BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam perspektif administrasi publik, kemitraan merupakan isu yang mengemuka seiring dengan populernya paradigma governance dalam tata kepemerintahan. Tata kepemerintahan yang baik (good governance) dapat terwujud apabila terjadi hubungan yang sinergis dan konstruktif antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Paradigma governance menekankan pada tiga dimensi pokok yaitu: (1) dimensi kelembagaan yang menekankan pada peningkatan keterlibatan aktor-aktor non pemerintah (multistakeholder) dalam mengelola masalah publik; (2) dimensi penggunaan kekuasaan yang menekankan pada adanya distribusi penggunaan kekuasaan kepada multistakeholder; dan (3) dimensi proses yang menekankan pada keterlibatan semua unsur dalam merespon persoalan publik (Dwiyanto, 2010). Oleh karena itu, persoalan publik bukan lagi menjadi monopoli pemerintah namun telah menjadi masalah dan tanggungjawab pemerintah, swasta dan masyarakat. Peran swasta dan masyarakat dalam pengelolaan taman nasional di Indonesia semakin mendapat perhatian. Hal ini ditandai dengan terjadinya pergeseran paradigma dalam pengelolaan taman nasional. Pada masa awal pembentukan taman nasional, tahun 1980-an, pengelolaan taman nasional menggunakan paradigma fortrees conservation. Paradigma yang diadopsi dari pengelolaan Taman Nasional Yellowstone Amerika Serikat ini menekankan pada pendekatan pengamanan (security approach) dengan bertumpu pada pemerintah sebagai institusi tunggal dalam pengelolaan. Kepentingan konservasi diletakkan di atas segala kepentingan termasuk kepentingan ekonomi dan sosial masyarakat yang berinteraksi dengan kawasan taman nasional. Memasuki tahun 1990-an, pengelolaan taman nasional bergeser pada
1
paradigma new conservation yaitu paradigma yang memadukan antara kepentingan konservasi dan pembangunan masyarakat lokal, terutama masyarakat yang berada di sekitar taman nasional. Pendekatan ini merupakan koreksi atas kegagalan pendekatan pengamanan yang tidak memperhitungkan dimensi sosial dan ekonomi masyarakat lokal atau masyarakat adat yang bergantung pada sumberdaya hutan. Menurut Pudyatmoko (2005) faktor yang mendorong terjadinya perubahan paradigma pengelolaan dari fortress conservation ke new conservation adalah timbulnya kesadaran bahwa keberhasilan konservasi jangka panjang hanya dapat dijamin bila ada peran aktif masyarakat lokal. Budaya dan pengetahuan masyarakat dapat dijadikan dasar pengelolaan yang komprehensif. Pada aspek kebijakan, pemerintah mulai memberikan perhatian yang serius terhadap bidang konservasi sumberdaya alam antara lain dengan terbitnya Undang-Undang No 5. Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menjadi acuan dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Pada tataran empiris pendekatan new conservation mulai diterapkan di beberapa taman nasional di Indonesia antara lain di Taman Nasional Kerinci Seblat melalui proyek Integrated Conservation and Development Program (ICDP), Taman Nasional Siberut dan Taman wisata Alam Ruteng melalui proyek Integrated Protected Areas System (IPAS). Dalam implementasinya, proyek-proyek ICDP melibatkan lembaga konservasi internasional seperti World Wild Fund (WWF), Conservation International (CI) dan The Nature Conservancy (TNC) dengan pendanaan dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Dunia dan USAID (Barber, dkk., 1997). Dari paradigma new conservation inilah muncul gagasan tentang kemitraan dalam pengelolaan taman nasional. Pengelolaan taman nasional dewasa ini menunjukkan tantangan yang semakin
2
kompleks. Hal ini ditandai oleh semakin meningkatnya intensitas konflik dalam taman nasional yang terutama sejak dimulai pada masa transisi pemerintahan orde baru ke orde reformasi (Wulan, dkk, 2004). Pada saat bersamaan, pemerintah selaku pengelola dihadapkan pada keterbatasan sumberdaya manusia, sarana prasarana, dan pendanaan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Untuk mengatasi keterbatasan dalam pengelolaan taman nasional salah satu kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah
melalui
kemitraan
yaitu
melalui
Peraturan
Menteri
Kehutanan
No.P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Peraturan tersebut telah membuka ruang bagi berbagai pihak untuk berperan serta dalam pengelolaan kawasan konservasi. Melalui kemitraan, kelembagaan pengelolaan akan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, sehingga tujuan pengelolaan dapat lebih mudah dicapai. Sebaliknya, kemitraan juga dibutuhkan untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi yang kondisinya rusak dengan kinerja pengelolaan yang jauh dari memadai. Pendekatan kemitraan diharapkan akan dapat mengurangi potensi negatif yang terjadi pada pengelolaan suatu kawasan konservasi (Putro, dkk, 2010). Namun demikian, implementasi kemitraan dalam pengelolaan taman nasional bukanlah sesuatu yang mudah dilaksanakan. Kemitraan dengan melibatkan banyak pihak dan kepentingan merupakan persoalan yang rumit. Kemitraan pada satu sisi memberikan banyak manfaat tetapi disisi yang lain implementasinya banyak dijumpai permasalahan.
Kemitraan
dapat
mendatangkan
manfaat
seperti
perbaikan
infrastruktur, perbaikan manajemen, pengakuan masyarakat lokal dan peran serta masyarakat, tetapi banyak persoalan yang muncul seperti hambatan birokrasi, pembagian peran dan prosedur yang tidak jelas (M.Rocha, L., & K.Jacobson, S.
3
(1998). Rumitnya proses dalam menjalin kemitraan menyebabkan hanya sedikit taman nasional yang berupaya mengembangkan pola kemitraan. Menurut Putro, dkk (2012) dari 50 taman nasional yang ada di Indonesia, baru sekitar 11 taman nasional (22%) yang mengambangkan pola kemitraan atau kolaborasi. Oleh karena terbatasnya pola kemitraan yang dikembangkan dalam pengelolaan taman nasional maka model kemitraan pengelolaan Taman Nasional Kutai menarik untuk dikaji. Taman Nasional Kutai adalah salah satu kawasan konservasi yang memiliki persoalan yang kompleks. Secara garis besar ada tiga isu krusial yang saat ini dihadapi dalam pengelolaan Taman nasional Kutai dewasa ini yaitu
adanya: (1)
adanya konflik ruang dan sumber daya alam; (2) kelembagaan dan tata kelola kawasan, dan (3) integrasi konservasi dalam pembangunan ekonomi (BTNK, 2010). Posisi geografis dan dinamika geopolitik disekitar Taman Nasional Kutai turut menjadi faktor kompleksnya persoalan pengelolaan tersebut. Secara geografis Taman Nasional Kutai berada pada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yaitu: berada diantara kota yang tengah giat membangun (Bontang dan Sangata) dan dikelilingi oleh perusahaan ekstraksi sumberdaya alam, seperti: pertambangan minyak dan gas (beserta industri turunannya), pertambangan batubara, dan perusahaan kehutanan seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman industri (HTI). Sebagai akibat dari kebijakan pembangunan dan perkembangan wilayah, Taman Nasional Kutai telah mengalami pengurangan luas yang drastis. Sejak ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam pada tahun 1932 oleh Pemerintah kolonial seluas 2 juta hektar, kawasan konservasi ini hanya tersisa 198.629 hektar atau kurang dari 10% dari luasan awal. Kondisi ini menempatkan Taman Nasional Kutai sebagai “pulau pelestarian” yang rentan terhadap kerusakan. Berdasarkan RAPPAM Assesment Report 2005, sebagaimana dikutip Supriatna (2008) menempatkan Taman
4
Nasional Kutai sebagai kawasan dengan tingkat ancaman dan tekanan paling tinggi diantara 40 taman nasional lain di Indonesia. Taman Nasional Kutai dibutuhkan untuk mendukung pembangunan ekonomi melalui fungsi-fungsi ekologisnya, tetapi juga rawan terhadap eksploitasi sumberdaya hutan seiring dengan meningkatnya kebutuhan sumberdaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada situasi yang demikian, pengelolaan tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Balai Taman Nasional Kutai selaku institusi yang diberi mandat pengelolaan. Keterlibatan para pihak yang berkepentingan dengan Taman Nasional Kutai menjadi sebuah keniscayaan dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan. Gagasan yang dikembangkan dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan Taman Nasional Kutai adalah dengan menjalin kemitraan dengan perusahaan-perusahaan disekitar Taman Nasional Kutai yang tergabung dalam Mitra Taman Nasional Kutai. Mitra Taman Nasional Kutai merupakan wadah dan forum dari perusahaanperusahaan yang memiliki kepedulian terhadap pengelolaan Taman Nasional Kutai. Pada awal pembentukannya, Mitra Taman Nasional Kutai ini beranggotakan enam perusahaan, namun dalam perjalanannya keanggotaan telah berkembang menjadi sembilan perusahaan. Keanggotaan Mitra Taman Nasional Kutai saat ini adalah PT Pertamina, PT Badak NGL(PT BNGL), PT Surya Hutani Jaya (PT SHJ), dan PT Kaltim Prima Coal (PT KPC), PT Indominco Mandiri (PT IM), PT Pupuk Kaltim (PT PKT), PT. Kaltim Parna Industri (PT. KPI), PT. Kaltim Methanol Industri (PT KMI) dan PT. Pama Persada Nusantara (PT. PAMA). Akan tetapi, secara keseluruhan kemitraan antara Balai Taman Nasional Kutai dengan Mitra Taman Nasional Kutai tampaknya belum mampu meningkatkan kinerja dari pengelolaan Taman Nasional Kutai. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya laju kerusakan hutan di Taman Nasional Kutai. Menurut data dari Balai Taman Nasional
5
Kutai, dalam kurun waktu 10 tahun luas kerusakan Taman Nasional Kutai mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Tabel 1). Pada tahun 2009 kerusakan hutan di Taman Nasional Kutai telah mencapai 20% dari total kawasan dengan laju kerusakan mencapai 1.125,1 hektar/tahun. Meningkatnya laju kerusakan hutan tersebut disebabkan oleh maraknya aktvitas penebangan liar dan perambahan. Tabel 1. Luas kerusakan hutan di Taman Nasional Kutai (1999-2009) Tahun
Luas kerusakan kumulatif (Ha)
Pertambahan luas kerusakan (Ha)
1999*)
24.412
-
2004*)
34.961
10.549
2009**)
35.663
702
Keterangan : *) Analisis Citra Landsat, **) Survey luas perambahan (2009), Sumber: Balai TN Kutai, 2011
Dari paparan diatas, kasus kemitraan pengelolaan di Taman Nasional Kutai menarik untuk dikaji lebih dalam. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Model Kemitraan dalam Pengelolaan Taman Nasional Kutai Propinsi Kalimantan Timur”. 1.2 Perumusan Masalah Pengelolaan Taman Nasional Kutai belum dapat dilakukan secara optimal. Meskipun paradigma pengelolaan telah bergeser dari pola pendekatan pengaman kepada pola pendekatan kolaboratif yang menekankan pada partisipasi para pihak melalui kemitraan, tetapi kemitraan yang ada belum mampu mengatasi kerusakan hutan yang semakin meningkat. Kebijakan pemerintah untuk melakukan kolaborasi pengelolaan taman nasional melalui kemitraan tampaknya belum menemukan bentuk yang ideal dalam mengoptimalkan peran dan fungsi kawasan konservasi. Berdasarkan pada kondisi tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana model kemitraan antara Balai Taman Nasional Kutai, 6
Perusahaan disekitar Taman Nasional Kutai yang tergabung dalam Mitra Taman Nasional Kutai, dan masyarakat dalam pengelolaan Taman Nasional Kutai, di Propinsi Kalimantan Timur? Untuk mengetahui model kemitraan tersebut penelitian ini memfokuskan kajian dengan mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1) Bagaimana latar belakang terbentuknya kemitraan pengelolaan Taman Nasional Kutai? 2) Apa bentuk kemitraan dalam pengelolaan Taman Nasional Kutai? 3) Sejauhmana kontribusi kemitraan terhadap pengelolaan Taman Nasional Kutai? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Mengetahui latar belakang kemitraan pengelolaan Taman Nasional Kutai. 2) Mengetahui bentuk kemitraan dalam pengelolaan Taman Nasional Kutai. 3) Mengetahui kontribusi kemitraan dalam pengelolaan Taman Nasional Kutai. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1) Memberikan sumbangan ilmu bagi kajian kemitraan khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan taman nasional. 2) Memberikan sumbang saran terhadap pengelolaan taman nasional khususnya mengenai aspek kemitraan dan manajemen kolaboratif. 1.5 Keaslian Penelitian Dalam sebuah penelitian ilmiah, pada intinya mencakup 3 aspek utama yaitu: fokus penelitian, lokus penelitian dan metode penelitian yang digunakan. Oleh karena itu keaslian penelitian diarahkan berdasarkan ketiga aspek tersebut. Fokus penelitian adalah model kemitraan antara Balai Taman Nasional Kutai, Mitra Taman Nasional Kutai dan masyarakat dalam pengelolaan taman nasional. Sedangkan lokasi penelitian
7
adalah Taman Nasional Kutai yang berada di Propinsi Kalimantan Timur yang meliputi Kota Bontang, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Timur. Berdasarkan pada lokus dan fokus penelitian ini, sejauh yang penulis ketahui, terdapat beberapa penelitian yang ada antara lain: 1)
Muthu Saily (2012) tentang Kemitraan Pemerintah Daerah dan Swasta Dalam Penyediaan Pelayanan Jasa Transportasi Laut (Ferry Penyeberangan) Di Kabupaten Bengkalis. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Penelitian ini menemukan bahwa kerjasama yang dilakukan ini memberikan manfaat yang positif bagi Pemerintah, swasta, dan masyarakat. Tetapi kerjasama ini belum sepenuhnya dapat dikatakan sebagai suatu kemitraan (kerjasama kolaboratif). Ini dapat dilihat dari ciri kemitraan yang belum semuanya sesuai dengan kerjasama yang dilakukan. Sehingga dapat mempengaruhi keberlangsungan dari kerjasama itu sendiri.
2)
M.Rocha, L., & K.Jacobson, S. (1998) berjudul Partnership for conservation: Protected areas and non governmental organization in Brazil. Penelitian ini mengidentifikasi manfaat dan masalah kemitraan di 3 Taman Nasional di Brazil. Penelitian ini menemukan 26 manfaat kemitraan dan 33 masalah dalam kemitraan pengelolaan kawasan konservasi (protected area). Kemitraan dapat mendatangkan manfaat seperti perbaikan infrastruktur, perbaikan manajemen, pengakuan masyarakat lokal dan peran serta masyarakat. Sedangkan dalam implementasinya kemitraan banyak persoalan yang muncul seperti hambatan birokrasi, pembagian peran dan prosedur yang tidak jelas.
3)
Islamudin Rusmin Reka (2012) berjudul
Analisis Pengelolaan Taman
Nasional Kutai (TNK) Di Kabupaten Kutai Timur Tahun 2011.Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan metode survey. Penelitian ini
8
menemukan bahwa pengelolaan Taman Nasional Kutai sudah sesuai dengan rencana pengelolaan taman nasional yang diuraikan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (2006). Penelitian ini menyarankan untuk perlunya meningkatkan pengelolaan Taman Nasional Kutai melalui peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang profesional dan tangguh, membangun sarana dan prasarana yang didukung oleh teknologi kehutanan terbaik agar pengelolaan Taman Nasional Kutai semakin optimal dan meningkatkan peran serta seluruh pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan Taman Nasional Kutai. 4)
Teguh Sumbodo (2004), berjudul Analisis Regulasi dan Implementasi kebijakan Taman Nasional Kutai (Studi Kasus di Desa Teluk Pandan dan Desa Sangkima Kabupaten Kutai Timur). Penelitian ini menyimpulkan bahwa Taman Nasional Kutai adalah kawasan konservasi yang harus dipertahankan dan perlunya penegakan hukum. Untuk mengoptimalkan pengelolaan perlunya pendekatan yang bersifat bottom up melalui keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan.
9