BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kekayaan kuliner tradisional
yang dimiliki
Indonesia dinilai oleh
Kementerian Pariwisata sebagai salah satu “nilai jual” untuk menarik minat wisatawan. Menurut Arief Yahya selaku Menteri Pariwisata, Indonesia mempunyai potensi besar untuk mengembangkan gastronomi dengan keunikan dan keanakaragaman yang bersumber dari etnik dan budaya yang ada. Keunikan gastronomi Indonesia tersebut dipengaruhi oleh unsur geografis, jenis pangan, dan latar belakang sejarah.1 Dalam rangka mengembangkan potensi gastronomi serta mengidentifikasi langkah pelestarian makanan tradisional, Kementerian Pariwisata menetapkan Yogyakarta bersama dengan Bandung, Solo, Semarang, dan Bali sebagai destinasi wisata kuliner unggulan. Penetapan lima kota tersebut dilakukan berdasarkan enam kelayakan meliputi produk dan daya tarik utama, pengemasan produk dan event, kelayakan pelayanan, kelayakan lingkungan, kelayakan bisnis, serta peranan pemerintah dalam pengembangan destinasi wisata kuliner.2 Dengan ditetapkannya Yogyakarta sebagai satu dari lima destinasi wisata kuliner unggulan, makanan tradisional dari daerah ini semakin menunjukkan perannya terhadap industri pariwisata. Salah satu kuliner legendaris yang sering
1
Bagian ini dirangkum dari Dwi Wulandari. 2015. “Kemenpar Rilis Lima Destinasi Wisata Kuliner Unggulan”. Diakses dari http://mix.co.id/brand-communication/branding/kemenpar-rilis-limadestinasi-wisata-kuliner-unggulan pada tanggal 5 Februari 2016 2 Ibid.
2
dinikmati oleh wisatawan ketika berkunjung ke Yogyakarta adalah gudeg. Sebagai icon kuliner khas, gudeg mempunyai beberapa daya tarik wisata antara lain melalui rasanya yang unik, proses memasak yang cukup lama dan tidak mudah, sampai dengan pengemasan dan penyajian di tangan wisatawan. Di tengah perkembangan pariwisata, gudeg mengalami proses pengembangan inovasi. Seiring meningkatnya permintaan dari wisatawan sebagai konsumen langsung, gudeg mengalami beberapa perubahan dengan lahirnya produk-produk baru dengan berbagai varian baik dari segi bahan baku, cita rasa, proses pembuatan, sampai dengan proses pengemasan. Dahulu gudeg hanya dibungkus dengan daun pisang sehingga kurang awet jika dijadikan buah tangan. Selanjutnya kemasan gudeg bertransformasi menggunakan besek, kotak kardus maupun kendil. Saat ini terdapat juga gudeg kaleng yang diklaim mampu bertahan lebih lama dari gudeg biasa. Gudeg kaleng ini memenuhi permintaan pasar bagi wisatawan yang ingin membawa pulang untuk dijadikan buah tangan bagi kerabat maupun keluarga. Dari segi rasa, gudeg pun sudah mengalami perubahan. Gudeg yang dahulu identik dengan rasa manis kemudian direkayasa sesuai permintaan wisatawan. Saat ini bahkan terdapat gudeg dengan rasa pedas dan gurih atau asin3. Menurut Hudson dalam Cosma dkk., (2014: 507), pariwisata kini dilihat sebagai bidang yang tersegmentasi dan menyesuaikan terhadap kebutuhan dan keinginan wisatawan. Perkembangan pariwisata di Yogyakarta mendorong gudeg sebagai produk wisata kuliner untuk memenuhi berbagai tuntutan wisatawan 3
Anonim. 2014. “Kenalkan Ikon Yogyakarta, Pedagang Gudeg Wijilan Bagi 1.000 Nasi Gratis”. Diakses dari http://news.detik.com/berita/2786149/kenalkan-ikon-yogyakarta-pedagang-gudegwijilan-bagi-1000-nasi-gratis pada tanggal 7 Februari 2016
3
antara lain supaya gudeg lebih tahan lama, tidak mudah basi, dan praktis bila dibawa bepergian jarak jauh. Inovasi dianggap sebagai salah satu cara untuk menjawab permasalahan atau kebutuhan wisatawan tersebut. Oleh karena itu, Gudeg Bu Tjitro sebagai pionir industri gudeg di Yogyakarta melakukan langkah inovatif dengan menciptakan gudeg dalam kemasan kaleng sehingga dapat dijadikan oleh-oleh bagi kerabat atau keluarga. Penelitian ini ingin melihat bagaimana gudeg sebagai warisan kuliner menghadapi perkembangan pariwisata, inovasi apa saja yang sudah dilakukan, dan pengaruh inovasi tersebut bagi industri pariwisata di Yogyakarta.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, permasalahan penelitian ini yaitu bagaimana proses inovasi gudeg kaleng Bu Tjitro 1925 sebagai produk wisata kuliner khas Yogyakarta?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dijelaskan, penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui dan menjelaskan proses pengembangan inovasi gudeg kaleng Bu Tjitro 1925 sebagai produk wisata kuliner khas Yogyakarta.
4
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi pemikiran yang berkaitan dengan penelitian mengenai inovasi dalam pariwisata dan khususnya yang terjadi pada warisan kuliner gudeg. 2) Manfaat Praktis Secara praktis, hasil analisis dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan rekomendasi maupun evaluasi terhadap pemilik usaha kuliner gudeg maupun kepada segenap pemangku kepentingan pariwisata terkait pengembangan objek dan daya tarik wisata dengan semangat pelestarian warisan budaya kuliner.
1.5. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa tinjauan pustaka baik yang berhubungan dengan inovasi dalam dunia pariwisata maupun penelitian mengenai gudeg sebagai kuliner khas Yogyakarta. Secara umum, penelitian mengenai inovasi pariwisata sudah beberapa kali dilakukan namun sejauh yang ditemukan oleh penulis, penelitian yang fokus membahas gudeg kaleng sebagai inovasi produk wisata kuliner belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian dengan objek yang sama yaitu gudeg kaleng Bu Tjitro 1925 antara lain sudah pernah ditulis oleh Hilson (2013) mengenai faktor-faktor
5
yang mempengaruhi pembelian ulang Gudeg Kaleng Bu Tjitro 1925. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik konsumen yang melakukan pembelian ulang gudeg kaleng Bu Tjitro 1925 dan menganalisis sejauh mana faktor promosi, harga, kelompok referensi dan pendapatan mempengaruhi pembelian ulang gudeg kaleng Bu Tjitro 1925. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik konsumen yang melakukan pembelian ulang gudeg kaleng Bu Tjitro 1925 lebih banyak perempuan, berusia dewasa, bekerja sebagai pegawai swasta, memiliki pendidikan terakhir S1 dan rata-rata melakukan pembelian ulang sebanyak 3 kali. Penelitian serupa juga sudah pernah dilakukan oleh Asshidiq (2014) yang membahas tentang komunikasi pemasaran dalam meningkatkan penjualan pada Gudeg Kaleng Bu Tjitro 1925. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komunikasi pemasaran yang dilakukan untuk meningkatkan penjualan gudeg kaleng. Pengelola gudeg Bu Tjitro 1925 mengimplementasikan komunikasi pemasaran melalui brosur, potongan harga atau diskon, mengikuti pameran, promosi melalui Facebook dan Twitter, serta melakukan penjualan elektronik melalui website. Penelitian lain yang masih berhubungan dengan gudeg kaleng sudah pernah dilakukan oleh Inayati (2015). Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis ekuitas merek (brand equity) produk Gudeg Kaleng Bu Lies di Yogyakarta serta menyusun program perbaikan berdasarkan analisis tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa brand awareness berada pada 27% untuk top of mind, 36,5% untuk brand recall, 20,5% untuk brand recognition, dan unaware of brand sebesar 16%. Pada brand associations, image produk ini diasosiasikan dengan
6
“Gudeg Wijilan” dan produk praktis. Perceived quality produk ini berada pada skala cukup hingga baik, dimana terdapat tiga aspek pada skala cukup, yaitu kemudahan dalam mendapatkan produk, kualitas yang sesuai harga, serta desain kemasan sedangkan brand loyalty secara keseluruhan masih berada pada skala cukup. Penelitian ini menemukan bahwa perbaikan promosi untuk faktor awareness-associations, serta perbaikan distribusi produk dan desain kemasan untuk faktor perceived quality-loyalty perlu dilakukan oleh pihak perusahaan. Selain gudeg kaleng, produk kuliner lain yang sudah pernah diteliti adalah Cokelat Monggo. Penelitian yang dilakukan oleh Desisavitri (2015) ini bertujuan untuk mengetahui strategi pemasaran yang dilakukan oleh Cokelat Monggo agar menjadi produk oleh-oleh unggulan khas Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cokelat Monggo telah menerapkan pemasaran produknya sesuai dengan target pasar serta positioning produk yang ditetapkan, melalui variabel-variabel bauran pemasaran 7P (Product, Price, Place, Promotion, Process, People dan Physical Evidence). Dalam melaksanakan kegiatan pemasarannya Cokelat Monggo juga menerapkan nilai-nilai perusahaan yang terdiri dari nilai Care, Unique, Educate, Genuine, dan Share (CUEGS) serta mengedepankan visi dan misi perusahaan. Terdapat juga beberapa penelitian mengenai proses pengembangan inovasi pariwisata di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Asharinne (2013) di Saung Angklung Udjo. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi Saung Angklung Udjo sebagai salah satu bentuk inovasi dalam pariwisata budaya. Hasil analisis menunjukkan bahwa Saung Angklung Udjo mengalami proses inovasi
7
yang tidak sederhana. Inovasi yang dilakukan pada awalnya hanya bertujuan untuk melestarikan seni dan budaya Sunda khususnya kesenian musik angklung. Namun seiring berjalannya waktu, pengelola Saung Angklung Udjo menyadari bahwa kesenian musik angklung memiliki potensi dalam pengembangan pariwisata budaya. Oleh karena itu, Udjo Ngalagena selaku pengelola mengembangkan konsep pertunjukan “Kaulinan Urang Lembur” dan produksi alat musik angklung sebagai inovasi produk dari Saung Angklung Udjo. Konsep pertunjukan ini diciptakan karena adanya kunjungan wisatawan asing untuk melihat anak-anak yang sedang bermain angklung di sanggar. Inovasi merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh Saung Angkung Udjo agar dapat bertahan bahkan berkembang hingga saat ini. Selain itu, inovasi yang dilakukan juga berdampak terhadap pengembangan ekonomi lokal masyarakat di sekitar Saung Angklung Udjo. Dari beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan, pembahasan mengenai gudeg sebagai produk wisata kuliner lebih banyak difokuskan pada strategi
pemasaran
seperti
analisis
ekuitas
merek,
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pembelian ulang, dan komunikasi pemasaran yang dilakukan sedangkan penelitian mengenai inovasi pariwisata lebih banyak diterapkan di suatu destinasi wisata seperti Saung Angklung Udjo. Sepengetahuan penulis, belum ada penelitian yang menggabungkan antara inovasi pariwisata dan gudeg kaleng sebagai hasil dari inovasi produk wisata kuliner khas Yogyakarta.
8
1.6. Landasan Teori Inovasi berasal dari bahasa latin innovare yang berarti mengubah sesuatu menjadi baru atau penggunaan cara atau alat yang baru untuk menghasilkan nilai yang baru. Istilah inovasi (innovation dan innovate) sendiri baru mulai dikenal dalam kosakata bahasa Inggris pada abad ke-16. Namun pada masa itu inovasi lebih banyak dipandang dan dikaitkan secara negatif sebagai troublemaker serta identik dengan nuansa revolusi atau perubahan radikal yang membawa dampak yang besar terutama terhadap kemapanan sosial politik serta dianggap mengancam struktur kekuasan. Istilah innovative sendiri mulai luas dipergunakan banyak orang sejak abad ke-17 atau sekitar 100 tahun kemudian. Setelah 300 tahun kemudian, pengertian inovasi perlahan mengalami pergeseran makna menjadi lebih positif (Suwarno, 2008: 8). Beberapa peneliti mendefinisikan inovasi dalam berbagai pengertian. Schrumpeter adalah peneliti pertama yang mengembangkan teori inovasi. Menurut Schrumpeter dalam Yüzbaşıoğlua dkk., (2014: 736), inovasi adalah langkah baru dalam melakukan sesuatu atau gabungan dari beberapa hal unik yang berada dalam faktor produksi. Lebih lanjut Schrumpeter mengidentifikasi bahwa inovasi merupakan hal yang penting dalam sebuah perusahaan. Inovasi merupakan sebuah gagasan (idea), praktik (practice), atau objek (object) yang dianggap baru oleh individu atau unit adopsi lainnya (Rogers, 2003: 12). Inovasi juga dapat diartikan sebagai ide kreatif yang telah diimplementasikan ke dalam karya. Oleh karena itu, inovasi dapat berupa sebuah produk, proses,
9
sistem atau metode, yang bukan hanya sekadar ide melainkan sudah diterapkan dalam tindakan (Hussey, 1997: 3). Inovasi berbeda dengan penemuan karena inovasi melalui tahap implementasi dan komersialisasi (Hjalager, 2010: 2). Hal tersebut sesuai dengan proses pengembangan inovasi yang diungkapkan oleh Rogers (2003: 137) dalam bukunya yang berjudul Diffusion of Innovations Fifth Edition. Proses pengembangan inovasi terdiri dari semua keputusan, kegiatan, dan perubahan yang terjadi dari timbulnya pengenalan terhadap kebutuhan atau permasalahan, penelitian, pengembangan, komersialisasi inovasi, difusi dan adopsi oleh pengguna sampai dengan konsekuensi dari inovasi tersebut. Dalam menganalisis inovasi gudeg kaleng sebagai produk wisata kuliner, penulis menggunakan teori pengembangan inovasi yang akan dijelaskan dalam enam fase yaitu sebagai berikut.
1. Pengenalan Kebutuhan/ Masalah
2. Penelitian Dasar dan Terapan
3. Pengembangan
4. Komersialisasi
5. Difusi dan Adopsi
6. Konsekuensi/ Pengaruh
Gambar 1. Proses pengembangan inovasi Sumber: Rogers (2003: 138) 1) Pengenalan terhadap masalah atau kebutuhan (recognizing a problem or need) Proses pengembangan inovasi dimulai karena adanya permasalahan atau kebutuhan yang mendorong aktivitas penelitian dan pengembangan untuk
10
menciptakan sebuah inovasi dalam rangka menjawab permasalahan/kebutuhan tersebut. 2) Penelitian dasar dan terapan (basic and applied research) Beberapa inovasi, yang telah dikaji dalam penelitian mengenai difusi, mempunyai unsur inovasi teknologi. Oleh karena itu, terminologi “teknologi” sering dipakai sebagai kata lain untuk menyebut inovasi. Basis pengetahuan untuk teknologi biasanya berasal dari penelitian dasar yaitu penelitian yang tidak mempunyai tujuan tertentu selain untuk kemajuan pengetahuan ilmiah sehingga pengetahuan ini tidak dapat diterapkan sebagai penyelesaian terhadap masalah-masalah praktis. Sebaliknya, penelitian terapan terdiri dari penelitian
ilmiah
permasalahan merancang
yang
praktis. sebuah
dimaksudkan
Pengetahuan inovasi
untuk
ilmiah
yang
menjawab
diterapkan akan
serangkaian
dalam
menjawab
rangka sebuah
permasalahan/kebutuhan. 3) Pengembangan (development) Pengembangan inovasi adalah sebuah proses menempatkan ide baru yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan konsumen atau pengguna inovasi tersebut (audience of potential adopter). Dalam proses inovasi, penelitian dan pengembangan berada dalam fase yang berbeda. Fase pengembangan lazimnya
terjadi
setelah
fase
penelitian.
Hal
tersebut
dikarenakan
pengembangan merupakan bagian dari penciptaan sebuah inovasi yang berasal dari penelitian di fase sebelumnya.
11
4) Komersialisasi (commercialization) Komersialisasi merupakan pembuatan, pengerjaan, pengemasan, pemasaran, dan pendistribusian suatu produk hasil dari inovasi. Komersialisasi juga dapat diartikan sebagai perubahan ide dari penelitian menjadi produk atau jasa untuk dijual di pasaran. Tidak semua inovasi berasal dari penelitian dan pengembangan. Inovasi bisa saja berasal dari praktisi tertentu yang sedang mencari solusi terhadap suatu permasalahan/kebutuhan. 5) Difusi dan adopsi (diffusion and adoption) Difusi merupakan proses dimana sebuah inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu secara terus-menerus melalui anggota dari suatu sistem sosial (Rogers, 2003: 5). Keputusan terpenting dalam proses pengembangan inovasi berada pada fase ini yaitu keputusan untuk mulai menyebarkan inovasi kepada pengadopsi potensial (pihak yang dianggap potensial mengadopsi sebuah inovasi). Tahap ini juga yang akan menentukan apakah inovasi tersebut dapat diterima dan diadopsi atau justru ditolak. 6) Konsekuensi atau pengaruh (consequences) Konsekuensi atau pengaruh terhadap inovasi merupakan fase terakhir dari keseluruhan proses ini. Tahapan ini akan memperlihatkan apakah inovasi yang dicetuskan
berhasil
atau
tidak
dalam
menyelesaikan
sebuah
permasalahan/kebutuhan. Seringkali inovasi juga menyebabkan munculnya permasalahan/kebutuhan pengembangan berikutnya.
baru
sehingga
menjadi
dasar
untuk
proses
12
Keenam fase tersebut tidak harus terjadi secara berurutan seperti yang telah dijelaskan dalam uraian di atas. Terkadang salah satu fase dapat dilewati untuk kasus inovasi tertentu. Saat ini kuliner sebagai salah satu produk wisata berperan penting dalam pembangunan pariwisata. Howard dalam Steinmetz (2010: 2) mengungkapkan bahwa hubungan makanan dengan industri pariwisata sangat potensial untuk meningkatkan jumlah wisatawan yang datang ke suatu daerah, memperpanjang masa tinggal wisatawan, dan meningkatkan pendapatan. Makanan khas dan pariwisata mempunyai potensi yang kuat dalam pembangunan ekonomi lokal. Jones dan Jenkins dalam Steinmetz (2010: 3) menyatakan bahwa makanan dapat digunakan untuk memperluas target pasar, mendukung pembentukan identitas daerah, serta membangun pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan. Oleh karena itu, peran makanan saat ini tidak hanya sebagai pemuas kebutuhan dasar bagi wisatawan tetapi sudah dianggap sebagai elemen penting dari budaya suatu daerah. Menteri Pariwisata, Arief Yahya, menyebutkan bahwa kontribusi kuliner dalam bidang pariwisata cukup berpengaruh. Pertumbuhan pariwisata Indonesia yang didapatkan dari sektor kuliner sebesar 27% sementara data di United Nations World Tourism Organization (UNWTO) tercatat mencapai 30%4. Dalam hal ini, inovasi gudeg sebagai produk wisata kuliner juga membawa peran penting dalam pembangunan pariwisata di Yogyakarta. Gudeg bertransformasi seiring dengan perkembangan pariwisata. Setelah industri pariwisata tumbuh, 4
Zeilla Mutia Devi. 2015. “Kemenpar Buka Lima Destinasi Wisata Kuliner Indonesia”. Diakses dari http://marketeers.com/article/kemenpar-buka-lima-destinasi-wisata-kuliner-indonesia.html pada tanggal 9 Maret 2016
13
gudeg kian kokoh sebagai narasi dan citra budaya lokal. Peran gudeg pun meluas dari sekadar makanan kemudian dijadikan sebagai icon pariwisata. Kesadaran bahwa gudeg identik dengan romantisme Yogyakarta dibangun terus-menerus oleh pemerintah dan pelaku usaha sehingga langkah ini berhasil memberikan narasi tambahan pada pariwisata Yogyakarta5.
1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah makan Gudeg Bu Tjitro 1925 yang berada di Jalan Janti 330 Yogyakarta serta di rumah produksi Gudeg Bu Tjitro 1925 yang berada di Dusun Sambilegi, Kelurahan Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Sleman. Penelitian ini dilaksanakan dalam kurun waktu bulan Januari-Mei 2016.
1.7.2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu melalui wawancara, observasi dan studi pustaka. Wawancara dilakukan kepada Murdijati Gardjito selaku peneliti makanan tradisional, Jumirin selaku Manajer Produksi Gudeg Bu Tjitro 1925, Elies Dyah selaku pemilik Gudeg Wijilan Bu Lies, dan wisatawan yang mengunjungi rumah makan Gudeg Bu Tjitro 1925. Observasi dilakukan di rumah produksi Bu Tjitro 1925 sedangkan studi pustaka dilakukan melalui referensi buku dan jurnal ilmiah, penelitian yang sudah pernah 5
Bagian ini dirangkum dari Budi Suwarna dan Aloysius B Kurniawan. 2011. “Gudeg Melintasi Zaman”. Diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2011/07/03/03323741/twitter.com diakses pada tanggal 9 Maret 2016
14
dilakukan sebelumnya, serta data pelengkap yang ditemukan melalui media internet.
1.7.3. Metode Analisis Data Metode analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu melalui pendekatan secara kualitatif. Data yang didapat dari hasil penelitian dan wawancara dengan beberapa narasumber kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif. Data yang didapatkan dari pengelola Gudeg Bu Tjitro 1925 mengenai pengembangan inovasi gudeg kemudian dikategorikan berdasarkan keenam fase yaitu pengenalan masalah/kebutuhan, penelitian dasar dan terapan, pengembangan, komersialisasi, difusi dan adopsi, serta konsekuensi/pengaruh. Setelah itu dilakukan analisis mengenai pengaruh inovasi tersebut dalam industri pariwisata. Hasil analisis ini digunakan untuk mengetahui dan mengungkapkan proses terjadinya inovasi gudeg kaleng beserta pengaruhnya terhadap industri pariwisata di Yogyakarta.
1.8. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas empat bab yang masing-masing berisi penjelasan yang berbeda. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi menjelaskan alasan penulis meneliti fenomena ini. Dalam bab ini juga dituliskan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
15
Bab kedua menjelaskan tentang gambaran umum Gudeg Bu Tjitro 1925 sebagai salah satu industri gudeg yang masih bertahan hingga saat ini. Dalam bab ini juga akan dijelaskan mengenai sejarah gudeg beserta perkembangannya menjadi produk wisata kuliner khas Yogyakarta. Bab ketiga akan menjelaskan lebih lanjut mengenai analisis terhadap proses inovasi
Gudeg
Bu
Tjitro
1925
yang
terdiri
dari
fase
pengenalan
kebutuhan/masalah, penelitian dasar dan terapan, komersialisasi, difusi dan adopsi, pengembangan, serta konsekuensi/pengaruh dari inovasi tersebut. Bab keempat merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan penelitian dan saran bagi penelitian selanjutnya. Kesimpulan diambil berdasarkan analisis yang telah disampaikan dalam bab tiga.