BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Kajian mengenai komunitas sosial keagamaan di Indonesia merupakan sesuatu yang menarik, mengingat eksistensi dari tiap-tiap komunitas agama yang ada mempunyai implikasi-implikasi politis, terutama dikaitkan dengan agama Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat negeri ini. Dalam komunitas Islam terdapat berbagai kelompok keagamaan yang masing-masing memiliki kecenderungan yang berbeda dalam setiap sikap dan tindakan sosial dan politiknya. Sikap dan tindakan dari setiap komunitas agama tersebut didasarkan pada kewajiban moral keagamaan dalam menciptakan kehidupan yang beradab. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam merupakan suatu organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang dakwah Islam, dengan orientasi gerakan pada pencerahan umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri. Dalam gerakan dakwahnya Muhammadiyah dikenal pula sebagai gerakan Islam yang mempunyai banyak wajah (Nakamura 1983: 226) dalam arti netral, yang menunjukkan bahwa gerakan Islam modernis ini tidak dapat ditilik hanya dari satu sisi dengan satu wajah tetapi memerlukan pendekatan yang holistik1. Sementara itu Alfian, menemukan peranan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu Islam di Indonesia, yakni
1
Muhammadiyah adalah nama dari organisasi (persyarikatan) Islam yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Jogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H. Bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1912 M. Kata “Muhammadiyah” dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang mengandung arti sebagai pengikut Nabi Muhammad saw. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah disebutkan bahwa “persyarikatan ini bernama Muhammadiyah, adalah gerakan Islam dan Dakwah amar ma’ruf nahi munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah”. Lihat: PP Muhammadiyah, Pedoman Bermuhammadiyah, (Yogyakarta: Badan Pendidikan Kader PP Muhammadiyah, Cetakan III-1996), hal. 39
1
sebagai a religious reformist, agent of social changes, and a political force, khususnya pada masa Kolonialisme2. Sebagai gerakan pembaharuan keagamaan, Muhammadiyah tampil dalam gerakan pemurnian dengan memberantas syirik, takhayul, bid’ah dan khurafat di kalangan ummat Islam. Sebagai agen perubahan sosial, ia melakukan modernisasi sosial dan pendidikan guna memberantas keterbelakangan umat Islam. Sebagai kekuatan politik, Muhammadiyah memerankan diri selaku kelompok kepentingan. Beberapa sisi dari wajah Muhammadiyah itu pada umumnya bermuara pada satu predikat yakni gerakan tajdid, gerakan pembaharu, gerakan reformis atau modernis. Gerakan pembaharuan itu merefleksikan upaya proses reislamisasi yang terus menerus di kalangan kaum muslim yang meliputi proses: (1) upaya mengembangkan pemahaman yang benar tentang praktik-praktik
keagamaan dan
usaha-usaha yang diarahkan untuk pemurnian kepercayaan dan ritual Islam dari pengaruh-pengaruh yang menyimpang; (2) penegasan kembali (reaffirmasi) ajaranajaran pokok tentang urusan-urusan keduniaan; dan (3) Penafsiran terhadap Islam yang memberikan dasar sebuah wawasan, bahwa Islam memiliki potensi dan kemampuan untuk beradaptasi dan berubah3. Meskipun Muhammadiyah dimaksudkan sebagai organisasi dakwah dan pendidikan, bukan sebagai organisasi politik. Namun demikian tidak berarti bahwa Muhammadiyah anti politik, karena bagaimana pun Muhammadiyah berkepentingan dengan politik untuk mendukung dan melancarkan gerakan dakwahnya. Oleh karena itu, dalam menghadapi perubahan politik, Muhammadiyah selalu berhati-hati dan
2
Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior Of A Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), Hal. 5. 3 Ahmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis (Surabaya :LPAM, 2002), hal. 2.
2
bersikap lentur, dengan tetap menjaga komitmen untuk mengutamakan bidang dakwah, pendidikan dan kesejahteraan sosial. Persinggungan Muhammadiyah dengan politik dapat ditelusuri antara lain melalui Studi mengenai Muhammadiyah dan politik dengan mengambil fokus tentang perilaku politik elite Muhammadiyah, dengan pertimbangan bahwa: Pertama, Muhammadiyah melalui elit pimpinannya selama ini dikenal cukup luas serta banyak menempati posisi dan peranan yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Posisi dan peranan yang besar dari Muhammadiyah dapat dicermati dari keberadaan organisasi Islam ini yang menurut Peacock telah menjadi sebuah pergerakan Islam yang terkuat di Asia Tenggara4. Kedua, melalui penelitian sosiologis dapat dijelaskan bagaimana kenyataan sosial Muhammadiyah yang tercermin dalam perilaku para elitnya menunjukkan koherensi atau inkonsistensi antara citra ideal dan ide kebajikan dengan dunia nyata yang boleh jadi berjalan ke arah lain sebagaimana suatu kelaziman dalam kehidupan sosial Muhammadiyah sejak kelahirannya tahun 1912 sampai sekitar tahun 1960an banyak dipimpin dan digerakkan oleh elite ulama yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren dengan pekerjaan sebagai pedagang (wiraswasta). Persentuhan Muhammadiyah dengan politik di bawah kepemimpinan elite ulama tersebut antara lain, sebagai contoh, pada masa pendudukan Jepang di bawah kepemimpinan K.H. Mas Mansur yang menjadi tokoh Empat Serangkai (Bersama Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Hadjar Dewantara), Muhammadiyah mengeluarkan keputusan pelarangan melakukan saikeire di sekolah-sekolah dan dalam pertemuan-pertemuan
4 James L.Peacock, Gerakan Muhammadiyah Memurnikan Ajaran Islam Di Indonesia (Jakarta: Cipta Kreatif, 1986), hal.26.
3
Muhammadiyah5. selanjutnya Pasca Kemerdekaan, Muhammadiyah bersama NU (Nahdatul Ulama) dan beberapa organisasi Islam lainnya ikut membidani partai Islam Masyumi serta menjadi anggota istimewanya. Setelah NU keluar dari Masyumi dalam tahun 1952, Muhammadiyah menjadikan Masyumi sebagai “penyalur aspirasi politiknya”. Muhammadiyah banyak memberikan ide-ide maupun tokoh-tokoh yang aktif pada partai Masyumi tahun 1950-an. Ketika Masyumi di bubarkan Tahun 1960, Muhammadiyah terlibat lagi dalam politik dengan membidani pendirian Parmusi di awal Orde Baru, meskipun akhirnya ternyata gagal6. Belajar dari keterkaitan Muhammadiyah dengan partai Politik Masyumi dan Parmusi, maka pada tahun 1971 Muhammadiyah mengambil sikap untuk melepaskan diri dari keterkaitan dengan partai politik manapun.
Sikap ini
diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah di Ujung Pandang, yang menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak akan berafiliasi dengan partai politik manapun, tetapi para anggota Muhammadiyah bebas menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai politik yang tidak merugikan Islam. Wujud sikap netral Muhammadiyah terhadap politik praktis selama Orde Baru oleh Din Syamsuddin (1995) , disebut dengan istilah “politik alokatif” (Allocative Politics), yang mengandung arti bahwa aktivitas politik Muhammadiyah diupayakan untuk menanamkan nilai-nilai tertentu di dalam kerangka ideologi
5
Saikeire artinya membungkuk ke arah matahari terbit untuk menghormat kepada Tenno Haika, gelar Kaisar Jepang, Lihat A. Syafii Maarif. “Muhammadiyah dan High Politics” dalam jurnal Ulumul Qur’an, No.2, Vol.VI, 1995, hlm.10. 6 Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997).
4
negara. Yang dimaksud dengan nilai-nilai tertentu adalah prinsip-prinsip Islam yang ditanamkan ke dalam proses pembangunan berdasarkan Pancasila.7 Pada Periode Orde Baru ini, Muhammadiyah dipimpin oleh tokoh yang berlatar belakang sebagai Pegawai Negeri (Departemen Agama) sekaligus sebagai kiai tamatan pondok pesantren. Kehadiran elite ulama yang juga pegawai negeri dalam Muhammadiyah tersebut tampak menonjol sejak masa kepemimpinan K.H. AR. Fakhruddin yang cukup lama (22 tahun) yang diikuti oleh kecenderungan serupa di jajaran kepemimpinan lainnya di tingkat pusat maupun wilayah dan daerah. Gejala sosial ini dikenal sebagai kehadiran elite birokrat dalam Muhammadiyah8. Bersamaan dengan kehadiran elite birokrasi dalam Muhammadiyah, pada sekitar akhir dasawarsa 1970-an muncul elite baru yang lain, yakni para politisi yang sikap dan afiliasi politiknya berada dalam jalur Golongan Karya yang identik dengan partai pemerintah. Kehadiran elite politik Golkar dalam Muhammadiyah tersebut berkembang bersamaan dengan pergeseran kehidupan sosial politik di tingkat makro dalam percaturan politik umat Islam dengan terjadinya hubungan yang saling akomodatif atau konvergensi antara Islam dan negara serta antara kelompok santri dan abangan yang melahirkan situasi politik baru di Indonesia9. Kehadiran elite birokrasi dan elite politisi baru tersebut dipandang menumbuhkan kecenderungan sikap atau orientasi politik Muhammadiyah yang semakin moderat, akomodatif, atau koperatif. 7
Yaitu elite Muhammadiyah dan
M. Din Syamsuddin, “The Muhammadiyah Da’wah and Allocative Politics in the New Order”, dalam Studi Islamika Indonesia Journal For Islamic Studies, Vol.2.number 2, 1995, hlm.48. 8 H. Djarnawi Hadikusumo, Matahari-Matahari Muhammadiyah (yogyakarta: PT Persatuan, tanpa tahun). 9 Sejumlah karya ilmiah berupa buku, disertasi, tesis dan kajian lainnya telah menelaah tentang gejala politik Islam di era Orde Baru. Lihat karya Abdul Azis Taba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996). Sudirman Tebba, Islam Orde Baru: perubahan politik dan Kenegaraan (Jogyakarta: Tiara Wacana, cetakan I-1993).
5
Muhammadiyah secara kelembagaan jauh
lebih
dekat dengan
kekuasaan
(pemerintah, negara) daripada dengan masyarakat. Tetapi berkembang pula pandangan lain bahwa kehadiran elite birokrasi dan elite politisi dalam Muhammadiyah membuka saluran dan peluang bagi Muhammadiyah dalam mengembangkan akses politik bagi usaha pemberdayaan masyarakat melalui gerak dakwah dan amal usaha. Selanjutnya, memasuki era baru reformasi yang meluas dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia sejak kejatuhan rezim Soeharto pada 21 Mei 1998 yang diiringi oleh proses demokratisasi politik. Seperti lahirnya perombakan undangundang kepartaian, memberi peluang bagi kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat untuk membentuk partai politik. Seiring
situasi tersebut,
dalam
komunitas Muhammadiyah tumbuh pula perkembangan politik baru, yakni kehadiran Prof. DR. M. Amien Rais di panggung politik nasional dengan mendirikan partai politik yang bersifat terbuka (inklusif) yaitu Partai Amanat Nasional (PAN). Sejak kelahiran PAN tumbuh dinamika politik baru dalam Muhammadiyah. Antara lain, sebagian besar elite dan warga Muhammadiyah di berbagai tingkatan aktif sebagai inisiator dan kemudian banyak di antaranya yang aktif sebagai pengurus atau pimpinan PAN. Sehubungan
dengan
perkembangan
politik
yang
baru
dalam
Muhammadiyah ini, maka penelitian tentang perilaku politik elite Muhammadiyah pasca Orde Baru, menjadi kajian yang menarik untuk memberikan pengayaan khasanah ilmu sosial dalam mempelajari salah satu gejala sosial, yakni mengenai elite dan politik dalam Muhammadiyah melalui pendekatan sosiologi.
6
1.2. Rumusan Masalah Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan, dan bukan organisasi politik.
Komitmen Muhammadiyah untuk lebih mengutamakan bidang dakwah,
pendidikan, dan kesejahteraan diwujudkan secara tegas; Muhammadiyah belum pernah berubah menjadi organisasi politik atau partai politik. Namun ini bukan berarti Muhammadiyah anti politik. Bahkan dari pemaparan di atas kita mendapatkan gambaran keterlibatan Muhammadiyah dalam politik, melalui peran politik yang dimainkan oleh elite Pimpinan Muhammadiyah. Selanjutnya untuk mendapatkan gambaran empirik tentang Muhammadiyah melalui perilaku konkret dari para elite pimpinannya, terutama dikaitkan dengan dinamika politik yang semakin terbuka di era reformasi. Maka secara ringkas dapat dirumuskan permasalahan yang hendak diteliti dan dikaji sebagai berikut: 1. Bagaimana profil elite dalam kepemimpinan Muhammadiyah di Makassar pasca Orde Baru (1999-2004)? 2. Bagaimana kecenderungan perilaku politik elite Muhammadiyah di Makassar pasca Orde Baru (1999-2004)? 1.3. Tujuan dan kegunaan Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian a) Menjelaskan secara umum profil elite Muhammadiyah dan kecenderungan perilaku politik elite Muhammadiyah di Kota Makassar, pasca Orde Baru tahun 1999-2004. b) Menjelaskan rumusan dan kerangka konsepsional mengenai realitas sosial, politik dan keagamaan dan hubungannya dengan motif yang mendasari perilaku politik elite Muhammadiyah. 7
c) Mengkaji faktor yang mempengaruhi kecenderungan perilaku politik elite Muhammadiyah di Makassar dalam kaitannya dengan kehidupan politik pasca Orde Baru tahun 1999-2004. 1.3.2. Kegunaan Penelitian a) Memberi sumbangan kajian keilmuan mengenai perilaku politik, khususnya mengenai perilaku politik elite Muhammadiyah di Makassar. b) Hasil kajian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi pimpinan dan warga Muhammadiyah, khususnya di Makassar. 1.4. Kerangka Dasar Teori Kerangka teori yang akan digunakan dalam penelitian ini mencakup:
Teori Elite, untuk menelusuri tipologi elite yang dapat digunakan untuk memetakan formasi elite Muhammadiyah di Makassar pasca Orde Baru.
Perilaku politik sebagai tindakan sosial, untuk membantu memahami secara teoritis aspek-aspek tindakan politik sebagai bagian dari tindakan sosial.
Konsep elite dalam Islam dan elite dalam Muhammadiyah sebagai bagian dari komunitas muslim dalam komunitas Islam sehingga dapat diketahui corak dari masing-masing elite dalam Islam dan Muhammadiyah.
Perilaku
politik
elite
Muhammadiyah
yang
memberikan
gambaran
kecenderungan perilaku politik elite pemimpin Muhammadiyah dan pengaruh elite dalam gerakan Muhammadiyah. 1.4.1. Kajian Tentang Elite Studi tentang elite dalam ilmu sosial termasuk bidang studi yang menarik dan menghimpun para pemikir dari pelbagai disiplin, kendati disadari bahwa teori
8
elite memiliki kelemahan tertentu sebagaimana teori-teori sosial lainnya10. Studi tentang elite sebenarnya telah tumbuh sejak zaman Aristoteles, tetapi menjadi sebuah kajian ilmiah yang mendalam dimulai terutama sejak era Vilfredo Pareto (18481923), Gaetano Mosca (1858-1941) dan C. Wright Mills (1916-1962) ketika masingmasing membahas mengenai “circulation of elites”, “the rulling class” dan “the power elite”. Teori elite dibangun di atas pandangan atau anggapan bahwa keberadaan elite, lebih-lebih elite politik, tidak dapat dielakkan dalam kehidupan masyarakat modern yang kompleks11. Dalam perspektif Weberian, studi tentang elite sebagai bahan kajian sosiologi dapat diletakkan dalam kerangka pembahasan masalah tindakan sosial aktor dalam kaitan dengan aktor lain yang memiliki makna-makna subyektif12, yang terkait dalam struktur perilaku sosial dalam kehidupan sosial manusia, kelompok-kelompok dan masyarakat sehingga terkait pula dengan fakta obyektif masyarakat dalam pandangan Durkheimian13. Struktur perilaku sosial atau tindakan sosial yang dikaji sosiologi dalam hubungan dengan studi tentang elite terkait dengan struktur kepribadian, struktur sosial, dan struktur kebudayaan yang melingkupi kehidupan para elite tersebut. Secara khusus studi sosiologi tentang elite menjadi bagian dari wilayah kajian (main areas) sosiologi politik, terutama menyangkut the study of political elites and
10
Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elit (Jakarta: Rajawali, 1995), hal.5. David Jary & Julia Jary, Collins Dictionary of Sociology (Glasgow: Harper Collin Publisher, 1991), hal.188. 12 Weber seperti diikuti Ritzer menyatakan, “Sociology is a science concerning itself with the interpretative unserstanding of social action and thereby with a causal explanation of its course and consequence”. Lihat: George Ritzer, Sociological Theory (New York: McGraw-Hill, Inc., 1992), hal. 11
125. 13
Anthony Giddens, Sociology (Cambridge: Polity Press, 1993), hal. 4.
9
masses14. Dalam sosiologi politik, teori tentang elite dikembangkan dalam kaitan perjuangan politik untuk meraih posisi utama dari persaingan kekuasaan15. Dalam pandangan Keller, studi tentang elite dapat memusatkan perhatian pada empat hal. Pertama, anatomi elite berkenaan dengan siapa, berapa banyak dan bagaimana para elite itu muncul. Kedua,
fungsi elite berkenaan dengan apa
tanggungjawab sosial elite. Ketiga, pembinaan elite menyangkut tentang siapa yang mendapatkan kesempatan menjadi elite, imbalan apa yang mereka terima dan kewajiban-kewajiban apa yang menunggu mereka dan keempat, keberlangsungan (bertahannya) elite berkenaan dengan bagaimana dan kenapa para elite itu dapat bertahan serta bagaimana dan kenapa di antara mereka hancur atau tidak dapat bertahan16. Kartodirdjo, yang menyunting beberapa tulisan tentang elite menyimpulkan, bahwa studi tentang elite dalam karya-karya klasik banyak menitikberatkan pada pengaruh atau peranan yang besar dari kekuasaan kelompok elite. Sedangkan karyakarya lain lebih mengungkapkan studi tentang elite dalam kaitan kesejahteraan dan lingkungan kebudayaan tertentu yang menentukan jalan perkembangan masyarakat17. Donald K. Emerson, sebagaimana dipaparkan dan dianalisis oleh Alfian secara khusus melakukan studi tentang elite Indonesia, dengan memusatkan perhatian pada pola-pola tingkah laku (konflik dan adaptasi) elite politik yang tetap bertahan dalam kehidupan politik di lingkungan birokrasi dan legislatif. Studi Emmerson itu melukiskan tentang bagaimana elite priyayi dan santri dalam
14
David Jary & Julia Jary, op.cit., hal. 479. Maurice Duverger, Sosiologi Politik (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hal. 174. 16 Ibid., hal.31. 17 Sartono Kartodirdjo (ed), Elite dalam Perspektif Sejarah (Jakarta:LP3ES, 1983), hal. ix. 15
10
percaturan politik di Indonesia, yang menggambarkan pengaruh kebudayaan politik (political culture) dalam kehidupan elite politik18. Penelitian Emmerson tentang elite di Indonesia itu membedakannya dari studi tentang elite yang menekankan pada siapa-siapa yang perlu diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan atau elite yang mendominasi peta kekuasaan politik, yang sering dinilai sebagai studi tentang individu-individu elite yang tingkat relevansinya bersifat jangka pendek. Maka dalam studi tentang elite dengan fokus kajian pada masalah perilaku politik elite Muhammadiyah sebagaimana dikembangkan dalam kajian ini, dianalisis tentang pola perilaku politik elite Muhammadiyah dalam kaitan dengan faktor-faktor struktur (konfigurasi) kekuasaan elite, kebudayaan politik elite dan kepentingankepentingan elite dalam lingkungan kehidupan masyarakat di mana para elite itu berada. 1.4.2. Akar Pengertian Elite Masyarakat Istilah elite berasal dari bahasa Inggris “elite” yang juga berasal dari bahasa Latin “eligere”, yang berarti memilih19. Istilah elite (elite) digunakan pada abad ke tujuh belas untuk menyebut barang-barang dagangan yang mempunyai keutamaan khusus, yang kemudian digunakan juga untuk menyebut kelompok-kelompok sosial tinggi seperti kesatuan-kesatuan militer atau kalangan bangsawan atas20. Elite adalah orang-orang yang sangat berbakat atau terbaik dalam masyarakat. Dalam sosiologi istilah elite seringkali atau pada umumnya selalu dikaitkan dengan elite politik (political elites). Pandangan sosiologi itu didasarkan 18
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1978), hal. 275-276. Suzana Keller, op.cit., hal. 3. 20 T.B. Bottomore, “Kelompok Elit Dalam Masyarakat”, dalam Sartono Kartodirdjo (ed) Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 24. 19
11
atas asumsi dari teori tentang elite, yang membagi atau membedakan anggota masyarakat antara elite dan massa sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan dalam kehidupan masyarakat modern yang kompleks. Menurut Etzioni sebagaimana dikutip Keller, elite adalah kelompok aktor yang mempunyai kekuasaan21. Sehingga elite dikatakan sebagai orang atau sekelompok orang yang memegang posisi terkemuka dalam suatu masyarakat. Kehadiran elite dalam kehidupan masyarakat menurut Mosca sebagaimana dipaparkan Bellamy melekat dengan watak sosial manusia, bahwa keunggulan watak moral biasanya menang dalam jangka panjang atas keunggulan jumlah dan kekuatan22. Pola hubungan antara elite dan massa itu bersifat dinamis. Para elite bukan hanya memposisikan dirinya di atas anggota masyarakat tetapi sekaligus berusaha mempertahankan statusnya melalui sub-elite yang terdiri dari kelompok besar dari kelas menengah baru, aparatur pemerintah, manajer, administratur, ilmuwan atau kaum intelektual, yang menyediakan kader baru bagi elite di atasnya. Dalam kaitan dengan pemerintahan, elite itu ada yang memerintah, artinya terlibat langsung dalam pemerintah dan elite yang tidak memerintah, yang merupakan sisa yang besar dari keseluruhan elite23. Kedudukan (sosial) dan peran elite dalam kehidupan masyarakat bukanlah sesuatu yang statis. Menurut Pareto bahwa setiap masyarakat diperintah oleh elite yang komposisinya selalu berubah, yang disebut dengan sirkulasi elite, sehingga tidak ada perimbangan sempurna yang memungkinkan suatu elite untuk berkuasa
21
Suzanne Keller, op.cit., hal. 3. Richard Bellamy, Teori Sosial Modern: Perspektif Italy (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 9. 23 Albert Wijaya, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 63-64. 22
12
selamanya dan sejarah menunjukkan bahwa sirkulasi elite itu berlangsung terus menerus24. Dalam struktur sosial masyarakat di Indonesia terdapat kelompok elite yang memiliki kedudukan dan peran menentukan. Terdapat kaum bangsawan atau priyayi dan elite agama seperti ulama atau kyai yang keduanya sering disebut sebagai elite tradisional, yang berbeda dari elite baru yaitu elite birokrasi dan kaum intelegensia. Kartodirdjo melihat, karena proses modernisasi sejak zaman kolonial terutama pada awal abad ke-20, terjadilah pergeseran kedudukan dan peran elite dari elite tradisional ke elite baru25. Pada masa pasca kemerdekaan, muncul elite baru dari kalangan masyarakat Indonesia baik era Orde Lama, lebih-lebih pada masa Orde Baru, yang tampil sebagai “the rulling class” dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Elite militer (tentara), elite birokrasi (pejabat pemerintah), pengusaha, cendekiawan (intelektual, intelegensia), menempati posisi-posisi dan peran-peran strategis. Modernisasi dan pembangunan yang berlangsung makin cepat pada Orde Baru, telah melahirkan proses interaksi dan mobilitas sosial yang tinggi dalam kehidupan masyarakat pada umumnya dan kaum elite pada khususnya yang memunculkan posisi-posisi dan peran-peran sosial baru. Menurut Kuntowijoyo, jika pada masa pra-kemerdekaan kaum priyayi dapat memiliki kedudukan dan peranan sebagai abdi dalem dan abtenaar, kini muncul priyayi baru yaitu para pegawai yang disebut sebagai elite birokrasi. Elite birokrasi bahkan banyak terlibat aktif dalam kegiatan politik praktis26.
24
Richard Bellamy, op.cit., hal. 40. Sartono Kartodirdjo, op.cit., 1983, hal. Viii. 26 Kuntowijoyo, Demokrasi dan Budaya Birokrasi (Yogyakarta: Bentang, 1994), hal. 177. 25
13
Pergeseran kedudukan dan peran elite dalam kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di lingkungan umat Islam dapat dirujuk pada gejala perubahan pola kepemimpinan. Dalam perubahan sosial kepemimpinan tersebut tumbuh gejala “floating Leaders”, yakni para pemimpin yang mengambang, yaitu tokoh-tokoh yang tidak terjaring oleh lembaga-lembaga formal seperti tokoh agama, budaya dan tokoh intelektual27. 1.4.3. Perilaku Politik Sebagai Tindakan Sosial Perilaku politik dalam sudut pandang sosiologi dapat dikategorisasikan sebagai salah satu bentuk atau wujud perilaku sosial atau tindakan sosial, khususnya yang berkaitan dalam kehidupan politik. Menurut Weber bahwa tindakan sosial (social action) adalah tindakan yang memiliki makna subyektif (a subjective meaning) bagi dan dari aktor pelakunya: “…We shall speak of “action” insofar as the acting individual attaches a subjective meaning to his behavior be it overt, amission or acquiescene. Action is “social” insofar as it subjective meaning takes account of behavior and is thereby oriented in its course.”28 Tindakan sosial itu adalah seluruh perilaku manusia yang memiliki arti subyektif dari yang melakukannya, baik yang terbuka maupun yang tertutup, yang diutarakan
secara lahir maupun secara diam-diam, yang oleh para pelakunya
diarahkan kepada tujuannya. Sehingga, tindakan sosial itu bukanlah perilaku yang kebetulan, tetapi yang terstruktur atau memiliki pola tertentu dan makna-makna tertentu.
27
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985), hal.
98. 28
Max Weber (edited by Guenther Roth and Claus Wittich), Economy and Society (Berkeley: University of Columbia Press, 1978), hal. 4.
14
Weber secara khsusus mengklasifikasikan tindakan sosial yang memiliki artiarti subyektif itu ke dalam
empat tipe. Pertama, instrumentally rational
(zweckrational), yaitu tindakan yang ditentukan oleh harapan-harapan yang memiliki tujuan untuk dicapai dalam kehidupan manusia yang tujuan dengan alat untuk mencapai itu telah dirasionalisasikan dan dikalkulasikan sedemikian rupa untuk dapat dikejar atau diraih oleh yang melakukannya. Kedua, value rational (wertrational), yaitu tindakan yang didasari oleh kesadaran keyakinan mengenai nilai-nilai yang penting seperti etika, estetika, agama dan niali-nilai lainnya yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Ketiga, effectual (especially emotional), yaitu tindakan yang ditentukan oleh kondisi kejiwaan dan perasaan dari yang melakukannya dan keempat, tradisional, yaitu tindakan yang ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah daging29. Salah satu wujud dari perilaku sosial dalam kehidupan masyarakat ialah perilaku politik. Perilaku politik ialah perilaku yang bersangkut paut dengan proses politik, untuk membedakannya dari perilaku ekonomi, keluarga, agama, dan budaya30. Sedangkan politik ialah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu31. Para ilmuwan politik kontemporer berpandangan bahwa politik ialah proses pembuatan keputusan dan pelaksanaan keputusan-keputusan yang mengikat bagi suatu masyarakat32. Perilaku politik berarti suatu kegiatan yang berkenaan dengan
29
Max Weber, op.cit., hal. 24. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1992), hal. 9 31 Ibid., hal.11. 32 Charles F. Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hal. 54. 30
15
proses dan pelaksanaan keputusan politik dan yang melakukan kegiatan tersebut ialah pemerintah dan masyarakat33. Warga negara memang tidak memiliki fungsi menjalankan pemerintahan, tetapi mereka memiliki hak untuk mempengaruhi orang yang menjalankan fungsi pemerintahan itu. Di belakang setiap organisasi, kelompok dan lembaga-lembaga terdapat beberapa individu konkret yang membuat pelbagai keputusan, karenanya individu bukanlah subyek pasif yang semata-mata bereaksi terhadap nilai-nilai diluarnya dan kondisi-kondisi struktural yang melingkupinya. Aktor-aktor itu tidak hanya menerima peranan-peranan yang baru. Para aktor itu juga tidak hanya tanggap terhadap struktur-struktur yang telah mapan, tetapi juga melakukan perubahan pada kondisi-kondisi struktural itu. Karenanya dalam memahami segi kehidupan politik, diperlukan dan menjadi penting untuk memberikan perhatian khusus pada nilai-nilai, motivasi-motivasi dan persepsi individual dari para aktor itu34. individu sebagai aktor dalam perilaku politiknya yang dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinan itu beroperasi melalui struktur-struktur politik untuk membuat kebijakan yang mempunyai konsekuensi pada struktur, keyakinan dan individu35. Perilaku politik adalah tindakan individual dan kelompok dalam melakukan tindakan-tindakan politik36. Tingkah laku politik memiliki keterkaitan dengan kesadaran dan tujuan politik dari aktor yang memainkannya. Bahkan tingkah laku politik merupakan hasil dari pertemuan faktor-faktor struktur-struktur kepribadian,
33
Ramlan Surbakti, op.cit., hal. 131. Charlef F. Andrain, op.cit., hal.14. 35 Ibid., hal. 17. 36 David E. Apter, Pengantar Analisa Politik (Jakarta:LP3ES, 1985), hal.24-26. 34
16
keyakinan politik, tindakan politik individu dan struktur serta proses politik yang menyeluruh37. Demikian rumit keterkaitan antar faktor dan saling terkait antarfaktor yang mempengaruhi perilaku politik seseorang atau sekelompok orang, dapat dicermati dari adanya dua model analisis teori yang menelaah perilaku politik seperti yang berkembang di Indonesia, yaitu pertama, model Geertz yang melihat pola perilaku politik dengan orientasi sosio-religius santri dan abangan, dan kedua, model Jackson yang melihat faktor pola hubungan antara pimpinan dan pengikut dalam perilaku politik khususnya dalam Gerakan Darul Islam. Dalam pandangan sosiologis, pengelompokan sosial mempengaruhi perilaku politik seseorang atau sekelompok orang. Perilaku memilih suatu partai politik misalnya, dipengaruhi oleh latar belakang sosial ekonomi, kelas sosial, agama dan ideologi38. Tingkah laku politik tidak berdiri sendiri karena terkait dengan faktor-faktor lain yang melekat dalam suatu sistem politik. Dalam sistem politik pada umumnya terdapat empat faktor atau variable. Pertama, kekuasaan, yakni cara untuk mencapai hal yang diinginkan antara lain melalui sumber-sumber di antara kelompokkelompok dalam masyarakat. Kedua, kepentingan, yakni tujuan-tujuan yang dikejar oleh perilaku-perilaku atau kelompok politik. Ketiga, kebijakan, yakni hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan yang biasanya dalam bentuk perundangundangan dan keempat, budaya politik, yakni oerientasi subyektif dari individu terhadap sistem politik39.
37
Ibid., hal. 276. Afan Gaffar, “Javanesse Voters: A Case Study of Election Under A Hegemonic Party System”, Disertasi pada Ohio State University, 1988, hal. 6-7. 39 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1981), hal. 49. 38
17
Perilaku politik yang dilakukan aktor dipengaruhi oleh empat faktor. Pertama, lingkungan sosial politik tidak langsung seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan media massa. Kedua, lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. Ketiga, struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu dan keeempat, lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan suatu kegiatan40. Jadi, perilaku politik elite dalam masyarakat dipengaruhi oleh faktor personal-individual, faktor kekuasaan khususnya elite yang berpengaruh dalam struktur komunitas elite, baik di tingkat mikro maupun makro dalam kehidupan politik, faktor kepentingan dari setiap elite dan faktor budaya makro politik di mana elite itu berada. 1.4.3.1. Faktor individual (personal/Kepribadian) Menurut Lewin sebagaimana dikutip Andrain, perilaku manusia tergantung pada interaksi antar aspek-aspek individual dan karakteristik-karakteristik situasi. Variabel-variabel personal itu adalah pengalaman-pengalaman individual, warisanwarisan genetik, persepsi, motivasi, tujuan, sikap, keterampilan dan pengetahuannya. Sedangkan variable-variabel situasional terdiri atas keyakinan-keyakinan budaya termasuk nilai-nilai dan norma, struktur-struktur sosial, faktor-faktor geografis dan kemampuan teknologis41.
40 41
Ramlan Surbakti, op.cit., hal. 132-134. Charles F. Andrain, op.cit.,hal. 200.
18
Sikap politik individu merupakan pencerminan dari struktur kepribadian seseorang. Sedangkan basis fungsional dari sikap politik individu yang terkait dalam struktur kepribadian seseorang itu ialah faktor kepentingan, penyesuaian diri dan pertahanan diri. Basis kepentingan menyangkut penilaian-penilaian seseorang terhadap suatu obyek yang terkait dengan minat dan kebutuhan. Basis penyesuaian diri menyangkut keinginan untuk sesuai atau selaras dengan sesuatu yang menjadi obyek atau tujuan, sedangkan basis pertahanan diri berkenaan dengan keinginan untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis seperti melakukan rasionalisasi, proyeksi diri, idealisasi dan identifikasi42. 1.4.3.2. Faktor Struktur Kekuasaan Setiap elite atau individu maupun kelompok-kelompok selalu memainkan peranan aktif dalam politik adalah karena dorongan kemanusiaan yang tidak dapat dihindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan dan karena para individu menerima keharusan untuk melakukan sosialisasi dan penanaman nilai-nilai guna menemukan ekspresi
bagi pencapaian kekuasaan tersebut, maka upaya apapun
dilakukan untuk memindahkan penekanan dari para elite dan kelompok kepada individu43. Perilaku politik merupakan tindakan sosial untuk perjuangan kekuasaan. Kekuasaan menurut Weber adalah: “power is the probability that one actor within a social relatioship will be in a position to carry out his own will despite resistance, regardless of the basis on which this probability rests”44.
42
Ramlan Surbakti,op.cit., hal. 132. Charles F. Andrain,op.cit., hal 200. 44 Max Weber, op.cit., hal 53. 43
19
Mengenai aktor yang berkuasa, secara khusus Mills melakukan studi tentang the Power Elite, yang menganalisis tentang struktur elite kekuasaan di Amerika Serikat. Tesis Mills sebagaimana diulas Johnson menyatakan, bahwa mereka yang menduduki posisi tingkat atas dalam institusi ekonomi, militer dan politik membentuk kurang-lebih elite kekuasaan yang terintegrasi dan terpadu, yang keputusan-keputusan penting yang dihasilkannya menentukan struktur dasar dan arah kehidupan masyarakat45. Keberadaan dan peranan elite tidak terlepas dari proses politik dan kekuasaan dalam kehidupan suatu masyarakat di mana para elite itu berada. Putnam mengemukakan adanya lima aspek keberadaan elite yang berkaitan dengan kekuasaan politik, yaitu pertama, kekuasaan politik seperti halnya barang-barang sosial lainnya didistribusikan dengan tidak merata. Kedua, pada hakekatnya orang dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu mereka yang memiliki kekuasaan politik penting dan mereka yang tidak memilikinya. Ketiga, secara internal elite itu bersifat homogen, bersatu dan memiliki kesadaran kelompok, sehingga bukan merupakan kumpulan individu yang saling terpisah. Keempat, elite itu mengatur sendiri kelangsungan hidupnya dan keanggotaannya berasal dari lapisan masyarakat yang sangat terbatas dan kelima kelompok elite itu pada hakekatnya bersifat otonom46. Komunitas atau kelompok elite sendiri memiliki struktur kekuasaan di dalam dirinya, sehingga para ahli ilmu sosial menganalisis posisi dan peran elite dalam tiga kategori, yaitu analisis posisi, reputasi dan keputusan. Pada level posisional, orang45
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta, Gramedia, jilid-2, 1990). 174. Robert D. Putnam, “Studi Perbandingan Elite Politik”, dalam Mohtar Mas’oed & Colin MacAndrews (ed.), Perbandingan Sistem Politik (Yogyakata: Gadjah mada University Press, 1997), hal.78-79. 46
20
orang yang menduduki posisi-posisi tinggi dalam organisasi atau lembaga-lembaga cenderung secara politik
berkuasa. Pada level reputasi terdapat kecenderungan
bahwa orang-orang yang memiliki reputasi tertentu memiliki kekuasaan secara informal. Pada level keputusan, bahwa untuk mengetahui kekuasaan elite maka dapat didefinisikan dari siapa yang paling menentukan dalam pengambilan keputusan47. Dalam praktiknya, dimungkinkan sekali bahwa ketiga tipe stratifikasi elite itu, yakni elite berdasarkan posisi, elite reputasi dan elite keputusan saling tumpah tindih karena adanya pertautan masing-masing dalam posisi dan peran para elite itu sehingga melahirkan kekuasaan elite yang terkonsentrasi. Konsentrasi kekuasaan elite menurut Michels sebagaimana dikutip Johnson, merupakan suatu gejala “hukum besi oligarkhi” (iron law of oligarchy), yakni kecenderungan umum bagi kekuasaan untuk menjadi terkonsentrasi pada tangan elite yang keputusan dan tindakannya secara bertahap diarahkan untuk mempertahankan kekuasaan kaum elite tersebut lebih daripada meningkatkan kepentingan rakyat jelata48. Maka dalam mengkaji struktur kekuasaan elite sebagai faktor yang mempengaruhi posisi dan peran para elite dalam suatu masyarakat atau komunitas tertentu dapat diamati dua aspek atau sub-struktur kekuasaan elite. Pertama, pada tingkat mikro kelompok elite sosial mana yang dianggap paling berkuasa
atau
berpengaruh dalam struktur kekuasaan kelompok elite itu yang pada akhirnya mempengaruhi posisi dan peran elite dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Kedua, pada tingkat makro, kekuasaan elite apa saja yang tengah
47 48
Ibid., hal. 91-94. Doyle Paul Johnson, op.cit., hal. 180.
21
berkuasa dalam kehidupan sistem politik yang juga memungkinkan mempengaruhi posisi dan peran para elite dalam kehidupan masyarakat di mana para elite itu berada. 1.4.3.3. Faktor Kepentingan Menurut Lasswel sebagaimana dikutip Budiardjo, bahwa pada dasarnya setiap manusia menginginkan adanya nilai-nilai, yang meliputi kekuasaan (power), pendidikan/penerangan (enligtenment), kekayaan (wealth), kesehatan (wellbeing), keterampilan (skill), kasih sayang (affection), kejujuran (rectitude) dan keadilan (rechtchapen-heid), dan keseganan/respek (respect)49. Kepentingan sebagai tujuan-tujuan yang dikejar oleh setiap aktor, merupakan faktor penting dalam perilaku politik individual maupun kelompok, yang selalu melekat dalam proses politik di mana pun dan kapan saja. Menurut Roy Macridis sebagaimana diikuti Andrain, kepentingan merupakan kekuatan pendorong yang utama bagi manusia dan tindakan manusia didasarkan atas pemilikan kepentingan. Bahkan, konfigurasi kepentingan-kepentingan yang saling berjuang dan berlomba50. Sistem politik adalah suatu mekanisme yang mengalokasikan nilai-nilai otoritarif sebagaimana hal itu mempengaruhi distribusi dan penggunaan kekuasaan. Pandangan senada diutarakan oleh Harold Lasswell, bahwa perilaku politik selalu berorientasi pada nilai atau berusaha mencapai tujuan dan perilaku politik bertujuan untuk menjangkau masa depan serta antisipasi dan berkaitan dengan masa lampau dari para pelakunya51.
49
Miriam Budiardjo, op.cit., hal. 32. Charles F. Andrain, op.cit., hal . 201. 51 Ibid., hal. 263. 50
22
Tindakan sosial, termasuk di dalamnya perilaku politik, memiliki tujuan tertentu. Dari kaitan tindakan sosial dan pencapaian tujuan itu maka sesuatu tindakan sosial selain memiliki tujuan yang dicapai, juga memperhitungkan sumber-sumber yang dimiliki untuk pencapaian tujuan ini, situasi yang mengelilingi para pelaku, dan pilihan-pilihan cara guna mencapai tujuan tersebut52. Tujuan-tujuan itu melekat dengan kepentingan politik, ekonomi, status sosial, kejiwaan dan kepentingankepentingan lainnya yang bersifat agregasi atau penggabungan dari tujuan-tujuan yang hendak diraih itu. 1.4.3.4. Faktor Budaya Politik Emmerson berdasarkan hasil penelitiannya tentang elite Indonesia seperti dikupas Alfian menunjukkan, bahwa kebudayaan politik elite menentukan pola-pola tingkah laku politik dan sistem politik, bukan melalui siapa-siapa yang diperhitungkan dengan proses pengambilan keputusan atau mendominasi pentas kekuasaan politik53. Kebudayaan politik sebagai orientasi nilai dan keyakinan politik yang melekat dalam diri aktor, dapat dianalisa dalam beberapa tipe orientasi54. Pertama, orientasi kognitif berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada sistem politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan output dari sistem politik tersebut. Kedua, orientasi afektif, berupa perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan penampilannya. Ketiga, orientasi evaluatif, berupa keputusan-keputusan dan
52
Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hal. 48. Alfian, op.cit., hal. 276-277 54 Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hal. 16. 53
23
pendapat-pendapat tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. Tipe-tipe kebudayaan politik itu secara aktual dapat dicermati dalam perilaku partisipasi politik sebagai berikut: Pertama, kebudayaan politik partisipan, yakni ditandai oleh orang-orang yang melibatkan diri dalam kegiatan politik seperti dalam kegiatan pemungutan suara dan orang-orang tersebut memperoleh informasi yang cukup tentang kehidupan politik. Kedua, kebudayaan politik subyek, yang ditandai oleh orang-orang yang secara pasif patuh kepada pejabat-pejabat pemerintahan dan kepada undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik seperti kaum partisipan. Ketiga, kebudayaan politik parokial, yang diandai oleh orang-orang yang sama sekali tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik55. Sementara itu, Wijaya memetakan variable kebudayaan politik elite sebagai berikut: Dari sifat budaya politik, yakni yang menyangkut orientasi nilai-nilai yang bersifat pragmatik atau utopis; dari bentuk-bentuk budaya politik, yakni menyangkut sikap terhadap tradisi dan perubahan dalam wujud pertama-tama sikap terbuka atau tertutup; dari segi tingkat militansi apakah menunjukkan sikap politik yang toleran atau fanatik; Dari segi peranan politik, yakni pertama, menyangkut pola kepemimpinan apakah berupa pendorong inisiatif dan kebebasan kreatif atau penuntut kepatuhan, kedua, dari sikap terhadap mobilitas apakah menjadi peminat pada status-quo atau pada mobilitas, dan ketiga, berkenaan dengan kebijakan apakah berorientasi pada kebijakan ekonomi atau non-ekonomi56.
55 56
Ibid., hal.42. Albert Wijaya, op.cit., hal. 18.
24
Jadi, kebudayaan politik merupakan orientasi keyakinan, nilai-nilai dan pengetahuan yang mempengaruhi perilaku politik seseorang atau sekelompok orang dalam beragam bentuk sikap, tindakan dan partisipasi politik. 1.4.4. Elite Dalam Komunitas Islam Komunitas Islam sebagai suatu ikatan sosial yang menjadi dasar dari peranan dan tempat seseorang dalam hubungan sosial, pertama-tama harus dilihat sebagai komunitas yang memiliki komitmen sakral pada hubungan. Yang kedua sebagai kenyataan sosiologis yang bersifat lokal sehingga menunjukkan sifatnya yang serba fragmentaris57. Dalam dinamika hubungan antara ajaran dan pemeluknya itu kemudian muncul ketegangan-ketegangan hubungan umat Islam, termasuk perilaku para elitenya. Dari ketegangan dalam kehidupan komunitas Islam semacam itu maka lahirlah corak kepemimpinan atau elite Islam yang beragam. Hal ini dapat dianalisis dari kelahiran tiga corak elite dalam kepemimpinan komunitas Islam, yaitu elite ulama-bebas, elite pejabat-agama dan tokoh organisasi dan belakangan muncul elite intelektual, yang mencerminkan gejala sosiologis dan kepemimpinan Islam di Indonesia58. Pola kepemimpinan Islam sebagai gejala sejarah atau sosiologis yang mengalami perubahan atau pergeseran , menurut kuntowijoyo terjadi karena adanya kecenderungan baru, yang berarti terjadi sirkulasi atau pergeseran posisi dan peran elite di kalangan komunitas muslim59.
57
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah (Jakarta:LP3ES, cetakan ke-2, 1996), hal. 58. 58 Ibid., hal. 71. 59 Ibid., hal. 99.
25
Kehadiran elite dalam kepemimpinan komunitas Islam di Indonesia menunjukkan dialektika hubungan-hubungan sosial yang beragam dalam setiap babakan sejarahnya, terutama dalam percaturan politik berkenaan dengan hubunganhubungan kekuasaan. Pada masa Orde Baru, bahwa perilaku politik umat Islam yang terkait dengan dialektika Islam dan negara itu. Pertama, tercermin dalam pola hubungan yang bersifat antagonistik, yakni hubungan saling pertentangan yang berlangsung sekitar tahun 1966 sampai tahun 1981, yang antara lain melahirkan gejala politik Islam radikal. Pada periode ini hubungan umat Islam dan pemerintah sering diwarnai oleh ketegangan dan konflik yang sangat keras. Kedua, hubungan yang bersifat resiprokal-kritis (1982-1985), yang diwarnai oleh proses saling memahami posisi masing-masing dan memunculkan hubungan saling menguntungkan tetapi tetap kritis. Ketiga, pola hubungan akomodatif, yakni hubungan akomodasi yang didasarkan pada saling memahami dan menguntungkan bagi kedua pihak. Hubungan akomodatif ini berlangsung sejak diterimanya asas Pancasila dalam tubuh organisasi kemasyarakatan ini setelah sebelumnya dialami oleh organisasi politik, yakni setelah tahun 1985 dengan berlakunya Undang-Undang No. 8 tahun 198560. Dalam dinamika hubungan Islam dan politik sebagaimana berkembang dalam corak hubungan umat Islam dan pemerintah pada masa Orde baru itu, muncul beragam kecenderungan pemikiran dan sikap kelompok –kelompok atau elite muslim yang diwarnai oleh empat aliran61.
60
Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 240-278. 61 Ibid., hal.334.
26
Pertama, kelompok pragmatis, yang menunjukkan sikap politik yang lebih suka mengintegrasikan diri dengan kekuasaan dan bahkan masuk ke dalam struktur kekuasaan itu dengan meninggalkan label ideologis dalam pemikiran. Kedua, kelompok idealis yang memiliki sikap politik yang reseptif (mau menerima) dan kompromis terhadap pemerintah sekalipun tidak selalu mengintegrasikan diri dalam kekuasaan. Ketiga, kelompok tranformatif, yang menunjukkan komitmen pada perubahan yang mendasar atau revolusioner. Keempat, kelompok prinsipalis, yang menghendaki ditegakkannya prinsip-prinsip Islam yang sebenar-benarnya. Keempat kelompok tersebut saling mengisi dan menguatkan dengan sistem penggolongan yang bersifat longgar, sehingga sulit untuk mengidentifikasinya secara tegas. Perilaku politik kelompok atau elite muslim dengan beragam kecenderungan tersebut tampaknya diwarnai oleh konfigurasi pemikiran dan sikap dalam meyakini, memahami dan mengamalkan agama (Islam) dalam kaitannya dengan politik yang membawa pada persentuhan yang kompleks antara keduanya. Agama sebagai gejala sosiologis tidak semata-mata menyangkut pengalaman keagamaan dalam kaitan nilai-nilai transendental bagi pemeluknya, tetapi juga bersentuhan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Dalam kenyataan sosiologis, menurut Collins, hubungan antara agama dan kehidupan pemeluknya itu bersifat kompleks dalam pola hubungan religion is “really” economics, politics is “really” religion, and economics is “really” religion62. Dalam masyarakat yang majemuk (plural societes), agama dan politik seringkali bersentuhan dengan heterogenitas etnik dan golongan yang di Indonesia
62 Randall Collins, Weberian Sociological Theory (New York: Cambridge University Press, 1986), hal. 7.
27
dikenal dengan istilah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Menurut Alford, “The connection between religion and politics arises as problem only in nations which are not religiously homogeneous63. Pola perilaku politik elite muslim dapat dicermati pula dalam beragam corak, yang menunjukkan keragaman orientasi keyakinan dan pemikiran keislamannya dalam menanggapi kenyataan kehidupan. Pada masa Orde Baru muncul antara lain corak perilaku kaum idealis muslim dalam menanggapi pembangunan
yang
sekaligus berpautan pula dengan perilaku politik masing-masing kelompok. Pandangan politik kelompok-kelompok Islam tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, Pandangan kaum idealis. Kelompok ini berpandangan bahwa kaum muslimin hendaknya terjun ke dalam arena politik dan mempunyai partai politik sendiri untuk mengurus kepentingan Islam, dengan dalih bahwa manakala peran tersebut tidak dimainkan maka kelompok-kelompok lain yang menjadi lawan politik Islam akan menguasai nasib bangsa ini. Kedua, pandangan kelompok pusat muslim. Kelompok ini berpandangan bahwa prioritas politik umat Islam ialah mewujudkan integrasi dan persatuan dalam kepemimpinan umat, sedangkan keterlibatan umat dalam politik partisan dipandang oleh kelompok ini akan sia-sia dari segi tujuan-tujuan umat. Kelompok ini terdiri dari banyak kaum reformis dan berpandangan bahwa pencapaian tujuan-tujuan sosiopolitik umat Islam hendaknya dicari dalam konteks keputusan-keputusan konstitusional dan judisional yang diberikan oleh negara.
63
R.R. Alford, “Religion and Politics”, dalam Roland Robertson (ed.), Sociology of Religion (Middlisex-England:Penguin Books, 1971), hal. 321.
28
Ketiga, pandangan kelompok pragmatis. Kelompok ini memiliki pandangan agar umat Islam menempuh langkah-langkah praktis berupa konsentrasi pada satu bidang pembangunan yang khusus dengan meninggalkan pandangan-pandangan yang idealis dan tidak praktis. Kelompok ini juga menghendaki ditinggalkannya politik lama yang diwarnai konflik pribadi dan konflik golongan serta menuntut adanya peralihan kepemimpinan umat dari generasi tua ke generasi muda. Kelompok ketiga inilah yang mendapat tempat dalam politik orde baru, sedangkan kelompok pertama dan kedua banyak dicurigai dan menjadi tersisih dalam percaturan politik pada dua dekade perjalanan Orde Baru64. Keempat, sebagai varian lain dari tiga kelompok Islam tersebut, muncul kelompok realistis-akomodasionis dan kaum modernis yang reformis65. Dari beberapa corak perilaku politik Islam di Indonesia, khususnya pada masa Orde baru, dapat dicermati adanya varian kecenderungan seperti ditunjukkan oleh Muhammadiyah sebagai salah satu kekuatan sosial-keagamaan di Indonesia. Muhammadiyah dalam hal ini menunjukkan sikap politik yang akomodatif-realistik dari kalangan umat Islam lainnya. Sikap akomodatif-realistik ini merupakan cerminan dari Muhammadiyah yang memandang Islam sebagai bersifat totalistik mengenai kehidupan tetapi memilih pendekatan non-politik dan pendidikan dalam mencapai tujuan melahirkan suatu masyarakat Islam. Sikap politik yang akomodatifrealistis lebih diterima oleh kekuasaan dan merupakan masa depan yang dominan
64
Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia: (Jakarta:Lingkaran Studi Indonesia, 1987), hal. 94-95. 65 Ibid., hal. 101.
29
Respon
Cendekiawan
Muslim
dari suatu simbiosis Islam dan penyesuaian-penyesuaian diri dengan Demokrasi Pancasila di bawah hegemoni militer pada era Orde Baru itu66. Dengan demikian, di dalam komunitas elite muslim, termasuk di dalamnya elite Muhammadiyah terdapat heterogenitas pola orientasi politik-keagamaan yang menunjukkan
orientasi
perilaku
politik
keagamaan
yang
radikal,
idealis,
transformatif, akomodatif dan pragmatis dalam merespon dinamika kehidupan yang tumbuh baik di lingkungan intern umat Islam maupun dalam kancah kehidupan bangsa dan negara. Beragam corak perilaku politik-keagamaan tersebut terkait pula dengan dinamika kelompok di tubuh umat Islam yang memiliki corak faham dan basis sosial keagamaan yang heterogen. 1.4.5. Konsep Tentang Elite Muhammadiyah Elite Muhammadiyah adalah orang-orang yang terkemuka yang menduduki posisi teratas secara formal dan berperan dalam menentukan kebijakan organisasi di lingkungan Muhammadiyah. Dengan mengikuti konsep-konsep dan analisis yang dikembangkan oleh para ahli teori elite, maka fokus analisis tentang elite Muhammadiyah dalam penelitian ini ialah analisis elite posisional, yakni elite yang berada dalam puncak struktur organisasi formal Muhammadiyah. Namun, karena kehidupan sosial dari elite Muhammadiyah itu dicari pula kaitannya dengan aspek reputasi dan pengambilan keputusan yang tumbuh serta berkembang dalam kehidupan komunitas elite Muhammadiyah.
66
Ibid., hal. 231.
30
Elite yang menduduki posisi formal dan penting dalam struktur kepemimpinan dan organisasi Muhammadiyah yang dijadikan bahan studi ialah elite Muhammadiyah yang terdiri atas lima kelompok: Pertama, elite ulama/agama, yakni elite Muhammadiyah yang secara khusus memiliki bobot sebagai kyai atau tokoh agama. Kedua, elite pengusaha/pedagang, yakni elite Muhammadiyah yang secara khusus memiliki pekerjaan utama sebagai pengusaha, pedagang. Keempat, elite birokrat/birokrasi, yakni elite Muhammadiyah yang secara khusus memiliki pekerjaan utama sebagai pegawai negeri. Kelima, elite swasta,
yakni elite Muhammadiyah yang secara khusus
memiliki pekerjaan utama sebagai pegawai atau karyawan swasta. Keenam, elite politisi, yakni elite Muhammadiyah secara khusus memiliki kedudukan dan peran sebagai aktivis politik di PAN, PKS, PBB, Golkar, PPP, dan partai lainnya. Sedangkan karakteristik elite Muhammadiyah yang menjadi fokus kajian ini ialah sebagai berikut: Pertama, latar belakang kehidupan elite
dalam berbagai
aspeknya yang membentuk profil elite Muhammadiyah dalam hal pendidikan, usia, etnik, pekerjaan, lingkungan pekerjaan dan sebagainya. Kedua, posisi dan peran sosial elite di dalam Muhammadiyah maupun di luar Muhammadiyah. Ketiga, pembentukan elite Muhammadiyah meliputi rekruitmen elite, tentang bagaimana mereka menjadi elite Muhammadiyah, khususnya menyangkut pembinaan elite Muhammadiyah. Keempat, menyangkut pola hubungan elite Muhammadiyah dengan elite muslim lain dan elite lain dalam masyarakat untuk menggambarkan mobilitas sosial elite. 31
1.4.6. Perilaku Politik Elite Muhammadiyah Perilaku politik elite Muhammadiyah adalah politik yang dilakukan oleh warga negara
yang
dikategorikan
sebagai
elite
atau
tokoh
terkemuka
dalam
Muhammadiyah. Dengan demikian perilau politik elite Muhammadiyah dapat dikonseptualisasikan sebagai tindakan-tindakan politik individual maupun kelompok dari tokoh-tokoh organisasi Muhammadiyah dalam proses politik. Perilaku politik elite Muhammadiyah secara khusus ditunjukkan oleh dua aspek atau dimensi: Pertama, partisipasi politik dalam pemilu, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan untuk memobilisasi massa guna kepentingan politik tertentu. Kedua, interaksi atau hubungan elite Muhammadiyah dengan pihak-pihak yang memiliki akses pada keputusan politik, khususnya pemerintah dan kekuatankekuatan politik di masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Asumsi dasar yang dikembangkan sebagai bangunan konsep dan teori tentang perilaku politik elite Muhammadiyah ialah kecenderungan sikap moderat-akomodatif yang selama ini melekat dan menjadi corak yang khas dari gerakan Muhammadiyah, yakni perilaku politik kooperatif dan senantiasa ingin menjaga jarak dalam semangat netralitas dalam watak gerakan kultural Muhammadiyah. Orientasi perilaku politik elite Muhammadiyah dapat dikategorisasikan menjadi tiga. Pertama, idealis, sikap politik yang cenderung menarik garis batas dengan kekuasaan dan sampai batas tertentu menunjukkan sikap oposisi atau radikal terhadap kekuasaan. Kedua, akomodasionis, yaitu sikap politik kompromistik atau menyesuaikan diri dengan kekuasaan (pemerintah, negara) tetapi tidak dengan mengintegrasikan diri dalam kekuasaan selain terbatas pada kerjasama yang saling
32
membutuhkan dengan tetap berpegang pada prinsip gerakan Muhammadiyah. Ketiga, pragmatis, yaitu sikap politik mengintegrasikan diri dalam kekuasaan itu dengan kecenderungan meninggalkan label ideologi Muhammadiyah67. Ketiga pola atau corak perilaku politik elite Muhammadiyah yang bersifat idealis, akomodatif dan pragmatis itu dikembangkan dari polarisasi sikap politik dari ekstremitas antara pola perilaku yang antagonis di satu pihak dan pola perilaku yang protagonis di pihak lain dengan titik tengah pada pola perilaku moderat. Corak akomodatif berada dalam pola perilaku politik antagonis dan corak pragmatis berada dalam pola perilaku protagonis. 1.4.6.1. Kekuasaan Elite Muhammadiyah Kekuasaan elite Muhammadiyah berarti peran yang dilaksanakan atau dimainkan oleh elite Muhammadiyah sesuai dengan posisinya atau mempengaruhi orang-kelompok/pihak lain sehingga sesuai dengan tujuan atau kepentingan yang dikehendaki. Dengan demikian pandangan Putnam, bahwa orang memiliki lebih banyak kekuasaan dibandingkan dengan yang lainnya, maka terdapat tiga kategori elite Muhammadiyah. Pertama, kekuasaan elite sebagai kemampuan untuk mempengaruhi individu-individu lain termasuk anggota/massa. Kedua, kekuasaan elite sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan organisasi dan ketiga, kekuasaan sebagai kemampuan untuk melakukan alokasi nilai-nilai secara otoritatif68. Konsep operasional yang dipandang menentukan dan menjadi fokus kajian dari faktor kekuasaan elite Muhammadiyah ialah struktur kepemimpinan Muhammadiyah 67 68
Haedar Nashir, Perilaku Politik Elite Muhammadiyah . Yogyakarta: Tarawang. Hal .50. Putnam, op.cit., hal. 277.
33
ialah kelompok elite mana saja yang paling berpengaruh dalam struktur kepemimipianan Muhamadiyah yang pada akhirnya ikut mempengaruhi orientasi politik Muhammadiyah dan gerakan Muhammadiyah pada umumnya dalam bidang sosial kemasyarakatan dan pembaruan keagamaan. Konsep elite yang berkuasa (the rulling class, the rulling elite atau the power elite) dirujukkan kepada pandangan Mosca, Pareto, Mills dan Lasswell69. 1.4.6.2. Kebudayaan Elite Muhammadiyah Merujuk pada tesis Emmerson seperti dibahas Alfian ahwa kebudayaan politik mempengaruhi tingkah laku elite politik yang menjelma menjadi kebudayaan politik elite dan dengan mengikuti konsep kebudayaan politik dari Apter, Almond dan Wijaya,
maka
dikembangkan
konsep
tentang
kebudayaan
politik
elite
Muhammadiyah sebagai berikut: Kebudayaan politik Muhammadiyah dikonseptualisasikan sebagai pandangan dan sistem nilai yang mempengaruhi tingkah laku politik dari elite Muhammadiyah. Aspek-aspek kebudayaan politik elite Muhammadiyah meliputi: pertama, alam pikiran warga Muhammadiyah tentang politik yang telah menjadi tradisi dalam menentukan sikap politik. Kedua, pandangan-pandangan formal organisasi yang menjadi acuan bagi tindakan warga Muhammadiyah dan ketiga, paham keagamaan yang mempengaruhi perilaku kolektif warga Muhammadiyah. Indikator utama dari variable atau dimensi kebudayaan politik elite Muhammadiyah ialah orientasi pada khittah Muhammadiyah yang mengandung
69
Lihat beberapa karya berikut ini. T.B. Bottomore, “Kelompok Elit dan Masyarakat”, dalam Sartono Kartodirdjo, op.cit., (Jakarta:LP3ES, cetakan III-1990), hal 25. Suzanne Keller, op.cit.,hal. 23. Richard Bellamy,op.cit., hal 54.
34
garis kebijakan organisasi yang menggambarkan netralitas dalam sikap politik Muhammadiyah. Netralitas sikap politik Muhammadiyah sering disamakan dengan budaya politik kooperatif atau akomodatif sebagaimana yang melekat dalam organisasi ini sejak awal berdirinya sampai perkembangan masa-masa selanjutnya, yang disebut pula sebagai tradisi politik Muhammadiyah yang kooperatif dengan pemerintah yang berbeda dari politik non-kooperatif70. 1.4.6.3. Kepentingan Politik Elite Muhammadiyah Kepentingan politik termasuk variabel dari empat variabel dalam sistem politik (tiga variabel lainnya ialah kekuasaan, kebijakan, dan budaya politik71). Kepentingan sebagai faktor dari perilaku politik didasarkan atas pandangan bahwa politik merupakan kegiatan para elite dalam membuat dan melaksankan kebijakan umum, yang terkait dengan apa yang disebut Easton sebagai kepentingan untuk mengalokasikan nilai-nilai yang otoritatif dalam masyarakat baik yang bersifat idealspiritual maupun material-jasmaniah72. Dalam kaitannya dengan perilaku politik elite Muhammadiyah, kepentingan politik ditunjukkan oleh aspek-aspek berikut: Pertama, kepentingan untuk mengalokasikan nilai-nilai keagamaan (kepentingan dakwah) melalui proses politik. Kedua, kepentingan untuk memperoleh akses ekonomi yang berkaitan dengan pengembangan kegiatan-kegiatan organisasi dan amal-usaha Muhammadiyah. Ketiga, kepentingan individual elite untuk melakukan mobilitas vertikal baik yang bersifat politik, ekonomi maupun karir dalam jabatan tertentu. 70
H.S. Prodjokusumo, Pemasyarakatan Tradisi, Budaya, dan Politik Muhammadiyah (Jakarta, Perkasa, 1995), hal.107. 71 Miriam Budiardjo, op.cit., hal. 49. 72 Ramlan Surbakti, op.cit., hal. 6-7.
35
Kepentingan politik elite Muhammadiyah terutama sekali dikaitkan dengan membangun pola hubungan saling berkepentingan dengan kekuasaan dalam pola linkage interest. 1.5. Kerangka Konseptual Keterkaitan kerangka teori di atas dengan masalah yang akan diteliti, yaitu elite Muhammadiyah. Dapat dikemukakan bahwa elite Muhammadiyah merupakan orang-orang terkemuka, menduduki posisi strategis dalam kepengurusan (teratas secara formal) dan berperan dalam menentukan dan menjalankan kebijakan organisasi di lingkungan Muhammadiyah. Mengikuti konsep-konsep dan analisis yang dikembangkan oleh para ahli teori elite, maka fokus analisis tentang elite Muhammadiyah dalam penelitian ini ialah analisis elite posisional, yaitu elite yang berada dalam puncak struktur organisasi formal dalam hal ini kepengurusan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Namun karena kehidupan sosial ini sering bersifat kompleks, maka aspek posisi elite dari Muhammadiyah itu dicari pula kaitannya dengan aspek reputasi dan pengambilan keputusan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan komunitas elite Muhammadiyah. Secara garis besar elite Muhammadiyah dibedakan atas dua, yaitu formal dan informal. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh peranan, status, pengaruh (ketokohan), dan jabatannya baik dalam struktur kepengurusan Muhammadiyah maupun jabatan yang diemban di luar organisasi Muhammadiyah. Yang dimaksud secara formal, yaitu elite Muhammadiyah dalam komposisi kepengurusan Muhammadiyah, dalam hal ini unsur ketua, dan sekretaris, bendahara dan ketua bidang yang dikenal sebagai pengurus harian Muhammadiyah. Sedangkan elite 36
Muhammadiyah di luar dari struktur kepengurusan Pimpinan Muhammadiyah adalah tokoh Muhammadiyah yang memiliki peranan, status, dan pengaruh yang cukup besar pada warga Muhammadiyah dan masyarakat pada umumnya. Perilaku politik elite Muhamadiyah adalah politik yang dilakukan warga negara yang dikategorikan sebagai elite atau tokoh terkemuka dalam organisasi Muhammadiyah. Dengan demikian perilaku politik elite dapat dikonseptualisasikan sebagai tindakan-tindakan politik individual maupun kelompok dari tokoh-tokoh organisasi Muhammadiyah dalam proses politik. Perilaku politik elite Muhammadiyah secara khusus ditunjukkan oleh dua aspek atau dimensi: pertama, partisipasi politik dalam rangkaian penyelenggaraan pemilu, termasuk usaha memobilisasi massa pendukung untuk tujuan politis. Kedua, interaksi atau hubungan elite Muhammadiyah dengan pihak-pihak yang memiliki akses pada keputusan politik, khususnya pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik di masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. 1.6. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu suatu metode yang bermaksud mengembangkan pengertian tentang individu dan kejadian dengan memperhitungan konteks yang relevan. Landasan teoritis dari penelitian kualitatif ini adalah pada fenomenologi sebagai orientasi atau perspektif teoritis dalam memandang, mengarahkan pelaksanaan penelitian ini, yaitu dalam kegiatan mengumpulkan dan menganalisa data penelitian. Pendekatan ini mengutamakan pengalaman kesadaran subyek yang diteliti, yaitu perspektif orang dalam atau perspektif pelaku.
37
1.6.1. Batasan Ruang Lingkup Kajian Ruang
lingkup
Kajian
ini
berfokus
pada
perilaku
politik
Elite
Muhammadiyah pada Pemilu Tahun 1999 dan Pemilu tahun 2004, dengan pertimbangan bahwa pada masa tersebut Muhammadiyah berada dalam situasi yang berbeda dari masa-masa sebelumnya. Muhammadiyah pada masa itu menghadapi dilema dalam merespon situasi politik nasional. Muhammadiyah sesuai Khittahnya tahun 1971 di Makassar, adalah organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan yang tidak berafiliasi dengan partai politik dan organisasi mana pun. Namun, pasca Orde Baru, Muhammadiyah dianggap bergeser dari Khittahnya tersebut dan cenderung melakukan politik praktis, oleh karena banyak pimpinan Muhammadiyah menjadi inisiator pembentukan partai politik dan menjadi pengurus partai politik. Sebagian di antaranya memberikan dukungan terhadap PAN, dan sebagian mendukung partai berazas Islam seperti PPP, PBB dan PKS. Namun di sisi lain terdapat pula elite yang bersikap non-partisan, yaitu tetap mempertahankan sikap sebagaimana Khittah Muhammadiyah 1971 yang tidak berafiliasi ke partai politik manapun. 1.6.2. Daerah dan waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar, yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi dan setting sosial ini didasarkan pada beberapa alasan: Pertama, Pada masa sebelum era reformasi, pada umumnya ulama, tokoh dan elite pimpinan Muhammadiyah di Makassar cenderung tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis dan partai politik baik di PPP maupun Golkar. Mereka cenderung mengurusi kegiatan sosial keagamaan organisasi Muhammadiyah, seperti amal usaha di bidang pendidikan dan kesehatan, kegiatan tabligh, dan pengkaderan pimpinan 38
dan anggota. Namun pada era reformasi beberapa tokoh dan elite pimpinan Muhammadiyah di Makassar mengambil peran sebagai inisiator dan deklarator pendirian Partai Amanat Nasional. Dan kemudian sebagian berlanjut menjadi pengurus dan pimpinan PAN. Kedua, Kehadiran PAN yang didirikan Oleh M. Amien Rais, yang merupakan tokoh Muhammadiyah, tidak serta merta menjadikan arus pilihan politik elite dan warga Muhammadiyah mengarah Ke PAN. Beberapa Elite Muhammadiyah menjadi deklarator dan pimpinan di Partai Keadilan, dan sebagian mendukung dan simpatik ke PBB, dan juga ke PPP. Ketiga, Pada masa Orde Baru, Sulawesi Selatan, khususnya Makassar adalah basis kuat kekuasaan dan pengaruh Golkar, sehingga menarik untuk mencermati bagaimana partai-partai yang baru terbentuk, termasuk PAN yang mengandalkan basis Warga Muhammadiyah, dalam rangka membangun dan mengembangkan eksistensinya di Makassar dan Sulawesi Selatan. Keempat, Terkait dengan pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, kehadiran Prof.Dr.H.M.Amien Rais yang berpasangan dengan Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo, dan tampilnya Drs. H. M. Jusuf Kalla sebagai calon Wakil Presiden dari H. Susilo Bambang Yudoyono, juga merupakan hal yang menarik, karena bagi kalangan elite Muhammadiyah, di satu sisi M. Amien Rais adalah tokoh Muhammadiyah dan pimpinan PAN, tetapi di sisi lain H. Jusuf Kalla adalah putera daerah bagi masyarakat Sulawesi Selatan dan merupakan tokoh yang kuat pengaruhnya dalam pemerintahan dan masyarakat. Sedangkan di kalangan Muhammadiyah sendiri, H. Jusuf Kalla dan Keluarganya dipandang sebagai keluarga dan simpatisan Muhammadiyah yang peduli dan memiliki sumbangsih terhadap 39
kegiatan dan pembangunan amal usaha Muhammadiyah di Sulawesi Selatan. Sehingga tampilnya kedua tokoh tersebut, sedikit banyak menimbulkan tarikmenarik pilihan di kalangan elite dan warga Muhammadiyah Makassar. Kelima, Muhammadiyah Makassar memiliki peran strategis dan penting dalam gerakan dan pesebaran dakwah Islam dan menjadi pusat pengkaderan pimpinan dan anggota Muhammadiyah di Kawasan Timur Indonesia. Oleh karena itu respon Muhammadiyah dan elite Muhammadiyah di Makassar menghadapi situasi politik pasca Orde baru, diduga juga akan berpengaruh pada kegiatan dakwah maupun kecenderungan respon politik elite dan warga Muhammadiyah di kawasan ini. Waktu yang digunakan untuk melakukan penelitian ini sekitar satu tahun, yaitu mulai Agustus 2005 sampai juli 2006. Waktu penelitian tersebut mencakup tahap persiapan, tahap pengumpulan data primer dan sekunder, tahap analisa dan penulisan tesis. 1.6.3. Penentuan Subyek Penelitian Dalam mendapatkan informasi maupun data di lapangan, maka dipilih beberapa informan sebagai subyek dalam penelitian ini. Informan dipilih sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu representatif dalam memberikan informasi yang diperlukan sesuai dengan fokus dan tujuan penelitian. Proses penentuan informan menggunakan metode snowball (bola salju), yaitu memulai suatu identifikasi awal dari beberapa elite yang berpengaruh kemudian menentukan siapa yang ditanya didapat dari mereka untuk mencalonkan orang lain yang juga berpengaruh. Proses ini berlanjut sampai ditemukan beberapa orang
40
sebagai informan untuk diwawancarai secara mendalam hingga terpenuhinya data yang diperlukan terkait penelitian ini. Oleh karena Level analisis pada penelitian ini berfokus pada individu (aktor) elite pimpinan Muhammadiyah di Makassar, maka dalam penentuan informan dipertimbangkan beberapa hal; pertama, elite tersebut dipilih karena posisi sebagai pimpinan dalam struktur organisasi Muhammadiyah Makassar atau biasa disebut sebagai pengurus harian, antara waktu tahun 1995-2005, Kedua, dipilih sebagai informan karena ketokohannya dalam Muhammadiyah, kepakarannya, peran dan pengaruhnya, atau karena mempunyai informasi yang kaya mengenai tema kajian. Ketiga, informan mewakili kategori elite yang ada dalam Muhammadiyah misalnya kategori ulama, akademisi, birokrat, politisi. Keempat, informan mengetahui atau mewakili suatu kategori orientasi politik misalnya dalam memandang hubungan Muhammadiyah dan politik ada kelompok yang mempertahankan khittah; akomodatif; pragmatis. Sementara dalam memilih partai politik misalnya kategori yang berorientasi ideologis dan yang inklusif. Berdasarkan kategori tersebut di atas maka subyek penelitian yang dijadikan informan adalah sebagai berikut: pertama, beberapa Pengurus Harian Dewan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Makassar, yaitu: Drs. K.H. Baharuddin P, (Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Makassar periode 1990-1995), Drs. H. M. Alwi Uddin, M.Ag. (Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Makassar, periode 2000-2005), Drs. K.H. Djalaluddin Sanusi, (Wakil ketua I, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Makassar periode 2000-2005), H. Abd. Razak Muh. Tahir (Ketua PD Muhammadiyah periode 1995-2000), Drs. H. Ali Parman, MA (Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam). 41
Kedua, Dari kalangan elite/tokoh Muhammadiyah yang menjadi Pengurus dan Pimpinan Partai Amanat Nasional, yaitu H. Iskandar Tompo (Legislator PAN Kota makassar, sebelum menjadi ketua PAN Makassar beliau adalah Pimpinan pada Pengurus Muhammadiyah Wilayah Sulawesi selatan), Mukhlis Panaungi, SH (legislator PAN di DPRD Sul-Sel yang merupakan kader dari Angkatan Muda Muhammadiyah),
Drs.
Usman
Lonta,
M.Pd.
(Dosen
pada
Universitas
Muhammadiyah Makassar, Anggota Pemuda Muhammadiyah Makassar, dan bergabung menjadi Pengurus PAN Daerah Sulawesi Selatan), Syamsuryadi P, S.Ag (Anggota Pimpinan Daerah Muhammadiyah Makassar, kemudian menjadi sekretaris eksekutif pada PAN Kota Makassar). Sedangkan Elite Pimpinan yang berafiliasi ke PPP,
yaitu
Saudara
Abang
Akbar
(anggota
pengurus
Pimpinan
Daerah
Muhammadiyah Makassar dan sekaligus sekretaris eksekutif Pimpinan Daerah Muhammadiyah Makassar). Selanjutnya, Elite yang menjadi deklarator pada Partai Keadilan
adalah
Hasyim Ramlan
(Muballigh
dan
Guru
pada
Pesantren
Muhammadiyah Darul Arqam Gombara). Ketiga, dari kalangan angkatan muda Muhammadiyah, yaitu antara lain: Muslimin,
Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Tahun 2003-2005; Dahlan
Lamabawa
(Ketua
IMM
tahun
1999-2000),
juga
merupkan
muballigh
Muhammadiyah; Panca Nurwahidin (Ketua IMM tahun 1997-1999), juga sebagai pengurus Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan pengajar pada AKPER Muhammadiyah); Syawaluddin Shadiq Pengurus Pemuda Muhammadiyah dan dosen pada Universitas Muhammadiyah Makassar; Alimuddin, anggota Pimpinan Muhammadiyah Makassar dan muballigh Muhammadiyah; Abd. Azis Dhealy, S.Sos, anggota Pemuda Muhammadiyah dan pimpinan pada perguruan Muhammadiyah. 42
1.6.4. Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua (2) yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data-data yang dikumpulkan langsung pada saat penelitian lapangan, sedangkan data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari dokumen-dokumen terkait dengan tema penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yaitu observasi, wawancara mendalam (indepth interview) dan dokumentasi. Berikut ini dijelaskan penggunaan ketiga teknik pengumpulan data tersebut, yaitu: a. Melakukan observasi, yaitu pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Untuk memulai kegiatan penelitian dilakukan observasi pendahuluan dengan melakukan pengamatan di lapangan untuk menjaring informasi awal, mengidentifikasi, dan membangun gambaran awal permasalahan penelitian tentang perilaku politik elite Muhammadiyah. fokus pengamatan adalah: a) elite/tokoh Muhammadiyah yang menjabat sebagai pengurus harian Pimpinan Daerah Muhammadiyah Makassar, b) elite/tokoh Muhammadiyah yang menjadi pengurus/pimpinan pada partai politik. c) Tokoh pemuda/pimpinan organisasi otonom Muhammadiyah yaitu Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Pemuda Muhammadiyah. Hasil pengamatan ini kemudian digunakan untuk merumuskan langkahlangkah penelitian lebih lanjut. Pengamatan dilakukan antara lain dengan melakukan kunjungan dan pengamatan pada aktivitas Pimpinan Daerah Muhammadiyah Makassar di sekretariat Pimpinan Daerah Muhammadiyah, demikian pula dilakukan di Gedung Muhammadiyah di mana berkantor 43
sekretariat organisasi otonom Muhammadiyah. Pengamatan juga dilakukan melalui kunjungan silaturrahmi dan melakukan wawancara di rumah informan; atau mengikuti pengajian dan temu alumni yang dilaksanakan dalam lingkungan pimpinan dan warga Muhammadiyah. Observasi ini dilakukan untuk melihat langsung situasi, aktivitas, lingkungan dan kehidupan keseharian berkaitan dengan elite Pimpinan Muhammadiyah yang dijadikan sebagai subyek dan informan dalam penelitian ini. b. Melakukan wawancara mendalam (indepth interview), yaitu wawancara mendalam kepada elite pimpinan Muhammadiyah yang terkait dengan permasalahan yang sedang diteliti. Tujuannya adalah untuk mengetahui pandangan, sikap dan/atau tindakan mereka yang berkaitan dengan tema penelitian. Wawancara
mendalam
dilakukan
terhadap
elite
pimpinan
Muhammadiyah yang telah dipilih sebagai informan berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan sebelumnya, yang terdiri dari lima (5) orang tokoh/elite pimpinan Muhammadiyah yang sedang menjabat sebagai pimpinan harian pada periode sekitar tahun 1998-2005. Lima orang Pimpinan ini dipilih karena dipandang memahami dan terlibat langsung dalam kegiatan Muhammadiyah pada periode tersebut dan bersesuaian dengan waktu yang tercakup dalam penelitian ini. Di samping itu juga dilakukan wawancara terhadap lima (5) orang dari pimpinan Angkatan Muda Muhammadiyah, serta enam (6) orang elite Muhammadiyah yang kemudian menjadi pengurus pada partai Politik.
44
c. Mengumpulkan dokumen, yaitu pengumpulan data dari dokumen-dokumen yang terkait dengan tema penelitian ini. Dokumen-dikumen tersebut berupa hasil penelitian, rencana dan laporan kegiatan Muhammadiyah, kebijakan dan keputusan organisasi Muhammadiyah baik yang dimuat dalam Berita Resmi Muhammadiyah; jurnal Tarjih Muhammadiyah; dan Buletin Wawasan Kader, buku, Berita dan opini tentang Muhammadiyah di media massa. Dokumendokumen tersebut digunakan untuk melengkapi hasil observasi dan wawancara mendalam. 1.6.5. Analisis Data Analisa data dilakukan secara induktif, yaitu data dianalisis secara deskriptif yang sebagian besar berasal dari wawancara mendalam terhadap informan. Catatan penelitian dianalisa untuk memperoleh tema dan pola-pola yang dideskripsikan dan diillustrsikan dengan kutipan-kutipan pendapat yang menggambarkan pandangan subyek yang diteliti, yang mencakup apa yang dipikirkan, dinyatakan dan dilakukan oleh elite Muhammadiyah, yang merupakan penggambaran dari motif dan dorongan untuk memilih suatu tindakan yang dianggap paling sesuai dengan situasi konkret yang terjadi dalam persyarikatan Muhammadiyah, ketika merespon situasi politik nasional dan lokal yang sedang berubah. Selain menggunakan sumber data primer, digunakan pula data sekunder, dari dokumen hasil keputusan organisasi, studi yang pernah dilakukan sebelumnya dan publikasi berita di media massa. Dari analisis data tersebut dibuat abstraksi kategori konseptual beserta aspekaspek atau unsur-unsur pada kategori tersebut, disertai dengan indikator-indikator bagi munculnya kategori tersebut, sehingga hasil analisis dapat memunculkan deskripsi baru yang dapat menjelaskan tentang perilaku politik elite Muhammadiyah 45
di
Makassar
berkaitan
dengan
kecenderungan
sikap
politik
Muhammadiyah dalam merespon kondisi politik pasca Orde Baru.
46
organisasi