BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH Sekolah merupakan lembaga formal yang memegang peranan yang sangat
penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Peranan tersebut berupa kesempatan yang diperoleh siswa untuk mempelajari informasi, mempertajam keterampilan yang dimiliki serta menjalin pertemanan dengan teman sebaya. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu meningkatkan potensi diri peserta didik (Kemendiknas, 2010). Sekolah di Indonesia terdiri dari beberapa jenis berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 11 dan 16. Beragam jenis tersebut ialah sekolah formal standar yang masih memiliki beberapa kekurangan terkait standar nasional hingga sekolah bertaraf internasional (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, 2005). Saat ini Indonesia akan segera memasuki era masyarakat ekonomi ASEAN yang menjadikan peningkatan kompetensi dan kualitas generasi muda sangat penting dilakukan agar para generasi muda ini siap menghadapi persaingan global. Usaha yang dapat dilakukan salah satunya di bidang pendidikan dimana anak dituntut memiliki prestasi akademik yang baik. Alasan tersebut menjadikan orang tua lebih selektif dalam hal memilih sekolah bagi anak mereka. Sekolah dengan akreditasi sangat baik dan reputasi cemerlang pada bidang akademis maupun fasilitas yang dimiliki menjadi pilihan utama bagi para orangtua. Bahkan 1
2
banyak orang tua yang mengabaikan aspek lain yang dapat mengganggu proses belajar anak mereka jika kelak menimba ilmu di sekolah tersebut. Padahal tujuan awal bersekolah adalah memperoleh ilmu pengetahuan setinggi-tingginya agar mencapai kompetensi diri yang maksimal sehingga berprestasi di sekolah dan memiliki jenjang karir yang memumpuni kedepannya. Hal ini didukung dari hasil komunikasipersonal sebagai berikut : “ Sekolah itu yang penting citranya, saya lebih milih sekolahin anak saya di sekolah yang sudah bertaraf internasional dan terkenal sering ikut olimpiade supaya anak saya bisa ngikut kayak gitu.” (Komunikasi personal, 8 November 2014) Setiap sekolah menghasilkan
pengalaman belajar
yang berbeda
dikarenakan standarisasi nilai yang berbeda, fasilitas penunjang belajar yang berbeda hingga kondisi lingkungan lainnya yang turut mempengaruhi proses belajar siswa. Belajar menurut Skinner merupakan proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlaku secara progresif (dalam Slamet, 1996). Sutikno (2007) mengatakan belajar merupakan proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Perubahan yang dimaksud disini adalah perubahan yang dilakukan secara sadar atau disengaja dan bertujuan untuk memperoleh suatu yang lebih baik dari sebelumnya. Proses belajar yang kita lakukan tentu memiliki tujuan, salah satunya memperoleh pengetahuan (Sudirman, 2007). Proses belajar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Proses pembelajaran tentu tidak akan terlepas dari fasilitas belajar yang
3
termasuk dalam faktor eksternal. Fasilitas belajar sangat penting dalam proses pembelajaran untuk memudahkan dan memperlancar kegiatan pengajaran. Fasilitas belajar yang memadai dan digunakan secara optimal akan banyak memberikan peluang kepada siswa untuk mencapai prestasi yang baik. Hal ini menyimpulkan bahwa prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh lingkungan siswa baik di sekolah, di rumah, maupun di luar rumah. Lingkungan sendiri merupakan salah satu faktor yang banyak menentukan perbedaan pada setiap individu. Menurut Somanto (2006) faktor lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di luar seorang individu, baik yang bersifat fisiologis, psikologis, maupun sosiokultural yang dapat mempengaruhi atau membentuk kepribadian seorang individu. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, bahwa tujuan bersekolah adalah mencapai prestasi belajar maksimal. Pada kenyataannya, banyak tantangan yang dihadapi anak dalam mencapai prestasi belajar dan tidak semua anak dapat menghadapi tantangan tersebut dengan baik. Keberhasilan siswa dalam menyelesaikan
program-program
pembelajaran
dan
mengikuti
proses
pembelajaran dapat terlihat dari prestasi belajar yang dicapai. Jika prestasi belajar siswa tinggi, proses pembelajaran dapat dikatakan berhasil. Namun, jika prestasi belajar siswa berada di bawah norma yang telah ditentukan, siswa dikatakan kurang atau belum berhasil. Menurut Blassic & Jones (dalam Sugihartono dkk, 2007), kesulitan belajar yang dialami siswa menunjukkan adanya kesenjangan atau jarak antara prestasi akademik yang diharapkan dengan prestasi akademikyang dicapai oleh siswa pada kenyataannya.
4
Kesulitan belajar merupakan sebuah permasalahan yang menyebabkan seorang siswa tidak dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik seperti siswa lain pada umumnya. Hal ini disebabkan faktor-faktor tertentu seperti faktor fisiologis, yaitu keadaan fisik dari peserta didik seperti penurunan fungsi tubuh,kelainan organ hingga disable serta faktor psikologis yaitu kondisi psikologis siswa seperti mudah stres, sulit berkonsentrasi ditambah lagi dengan ekspektasi standar yang berlebihan hingga sarana dan prasarana dalam belajar dan pembelajaran serta faktor lingkungan belajarnya (Irham, 2013). Faktor-faktor tersebut yang menjadikan siswa terlambat atau bahkan tidak dapat mencapai tujuan belajar sesuai yang diharapkan. Kartadinata (2010) menambahkan siswa sering sekali dipaksa memenuhi harapan standar sekolah dan menjadikan pembelajaran menjadi sebuah proses satu arah yang mengakibatkan tekanan psikologis bagi peserta didik. Aypay (2011) juga mengatakan bahwa dalam proses pembelajaran, stres dapat muncul dari pelajaran di kelas, tugas mata pelajaran atau tekanan psikologis lainnya yang mengakibatkan kelelahan emosional dan rasa berprestasi rendah. Stres dapat mengakibatkan dampak psikologis lainnya yang lebih berbahaya bagi peserta didik. Stres terjadi dikarenakan ketidakmampuan individu memenuhi tuntutan lingkungan dikarenakan kurangnya kemampuan yang dimiliki diri. Stres yang bersifat destruktif atau merusak tidak akan terjadi pada siswa yang memiliki kemampuan mengatasi segala hambatan dengan baik dan mengubahnya menjadi peluang. Sebaliknya, stres akan menjadi stres yang baik atau
5
eutressapabila stres dapat menjadi sumber kekuatan baru bagi siswa, bahkan bisa jadi menyehatkan secara fisik maupun psikologis (Sarafino, 2010). Siswa yang duduk di bangku sekolah menengah atas berada pada masa remaja dan memiliki pola perkembangan psikososial yang berbeda dengan individu dari rentang usia lainnya. Siswa remaja menjadikan teman sebaya sebagai tolak ukur dalam penerimaan sosial mereka. Pengaruh kelompok teman sebaya terhadap performa akademis juga telah banyak diteliti di berbagai negara. Salah satu hasil penelitiannya menunjukkan bahwa siswa yang memiliki kelompok teman sebaya yang berprestasi tinggi juga turut menghasilkan bentuk prestasi yang sama dengan kelompok teman sebayanya serta sebaliknya (Ryan, 2001). Kapasitas untuk membangun kedekatan dengan kelompok teman sebaya berhubungan dengan penyesuaian diri psikologis dan kompetensi sosial. Remaja yang memiliki pertemenan yang dekat, stabil, dan mendukung umumnya memiliki pandangan yang baik tentang diri mereka sendiri, menjalani pendidikan di sekolah dengan baik, mampu bergaul, serta memiliki kemungkinan yang kecil untuk menjadi sosok yang kasar, cemas atau depresi (Berndt & Perry, 1990; Buhrmester, 1990;Hartup & Stevens,1999). Kelas adalah salah satu tempat murid bersosialisasi dengan teman sebaya. Dan faktanya banyak dari mereka berpikir bahwa memperoleh teman yang banyak dan mampu bersosialisasi dengan baik dan diterima secara baik pula lebih penting daripada belajar dan mencapai prestasi kelas yang baik (Brown, 1993). Menjalin pertemenan pada masa remaja bukan hal yang mudah apabila terdapat lebih banyak perbedaan dibanding persamaan baik dari latar belakang budaya hingga
6
agama. Hal itu tentu akan menyulitkan bagi siswa yang tidak mampu mengatasi permasalahan terkait menjalin persahabatan antar teman sekelas dan ini biasa terjadi pada siswa minoritas di sekolah pembauran yang memiliki siswa mayoritas etnis Tionghoa dan memiliki banyak perbedaan latar belakang dengan mereka. Adversity quotient (AQ) atau dalam bahasa Indonesia disebut daya lenting merupakan bentuk kecerdasan seseorang menghadapi hambatan. Adversity quotientmampu membantu siswa menghadapi masalah yang menimbulkan stres. Siswa yang memiliki AQ yang baik pada dimensi-dimensi yang diungkapkan oleh Stoltz (2004) seperti kontrol yaitu ketika siswa mampu mengontrol sumber masalah dan segera menyelesaikan masalah yang timbul sehingga tidak bertambah banyak dan mempengaruhi siswa dalam jangka panjang. Ketika siswa dapat membatasi sumber masalahnya, siswa juga dikatakan memiliki ketahanan dan jangkauan yang baik dan kedua hal tersebut termasuk aspek AQ yang terbangun di dalam diri siswa. Sekolah pembauran saat ini telah menjelma menjadi sekolah swasta yang terkenal dengan disiplin yang tinggi. Beberapa sekolah pembauran di kota Medan terkenal dengan disiplin yang tinggi sehingga menghasilkan siswa- siswi yang unggul dan mengikuti berbagai olimpiade. Sekolah pembauran memiliki nilai minimum kelulusan pada mata pelajaran yang tidak jauh berbeda dengan sekolah negeri namun tingkat disiplin belajar dan persaingan kelas menjadi karakter pembeda. Tak hanya itu, siswa keturunan Indonesia sebagai kelompok minoritas juga harus berosialisasi dengan teman sebaya yang memiliki latar belakang budaya berbeda dan penggunaan bahasa sehari-hari di lingkungan sekolah yang
7
berbeda. Perbedaan tersebut sering sekali menimbulkan kendala. Padahal menurut Brown (1993) teman sebaya memegang peranan penting bagi kebanyakan remaja Hal ini didukung oleh komunikasi personal sebagai berikut : “ Disana semua orang individualis dan gak peduli orang lain. Gurunya juga gak peduli dengan murid yang gak bisa mata pelajaran tertentu karena mereka mengejar standar sekolah. Tugasnya banyak dan disiplin sekali, gak ada alasan kalo udah melanggar aturan gitu, semuanya serba cepat dan gak sempet nikmati hidup kalo aku bilang kak” (Komunikasi personal, 30 November 2014)
Siswa yang belajar di sekolah pembauran akan mudah stres dan berdampak negatif bagi kesehatan dan performa akademis mereka apabila tantangan tidak diatasi dengan baik. Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan dalam penelitian Pelly (2003) mengenai siswa pribumi dan nonpn-pribumi di Medan yaitu terdapat hambatan fisik dan psikologis, seperti keengganan belajar di satu kelas yang sama dengan murid keturunan Tionghoa,
letak sekolah
pembauran yang sebagian besar berada di komunitas WNI keturunan Tionghoa, disiplin sekolah yang ketat, dana untuk buku, pakaian, dan uang sekolah yang tinggi. Beberapa peserta didik yang tidak mampu lagi menghadapi hambatan fisik dan psikologis ini memilih pindah ke sekolah dengan standar akademis yang lebih rendah
ataupun
mencari
sekolah
yang
memiliki
iklim
sekolah
yang
menyenangkan. Hal ini tidak dapat terelakkan dikarenakan siswa sudah tidak mampu menahan beban akibat berbagai hambatan yang berakibat stres. Stres yang dialami siswi dapat disebut sebagai stres akademik yang terjadi karena beberapa faktor seperti yang diungkapkan oleh Suldo (2009) yaitu kebutuhan akademik
8
yang tidak terpenuhi, kejadian yang menekan remaja dan hubungan sebaya. Hal ini senada dengan yang diungkapkan dari komunikasipersonal sebagai berikut : “Saya lebih milih untuk pindah saja karena terus-terusan ditantang dapat standar nilai 10 besar kelas. Padahal coba mama tahu kalo dikelas itu belajar susahnya minta ampun. Apalagi temennya pada gak asik mau nonjol sendiri.” ( Komunikasi personal, 30 November 2014)
Komunikasi personal diatas juga menunjukkan bahwa siswa pribumi di sekolah pembauran tidak memiliki ketahanan yang baik akan masalahnya sehingga memilih untuk pindah sekolah. Ketahanan sendiri merupakan salah satu aspek dari adversity quotientdan apabila siswa tersebut memiliki ketahanan yang baik, dia tidak akan pindah sekolah dan memilih untuk mencari cara mengatasi sumber masalah yang menyebabkan dia tidak tahan bersekolah di sekolah yang bersangkutan. Siswa pribumi atau siswa keturunan asli Indonesia juga memiliki pengalaman yang berbeda apabila mereka bersekolah di sekolah negeri yang pada dasarnya memiliki keberagaman baik ras, sosial-ekonomi, agama, pendidikan dan sebagainya, sehingga tidak ada kelompok mayoritas dan minoritas. Hal ini juga seharusnya memudahkan siswa pribumi bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan dengan latarbelakang yang bermacam-macam. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua siswa di sekolah negeri berhasil mengatasi hambatan mereka terkait proses belajar dan lingkungan yang mempengaruhinya. Hal ini didukung oleh hasil komunikasipersonal yaitu sebagai berikut :
9
“Ibu itu kasih tugas tiap hari kak. Tapi bukan diperiksanya. Kumpulin aja, kalo gak ngumpul tugas jadi dua kali lipat. Nyusahin aja. Kalo saya mending gak masuk trus pura-pura gak tau kalo ada tugas” (Komunikasi personal, 30 November 2014)
Apabila tantangan yang dihadapi siswa pribumi atau WNI keturuan Indonesia asli tidak mampu diubah menjadi peluang dalam memaksimalkan potensi yang dimiliki maka perlu adanya bantuan terhadap siswa-siswa tersebut. Kemampuan siswa dalam mengahadapi segala kendala yang ada tentu perlu diasah sejak dini. Terlebih peran lingkungan yang dapat mempengaruhi kemampuan siswa untuk dapat mengatasi
segala kendala yang ia temui di
sekolah. Potensi siswa untuk mengubah segala bentuk kendala yang mereka hadapi di sekolah menjadi peluang disebut sebagai adversity quotient (AQ). Teori AQ yang dikembangkan Stoltz mengatakan bahwa ada beberapa tipe siswa yang muncul akibat hambatan yang dihadapinya, yaitu tipe siswa yang terus bertahan dan berusaha semaksimal mungkin dalam mencapai kesuksesan atau disebut climbersdan ada juga tipe siswa yang berhenti mencoba ketika dihadapkan pada situasi yang menghambat diri mereka atau disebut quitters . Fakta ini sangat umum ditemukan di sekolah-sekolah karena nyatanya dari cara siswa memandang hambatan bisa memprediksi seperti apa pencapaian akademis mereka. Stoltz (2004) memandang bahwa kesuksesan sangat dipengaruhi dan dapat diramalkan melalui cara seseorang berespon dan menjelaskan kesulitan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa AQ yang dimiliki seseorang lebih signifikan meramalkan kesuksesan global individu dibandingkan IQ, pendidikan ataupun keterampilan sosial.
10
Dari hal-hal diatas, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang AQ pada siswa pribumi yang bersekolah di sekolah pembauran dan siswa pribumi yang bersekolah di sekolah negeri. Siswa pribumi di sekolah pembauran dan negeri dipilih karena adanya perbedaan dalam lingkungan seperti disiplin dan teman sebaya. Menurut Stoltz (2004) adversity quotient juga dipengaruhi oleh lingkungan.
B.
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
penulis tertarik untuk mengetahui “Apakah terdapat perbedaan adversity quotient pada siswa pribumi di sekolah pembauran dengan adversity quotient pada siswa pribumi di sekolah negeri?”
C.
TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data empiris sebagai dasar
untuk menjawab permasalahan utama yang diangkat, yaitu melihat perbedaan antara adversity quotient pada siswa pribumi di sekolah pembauran dengan adversity quotient pada siswa pribumi di sekolah negeri.
11
D.
MANFAAT PENELITIAN Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1.
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan di bidang psikologi, khususnya di bidang psikologi pendidikan terutama yang berkaitan dengan adversity quotient, adversity quotient pada sekolah pembauran dan sekolah negeri. Penelitian inijuga diharapkan sebagai referensi teoritis mengenai keadaan adversity quotient di kedua sekolah. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi bahan referensi teoritis atau empiris untuk penelitian selanjutnya. 2.
Manfaat Praktis Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai
referensi bagi orang tua dan siswa untuk lebih memahami hambatan yang dapat diubah menjadi peluang dalam proses belajar dan mengajar. Sebagai referensi bagi pihak sekolah, siswa, guru dan orang tua agar dapat melakukan peningkatan dan perbaikan kualitas diri serta pemahaman mengenai adversity quotient.
E.
SISTEMATIKA PENULISAN Skripsi ini terdiri dari lima bab, dimulai dari bab I sampai bab V. Adapun
sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah : BAB I:
Pendahuluan
Merupakan bab pendahuluan, yang terdiri atas :
12
Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian (manfaat teoritis dan manfaat praktis), dan sistematika penulisan. BAB II:
Landasan Teori.
Merupakan bab yang berisi landasan teori, yang terdiri atas: teori adversity quotient, sekolah pembauran dan sekolah negeri serta perbedaan adversity quotient antara siswa pribumi di sekolah pembauran dengan siswa pribumi di sekolah negeri. BAB III:
Metode Penelitian
Merupakan bab yang menguraikan jenis penelitian; identifikasi variabel penelitian; definisi operasional variabel penelitian; populasi, sampel, dan metode pengambilan sampel; metode pengumpulan data; alat ukur penelitian, validitasdan reliabilitas alat ukur;metode analisa data dan tahap pelaksanaan penelitian. BAB IV:
Analisa Data dan Pembahasan
Merupakan bab yang menguraikan hasil analisa data dan pembahasan dari hasil analisa datayang diperoleh. BAB V:
Kesimpulan dan Saran
Merupakan bab yang menguraikan kesimpulan dan saran dari hasil analisa data yang diperoleh dari bab sebelumnya.