BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Rute pemberian obat secara oral merupakan rute pemberian obat yang
paling nyaman dan paling sering digunakan (Badoni, et al.,2012). Namun, rute ini memiliki beberapa masalah fisiologis, termasuk waktu retensi lambung yang singkat dan tingkat pengosongan lambung yang tidak terprediksi (Wadher, et al., 2013). Keadaan ini secara drastis mengurangi waktu yang tersedia untuk obat diabsorpsi, yang kemudian diikuti dengan berkurangnya bioavailabilitas (Jamil, et al., 2011). Kesulitan-kesulitan ini telah mendorong peneliti untuk merancang sistem penyampaian obat gastroretentif yang dapat bertahan dalam lambung untuk waktu yang diperpanjang dan juga meningkatkan bioavailabilitas dari obat dengan cara meningkatkan waktu retensi lambung (Reddy, et al., 2013). Waktu retensi lambung yang dikendalikan dari suatu bentuk sediaan padat dapat
dicapai
dengan
mekanisme
mukoadhesif,
mengapung
(floating),
sedimentasi (sedimentation), ekspansi (expansion), dan sistem modifikasi bentuk atau dengan pemberian bahan tertentu, yang menunda pengosongan lambung (Vedha, et al., 2010). Sistem mengapung (floating) merupakan sistem berdensitas rendah yang memiliki cukup daya apung untuk mengapung dan tetap mengapung dalam lambung tanpa dipengaruhi tingkat pengosongan lambung untuk jangka waktu lama (Arunachalam, et al., 2011), sehingga menghasilkan peningkatan waktu retensi lambung dan mencegah terjadinya fluktuasi kadar obat dalam plasma (Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011). Sistem ini sesuai untuk obat-
1
obat yang memiliki penyerapan kolon yang buruk tetapi ditandai dengan sifat penyerapan yang lebih baik di bagian atas saluran pencernaan tersebut (Narang, 2011). Sebagai contoh yaitu ranitidin HCl. Ranitidin HCl merupakan reseptor antagonis histamin H-2 (Martindale, 1982). Secara luas diresepkan untuk pengobatan tukak usus, tukak lambung, sindroma Zollinger Ellison, penyakit refluks gastroesophageal, dan erosif esofagitis (Yadav, et al., 2010). Ranitidin HCl dapat menghambat sekresi asam lambung hingga 5 jam tetapi tidak sampai 10 jam dari sediaan konvensional dosis 150 mg, dengan dosis 300 mg dapat memicu fluktuasi kadar dalam plasma (Rao, et al., 2010), bioavaibilitas hanya 50-60% dan waktu paruh plasma kira-kira 2 jam (Tan dan Rahardja, 2002). Dengan alasan ini, ranitidin HCl sesuai untuk pengembangan sediaan obat dengan pelepasan berkelanjutan (sustained release). Eudragit RS 100 merupakan polimer kationik dengan permeabilitas rendah (Nikam, et al., 2011) dan memiliki kemampuan mengembang yang rendah dan tahan terhadap cairan lambung (Gupta, et al., 2010). Polimer salut ini biasanya digunakan untuk merancang formulasi sediaan sustained release. Dalam penelitian ini dibuat sediaan dalam bentuk kapsul yang tahan atau tidak pecah dalam lambung yang selanjutnya disalut Eudragit RS 100. Kapsul ini dibuat dengan menggunakan natrium alginat yang merupakan polisakarida yang berasal dari rumput laut (alga coklat), yang tidak bersifat toksis (Draget, et al., 2005). Bangun, et al., (2005), telah melakukan pengujian terhadap sifat-sifat ketahanan cangkang kapsul alginat terhadap asam lambung dan sifat-sifat pengembangannya dalam medium lambung buatan (pH 1,2). Diketahui bahwa cangkang kapsul alginat tetap utuh dalam medium lambung buatan (pH 1,2).
2
Pengujian terhadap sifat floating dari cangkang kapsul alginat terhadap metronidazol telah dilakukan oleh Simamora, (2014). Cangkang kapsul alginat dapat menunjukkan sifat floating diikuti dengan pelepasan yang berkelanjutan dari metronidazol lebih dari 12 jam. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengembangkan penggunaan cangkang kapsul alginat sebagai sediaan floating dari ranitidin HCl. 1.2
Kerangka Pikir Penelitian Secara skematis kerangka pikir penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.1
Permasalahan
Solusi
Variabel bebas
Variabel terikat
Parameter Panjang (mm)
cangkang kapsul alginat tanpa salut
Uji Spesifikasi
Bioavaibilitas sediaan tablet konvensional dari ranitidin HCl yang hanya 50-60%
Pembuatan sediaan Floating capsule dari cangkang kapsul alginat
(mm) Berat (mg)
Uji Pelepasan (Jumlah obat terlepas (%) Cangkang kapsul alginat disalut dengan variasi konsentrasi Eudragit RS 100
Diameter
Warna Tebal (mm)
Volume
AUC
Kinetika Pelepasan (Orde reaksi)
Koefisien Korelasi (R2)
Floating Lag Time
Waktu (menit)
Floating Time
Waktu (menit)
Penambahan laktosa
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian
3
1.3
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah: a. Apakah cangkang kapsul alginat dapat digunakan untuk sediaan floating dari ranitidin HCl yang dapat bertahan di lambung? b. Apakah pelepasan ranitidin HCl dari sediaan cangkang kapsul alginat sebagai sediaan floating merupakan pelepasan berkelanjutan atau sustained release? 1.4
Hipotesis Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Cangkang kapsul alginat dapat digunakan sebagai sediaan floating ranitidin HCl yang dapat bertahan di lambung. b. Pelepasan ranitidin HCl dari sediaan cangkang kapsul alginat sebagai sediaan floating merupakan pelepasan berkelanjutan atau sustained release.
1.5
Tujuan Penelitian a. Untuk membuat sediaan floating ranitidin HCl yang dapat bertahan di lambung menggunakan cangkang kapsul alginat b. Untuk mengetahui profil pelepasan ranitidin HCl dari cangkang kapsul alginat sebagai sediaan floating.
4
1.6
Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penggunaan
cangkang kapsul alginat sebagai sediaan pelepasan terkontrol dan menjadi informasi bahwa ranitidin HCl dapat diberikan dalam sediaan cangkang kapsul alginat sebagai sediaan floating untuk pengobatan tukak usus, tukak lambung, syndroma Zollinger Ellison, penyakit refluks gastroesophageal, dan erosif esophagitis.
5