BAB I PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG Emboli Paru (Pulmonary Embolism) adalah peristiwa infark jaringan paru
akibat tersumbatnya pembuluh darah arteri pulmonalis (arteri paru-paru) oleh peristiwa emboli. Emboli bisa merupakan gumpalan darah (trombus), tetapi bisa juga berupa lemak, cairan ketuban, sumsum tulang, pecahan tumor atau gelembung udara, yang akan mengikuti aliran darah sampai akhirnya menyumbat pembuluh darah. Insiden sebenarnya dari PE tidak dapat ditentukan, karena sulit membuat diagnosis klinis, tetapi PE merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas pasien-pasien di rumah sakit, dan telah dilaporkan sebagai penyebab lebih dari 200.000 kematian di Amerika Serikat tiap tahunnya. PE masif adalah salah satu penyebab kematian mendadak yang paliing sering, penyebab kematian kedua setelah
penyakit
arteri
koronaria.
Penelitian-penelitian
pada
autopsi
memperlihatkan bahwa sebanyak 60% pasien yang meninggal di rumah sakit disebabkan oleh PE, namun sebanyak 70% kasus tiak diketahui. Penatalaksanaan
khusus
emboli
paru
dapat
berupa
pemberian
antikoagulasi, antitrombolitik, terapi oksigen, meningkatkan status pernafasan dan vaskuler. baik dengan intervensi pembedahan dan intervernsi kegawatdaruratan. 1.2. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
TUJUAN Untuk mengetahui anatomi fisiologi sistem pernapasan. Untuk mengetahui histologi dari pembuluh darah dan paru. Untuk mengetahui pengertian trombosis dan patogenesisnya . Untuk mengetahui pengertian emboli paru serta epideminologinya. Untuk mengetahui etiologi dari emboli paru. Untuk mengetahui patofisiologi dari emboli paru. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari emboli paru Untuk mengetahui faktor resikonya emboli paru. Untuk mengetahui Pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan emboli
paru. 10. Untuk mengetahui komplikasi dari emboli paru.
1
11. Untuk mengetahui penatalaksana dari emboli paru. 12. Untuk mengetahui Prognosis dari emboli paru. 1.3. MAMFAAT Mamfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan tentang emboli paru.
BAB II PEMBAHASAN
2
1.2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan. Pernapasan adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O²) yang dibutuhkan tubuh untuk metabolisme sel dan karbondioksida (CO²) yang dihasilkan dari metabolisme tersebut dikeluarkan dari tubuh melalui paru. Fungsi sistem pernapasan adalah untuk mengambil oksigen dari atmosfer kedalam sel-sel tubuh dan untuk mentranspor karbondioksida yang dihasilkan selsel tubuh kembali ke atmosfer. Organ-organ respiratorik juga berfungsi dalam produksi wicara dan berperan dalam keseimbangan asam basa, pertahanan tubuh melawan benda asing, dan pengaturan hormonal tekanan darah. Sistem pernapasan pada manusia mencakup dua hal, yakni saluran pernapasan dan mekanisme pernapasan. Urutan saluran pernapasan adalah sebagai berikut: rongga hidung - faring – laring - trakea - bronkus - paru-paru (bronkiolus dan alveolus). Adapun alat-alat Pernapasan pada manusia adalah sebagai berikut : 1. Alat Pernafasan Atas a. Rongga hidung (cavum nasalis) Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang berfungsi menghangatkan udara yang masuk. Di dalam rongga hidung terjadi penyesuaian suhu dan kelembapan udara sehingga udara yang masuk ke paru-paru tidak terlalu kering ataupun terlalu lembap. Udara bebas tidak hanya mengandung oksigen saja, namun juga gas-gas yang lain. Misalnya, karbon dioksida (CO2), belerang (S), dan nitrogen (N2). Selain sebagai organ pernapasan, hidung juga merupakan indra pembau yang sangat sensitif. Dengan kemampuan tersebut, manusia dapat terhindar dari menghirup gas-gas yang beracun atau berbau busuk yang mungkin mengandung
3
bakteri dan bahan penyakit lainnya. Dari rongga hidung, udara selanjutnya akan mengalir ke faring. b. Faring Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan percabangan 2 saluran, yaitu saluran pernapasan (nasofarings) pada bagian depan dan saluran pencernaan (orofarings) pada bagian belakang. Pada bagian belakang faring (posterior) terdapat laring (tekak) tempat terletaknya pita suara (pita vocalis). Masuknya udara melalui faring akan menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar sebagai suara. Makan sambil berbicara dapat mengakibatkan makanan masuk ke saluran pernapasan karena saluran pernapasan pada saat tersebut sedang terbuka. Walaupun demikian, saraf kita akan mengatur agar peristiwa menelan, bernapas, dan berbicara tidak terjadi bersamaan sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan.
(Gambar 1.1 Faring) c. Laring Laring (tekak) adalah tempat terletaknya pita suara (pita vocalis). Masuknya udara melalui faring akan menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar sebagai suara. Laring berparan untuk pembentukan suara dan untuk melindungi jalan nafas terhadap masuknya makanan dan cairan. Laring dapat tersumbat, antara lain oleh benda asing ( gumpalan makanan ), infeksi ( misalnya infeksi dan tumor).
4
(Gambar 1.2 Laring) 2. Alat Pernafasan Bawah a. Trakea Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya ± 10 cm, terletak sebagian di leher dan sebagian di rongga dada (torak). Dinding tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh cincin tulang rawan, dan pada bagian dalam rongga bersilia. Siliasilia ini berfungsi menyaring benda-benda asing yang masuk ke saluran pernapasan. b. Bronkus Tenggorokan (trakea) bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri. Struktur lapisan mukosa bronkus sama dengan trakea, hanya tulang rawan bronkus bentuknya tidak teratur dan pada bagian bronkus yang lebih besar cincin tulang rawannya melingkari lumen dengan sempurna. Bronkus bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus. c. Paru-paru Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua bagian yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri (pulmo sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura
5
visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura parietalis).
(Gambar 1.3 Paru-Paru) Antara selaput luar dan selaput dalam terdapat rongga berisi cairan pleura yang berfungsi sebagai pelumas paru-paru. Cairan pleura berasal dari plasma darah yang masuk secara eksudasi. Dinding rongga pleura bersifat permeabel terhadap air dan zat-zat lain. Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah. Paru-paru berstruktur seperti spon yang elastis dengan daerah permukaan dalam yang sangat lebar untuk pertukaran gas. Di dalam paru-paru, bronkiolus bercabang-cabang halus dengan diameter ± 1 mm, dindingnya makin menipis jika dibanding dengan bronkus. Bronkiolus ini memiliki gelembung-gelembung halus yang disebut alveolus. Bronkiolus memiliki dinding yang tipis, tidak bertulang rawan, dan tidak bersilia. Gas memakai tekanannya sendiri sesuai dengan persentasenya dalam campuran, terlepas dari keberadaan gas lain (hukum Dalton). mempunyai silia dan di bagian ujung mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Pada bagian
6
distal kemungkinan tidak bersilia. Bronkiolus berakhir pada gugus kantung udara (alveolus). Alveolus terdapat pada ujung akhir bronkiolus berupa kantong kecil yang salah satu sisinya terbuka sehingga menyerupai busa atau mirip sarang tawon. Oleh karena alveolus berselaput tipis dan di situ banyak bermuara kapiler darah maka memungkinkan terjadinya difusi gas pernapasan. 1.2.2 Histologi Dari Pembuluh Darah Dan Paru. Struktur pembuluh darah
(Gambar 2.1 dinding arteri, vena dan kapiler) Pembuluh darah umumnya terdiri atas lapisan atau tunika, yakni :
Tunika intima memiliki satu lapis sel endotel, yang ditopang oleh selapis tipis subendotel jaringan ikat longgar yang kadang-kadang mengandung sel otot polos. Pada arteri, intima dipisahkan dari tunika media oleh suatu lamina elastica interna, yaitu komponen terluar intima. Lamina ini, yang terdiri atas elastin, memiliki celah (fenestra) yang memungkinkan terjadinya difusi zat untuk memberikan nutrisi ke sel-sel bagian dalam dinding pembuluh. Karena
tekanan darah dan kontraksi pembuluh darah pembuluh. Tunika media, yaitu lapisan tengah, terutama terdiri atas lapisan konsentris selsel otot polos yang tersusun secara berpilin. Di antara sel-sel otot polos, terdapat berbagai serat dan lamela elastin, serat retikular kolagen tipe III,
7
proteoglikan, dan glikoprotein yang kesemuannya dihasilkan sel-sel ini. Pada arteri, tunika media memiliki lamela elastica yang lebih tipis, yang
memisahkannya dengan tunika adventitia. Tunika adventitia, atau tunika eksterna terutama terdiri atas serat kolagen tipe I, dan elastin. Lapisan adventisia berangsur menyatu dengan jaringan ikat stromal organ tempat pembuluh darah berada. Pembuluh besar umumnya memiliki vasa vasorum (“pembuluh dari
pembuluh”), yang berupa arteriol, kapiler atau venula, yang bercabang-cabang di tunica adventitia dan tunica media bagian luar. Vasa vasorum membawa metabolik ke sel-sel lapisan tersebut, karena pada pembuluh besar, lapisannya terlalu tebal untuk mendapat makanan secara difusi dari darah yang mengalir didalam lumennya. Darah dalam lumen itu sendiri menyediakan nutrien dan oksigen untuk sel tunica intima. Karena membawa darah yang terdeoksigenasi, vena-vena besar biasanya memiliki lebih banyak vasa vasorum ketimbang di arteri.
Bronkus
8
a)
b)
c) (Gambar 2.2 (a) Percabangan Bronkus (b) Bronkus (segmental) tersier, (c) Dinding bronkus) Setiap bronkus primer bercabang-cabang dengan setiap cabang yang
mengecil sehingga tercapai diameter sekitar 5 mm. Mukosa bronkus besar secara struktural mirip dengan mukosa trakea, kecuali pada susunan kartilago dan otot polosnya (Gambar 2.2b). Di bronkus primer, kebanyakan cincin kartilago sepenuhnya mengelilingi lumen bronkus, tetapi seiring dengan mengecilnya diameter bronkus, cincin kartilago secara Perlahan digantikan lempeng kartilago
9
hialin. Seiumlah besar kelenjar mukosa dan serosa juga ditemui dengan saluran yang bermuara ke dalam lumen bronkus. Di lamina propria bronkus, terdapat berkas menyilang otot polos yang tersusun spiral (Gambar 2.2b dan 2.2c), yang menjadi lebih jelas terlihat di cabang bronkus yang lebih kecil. Kontraksi lapisan otot ini bertanggung jawab atas tampilan berlipat mukosa bronkus yang diamati pada sediaan histologis. Lamina propria juga mengandung serat elastin dan memiliki banyak kelenjar serosa dan mukosa (Gambar 2.2c), dengan saluran yang bermuara ke dalam lumen bronkus. Banyak limfosit ditemukan baik di dalam lamina propria dan di antara sel-sel epitel. Terdapat kelenjar getah bening dan terutama banyak dijumpai di tempat percabangan bronkus. Serat elastin, otot polos dan MALT relatif bertambah banyak seiring dengan mengecilnva bronkus dan berkurangnya kartilago dan jaringan ikat lain. Bronkiolus
a)
b) Gambar 2.3 a) bronkiolus, b) bronkiolus terminalis Bronkiolus, yaitu jalan napas intralobular berdiameter 5 mm atau kurang,
terbenfuk setelah generasi kesepuluh percabangan dan tidak memiliki kartilago maupun kelenjar dalam mukosanya (Gambar 2.3a). Pada bronkiolus yang lebih besar, epitelnya masih epitel bertingkat silindris bersilia, tetapi semakin memendek dan sederhana sampai menjadi epitel selapis silindris bersilia atau selapis kuboid di bronchiolus terminalis yang lebih kecil. Sel goblet menghilang selama peralihan ini, tetapi epitel bronchiolus terminalis juga mengandung sejumlah besar sel kolumnar lain: sel bronkiolar eksokrin, yang lazim disebut sel Clara (Gambar 2.3b). Sel yang aktif bermitosis ini menyekresi komponen
10
surfaktan dan memiliki berbagai fungsi pertahanan yang penting. Sebaran sel neuroendokrin juga dijumpai, yang menghasilkan serotonin dan peptida lain yang membanlu mengatur tonus otot polos setempat. Kelompok sel serupa, yang disebut badan neuroepitel, dijumpai di sejumlah bronkiolus dan pada tingkat yang lebih tinggi di percabangan bronkus. Badan ini dipersarafi oleh serabut saraf sensoris dan autonom serta sejumlah sel tampaknya berfungsi sebagai reseptor kemosensorik dalam memantau kadar O2. udara. Sel punca epitelial juga dijumpai pada kelompok sel-sel tersebut. Lamina propria bronkiolus sebagian besar terdiri atas otot polos dan serat elastin. Otot-otot bronkus dan bronkiolus berada di bawah kendali nervus vagus dan sistem saraf simpatis, selain pengaruh peptida neuroendokrin. Stimulasi nervus vagus mengurangi diameter struktur-struktur tersebut; stimulasi simpatis menghasilkan efek kebalikannya. Bronchiolus Respiratorius
(Gambar 2.4 Bronchiolus Respiratorik ) Setiap bronchiolus terminalis bercabang menjadi dua atau lebih bronchiolus respiratorius yang berfungsi sebagai daerah peralihan antara bagian konduksi dan bagian respiratorik sistem pernapasan (Gambar 2.4). Mukosa bronchiolus respiratorius secara strukfural identik dengan mukosa bronchiolus terminalis kecuali dindingnya yang diselingi oleh banyak alveolus tempat terjadinya pertukaran gas. Bagian bronchiolus respiratorius dilapisi oleh epitel kuboid bersilia dan sel Clara, tetapi pada tepi muara alveolus, epitel bronkiolus menyatu dengan sel-sel alveolus gepeng (sel alveolus tipe I). Semakin ke distal di sepanjang bronkiolus ini, jumlah alveolusnya semakin banyak, dan jarak di antaranya semakin pendek. Di antara alveolus, epitel bronkiolusnya terdiri atas
11
epitel kuboid bersilia, meskipun silia dapat tidak dijumpai di bagian yang lebih distal. Otot polos dan jaringan ikat elastis terdapat di bawah epitel bronchiolus respiratorius. Ductus Alveolaris
(Gambar 2.5 Duktus Alveolaris) Semakin ke distal pada bronkiolus respiratorius, jumlah muara alveolus ke dalam dinding bronkiolus semakin banyak. Bronkiolus respiratorius bercabang menjadi saluran yang disebut ductus alveolaris yang sepenuhnya dilapisi oleh muara aiveoli (Gambar 2.5). Ductus alveolaris dan alveolus dilapisi oleh sel alveolus gepeng yang sangat halus. Di lamina propria yang mengelilingi tepian alveolus terdapat anyaman sel otot polos, yang menghilang di uiung distal ductus alveolaris. Sejumlah besar matriks serat elastin dan kolagen memberikan sokongan pada duktus dan alveolusnya. Dukfus aiveolaris bermuara ke dalam atrium di dua saccus alveolaris atau lebih .Serat elastin dan retikular membentuk jalinan rumit yang mengelilingi muara atrium, saccus alveolaris, dan alveoli.Seratserat elastin memungkinkan alveolus mengembang sewaktu inspirasi dan berkontraksi secara pasif selama ekspirasi. Serat-serat retikular berfungsi sebagai penunjang yang mencegah pengembangan berlebih dan kerusakan kapiler-kapiler halus dan septa alveolar yang tipis. Kedua serabut tersebut menunjang jaringan ikat yang menampung jalinan kapiler di sekitar setiap alveolus.
Alveolus
12
Alveolus merupakan evaginasi mirip kantong (berdiameter sekitar 200 µm) di bronchiolus respiratorius, ciuctus alveolaris, dan saccus alveolaris. Alveoli bertanggung jawab atas terbentuknya struktur berongga dalam paru (Gambar 2.4dan 2.5). Secara struktural, alveolus menyerupai kantong kecil yang terbuka pada satu sisinya, yang mirip dengan sarang lebah. Di dalam struktur mirip mangkuk ini, berlangsung Perfukaran O 2, dan CO2, antara udara dan darah. Struktur dinding alveolus dikhususkan untuk memudahkan dan memperlancar difusi antara lingkungan luar dan dalam. Umumnya, setiap dinding terletak di antara dua alveolus yang bersebelahan sehingga disebut sebagai septum interalveolus. Satu septum interalveolar memiliki sel dan matriks ekstrasel iaringan ikat, terutama serat elastin dan kolagery yang dipendarahi oleh sejumlah besar jalinan kapiler tubuh (Gambar 2.4). Udara dalam alveolus dipisahkan dari darah kapiler oleh tiga komponen yang secara kolektif disebut sebagai membran respiratorik atau sawar darahudara:
Lapisan permukaan dan sitoplasma sel alveolus, Lamina basal yang menyatu dari sel alveolus dan sel endotel kapiler, dan Sitoplasma sel endotel Tebal keseluruhan ketiga lapisan ini bervariasi dari 0,1 sampai 1,5 µm. Di
dalam sepfum interalveolus, anastomosis kapiler paru ditunjang oleh jalinan serat retikular dan elastin, yang merupakan penyangga strukfural utama alveolus. Makrofag dan leukosit lain dapat juga ditemukan di dalam interstisium septum. Lamina basal sel endotel kapiler dan sel epitel (alveolar) bersatu sebagai satu struktur bermembran. Pori berdiameter 10-15 µm dijumpai pada septum interalveolus dan menghubungkan alveolus yang berdekatan dan bermuara keberbagai bronkiolus. Pori-pori tersebut menyetarakan tekanan udara di alveolus dan meningkatkan sirkulasi kolateral udara ketika sebuah bronkiolus tersumbat. O 2, dari udara alveolus masuk ke darah kapiler melalui sawar udara-udara CO2, berdifusi ke arah yang berlawanan. Pembebasan CO2, dari H2CO2. dikatalisis oleh enzim karbonat anhidrase yang terdapat dalam eritrosit. Sekitar 300 juta alveoli dalam paru menambah luas permukaan internal Paru-Paru untuk berlangsungnya pertukaran gas, yang diperkirakan mencapai 140 m2. 13
Pembuluh Darah dan Saraf Paru Sirkulasi dalam paru mencakup pembuluh nutrien (sistemik) maupun pembuluh
fungsional
(pulmonal).
Arteri-arteri
dan
vena-vena
paru
menggambarkan sirkulasi fungsional dan arteri tersebut memiliki dinding yang tipis akibat tekanan yang rendah (25 mmHg sistolik dan 5 mmHg diastotik) di dalam sirkulasi paru. Di dalam paru, a. pulmonalis bercabang mengikuti percabangan bronkus, dengan cabang-cabang yang dikelilingi adventisia bronkus dan bronkiolus. Di tingkat ductus alveolaris, cabang-cabang arteri ini membentuk jalinan kapiler di dalam septum interalveolus dan berkontak erat dengan alveolus. Paru-paru mempunyai jalinan kapiler yang paling berkembang di dalam tubuh, dengan kapiler di antara semua alveoli, termasuk kapiler dalam bronchiolus respiratorius. Venula yang berasal dari jalinan kapiler ditemukan satu-satu di dalam parenkim, dan agak menjauh dari jalan napas, yang ditopang oleh selapis tipis jaringan ikat. Setelah meninggalkan lobulus, vena mengikuti percabangan bronkus ke arah hilus. Pembuluh nutrien mengikuti percabangan bronkus dan mendistribusikan darah ke sebagian besar paru sampai pada bronchiolus respiratorius, di tempat pembuluh ini beranastomosis dengan cabang-cabang kecil dari a. pulmonalis. Pembuluh limfe muncul di iaringan ikat bronkiolus. Pembuluh ini mengikuti bronkiolus, bronkus dan pembuluhpembuluh pulmonal serta semuanya mencurahkan isinya ke dalam kelenjar getah bening di daerah hilus. Jalinan limfatik ini disebut jalinan dalam untuk membedakannya dari jalinan superfisial pembuluh limfe di pleura viseral. Kedua jalinan tersebut bermuara menuju hilum, baik dengan mengikuti pleura maupun setelah memasuki jaringan Paru melalui septa interlobularis. Pembuluh limfe tidak ditemukan di bagian terminal percabangan bronkus atau di luar ductus alveolaris. Serabut saraf simpatis maupun parasimpatis menginervasi paru dan serabut aferen viseral umum, yang membawa sensasi nyeri yang kurang terlokalisasi. Kebanyakan saraf terdapat dalam jaringan ikat di sekitar saluran napas besar. 1.2.3 Pengertian trombosis dan patogenesisnya .
14
Trombosis merupakan proses pembentukan bekuan darah yang tidak sesuai di dalam sistem vaskular manusia hidup, dan bekuan darah tersebut disebut trombus. Trombus dapat terbentuk dalam sistem arteri maupun sistem vena. Tiga pengaruh utama yang mempengaruhi terjadinya pembentukan trombus, disebut dengan TRIAS VIRCHOW, yaitu (1) jejas endotel, (2) statis atau turbulensi aliran darah, (3) hiperkoagulabilitas darah.
(Gambar 3.1. Trias Virchow pada trombosis. Integritas endotel merupakan satu-satunya faktor terpenting. Jejas pada sel endotel juga dapat mengubah aliran darah lokal dan mempengaruhi koagulabilitas. Aliran darah abnormal (stasis dan turbulensi) selanjutnya dapat menyebabkan jejas endotel. Faktor tersebut dapat bekerja secara independen atau dapat bergabung menyebabkan pembentukan trombus ) a. Jejas endotel Jejas endotel merupakan pengaruh yang menonjol dan dengan sendirinya dapat menyebabkan trombosis. Pengaruh ini secara khusus penting dalam pembentukan trombus pada sirkulasi jantung dan arteri. Misalnya dalam rongga jantung jika telah terjadi jejas endokard (misalnya infark miokard atau valvulitis), diatas plak yang mengalami ulserasi pada arteri yang mengalami ateroskelerotik berat, atau pada lokasi terjadinya jejas vaskular akibat trauma atau peradangan. Penting untuk diperhatikan bahwa endotel tidak perlu dikikis atau dilukai secara fisik untuk menimbulkan trombosis; setiap terjadi gangguan dalam keseimbangan efek protrombosis dan antitrombosis yang dinamis dapat mempengaruhi peristiwa pembekuan lokal. 15
(Gambar 3.2. Ilustrasi skematik beberapa aktivitas pro dan antikoagulan sel endotel. Tidak terliihat perangkat pro dan antifibrolisis. NO (nitrat oksidasi), PGI2 (prostasiklin), t-PA (tissue plasminogen activator), vWF (faktor von willebrand)) Oleh karena itu, disfungsi endotel yang bermakna dapat terjadi karena turbulen pada katup yang terdapat jaringan parut, endotoksin bakteri. Bahkan, pengaruh yang relatif kecil, seperti homosistinuria, hiperkolestrolemia, radiasi, atau produk yang diserap dari asap rokok dapat menjadi sumber terjadinya jejas dan disregulasi endotel. Tanpa memperhatikan penyebab, hilangnya endotel secara fisik mengakibatkan hilangnya pajanan kolagen subendotel (dan aktivator trombosit lain), perlekatan trombosit, pelepasan faktor jaringan, dan deplesi PGI 2 dan PA lokal. Endotel yang mengalami disfungsi dapat menghasilkan faktor prokoagulasi dalam jumlah yang lebih besar (misalnya, molekul adhesi untuk mengikat trombosit, faktor jaringan, PAI, dll) dan efektor antikoagulan dalam jumlah yang lebih kecil (misalnya, trombomodulin, PGI2, t-PA). b. Perubahan pada aliran darah normal. Turbulensi turut berperan pada trombosis arteri trombosis arteri dan trombosis kardiak dengan menyebabkan cedera atau disfungsi endotel, serta membentuk aliran kebalikan dan kantong stasis lokal; stasis merupakan faktor utama dalam pembentukan trombus vena. Aliran darah normal adalah laminar sedemikian rupa sehingga unsur trombosis mengalir pada bagian sentral dari
16
lumen pembuluh darah, yang terpisah dari endotel oleh suatu zona jernih plasma yang bergerak lebih lambat. Oleh karena itu, stasis dan turbulensi akan mengganggu (1) mengganggu aliran laminar dan melekatkan trombosit pada endotel, (2) mencegah pengenceran faktor pembekuan yang teraktivasi oleh darah segar yang terus mengalir, (3) menunda aliran masuk inhibitor faktor pembekuan dan memungkinkan pembentukan trombus, (4) meningkatkan aktivasi sel endotel, mempengaruhi pembentukan trombosis lokal, perlekatan leukosit, serta berbagai efek sel endotel lain. Turbulensi dan stasis turut berperan pada terjadinya trombosis dalam sejumlah kasus klinis. PIak aterosklerotik yang mengalami ulserasi tidak hanya memajankan ECM subendotel, tetapi juga menghasilkan turbulensi lokal. Dilatasi aorta dan arteri abnormal yang disebut aneu risma menyebabkan stasis lokal dan merupakan tempat yang cocok untuk terjadinya trombosis. Infark miokard tidak hanya disertai dengan jejas endotel, tetapi juga disertai daerah miokard yang nonkontraktil, yang menambahkan suatu unsur stasis dalam pembentukan trombus mural. Stenosis katup mitral (misalnya, setelah penyakit jantung rematik) mengakibatkan dilatasi atrium kiri. Dalam kaitannya dengan fibrilasi atrium, atrium yang berdilatasi merupakan lokasi terjadinya stasis berat dan lokasi utama terjadinya trombus. Sindrom hiperviskositas misalnya, polisitemia) meningkatkan resistensi terhadap aliran darah dan menyebabkan stasis pembuluh darah kecil; kelainan bentuk sel darah merah pada anemia sel bentuk sabit akan menyebabkan oklusi pembuluh darah, yang mengakibatkan stasis sehingga mudah terjadi trombosis. c. Hiperkoagulabilitas Hiperkoagulabilitas trombosis,
tetapi
pada umumnya kurang berperan pada keadaan
merupakan
komponen
penting
(dan
menarik)
dalam
perimbangantersebut. Hiperkoagulabilitas kurang bisa ditentukan secara tegas seperti pada setiap perubahan pada jalur pembekuan yang memudahkan terjadi trombosis, dan gangguan ini dapat dibagi menjadi gangguan primer (genetik) dan gangguan sekunder (didapat). Di antara penyebab hiperkoagulabilitas yang diturunkan, yang paling lazim adalah mutasi pada gen faktor V dan gen
17
protrombin. Perubahan yang khas adalah faktor Va mutan yang tidak dapat diinaktifkan oleh protein C; akibatnya, jalur counter regulatory antitrombosis yang penting hilang (Gambar 3.2). Jika seorang pasien mampu bertahan dari efek segera oleh suatu obstruksi vaskular karena trombosis, trombus akan mengalami kombinasi tertentu dari keempat peristiwa berikut ini yang terjadi dalam beberapa hari atau minggu kemudian.
(Gambar 3.3. Akibat yang mungkin terjadi pada trombosis vena) a. Propagasi. Trombus dapat menumpukkan lebih banyak trombosit dan fibrin (memperbanyak), yang akhirnya menyumbat pembuluh darah penting tertentu. b. Embolisasi. Trombus dapat terlepas dan diangkut ke tempat lain dalam pembuluh darah. c. Dissolusi. Trombus dapat dihilangkan melalui aktivitas fibrinolisis. d. Organisasi dan rekanalisasi. Trombus dapat menginduksi inflamasi dan fibrosis (organisasi) dan akhirnya dapat mengalami rekanalisasi (mengembalikan aliran vaskular), atau trombus dapat bergabung ke dalam dinding vaskular yang menebal.
1.2.4 Pengertian Emboli Paru Dalam Serta Epideminologinya.
18
(Gambar 4.1 Emboli Paru) Emboli paru merupakan keadaan terjadinya obstruksi sebagian atau total sirkulasi arteri pulmonalis atau cabang-cabang akibat tersangkutnya emboli thrombus atau emboli yang lain. Bila obstruksi tadi akibat tersangkutnya emboli thrombus disebut tromboemboli paru. Pada bahasan ini istilah emboli paru di samaartikan dengan tromboemboli paru. Akibat lanjut dari emboli paru dapat terjadi infark paru, yaitu keadaan terjadnya nekrosis sebagian jaringan parenkim paru akibat tersumbatnya aliran darah yang menuju jaringan paru tersebut oleh tromboemboli. Oleh karena jaringan parenkim paru memperoleh aliran darah dari dua jenis peredaran darah (cabang arteri pulmonalis dan cabang arteri bronkialis. Insiden sebenarnya dari PE tidak dapat ditentukan, karena sulit membuat diagnosis klinis, tetapi PE merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas pasien-pasien di rumah sakit, dan telah dilaporkan sebagai penyebab lebih dari 200.000 kematian di Amerika Serikat tiap tahunnya. PE masif adalah salah satu penyebab kematian mendadak yang paliing sering, penyebab kematian kedua setelah
penyakit
arteri
koronaria.
Penelitian-penelitian
pada
autopsi
memperlihatkan bahwa sebanyak 60% pasien yang meninggal di rumah sakit disebabkan oleh PE, namun sebanyak 70% kasus tiak diketahui.
19
1.2.5 Etiologi dari Emboli Paru. Penyebab emboli paru semula belum jelas, tapi hasil hasil penelitian dari autopsy paru pasien yang meninggal karena penyakit ini menunjukan dengan jelas bahwa penyebab penyakit tersebut adalah trombus pada pembuluh darah. Umumnya tromboemboli berasal dari lepasnya trombus di pembuluh darah vena di tungkai bawah atau dari jantung kanan. Sumber emboli paru yang lain misalnya tumor yang telah menginvasi sirkulasi vena (sirkulasi tumor), amnion, udara, lemak, sum-sum tulang, fokus septic (pada endikarditis) dan lain-lain. Kemudian material emboli beredar dalam peredaran darah sampai di sirkulasi pulmonal dan tersangkut pada cabang-cabang arteri pulmonal, memberi akibat timbulnya gejala klinis. Emboli paru karena trombus di arteri pulmonalis(in situ) sangat jarang. Tiga faktor utama yang menyebabkan timbulnya trombosis vena dan kemudian menjadi PE : (1) stasis vena atau melambatnya aliran darah, (2) luka dan peradangan pada dinding vena, dan (3) hiperkoagulabilitas. Beberapa penyakit dan aktivitas agaknya meningkatkan resiko pembentukan trombus, dan pasien-pasien dengan kondisi ini harus diawasi dengan cermat agar dapat diketahui adanya pembentukan trombus. Resiko pembentukan trombus bertambah besar pada kehamilan, penggunaan obat kontrasepsi oral, obesitas, gagal jantung, vena varikosa, infeksi abdomen, kanker anemia sel sabit dan setiap keadaan inaktif yang berlangsung lamaseperti naik pesawat terbang, kereta api atau bus. Kondisi-kondis ini banyak ditemukan pada pasien-pasien yang dirawat dirumah sakit. Trombosis vena atau PE terutama terjadi pada pasien yang tirah baring. Keadaan yang paling penting sebagai predisposisi trombosis vena adalah gagal jantung kongestif; kondisi penting berikutnya adalah pasca bedah. Tempat tersering terbentunya bekuan darah adalah vena ileofemoralis profunda pada tungkai (90%), meskipun bekuan darah juga dapat terbentuk dalam vena-vena pelvis dan jantung kanan. Emboli yang bukan berasal dari trombosis jarang terjadi (kurang dari 10% emboli paru), tetapi meliputi sumbatan yang disebabkan oleh udara, lemak, sel-sel ganas, cairan amnion, parasit, vegetasi, dan benda asing. 1.2.6 Patofisiologi Dari Emboli Paru.
20
Emboli paru (PE) terjadi apabila suatu embolus, biasanya merupakan bekuan darah yang terlepas dari perlekatannya pada vena ektremitas bawah, lalu bersirkulasi melalui pembuluh darah dan jantung kanan sehingga akhirnya tersangkut pada arteri pulmonalis utama atau pada salah satu percabangan . infark paru adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan fokus nekrosis lokal yang diakibatkan oleh penyumbatan vaskular.
Trombus dapat berasal dari pembuluh darah arteri dan pembuluh darah vena. Trombus arteri karena rusaknya dinding pembuluh arteri (lapisan intima). Trrombus vena terjadi terutama karena aliran darah vena yang lambat, selain dapat pula karena pembekuan darah dalam vena bila ada kerusakan endotel vena. Trrombus vena dapat berasal dari pecahan trombus besar yang kemudian terbawa aliran vena. Biasanya trrombus vena berisi partikel-partikel fibrin (terbanyak), eritrosit, dan trombosit. Ukurannya bervariasi, bisa dari beberapa milimeter sampai sebesar lumen venanya sendiri. Biasanya trombus makin bertambah besar oleh tumpukan trombus lain yang kecil-kecil. Adanya perlambatan aliran darah vena akan makin mempercepat terbentuknya trrombus yang lebih besar. Adanya kerusakan dinding pembuluh darah vena (misalnya operasi rekonstruksi vena femoralis) jarang menimbulkan vena. Kondisi darah yang mudah membeku juga amat berpengaruh pada pembentukan trrombus. Factor penting yang berperan adalah diaktifkannya factorfaktor pembekuan darah oleh kolagen, endotoksin, dan prokoagulan dari jaringan maligna, selanjutnya tromboplastin dilepaskan kedalam peredaran darah dan pembekuan drah intravascular (trombus) mudah terjadi. Keadaan ini sering di temukan pada persalinan, operasi dan trauma pada organ-organ tubuh. Secara umum dapat dikaitkan bahwa tromboemboli paru merupakan komplikasi trrombosis vena dalam pada tungkai bawah atau di tempat lain . trrombus yang lepas ikut aliaran darah vena ke jantung kanan dan sesudah mencapai sirkulasi pulmonal tersangkut pada beberapa cabang arteri pulmonalis dapat menimbulkan obstruksi total atau sebagian dan memberikan akibat lebih lanjut. Trombus pada vena dalam tidak seluruhnya akan lepas dan menjadi tromboemboli, tetapi kira-kira 80% nya akan mengalami pencairan spontan.
21
Trombus primer pada aliran darah arteri pulmonalis atau cabang-cabangnya sangat jarang terjadi. Thrombus pada tempat asal terjadinya (misalnya thrombus vena dalam di vena femoralis atau dari jantung kanan) lepas dan ikut aliran darah vena sebagai tromboemboli diarteri pulmonalis tersangkut di situ, menimbulkan obstruksi total atau parsial, selanjutnya menimbulkan akibat atau konsekuensi dua hal: a. Gangguan hemodinamik : timbul vasikonstriksi, emboli paru menimbulkan obstruksi mekansis total atau parsial pada cabang-cabang arteri pulmonalis akan menimbulkan reflex neurohumoral dan menyebabkan vasokonstriksi pada cabangcabang arteri pulmonalis yang terkena obstruksi tadi. Terjadilah dua keadaan ialah: a. peningkatan resistensi vascular paru dan. b. pada kasus yang berat akan terjadi hipertensi pulmonal sampai mengakibatkan terjadinya gagal jantung kanan. b. Gangguan respirasi : timbul bronkokonstriksi, adanya obstruksi total atau parsial oleh tromboemboli paru akan menimbulkan :
Reflex bronkokonstriksi yang terjadi setempat pada daerah parau yang
terdapat emboli (pneumokonstriksi). Wasted ventilation (suatu peninggian pshikological dead space). Ventilasi
paru daerah terkena tidak aktif. Hilang atau menurunnya surfaktan paru pada alveoli daerah paru yang
terkena dan Hipoksemia arterial Reaksi bronkokonstriksi setempat yang terjadi bukan saja akibat
berkurangnya bagian aktif permukaan jaringan paru. Dan terjadi pula akibat pengeluaran histamine dan 5 hidroksi isoptamin yang dapat membuat vasokonstriksi dan bronkokonstriksi bertambah besar, wasted ventilation terjadi karena adanya obstruksi oleh emboli paru yang menimbulkan suatu zona paru dengan ventilasi paru yang cukup tetapi tidak terdapat perfusi. Sehingga menimbulkan dead pace di dalam paru. Bagian paru ini tidak ikut mengalami proses pertukaran gas. Hilang atau menurunnya produksi surfaktan paru menyebabkan stabilitas alveoli menurun, yang berakibat atelectasis pada daerah
22
paru yang terkena. Hipoksemia arterial disebabkan oleh karena adanya gangguan ventilasi perfusi daerah paru yang terkena. Dari penelitian klinis dan eksperimental pada binatang diketahui bahwa infark paru jarang terjadi pada pasien yang mengalami tromboemboli paru. Diketahui bahwa hanya 10% kasus emboli paru pada manusia diikuti terjadinya infark paru. Mengapa pada paru jarang terjadi infark paru sesudah ada emboli paru, karena jaringan paru memperoleh oksigen lewat tiga cara yaitu 1. Dari sirkulasi arteri pulmonalis 2. Dari sirkulasi darah arteri bronkialis dan 3. Dari saluran udara pernapasan. Infark paru akan lebih mudah terjadi apabila terdapat gangguan pada arteri bronkialis disertai gangguan pada saluran udara pernapasan. 1.2.7 Faktor Resiko dari Emboli Paru. Faktor – faktor resiko terjadinya emboli paru terdiri dari : a. Keadaan yang menyebabkan stasis vena 1. Tirah baring atau immobilisasi yang lama 2. Keadaan postpartum 3. Bedah tulang atau memakai gips 4. Obesitas 5. Usia lanjut b. Cedera pada dinding vena 1. Pasca bedah, terutama yang berhubungan dengan toraks, abdomen, pelvis atau tungkai 2. Fraktur pelvis atau tulang panggul 3. Terapi intervena c. Keadaan yang meningkatkan bekuan darah 1. Keganasan 2. Kontrasepsi oral tinggi estrogen 3. Polisitemia d. Gangguan-gangguan resiko tinggi 1. Gagal jantung kongestif tingkat 4 2. Keadaan pasca operasi a. Bedah tulang panggul b. Bedah pelvis atau abdominal akibat keganasan yang meluas 3. Keadaan postpartum 4. Riwayat trombosis vena dalam (DVT), emboli paru (PE), varises 5. Fraktur tulang panjang 6. Infeksi abdominal 7. Diabetes melitus 8. Anemia sel bulan sabit 9. Penyakit paru kronik
1.2.8 Manifestasi Klinis dari Emboli Paru.
23
Tanda dan gejala PE sangat bervariasi bergantung pada besar bekuan. Gambaran klinis dapat berkisar dari keadaan tanpa tanda sama sekali sampai kematian mendadak akibat embolus pelana yang masif pada percabangan arteria pulmonalis utama yang mengakibatkan sumbatan pada seluruh aliran darah ventrikel kanan. Pasien yang mempunyai tanda-tanda tromboflebitis pada vena tungkai, menunjukkan sindrome klasik PE ukuran sedang berupa awitan mendadak dispnea yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, takipnea, takikardia dan gelisah. Nyeri pleuritik, suara gesekan pleura, hemoptisis, dan demam jarang ditemukan kecuali bila telah terjadi infark. PE masif dapat mengakibatkan keadaan seperti syok yang mendadak, disertai takikardia, hipotensi, sianosis, stupor, atau sinkop. Suara gesekan pleura dan sedikit efusi pleura merupakan tanda yang paling sering ditemukan. 1.2.9 Pemeriksaan Yang Dilakukan Untuk Mendiagnosa Emboli Paru. Pada pemeriksaan fisik, tanda umum dan lokal yang ditemukan bergantung pada besarnya arteri yang tersumbat. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan leukositosis (biasanya kurang dari 15.000/mm3). Pada elektrokardiografi, terdapat perubahan pada segmen QRS dan gelombang ST, pada analisis gas darah, PO 2 jelas menurun (biasanya < 80 mmHg). Pada foto toraks, biasanya ditemukan gambaran infark paru, kadang dengan diafragma yang tinggi, dan sering disertai efusi pleura. Ventilasi atau perfusi lung scanning merupakan prosedur permulaan yang dipakai untuk menentukan emboli paru. Selain itu, helical CT (CT spiral) dan MRI sudah dipakai luas untuk menentukan emboli paru. Diagnosis pasti dibuat dengan membuat skintigram paru dengan bahan radioaktif xenon atau talium. D- dimer adalah produk degradasi anyaman fibrin. Kadar D-dimer normal menunjukkan kemungkinan EP yang sangat kecil. D-dimer yang tinggi didapatkan pada berbagai keadaan (baru mengalami pembedahan, keganasan, dan penyakit radang) termasuk EP. Scan ventilasi-perfusi adalah scan V/Q dengan isotop dilakukan berdasarkan kenyataan bahwa EP signifikan menyebabkan hipoperfusi regional pada suatu segmen atau lobus paru tanpa menimbulkan defek ventilasi. Untuk menyederhanakan prosedur ini, kadang-kadang digunakan foto thoraks normal sebagai standar ventilasi normal. Metode ini banyak digunakan. Namun
24
memiliki keterbatasan diagnostik yang signifikan. Angiografi paru merupakan pemeriksaan penunjang baku emas untuk diagnosis EP. Invasif, mahal, sehingga jarang digunakan hanya bermamfaat bila dibutuhkan penegakan diagnosis cepat. Pemeriksaan penunjang, penilaian kemungkinan adanya EP, berdasarkan klinis, analisis gas darah dan foto thoraks tetap penting dalam menegakkan diagnosis EP, dan memberi petunjuk untuk terapi awal. Terapi lanjut berpedoman pada tes yang lebih spesifik, seperti scan ventilasi-perfusi
(V/Q), walaupun
pemeriksaan ini seringkaali hanya memberikan kemungkinan diagnosis, bukan menegakkan diagnosis pasti. 1.2.10 Komplikasi dari Emboli Paru. Akibat PE adalah terbentuknya daerah-daerah paru yang mendapat ventilasi, tetapi perfusinya kurang memadai, sehingga akan meningkatkan ventilasi ruang mati fisiologis. Bronkokontriksi refleks terjadi pada daerah yang terserang dan diduga sebagai akibat pengeluaran histamin atau serotonin dari bekuan darah. Bronkokontriksi refleks dianggap sebagai kompensasi pada daerah yang tersumbat, karena refleks ini mengurangi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi. Akan tetapi, bronkospasme refleks pada daerah sekitarnya mengakibatkan hipoksemia yang cukup bermakna. Jika jaringan vaskular paru berkurang cukup banyak akibat embolus yang besar atau emboli yang banyak dan berulang, maka dapat terjadi hipertensi pulmonal. Diperkirakan dua per tiga jaringan vaskular harus mengalami obliterasi sebelum peristiwa itu terjadi. Nekrosis iskemik lokal (infark) merupakan komplikasi PE yang jarang terjadi karena paru memiliki suplai darah ganda. Infark paru biasanya dikaitkan dengan penyumbatan arteria lobaris atau lobularis ukurang sedang dan insufisiensi aliran kolateral dari sirkulasi bronkus. 1.2.11 Penatalaksana Dari Emboli Paru. Pengobatan utama untuk PE akut terdiri dari terapi dengan fibrolitik untuk semua pasien dengan PE masif atau tidak menetap. Regimen fibrolitik biasa digunakan untuk PE, termasuk juga dua bentuk aktivator plasminogen jaringan
25
rekombinan. T-PA (alteplase) dan r-PA (reteplase) yang digunakan dengan urokinase dan streptokinase. Bedah embolektomi dilakukan bila terapi dengan fibrolitik merupakan kontraindikasi. Tindakan tambahan yang juga penting adalah menghilangkan nyeri dengan agen antiinflamasi bonsteroid, suplemen oksigen, pemantauan perawatan intensif, dan stocking-stocking penekan yang memberikan gradien tekanan sebesar 30 hingga 40 mmHg. Dobutamin digunakan untuk mengobati gagal jantung kanan dan syok kardiogenik. Pegobatan utama diikuti dengan pencegahan sekunder PE dengan menggunakan heparin. Heparin adalah antikoagulan yang penting karena menghambat pembesaran bekuan tapi tidak mampu menghancurkan bekuan yang sudah ada. Heparin meningkatkan aktivitas antitrombin III dan mencegah konversi fibrinogen menjadi fibrin. Sehingga heparin mencegah pembentukan trombus dan membiarkan mekanisme fibrinolitik endogen untuk melisiskan bekuan yang telah terbentuk. Terapi antikoagulan sendiri mungkin sudah cukup jika PE berukuran sedang atau kecil dan fungsi ventrikel kanan normal. Standar khusus bolus heparin utuh adalah 5.000 hingga 10.000 unit di lanjutkan dengan infus yang terus menerus sebanyak 1.000 hingga 1.500 unit/jam. Kadar heparin sebagai suatu terapeutk diberikan berdasarkan waktu tromboplastin parsial aktif (aPTT) yang dinilai paling tidak dua kali pengontrolan. Efek samping heparin yang paling penting adalah perdarahan. Akhir-akhir ini LMWH (enoksaparin, dalteparin, dan ardeparin) diketahui lebih aman dan lebih efektif daripada heparin utuh yang digunakan untuk profilaksis DVT atau PE. LMWH dapat diberikan melalui subkutan dengan dosis satu atau dua kali sehari dan tidak membutuhkan observasi aPTT untuk menentukan dosis, seperti yang dilakukan bila menggunakan heparin untuk standar. Setelah pemberian awal antikoagulan berupa heparin, lanjutkan dnegan pemberian antikoagulan jangka panjang berupa warfarin. Warfarin adalah antagonis vitamin K yang mencegah pengaktifan faktor-faktor pembekuan II, VII, IX, dan X. Dosis awal adalah 7,5 mg hingga 10 mg dan setelah itu dosis yang diberikan dikurangi hingga sekitar 3,0 mg untuk mempertahankan International
26
Normalized Ratio (INR). Kini INR merupakan pengukuran yang dianjurkan untuk menentukan dosis warfarin bukan pengukuran dengan menggunakan waktu protrombin. Terapi antikoagulan dengan warfarin dapat dilanjutkan selama 6 bulan hingga 1 tahun atau tidak menentu pada pasien dengan resiko tinggi mendapatkan DVT atau PE yang berulang. Pada beberapa keadaan, pencegahan PE yang berulang adalah dengan menempatkan kassa atau alat penyaringan pada vena kava bagian bawah dengan tujuan untuk menangkap emboli dari ekstremitas bawah dalam perjalanan menuju sirkulasi pulmonal. EP kecil
Heparin subkutan bila ada dugaan EP, warparin stelah dikonfirmasi diagnosis
EP besar atau masif
dengan menggunakan scan V/Q O2 dosis tinggi segera; heparin intravena dan cairan intravena bila hasil foto
thoraks
mneyingkirkan pertimbangkan
dan
EKG
MI/edema ekokardiografi,
telah paru, CT
spiral atau angiografi paru jika keadaan kritis dan ketersediaan alat mendukung. Jika terjadi gangguan atau penurunan hemodinamik, trombolisis dengan tPA, kemudian dilanjutkan dengan heparin intravena. Untuk EP masif, salah satu alternatif adalah embolektomi dengan EP kronis multipel
pembedahan bila bisa dilakukan segera Warfarin. Rujuk untuk mendapatkan
pemeriksaan ahli jantung Emboli masif pada cabang-cabang arteria pulmonalis yang lebih besar merupakan keadaan gawat darurat medis. Sasaran pengobatan dini adalah dukungan kardiovaskular dan pencegahan kolaps sirkulasi dan insufienssi paru dengan obat-obat kardiotonika, oksigen dan ventilasi mekanis. Pengambilan embolus paru secara bedah mungkin tidak akan berhasil dan sumber embolus ada di ektremitas bawah, upaya pembedahan untuk mencegah embolus masuk ke vena kava inferior mungkin bermamfaat. 27
Sesudah di stabilisasi dan didiagnosa pasti, upaya harus dilakukan untuk mencegah embolisasi lebih lanjut. Heparin intravena (dosis pembebanan : 50-75 unit/kg; dosis rumatan ; 25 unit/kg/24 jam) harus diberikan dengan infus terusmenerus; dosis harus disesuaikan untuk mempertahankan waktu penjedalan pada sekitar dua kali harga kontrol (atau APTT pada 1,5 kali kontrol). Sesudah 7-10 hari pemberian heparin intravena, terapi kumarin oral selama 3-6 bulan biasanya terindikasi, kecuali kalau sumber embolus telah dilenyapkan secara pasti. Heparin dengan berat molekul rendah dapat lebih efektif dan lebih aman daripada heparin baku yang tidak terfraksionasi. 1.2.12 Prognosis dari Emboli Paru. Prognosis emboli paru jika terapi yang tepat dapat segera diberikan adalah baik. Emboli parujuga dapat menyebabkan kematian mendadak. Prognosis emboli paru tergantung pada penyakit yang mendasarinya, juga tergantung pada ketepatan diagnosis dan pengobatan yang diberikan.umumnya prognosis emboli paru kurang baik. Pada emboli paru masif prognosisnya lebih buruk lagi, karena 70% dapat mengalami kematian dalam waktu 2 jam sesudah serangan akut.prognosis juga buruk pada pasien emboli paru kronik dan yang sering mengalami serangan ulang. Resolusi emboli paru dapat terjadi dengan terapi trombolitik yang progresif. Umumnya resolusi dapat dicapai dalam waktu 30 jam. Resolusi komplet terjadi dalam waktu 7-19 hari,variasinya tergantung pada kapan mulai terapi, adekuat tidaknya terapi dan besar kecilnya emboli yang terjadi.
28
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Emboli paru merupakan keadaan terjadinya obstruksi sebagian atau total sirkulasi arteri pulmonalis atau cabang-cabang akibat tersangkutnya emboli thrombus atau emboli yang lain. Bila obstruksi tadi akibat tersangkutnya emboli thrombus disebut tromboemboli paru. Penyebab emboli paru semula belum jelas, tapi hasil hasil penelitian dari autopsy paru pasien yang meninggal karena penyakit ini menunjukan dengan jelas bahwa penyebab penyakit tersebut adalah trombus pada pembuluh darah. Faktor utama yang menyebabkan timbulnya trombosis vena dan kemudian menjadi PE : (1) stasis vena atau melambatnya aliran darah, (2) luka dan peradangan pada dinding vena, dan (3) hiperkoagulabilitas. Akibat lanjut dari emboli paru dapat terjadi infark paru, yaitu keadaan terjadnya nekrosis sebagian jaringan parenkim paru akibat tersumbatnya aliran darah yang menuju jaringan paru tersebut oleh tromboemboli. Oleh karena jaringan parenkim paru memperoleh aliran darah dari dua jenis peredaran darah (cabang arteri pulmonalis dan cabang arteri bronkialis. Insiden sebenarnya dari PE tidak dapat ditentukan, karena sulit membuat diagnosis klinis, tetapi PE merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas pasien-pasien di rumah sakit. Pengobatan utama untuk PE akut terdiri dari terapi dengan fibrolitik untuk semua pasien dengan PE masif
29
atau tidak menetap utama diikuti dengan pencegahan sekunder PE dengan menggunakan heparin
DAFTAR PUSTAKA
1. Anthony L. Mescher. 2011. Histologi Dasar Junqueira. Jakarta :EGC. 2. Davey, Patrick. 2006. At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga 3. Guyton, Arthur C. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC. 4. Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M. 2012. Patofisiolofi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol.1 Edisi 6. Jakarta: EGC. 5. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 5 Volume 2. Jakarta : EGC 6. Sjamsuhidajat, de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC 7. Sudoyo W. Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid II. Jakarta : Balai Penertbit FKUI.
30