1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Aspek ruhiyah harus senantiasa dimiliki oleh manusia dalam menjalani setiap aktivitasnya, yaitu kesadaran akan hubungannya dengan Allah Yang Maha Menciptakan. Manifestasi dari kesadaran tersebut, bagi manusia akan tercapai ketika sebuah perbuatan dilakukan diikuti dengan keikhlasan dan semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT, dengan tujuan menghambakan diri (beribadah) kepada-Nya. Bukan hanya pada aktivitas ibadah mahdhah saja, melainkan juga pada aktivitas yang tidak tergolong ibadah mahdhah. Aktivitas mahdhah di antaranya adalah membayar zakat yang merupakan salah satu dari lima pilar ibadah dalam Islam. Seorang muzakki, sebelum mengambil keputusan dalam membayar zakat, wajib menanamkan sifat ikhlas dalam dirinya sebagai hal yang paling mendasar dan utama. Umat Islam sedang mengalami kemunduran dalam berbagai aspek. Di tengah-tengah berbagai krisis yang sedang melanda bangsa Indonesia sekarang ini, sudah sepantasnya bahkan seharusnya apabila kita melihat secara lebih seksama dan sungguh-sungguh, banyak jalan keluar yang dikemukakan ajaran Islam, yakni meyakini kebenarannya dan ketepatannya. Salah satunya adalah penataan Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) secara benar dan bertanggung jawab. Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima'iyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan umat sehingga keberadaannya dianggap ma’lum minaddin bi adl-dlarurah (diketahui
1
2
secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman). Zakat sesungguhnya merupakan potensi yang sangat besar bagi umat Islam untuk menanggulangi permasalahan sosial. Secara substantif, zakat termasuk infaq dan sedekah adalah bagian dari mekanisme keagamaan yang berintikan semangat pemerataan pendapatan. Dana zakat diambil dari harta orang yang berkelebihan dan disalurkan kepada orang yang kekurangan, namun zakat tidak dimaksudkan memiskinkan orang kaya. Hal ini disebabkan zakat diambil dari sebagian kecil hartanya dengan beberapa kriteria tertentu dari harta yang wajib dizakati. Karena itu, alokasi dana zakat tidak bisa diberikan secara sembarangan dan hanya dapat disalurkan kepada kelompok masyarakat tertentu (Heryani 2005, 1). Permasalahan yang sering timbul di tengah masyarakat adalah kepada siapa zakat harus diberikan. Lebih utama disalurkan langsung oleh muzakki kepada mustahiq, atau sebaiknya melalui amil. Jika disalurkan langsung oleh muzakki kepada mustahiq, memang ada semacam perasaan tenang karena menyaksikan secara langsung bahwa zakatnya tersebut telah tersalurkan kepada mereka yang dianggap berhak menerimanya. Tetapi terkadang penyaluran langsung yang dilakukan oleh muzakki tidak mengenai sasaran yang tepat. Seringkali orang sudah merasa menyalurkan zakat kepada mustahiq, padahal ternyata yang menerima bukan mustahiq yang sesungguhnya, hanya karena kedekatan secara emosi maka muzakki memberikan zakat kepadanya. Misalnya disalurkan kepada kerabatnya sendiri, yang menurut anggapannya sudah termasuk kategori mustahiq, padahal jika dibandingkan dengan orang-orang yang
3
berada di lingkungan sekitarnya, masih banyak orang-orang yang lebih berhak untuk menerimanya sebab lebih fakir, lebih miskin, dan lebih menderita dibandingkan dengan kerabatnya tersebut. Masalah ini harus diantisipasi dan diatasi agar pengelolaan zakat terlaksana sesuai dengan metoda yang dicontohkan Rasulullah SAW. Di sinilah peranan lembaga amil zakat dibutuhkan. Hal tersebut dapat terjadi salah satunya karena kredibilitas dari lembaga amil zakat belum mendapat perhatian dari muzakki. Ini akan menjadi perhatian yang sangat penting ketika masyarakat ingin melihat peningkatan kredibilitas dari sebuah amil. Kepuasan terhadap pelayanan lembaga amil zakat akan mendorong perilaku muzakki dalam berzakat berupa komitmen terhadap lembaga amil zakat tersebut, menjadikan lembaga amil zakat tersebut sebagai pilihan utama dalam berzakat dan mengajak orang lain untuk berzakat. Indikator keberhasilan dari pengelola zakat adalah besarnya zakat yang terserap. Masalah yang sering muncul adalah perolehan zakat yang masih sangat rendah. Salah satu sebabnya adalah tingkat pendapatan yang dimiliki masih dirasakan sangat rendah oleh seseorang yang seharusnya telah tergolong sebagai wajib zakat, walaupun sudah mencukupi haul-nya, sehingga keinginan untuk mengeluarkan zakat juga masih rendah. Karena itu, tingkat pendapatan juga menjadi faktor pendorong seorang muzakki dalam mengeluarkan atau bahkan meningkatkan penyaluran zakatnya. Memang jika melihat kenyataan yang ada, masih banyak potensi zakat yang belum tergali. Secara sistematis, minimal kita akan memperoleh angka sebesar Rp. 6,5 triliyun per tahun (Heryani 2005, 2).
Potensi zakat yang
dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar. Menurut sebuah sumber, potensi
4
zakat di Indonesia mencapai hampir 20 triliun per tahun. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation tahun 2005 mengungkapkan, jumlah potensi filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai Rp. 19,3 triliun. Diantara potensi tersebut, Rp. 5,1 triliun berbentuk barang dan Rp. 14,2 triliun berbentuk uang. Jumlah dana seperti itu, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah (Rp. 6,2triliun) dan sisanya zakat harta Rp. 13,1 triliun. Temuan menarik dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat maal diberikan langsung kepada penerima zakat. Penerima zakat fitrah dan zakat maal terbesar (70%) adalah masjid-masjid, Badan Amil Zakat (BAZ) pemerintah hanya mendapatkan 5% zakat fitrah dan 3% zakat maal, serta Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta hanya 4% zakat maal. Bahkan, bukan hal yang tidak mungkin, jika pengelolaan zakat ini dikelola dengan maksimal maka kemiskinan akan berkurang secara signifikan. Pengelolaan zakat memang merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan umat Islam untuk mengentaskan kemiskinan karena zakat adalah kewajiban bagi setiap muslim yang kaya untuk memberikan sebagian hartanya kepada orang yang berhak menerimanya. Zakat merupakan bentuk nyata solidaritas sosial dalam Islam. Dengan zakat dapat ditumbuhkan rasa kebersamaan dan tanggungjawab untuk saling menolong di antara anggota masyarakat, sekaligus menghilangkan sifat egois dan individualistik. Zakat telah direalisasikan secara nyata dan sukses dalam sejarah Islam, sampai-sampai pernah tak ditemukan lagi orang-orang fakir yang berhak mendapat zakat. Yahya bin Sa’id, seorang petugas amil zakat pada masa Umar bin Abdul Aziz (w. 122 H), menuturkan:
5
“Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah mengutusku untuk mengumpulkan zakat orang Afrika. Lalu aku menariknya dan aku minta dikumpulkan orang-orang fakirnya untuk kuberi zakat. Tapi ternyata tidak ada seorang pun dari kalangan itu yang mengambilnya” (Ulwan, 1985:2, As-Siba, 1981:392). Namun sayang, kondisi seperti itu kini hanya nostalgia, terutama setelah hancurnya Negara Khilafah Islamiyah (1924) sebagai institusi pelaksana zakat dan setelah pemahaman umat terhadap ajaran-ajaran Islam (termasuk zakat) menjadi sedemikian lemah. Zakat kini dipahami terpisah dengan institusi pelaksananya, serta terlepas dari kesatuannya dengan hukum-hukum Islam yang lain dalam bidang ekonomi. Olehnya itu, pengelolaan zakat juga harus disusun secara terencana dan memenuhi persyaratan akuntabilitas oleh lembaga amil zakat sehingga muzakki tidak perlu khawatir bahwa zakat yang disalurkan kepada pihak yang salah. Maka dari itu, perlu adanya pengungkapan (disclosure) atas kinerja pengelolaan zakat yang dipercayakan kepada amil.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latarbelakang diatas maka permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana konsep zakat di zaman Rasulullah dan pada masa kekhilafahan dengan membandingkan konsep zakat setelah runtuhnya Negara Khilafah Islamiyah? 2. Bagaimana jika konsep self assessment diaplikasikan dalam pembayaran zakat di Indonesia dalam rangka meningkatkan jumlah Muzakki (wajib zakat)?
6
1.3 Batasan Penelitian Penulis memberi batasan dalam penelitian ini sebagai berikut: Penjelasan secara historis konsep pelaporan zakat oleh Muzakki pada zaman Rasulullah SAW dan pada masa Kepemimpinan Khilafah Islamiyah dengan berusaha membandingkan konsep pelaporan zakat pada masa setelah runtuhnya Khilafah Islamiyah. Analisis konsep self assessment pada zakat hanya dibahas atau dibatasi pada tataran konseptual. Analisis tentang persepsi muzakki terhadap sistem self assessment jika diterapkan di Indonesia terbatas pada hasil wawancara beberapa muzakki di lembaga pengumpul zakat di kota Makassar.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dan manfaat penulisan yang ingin dicapai dalam skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui konsep pembayaran zakat di jaman Rasulullah dan pada masa kekhilafahan dengan melakukan analisis pembandingan dengan konsep zakat sekarang. 2. Untuk mengetahui apakah konsep self assessment dapat diaplikasikan dalam pembayaran zakat di Indonesia dalam rangka meningkatkan jumlah Muzakki (wajib zakat). 3. Penelitian ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi penulis untuk menambah pengetahuan tentang ekonomi syariah demi menyongsong kembali berjayanya Islam di muka bumi seperti janji Allah dalam Al-Qur’an.
7
4. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat menjadi referensi dan pertimbangan dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat di Indonesia yang masih kurang diperhatikan. 5. Sebagai bahan referensi dan tambahan informasi kepada pihak-pihak yang berkompeten dalam konsentrasi ekonomi syariah khususnya masalah zakat, maupun teman-teman mahasiswa atau masyarakat yang berminat dengan penelitian ini.
1.5 Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, pembahasan dan penyajian hasil penulisan akan disusun dengan materi sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Pada bab ini akan dikemukakan tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, batasan penelitian serta sistematika penulisan. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menjelaskan pengertian dan teori-teori yang mendasari dan berkaitan dengan pembahasan dalam skripsi ini, yang digunakan sebagai pedoman dalam menganalisa masalah. Teori-teori yang digunakan berasal dari literatur-literatur yang ada baik dari perkuliahan maupun sumber yang lain. BAB III: METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini diuraikan perihal objek penelitian, definisi dan pengukuran variabel operasional, jenis dan sumber data serta metode analisa data yang akan dipakai.
8
BAB IV: PEMBAHASAN Memuat gambaran umum serta deskripsi tentang analisis konseptual self assessment dalam meningkatkan jumlah muzakki di Indonesia. BAB V: PENUTUP Berisikan kesimpulan yang diambil serta saran-saran dari penulis.