau pusat bersejarah pada world heritage list. Lokasi tersebut meliputi area seluas kurang lebih 259,38 ha yang terdiri dari peninggalan kota pada abad ke-18 dengan konsep water front city dan lingkungan multietnis. Menurut UNESCO lokasi tersebut sebagai sebuah contoh luar biasa dari permukiman multibudaya tradisional yang paling mewakili budaya toleransi, perdamaian, keragaman, konflik dan kontinuitas dalam menghadapi modernisasi dan perubahan sosial. George Town, dengan penduduk yang terdiri dari Cina, India dan Melayu mengklaim
bahwa
kotanya
telah
menciptakan
“living
culture”
dalam
keberagaman tersebut. Budaya lokal, campuran Cina, India, Jawi Pekan dan Melayu (bahasa Arab setempat, Rawa, Minang, Achinese, dan keturunan Jawa) adalah
potensi yang kemudian dijadikan sebagai selling point. Meskipun
demikian, sumber daya budaya analog dengan "bahan baku" dalam proses produksi, perlu diolah lebih lanjut untuk kemudian dapat menjadi produk wisata yang dapat dijual. Jadi image dibangun dari sebuah komunitas dengan kelompok etnis yang berbeda tetapi mampu hidup dalam keharmonisan. The Harmony Trail dengan koleksi bangunan bersejarah dari Cina, India dan Melayu adalah contoh dari keharmonisan tersebut. Pemerintah dalam upaya menempatkan George Town pada daftar warisan dunia UNESCO juga mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan tersebut dengan arsitektur dan perencanaan kota.
12
Proses penciptaan image adalah proses selektif. George Town memilih sejarah kolonial sebagai image dan kemudian diwakilkan melalui brand “City of living culture”. Heritage dipilih sebagai produk pariwisata yang inherent bersama etnis dan budaya (bahasa/dialek, sistem kepercayaan, ritual dan gaya hidup). George Town telah berhasil menciptakan image yang kuat, meskipun tetap menjual produk melalui promosi dan partisipasi dari sektor publik dan swasta. Kota Bersejarah George Town telah berhasil memanfaatkan keanekaragaman budaya dan heritage. Sebagai modal pembangunan masa depan, image kota terus dipertahankan melalui konservasi dan pelestarian. Upaya bersama antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat setempat sangat penting untuk menjamin keberlanjutan Kota Bersejarah George Town yang bertumpu pada industri pariwisata heritage. Jumlah wisatawan lokal dan mancanegara
Tahun
Gambar 1.3 Jumlah Wistawan Lokal dan Mancanegara di Penang, Malaysia Tahun 2005 – 2012 (orang) Sumber: Kementerian Pariwisata Malaysia dan Penang Institute, 2014
Berdasarkan Gambar 1.3, dapat dilihat tren meningkat untuk jumlah kedatangan wisatawan internasional dan lokal selama bertahun-tahun. Pada tahun 2008, jumlah kunjungan ke George Town mencapai 6.310.000 wisatawan setelah
13
George Town secara resmi diakui sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO di tahun tersebut. Ledakan kunjungan wisatawan dengan jumlah lebih dari 3 kali lipat (320 persen) ini kemudian melambat tetapi tetap stabil di antara 5.96 dan 6.09 juta wisatawan hingga tahun 2012. Terdapat titik balik pada tahun 2009, ketika jumlah wisatawan internasional mulai melebihi pengunjung lokal. Sejak itu, persentase tetap konstan, mencapai proporsi yang hampir sama antara wisatawan lokal dan internasional. Helbrecht (1994: 528), membahas relevansi filosofi pemasaran kota dan metoda bagi pemerintah daerah bahwa pemasaran kota memungkinkan peningkatan
level
kualitas
kebijakan
pembangunan
daerah
dalam
hal
komprehensif, kreativitas dan fleksibilitas. Sumber daya baru dalam bentuk ide, modal dan pengetahuan lokal yang dimobilisasi untuk kebijakan lokal. Berdasarkan cara tersebut, pemasaran kota memungkinkan pendekatan strategis untuk menciptakan kerjasama publik dan sektor swasta. City branding menyiratkan perubahan yang signifikan dari perspektif pemasaran yang menyeluruh. Pemasaran adalah sebuah proses yang dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai tujuan yang ditetapkan oleh kota, karena untuk membahas
pemasaran
kota
hanya
dalam
hal
ekonomi
adalah
untuk
menyederhanakan maknanya (Paddison, 1993). City branding dipahami sebagai sarana baik untuk mencapai keunggulan kompetitif dalam rangka meningkatkan investasi masuk dan pariwisata, dan juga untuk mencapai pembangunan masyarakat, memperkuat identitas lokal dan identifikasi warga dengan kota serta
14
mengaktifkan semua kekuatan sosial untuk menghindari pengucilan sosial dan kerusuhan. Saat ini, aktivitas pemasaran dianggap sebagai hal yang cukup penting oleh banyak kalangan pemerintahan, tidak terkecuali Pemerintah Kota Medan. Pada bulan Januari 2012, bersamaan dengan penetapan Kota Medan sebagai Tahun Kunjungan Wisata (Visit Medan Year 2012) oleh Kementerian Budaya dan Pariwisata Republik Indonesia, Kota Medan secara resmi menggunakan brand logo beserta tag line “This is Medan”, sebagai city branding yang bertujuan menarik minat wisatawan dan investasi di Kota Medan. Meskipun belum ada peraturan formal yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam menetapkan logo dan tag line tersebut sebagai city branding Kota Medan, namun aktivitas promosi pariwisata di Kota Medan menggunakan logo dan tag line tersebut sebagai salah satu perangkatnya.
Gambar 1.4 City Branding Kota Medan Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan, 2014
15
Arti dan makna brand logo tersebut adalah sebagai berikut.
This is Medan
Emoticon smile berwarna merah
Payung Agung
This is Medan merupakan penterjemahan kedalam versi Bahasa Inggris dari kalimat; Ini Medan, Bung!!. Kalimat tersebut merupakan image yang sudah melekat bagi Kota Medan sejak era tahun 1970-an, akan tetapi berasosiasi negatif karena berdekatan dengan makna arogansi/superior/premanisme yang terjadi di Kota Medan. Maksud This is Medan tanpa kata “bung” bertujuan untuk menghilangkan image negatif tersebut. Jadi ingin menunjukkan kepada dunia luar bahwa telah terjadi relaksasi dalam aspek kemanan dan kenyamanan pada dunia luar (softening). Seluruh penduduk Kota Medan siap mendukung perubahan yang dimaksudkan oleh tag line: This is Medan yang diwakilkan dengan tanda senyum. Masyarakat Kota Medan akan menyambut baik semua orang yang akan berkunjung ke Kota Medan. Payung agung dalam Kebudayaan Melayu adalah sebagai tanda kebesaran dan keagungan seorang raja sebagai pengayom masyarakat yang dipimpinnya. Dalam brand logo tersebut payung agung adalah sebagai lambang sapta pesona yang memayungi industri pariwisata di Kota Medan. Sapta Pesona sendiri merupakan merupakan sebutan bagi 7 unsur pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata di Indonesia, yang terdiri dari: 1. aman; 2. tertib; 3. bersih; 4. sejuk; 5. indah; 6. ramah; 7. kenangan.
Tujuan Pemerintah Kota Medan menciptakan city branding tersebut secara teori mengadopsi makna dan filosofis pemasaran daerah (marketing places) sebagai instrumen penting untuk memperkuat perekonomian daerah dan daya saing global. Kartajaya et al. (2002: 177) mendefinisikan pemasaran daerah/kota sebagai perencanaan dan perancangan suatu daerah/kota agar mampu memenuhi dan memuaskan keinginan dan harapan “pasar targetnya” yang meliputi tiga pihak, yaitu:
16
1.
penduduk dan masyarakat daerah tersebut;
2.
pengunjung, pengusaha, investor dari dalam dan luar daerah; dan
3.
pengembang dan event organizers serta pihak-pihak lainnya yang membantu meningkatkan daya saing daerah tersebut. Dalam tiga dekade terakhir, jumlah kota yang menggunakan metoda
pemasaran terus meningkat disebabkan oleh persaingan intensif untuk memperoleh lebih banyak investasi, penerimaan dari sektor pariwisata dan penduduk (Kotler et al., 1999: 21). Kavaratzis (2004) berpendapat bahwa dalam konsep pemasaran kota (city marketing) akan sangat tergantung dari bagaimana membangun, mengkomunikasikan dan mengatur image kota tersebut. Objek dari pemasaran kota adalah image kota yang pada akhirnya akan menjadi starting point dalam mengembangkan city branding. Beberapa contoh kota beserta brand yang dimiliki antara lain Paris dengan keromatisannya, Milan sebagai Kota Fashion,
Washington
dikenal
dengan
Kota
Power,
Tokyo
dengan
kemodernannya, Lagos sebagai Kota Korupsi, Barcelona dengan kebudayaannya, Rio sebagai kota fun (Anholt, 2006). Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan pada dasarnya adalah mengikuti tren yang saat ini berkembang pada kota-kota besar lainnya seperti “Malaysia the Truly Asia” sebagai brand nasional dan “City of the Future” pada konteks Kota Kuala Lumpur. Sementara untuk konteks Indonesia sendiri seperti Bali dengan “Bali: Shanti, Shanti, Shanti”, Yogyakarta dengan “Jogja Never Ending Asia”, Solo dengan “Solo the Spirit of Java”, Semarang dengan “Semarang the Beauty of Asia” dan Jawa Tengah dengan “Passion Strength
17
Herritage”. Penggunaan brand logo yang disertai dengan tag line pun memiliki kemiripan yaitu menggunakan Bahasa Inggris dengan harapan brand logo dan tag line yang diciptakan memiliki cakupan internasional. Intinya adalah satu, bahwa ide di balik branding sebuah kota adalah untuk melakukan persuasi kepada customer atau target pasar bahwa sebuah kota mampu memenuhi kebutuhan lebih baik dari kompetitornya. Brand yang simple dan naratif memiliki pengaruh besar terhadap keputusan seseorang untuk mengunjungi kota, membeli barang dan jasa, melakukan kegiatan bisnis atau bahkan berpindah tempat tinggal (Anholt, 2006). Berdasarkan hal tersebut, menjadi penting bagi Kota Medan untuk membedakan dirinya dari kota-kota lain, sehingga generasi apapun akan mempromosikan kekuatan dan karakteristik unik yang dimiliki Kota Medan dan pada gilirannya dapat diakui dan diadopsi oleh masyarakat untuk menciptakan keberlanjutan Kota Medan sebagai kota yang bertumpu pada sektor tersier. Sebagai tambahan bahwa city branding tidak hanya bermanfaat dalam aspek ekonomi, akan tetapi juga berdampak pada budaya dan konservasi, sehingga city brand yang kuat diharapkan akan memperbaiki tatanan dan lingkungan kehidupan Kota Medan. Perbaikan pada persepsi orang tentang brand sebuah kota membantu dalam peremajaan kota (Trueman et al., 2004). Namun apakah This is Medan sebagai city branding telah berjalan dan dilaksanakan sesuai dengan tujuannya sebagaimana kisah sukses city branding Singapura dan George Town akan menjadi sebuah pertanyaan yang menarik untuk dijawab, karena apapun yang dijadikan sebagai sebuah brand harus mampu dilaksanakan secara fokus, sistematik dan menarik agar komunitas bisnis, wisatawan, pengunjung dan
18
penduduk lokal tetap setia kepada Kota Medan. Sebuah city branding yang seharusnya tidak memiliki disonansi antarstakeholder.
1.2 Keaslian Penelitian Literatur dan penelitian empiris terhadap city branding bisa dikatakan masih sedikit jumlahnya, saat ini fokus literatur hanya pada tataran perbaikan secara konseptual. Fatimah (2010) melakukan penelitian tentang potensi kuliner (tahu bakso) sebagai city branding Kabupaten Semarang. Penelitian tersebut memperkirakan
dampak
potensi
city
branding
terhadap
peningkatan
perekonomian Kabupaten Semarang bila dilihat dari pengaruh sektor industri kecil dan rumah tangga dalam meningkatkan tenaga kerja. Studi ini menyimpulkan bahwa tahu bakso dinilai potensial sebagai city branding Kabupaten Semarang berdasarkan analisis brand association dan perceived quality. Selain itu, potensi city branding tersebut dinilai dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan tenaga kerja di sektor industri kecil dan rumah tangga. Raubo (2010) melakukan penelitian tentang city branding dan dampaknya pada daya tarik kota bagi external audiens. Untuk mengetahui dampaknya, Raubo (2010) menggunakan multiple regresi untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kekuatan city branding terhadap 2 indikator yaitu pariwisata dengan jumlah kunjungan wisatawan yang menginap dan estimasi penanaman modal asing dalam rentang waktu 1 tahun. Penelitian dilakukan terhadap 29 negara di Eropa di mana kekuatan branding masing-masing kota menggunakan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Saffron European City Brand
19
Barometer. Penelitian dilakukan untuk menguji hipotesis apakah kekuatan city branding mempengaruhi daya tarik sebuah kota menurut external audiens, dengan kata lain semakin tinggi nilai kekuatan city brand indexnya maka akan semakin besar pula jumlah kunjungan wisatawan bermalam dan penanaman modal asing di kota tersebut. Hasilnya adalah tidak satu pun hipotesis yang ditolak, artinya hubungan antara kekuatan city branding dengan jumlah kunjungan wisatawan dan nilai investasi adalah signifikan. Deffner dan Metaxas (2006) menyusun rencana contoh pemasaran Kota Nea Ionia, Yunani melalui implementasi branding. Isi makalah berupa panduan rencana pemasaran tentang bagaimana image multidimensi Kota Nea Ionia secara efektif dapat dipromosikan. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa pentingnya mengembangkan branding atau brand kota untuk meningkatkan statusnya sebagai tujuan wisata, lokasi usaha dan perumahan. Branding berkontribusi terhadap pembangunan identitas lokal. Branding berhubungan dengan nilai ekonomi dan simbolis, kota-kota harus memiliki kedalaman, orisinalitas dan karakter yang berbeda melalui pilihan materi, keragaman dan ciri menonjol. Anholt (2006) dan Hildreth (2008) keduanya sama-sama melakukan pengukuran terhadap kekuatan dari sebuah city brand. Anholt (2006) meneliti 30 kota di dunia dan menyusun ranking kota-kota tersebut berdasarkan brandnya yang dikenal dengan Anholt-GMI City Brand Index. Pengukuran yang dilakukan oleh Anholt didasarkan kepada 6 komponen, yaitu: the presence, the place, the potential, the pulse, the people dan the prerequisites. Hildreth (2008) juga
20
melakukan studi untuk mengetahui kekuatan city brand. Perbedaannya, studi dilakukan dengan mengukur kekuatan aset dan kekuatan city brand dalam rangka mencari korelasi apakah aset memperkuat brand sebuah kota. Studi ini menilai kekuatan city brand berdasarkan persentase kekuatan aset. Secara ringkas studi-studi empiris terdahulu terkait city branding disajikan pada Tabel 1.5 berikut. Tabel 1.5 Rangkuman Studi-studi Empiris Terdahulu terkait City Branding No 1.
Peneliti Kavaratzis (2004)
2.
Anholt (2006)
3.
Henderson (2007)
4.
Hildreth (2008)
5.
Riyadi (2009)
Metoda Pendekatan pengembangan konsep corporate branding dengan beberapa modifikasi yang dapat diterapkan dalam city branding. Pengukuran yang dilakukan oleh Anholt didasarkan kepada 6 komponen, yaitu: the presence, the place, the potential, the pulse, the people dan the prerequisites. Sebanyak 17.502 responden disurvei secara on-line untuk melakukan penilaian terhadap 30 kota di dunia berdasarkan 6 komponen tersebut. Pendekatan studi kasus dengan mengumpulkan data sebanyak mungkin melalui interview kepada siapa saja yang terlibat dalam branding. Sebuah metoda yang sering digunakan oleh bidang periklanan sektor pariwisata. Mengukur kekuatan aset dan kekuatan city brand dalam rangka mencari korelasi apakah aset memperkuat brand sebuah kota. Studi ini menilai kekuatan city brand berdasarkan persentase kekuatan aset. Penelitian dilakukan dengan desk study untuk mengetahui seberapa pentingkah brand bagi sebuah kota dan bagaimana merumuskan brand yang tepat untuk suatu daerah.
Hasil Penggunaan city branding dan efek potensialnya terhadap penduduk kota yang didasarkan pada kombinasi pengukuran pemasaran kota dan komponen manajemen city branding. Ranking kota berdasarkan brand-nya
Keunikan Singapore dibanding negara tentangganya di Asia Tenggara memang dianggap sebagai kekuatan dalam sektor pariwisata. Brand yang cukup kuat pada kenyataannya akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan wisatawan. Ranking kota berdasarkan brand-nya.
Merumuskan brand suatu daerah agar benar-benar dapat dibedakan dari daerah lain sebagai salah satu strategi promosi untuk meraih keunggulan bersaing baik tingkat lokal, regional bahkan internasional. Untuk membangun brand yang kuat diperlukan berbagai kajian dan analisa yang mendalam selain juga kreatifitas.
21
Lanjutan Tabel 1.5 No 6.
Peneliti Fatimah (2010)
7.
Deffner dan Metaxas (2006)
8.
Raubo (2010)
Metoda Menganalisis potensi tahu bakso sebagai city branding dan pengarunya terhadap peningkatan tenaga kerja di sektor industri kecil dan rumah tangga. Studi ini dilakukan dengan menggunakan metoda deskriptif untuk menganalisis konsumen dan analisis korelasi pearson serta metoda forecasting untuk melihat pengaruh potensi city branding terhadap perekonomian daerah. Penciptaan dan pelaksanaan kemasan/packaging, menghitung karakter multidimensi Nea Ionia sebagai produk akhir.
Multiple regresi untuk menguji hipotesis apakah terdapat hubungan antara kekuatan city branding sebuah kota dengan jumlah kunjungan wisatawan bermalam dan nilai investasi asing.
Hasil 1. Tahu bakso berpotensi menjadi city branding berdasarkan hasil analisis brand awareness yang menduduki tingkat top of mind. 2. Potensi tahu bakso sebagai city branding akan meningkatkan tenaga kerja di sektor industri kecil dan rumah tangga di Kab. Semarang.
Produk akhirnya adalah image Kota Nea Ionia yang merupakan gabungan unsur tradisional dan modern serta mempertimbangkan strategi tertentu yang ingin dikembangkan Nea Ionia. Produk akhir kota tersebut didasarkan pada pariwisata dengan tiga dimensi sebagai berikut: kegiatan budaya, olahraga dan kuliner . Hipotesis diterima artinya model tersebut signifikan.
Pada bagian latar belakang, disampaikan bahwa dibutuhkan sebuah city branding yang jelas dan konsisten, serta dapat diterima oleh semua pemangku kepentingan atau stakeholder. Jika hal ini tercapai maka akan berkontribusi besar terhadap kekuatan branding sebuah kota, begitu juga sebaliknya. Dalam konteks Kota Medan, aset heritage yang memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan menjadi city branding diyakini akan membawa manfaat bagi kota dalam jangka panjang. Namun bagi stakeholder lainnya, mempertahankan heritage dianggap tidak lagi relevan terhadap perkembangan Kota Medan saat ini. Berdasarkan perbedaan persepsi tersebut dibutuhkan sebuah penelitian untuk
22
mengidentifikasi persepsi stakeholder dalam rangka mengatasi kesenjangan kinerja brand yang sudah ditetapkan. Secara khusus faktor-faktor mendasar yang dapat membedakan penelitian ini dengan sebelumnya adalah: 1.
penelitian dilakukan secara deskriptif untuk memberikan gambaran tentang persepsi masing-masing stakeholder terhadap city branding dan kinerja city branding;
2.
penelitian menggunakan Uji AC2ID (Balmer, 2001) untuk mengidentifikasi konflik antara persepsi stakeholder dan inkonsistensi strategi city branding;
3.
penelitian empiris tentang city branding pertama untuk lokasi Kota Medan.
1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa tujuan Pemerintah Kota Medan menetapkan logo beserta tag line “This is Medan” adalah sebagai city branding atau sebagai komunikasi sekunder menurut kerangka teoritis membangun city branding (Kavaratzis, 2004). Sejatinya, city branding tersebut akan memperkuat persepsi positif Kota Medan yang berkaitan dengan tinggal, berkunjung dan investasi. Sebagai kota yang bertumpu pada sektor tersier, city branding penting mengingat rendahnya tingkat okupansi dan buruknya penilaian masyarakat terhadap kenyamanan Kota Medan (most liveable city index) serta yang tidak kalah pentingnya adalah penghancuran secara massive terhadap aset kota yaitu heritage menyebabkan Kota Medan kehilangan identitasnya. Perpaduan ketiga hal tersebut akan mengancam keberlanjutan perekonomian Kota Medan. Diharapkan city branding mampu bekerja secara opimal untuk memperbaiki kondisi tersebut, sebagaimana tujuannya.
23
Fokus penelitian dan literatur yang selama ini adalah lebih kepada bagaimana membangun sebuah brand tersebut. Belum banyak literatur yang melakukan studi untuk mengidentifikasi dan memberikan gambaran tentang bagaimana kinerja city branding. Oleh karena itu, hal ini membuat menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian tentang city branding dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1.
Bagaimana gambaran kinerja city branding (brand performance), apakah sesuai dengan tujuannya yaitu menjadikan Kota Medan lebih atraktif untuk menarik kunjungan wisatawan dan berinvestasi?
2.
Apakah terjadi konflik atau disonansi yang disebabkan perbedaan persepsi antarstakeholder terhadap city branding dalam rangka mewujudkan city branding ideal bagi Kota Medan?
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1.
menganalisis perkembangan jumlah kunjungan wisatawan dan nilai investasi sebelum dan sesudah ditetapkannya city branding. Hal ini dilakukan untuk memberikan deskripsi terhadap kinerja city branding (brand performances) Kota Medan;
2.
mengidentifikasi konflik atau disonansi persepsi antarstakeholder terhadap city branding dalam rangka mewujudkan city branding ideal bagi Kota Medan.
24
1.5 Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian maka manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah: 1.
memperkaya khasanah studi empiris bagi kalangan akademisi dalam memahami implementasi ilmu pemasaran pada sektor publik khususnya marketing places atau pemasaran daerah;
2.
sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota Medan dalam perencanaan dan pengambilan kebijakan khususnya dalam mengoptimalkan kinerja city branding
sebagai
akibat
adanya
konflik
atau
disonansi
persepsi
antarstakeholder.
1.6 Sistematika Penulisan Sistematika dalam penyusunan tesis ini adalah sebagai berikut: Bab I adalah pengantar yang menguraikan tentang latar belakang masalah penelitian, keaslian penelitian, manfaat dan tujuan dan sistematika penulisan. Bab II adalah studi literatur yang menguraikan tentang tinjauan pustaka dan teori yang terkait dengan penelitian, studi empiris berupa rangkuman best practice yang dijadikan sebagai benchmarking dalam penelitian. Bab III adalah metoda riset yang menguraikan pendekatan penelitian, data dan sumber data serta alat-alat analisis yang digunakan untuk menemukan jawaban atas permasalahan dan tujuan penelitian. Bab IV adalah temuan dan analisis data yang menguraikan hasil penelitian dan pembahasan. Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan, saran dan keterbatasan penelitian.
25