BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Adalah suatu hal yang kodrati, dimana suatu negara tidak akan pernah bisa memenuhi semua kebutuhannya sendiri tanpa memerlukan negara lainnya, walaupun negara superpower seperti Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya di dunia ini. Satu negara tidak dapat benar-benar mandiri dalam memenuhi dan memuaskan segala kebutuhannya. Masing-masing negara memiliki karakteristik yang berbeda, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, letak geografis, tingkat perekonomian dan situasi sosial politiknya, dengan kata lain masing-masing negara mempunyai keunggulan disatu sisi dengan kelemahan / kekurangan disisi yang lain, misalnya suatu negara yang unggul dengan sumber daya manusianya kadang-kadang minim dalam hal sumber daya alamnya, demikian juga sebaliknya, oleh karena itu terdapat hubungan interdependensi antar negara yang satu dengan negara lainnya didunia ini. 1 Transaksi
bisnis
internasional
timbul
berdasarkan
interdependensi
kebutuhan antar negara. Untuk lebih memperinci, berikut ini disebutkan faktor yang mendorong suatu negara melakukan transaksi bisnis internasional, antara lain sebagai berikut : 2
1
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis, Transaksi Bisnis Internasional (Ekspor-Impor & Imbal Beli ), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001) hal 1. 2 Dapat diakses melalui http://id.wikipedia.org/wiki/letter of credit, tanggal 10 Maret 2008.
Universitas Sumatera Utara
1. Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri. 2. Keinginan memperoleh keuntungan dan pendapatan negara. 3. Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengolah sumber daya ekonomi. 4. Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk menjual produk tersebut. 5. Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, tenaga kerja, budaya dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasil produksi. 6. Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang. 7. Keinginan membuka kerjasama, hubungan politikdan dukungan dari negara lain. 8. Terjadinya globalisasi sehingga tidak ada suatu negarapun didunia ini yang dapat hidup sendiri. Subjek dalam transaksi bisnis internasional tidak hanya negara. Menurut ensiklopedia Wikipedia Indonesia 3 , perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antar individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP.
3
Dapat diakses di http://id.wikipedia.org/wiki/Letter of Credit, diakses pada tanggal 9
Maret 2008.
Universitas Sumatera Utara
Perdagangan
internasional
pun
turut
mendorong
industrialisasi,
kemajuan
transportasi, globalisasi dan kehadiran perusahaan multinasional. Transaksi bisnis internasional sebagaimana transaksi-transaksi lainnya mengakibatkan adanya pihak penjual (eksportir) dan pembeli (importir). Masingmasing pihak mempunyai hak dan kewajiban timbal balik dimana ekportir wajib melakukan penyerahan barang dan berhak menerima pembayaran atas penyerahan barang. Disisi lain importir wajib melunasi harga barang dan berhak menuntut penyerahan barang yang dibelinya. Perdagangan antar negara lebih rumit dibandingkan perdagangan dalam negeri, karena perdagangan antar negara melintasi batas-batas negeri dan berhubungan dengan pemerintahan lain, meliputi mata uangnya, politik ekonominya ataupun sistem atau peraturan tata niaga pemerintah tersebut. 4 Kehadiran lembaga keuangan dalam hal ini bank sangat dibutuhkan untuk mempermudah transaksi bisnis internasional yang mana para pelakunya (ekspotir dan importir) terpisah secara geografis dan geopolitis, bahkan tidak saling kenal mengenal antara satu sama lain. Dewasa ini untuk membagi serta mengurangi resiko masing-masing pihak dimana adanya jarak dan faktor tidak saling mengenal antara eksportir dan importir, maka lazim dikenal cara pembayaran dengan Letter of Credit (L/C), yang sudah menjadi kebiasaan internasional yang paling sering digunakan sebagai alat pembayaran transaksi. 4
T.Gilarso, Pengantar Ilmu Ekonomi Bagian Makro, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal.32.
Universitas Sumatera Utara
Letter of Credit yang biasa disingkat L/C atau dalam bahasa Indonesia disebut Surat Kredit Berdokumen adalah suatu bentuk jasa yang ditawarkan oleh bank dalam rangka pembelian barang, berupa penangguhan pembayaran oleh pembeli dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.5 L/C menjadi alat pembayaran primadona dalam transaksi bisnis internasional karena merupakan alat pembayaran yang paling aman dimana risiko bagi eksportir dan importir dapat dialihkan pada pihak bank. Hal ini dapat dilihat dari pengertian L/C sebagai “jaminan pembayaran bersyarat” yang merupakan surat yang diterbitkan oleh bank (issuing bank) atas permintaan importir yang ditujukan kepada bank lain di negara eksportir (advising/negotiating bank) untuk kepentingan pihak eksportir (beneficiary/penikmat) dimana eksportir diberi hak untuk menarik wesel-wesel atas importir yang bersangkutan sebesar jumlah uang yang disebutkan dalam surat itu. 6 Adapun pihak-pihak yang terkait dalam pembukaan L/C yaitu: 1. Pembeli sebagai importir barang yang mengajukan permohonan pembukaan L/C. Pembeli disebut juga sebagai importir, accountee atau principal. 2. Penjual sebagai eksportir untuk siapa L/C dibuka. Penjual ini disebut juga vendor atau beneficiary. 3. Bank pembuka L/C yang melakukan pembukaan kredit setelah adanya permohonan dari pembeli. Bank ini disebut juga opening bank atau issuing bank. 5
Y. Sri Susilo dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta: Salemba Empat, 2000),
6
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op.cit, hal.24.
hal.90.
Universitas Sumatera Utara
4. Bank penerus L/C yang meneruskan kepada kantor cabang atau salah satu bank koresponden di luar negeri dimana eksportir berada. Bank ini disebut juga confirming bank, paying bank, atau disebut juga negotiating bank. 7 Peranan bank dalam cara pembayaran ekspor impor dengan sarana L/C yaitu pihak bank penerbit bertindak sebagai pengganti importir. L/C yang diterbitkan oleh bank tersebut adalah atas nama dan untuk kepentingan importir. Pembayaran akan dilakukan oleh pihak bank sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang terdapat di dalam L/C. 8 Fasilitas yang diberikan oleh bank adalah berupa penangguhan pembayaran. Terdapat dua kemungkinan dalam hal ini, kemungkinan pertama adalah importir membayar lunas tepat waktu kepada bank penerbit sehingga proses L/C selesai. Kemungkinan kedua adalah, importir tidak membayar tepat waktu kepada bank penerbit, sehingga bank merubah kredit tersebut menjadi kredit biasa yang harus dibayar beserta bunga. Ini merupakan gambaran umum proses L/C yang dilaksanakan bank konvensional, dimana masih terlihat adanya unsur riba yang dalam perspektif syariah Islam riba merupakan hal yang diharamkan. Dalam transaksi bisnis yang menggunakan L/C, masing-masing pihak tentu menghendaki hukum nasionalnya masing-masinglah yang akan berlaku dalam hal terjadi perbedaan pemahaman tentang L/C. Disini bargaining power masing-masing pihak akan sangat menentukan pilihan hukum yang akan diterapkan. Untuk mengatasi hal tersebut Internasional Chamber of Commerce (ICC) telah membuat konvensi 7
Ibid, hal.26. Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006), hal.443. 8
Universitas Sumatera Utara
berupa Uniform Custom and Practice for Documentary Credit (UCP) yang menjadi model law yang dapat menjadi acuan bagi sebagian besar negara-negara didunia dalam pelaksanaan transaksi perdagangan dengan menggunakan L/C. 9 UCP yang berlaku sekarang adalah UCP 600 sebagai perbaikan dari UCP 500. Sebagai model law, keberlakuan UCP terhadap suatu kontrak bukanlah suatu keharusan. Para pihak boleh mempergunakan UCP sebagai acuan boleh juga tidak. Telah disinggung sebelumnya bahwa perdagangan yang melewati batasbatas negara lebih kompleks jika dibandingkan dengan perdagangan dalam negeri, karena perdagangan antar negara melibatkan pihak-pihak dengan perbedaan geografis dan yang paling penting perbedaan sistem hukum. Secara garis besar di dunia ini dikenal lima sistem hukum yaitu Cyvil Law, Common Law, Socialis Law, Islamic Law dan sistem hukum adat. Indonesia yang merupakan negara bekas jajahan Belanda, menganut Cyvil Law System sebagai konsekwensi logis dimana negara jajahan mengadopsi sistem hukum dari negara penjajah. Namun dalam prakteknya dalam berbagai transaksi bisnis internasional dan dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundangan yang mengandung ketentuan yang bersinggungan dengan transaksi bisnis internasional, kita juga mengadopsi beberapa ketentuan yang biasa dipakai oleh negara-negara dengan sistem hukum common law. Oleh karena itu dapat dikatakan, tiada suatu negara yang benar-benar mengeksklusifkan dirinya hanya menganut satu sistem hukum tertentu saja, masing-masing sistem hukum terlihat 9
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op.cit, hal.32.
Universitas Sumatera Utara
saling mentransfer masing-masing corak dan karakteristiknya terhadap ketentuanketentuan tertentu mengenai hal-hal tertentu pula. Indonesia dengan pluralisme penduduknya pun tidak tertutup dari berbagai pengaruh sistem hukum. Islam dengan perangkat hukumnya sebagai sebuah sistem turut memperkaya khasanah hukum nasional. Hukum perikatan Islam merupakan salah satu sumber dari hukum nasional di bidang perikatan, disamping hukum perikatan adat dan hukum perikatan menurut KUH Perdata. 10 Salah satu wujud yang paling nyata telah diakuinya eksistensi hukum perikatan Islam disamping hukum nasional adalah dengan diundangkannya UndangUndang No.10/1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7/1992 tentang perbankan dimana sistem perbankan syariah ditempatkan sebagai bagian dari sistem perbankan nasional. 11 Hal ini mendapat tanggapan positif dari kalangan perbankan, sehingga perkembangan kelembagaan bank syariah mengalami peningkatan dari tahun ketahun. 12 Puncaknya adalah pada tanggal 16 Juli 2008 pemerintah dengan persetujuan DPR telah mengundangkan UU No.21 Tahun/2008 tentang Perbankan Syariah sehingga pengaturan perbankan syariah lebih spesifik dan terperinci dan tidak sekedar ”menumpang” pada Undang-undang No.10/1998 tentang perbankan. 10
Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group kerjasama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hal.6. 11 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), hal.8. 12 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Fenomena ini merupakan jawaban terhadap keinginan masyarakat muslim sebagai ummat mayoritas di negara ini yang ingin mengaplikasikan keislaman mereka secara kaffah dalam setiap sendi kehidupan termasuk dalam melakukan transaksi bisnis. Oleh karena itu, jasa perbankan syariah yang melayani transaksi bisnis seperti Letter of Credit (L/C) sangat diharapkan keberadaannya, mengingat L/C yang dilaksanakan oleh bank-bank konvensional dalam prakteknya masih menerapkan bunga, hal mana yang sangat ditentang oleh syariat Islam. Berkaitan dengan hal ini, jauh sebelum diundangkannya UU No.21/2008 tentang Perbankan Syariah, sebenarnya telah ada aturan tentang L/C Syariah yaitu fatwa No.34/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah dan fatwa no.35/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia. Kedua fatwa ini memaparkan prinsip-prinsip syariah tentang perdagangan antar negara sebagai solusi bagi kedua belah pihak. Islam melarang adanya bunga, 13 maka untuk mematuhi norma ini, bank syariah telah memberikan solusi yang memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Bank syariah telah dapat mengadopsi mekanisme L/C tersebut dengan
13
Larangan eksplisit tentang riba atau bunga dapat dilihat dalam Firman Allah SWT dalam al Qu’ran QS. Al Baqarah ayat 275: “...Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”lihat Al Quran dan Terjemahannya, ( Bandung: Diponegoro, 2000).
Universitas Sumatera Utara
menggunakan skema transaksi yang islami seperti musyarakah, mudharabah ataupun murabahah. 14 Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional tentang L/C Impor Syariah, maka pelaksanaan L/C impor syariah dapat menggunakan akad-akad Wakalah bil Ujrah, Murabahah, Salam/Istishna’, Mudharabah, Musyarakah dan Hawalah. Dan untuk L/C ekpor syariah dalam pelaksanaannya menggunakan akad-akad Wakalah bil Ujrah, Qardh, Mudharabah, Musyarakah dan Al Bai’ 15 . Adapun pengaturan L/C dalam UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah dapat dilihat pada pasal 19 ayat(1) huruf p yang menyebutkan salah satu kegiatan usaha bank syariah adalah memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan prinsip syariah. 16 Undang-undang ini tidak mengatur lebih lanjut mengenai bagaimana L/C yang sesuai dengan prinsip syariah secara khusus, namun pada pasal 1 angka 12 dijelaskan tentang prinsip syariah yaitu prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah. 17
14
M.Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal.166. 15 Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Edisi Kedua, Diterbitkan Atas Kerjasama Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dengan Bank Indonesia, 2003, hal.211-222. 16 Lihat pasal 19 ayat (1) huruf p Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 17 Lihat pasal 1 angka 12 Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah ketentuan L/C yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah? 2. Apakah prinsip-prinsip L/C yang terkandung dalam UCP 600 dapat diterapkan pada L/C Syariah? 3. Bagaimanakah penyelesaian sengketa yang terjadi dalam perjanjian L/C Syariah?
C. Tujuan Penelitian Sehubungan dengan permasalahan yang akan dikaji, maka yang menjadi tujuan penelitian tesis ini adalah: 1. Untuk mengetahui ketentuan L/C yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. 2. Untuk mengetahui apakah prinsip-prinsip yang terkandung dalam UCP 600 dapat diterapkan pada L/C Syariah. 3. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi dalam perjanjian L/C Syariah.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Secara Teoritis Manfaat penelitian yang bersifat teoritis diharapkan bahwa hasil penelitian dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum terutama di bidang
hukum
khususnya yang menyangkut hukum tentang L/C. 2. Secara Praktis Manfaat penelitian secara praktis dapat dijadikan bahan masukan bagi para praktisi bisnis yang menggunakan L/C sebagai alat pembayaran. Penelitian ini bermanfaat pula bagi para akademisi dan pihak perbankan syariah
untuk lebih
mengembangkan L/C syariah. Sedangkan untuk mayarakat umum, hasil penelitian ini dapat berguna untuk lebih memperkenalkan konsep-konsep L/C yang syar’i.
E. Keaslian Penelitian Penelitian dengan judul “Analisis Hukum Terhadap L/C Syariah Berdasarkan Undang-undang No.21/2008 tentang Perbankan Syariah” yang diketahui berdasarkan penelusuran atas hasil-hasil penelitian khususnya di Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Ilmu Hukum, belum pernah dilakukan penelitian analisis hukum terhadap L/C berbasis syariah dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Ketentuan internasional L/C dimuat dalam Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCP). 18 UCP mengatur pelaksanaan L/C secara internasional tetapi hanya bersifat pengaturan umum. Sebagai model law, keberlakuan UCP adalah berdasarkan kesepakatan para pihak. Oleh karena itu agar ketentuanketentuan UCP dapat berlaku, maka dalam L/C harus memuat pernyataan tunduk pada UCP terhadap seluruh atau sebagian ketentuan UCP. 19 Pasal 2 UCP 600 memberikan definisi tentang Letter of Credit, yaitu setiap perjanjian, apapun nama dan bentuknya yang tidak dapat dibatalkan sepihak dan merupakan jaminan dari issuing bank untuk membayar atas penyerahan dokumen yang disyaratkan L/C. 20 C.F.G. Sunaryati Hartono mengatakan; sebagaimana yang dikutip oleh Ramlan Ginting: 21 “Secara harfiah L/C dapat diterjemahkan sebagai surat hutang atau surat piutang atau surat tagihan, tetapi sebenarnya L/C lebih merupakan suatu janji akan dilakukannya pembayaran, apabila dan setelah terpenuhinya syarat-syarat tertentu.”
18
UCP 600 telah resmi disetujui oleh Banking Commission Meeting International Chamber of Commerce Paris pada tanggal 25 Oktober 2006 dan berlaku pada tanggal 1 Juli 2007. UCP 600 ini merupakan revisi UCP 500, karena baik UCP 500 maupun UCP 600 mempunyai pengertian yang sama. Tjarsim Adisasmita, Menangani Transaksi Ekspor Berdasarkan Letter of Credit, (Jakarta: Puja Almasar Consultant, 2007), hal.23. 19 Ramlan Ginting, Letter of Credit, Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis, (Jakarta: Salemba Empat, 2000), hal.7. 20 Tjarsim Adisasmita, Op.cit, hal.31 21 Ramlan Ginting, Op.cit, hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
L/C sebagai suatu perjanjian atau kontrak pembayaran yang terpisah dari kontrak dasarnya. Realisasi L/C dilakukan atas dasar penyerahan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan L/C, sedangkan realisasi kontrak dasar dilaksanakan berdasarkan pengiriman barang sesuai dengan persyaratan kontrak dasar. 22 Hal ini dijelaskan dalam article 4 UCP 600 sebagai berikut: 23 “A credit by its nature is separate transaction from the sale or other contract on which it may be based. Banks are in no way concerned with or bound by such contract…” Kerangka teori yang akan dipakai dalam penelitian ini, adalah teori-teori tentang akad dalam hukum Islam sesuai dengan judul penelitian ini yang mencoba menganalisis L/C berbasis syariah. Dalam perbankan syariah L/C merupakan salah satu produk yang diaplikasikan dengan prinsip wakalah (pemberian kuasa), 24 oleh karena itu teori-teori tentang wakalah juga akan dikembangkan sebagai landasan teori dalam penelitian ini. Terminologi L/C tentu tidak akan dijumpai dalam nash-nash Al qur’an maupun Al Hadist sebagai sumber hukum Islam yang utama, namun konsep-konsep yang menjiwai pembentukan L/C Syariah tentunya bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadist ditambah dengan pendapat para ulama sebagai hasil ijtihad dan sumber22
Ramlan Ginting, Op.cit, hal.8 Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) 600, article 4. 24 Tim Asistensi Pengembangan LKS Bank Muamalat (ed.), Perbankan Syariah Perspektif Praktisi, (Jakarta: Muamalat Institute Yayasan Pengembangan Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, 1999), hal.117. Lebih lengkapnya disebutkan bahwa produk-produk yang dapat diaplikasikan dengan prinsip wakalah adalah: Letter of Credit, berupa L/C Impor, Red Clause L/C, Diskonto Wesel Expor Ussance L/C ke Bank Indonesia, jasa-jasa bank lainnya berupa Clean and Documentary Collection, Money Transfer serta penyelesaian L/C (settlement L/C), yang apabila tidak tersedia dana oleh nasabah dapat dilakukan dengan pembiayaan mudharabah atau musyarakah yang prosesnya sesuai dengan proses pembiayaan yang bersangkutan. 23
Universitas Sumatera Utara
sumber hukum Islam lainnya yang terkait dengan perjanjian dan perikatan (kontrak). Hukum Islam (syariah) mempunyai kemampuan untuk ber -evolusi dan berkembang dalam menghadapi soal-soal dunia Islam masa kini. Semangat dan prinsip umum hukum Islam berlaku di masa lampau, masa kini dan akan tetap berlaku dimasa yang akan datang 25 .
Pola hukum Islam menyerahkan soal-soal rincian kepada akal
manusia dalam berbagai kegiatannya 26 , hal ini memberikan elastisitas pada hukum Islam itu sendiri sehingga hukum Islam selalu up to date dan applicable sepanjang zaman dan dalam setiap permasalahan, termasuk salah satunya adalah L/C. Hukum perikatan Islam adalah bagian dari hukum Islam di bidang muamalah yang mengatur perilaku manusia di dalam menjalankan hubungan ekonominya. 27 Menurut H.M. Tahir Azhary, sebagaimana yang dikutip oleh Gemala Dewi,Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti, hukum perikatan Islam adalah seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al Quran, As-Sunnah (Al-Hadist), dan Ar-Ra’yu (Ijtihad) yang mengatur tentang hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi.28 Dalam bahasa hukum Islam, perikatan atau perjanjian disebut dengan “akad”. Ensiklopedi Hukum Islam mengartikan akad sebagai pertalian ijab
25
Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hal.26. 26 Ibid. 27 Gemala Dewi, Wirdyanigsih, Yeni Salma Barlinti, Op.cit, hal.3. 28 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
(pernyataan melakukan ikatan), sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada obyek perikatan. 29 Pencantuman kalimat yang sesuai dengan kehendak syariat maksudnya adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’.Sedangkan pencantuman kalimat ”berpengaruh pada obyek perikatan” maksudnya adalah terjadinya pemindahan pemilikan dari suatu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan kabul) 30 Perikatan atau akad adalah salah satu cara untuk memperoleh harta dalam Hukum Islam merupakan cara yang banyak dilakukan sehari-hari dan merupakan cara yang diridhai Allah. 31 Akad atau perikatan merupakan hal yang diatur dalam fiqh muamalat. Ada dua kaidah hukum asal dalam syariah. Kaidah hukum asal muamalat adalah boleh, artinya semua bentuk muamalah boleh dilakukan sepanjang tidak ada larangannya. Berbeda dengan kaidah hukum asal ibadah yang melarang semua bentuk peribadatan kecuali ada ketentuannya. 32
29
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal.101. 30 H.M.Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) dalam Fiqih Islam dan Praktek di Bank Sistem Syariah, ( Konsentrasi Hukum Islam, Program Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005), hal.1. 31 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hal.11. 32 Adiwarman A. Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal.29.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan kaidah hukum asal muamalat, maka perjanjian L/C adalah boleh dalam perspektif syariah, kecuali dalam pelaksanaannya mengandung hal-hal yang dilarang oleh syariah, misalnya mengandung unsur riba. Lebih jauh akan dipaparkan beberapa kaidah pokok yang harus dipegang dalam fiqh Islam yang akan menjadi pedoman umum bagi teori, konsep dan praktek ekonomi Islam: 1. Pada dasarnya setiap bentuk muamalat adalah dibolehkan kecuali terdapat larangan dalam Al Quran atau Sunnah. 2. Hanya Allah lah yang berhak mengharamkan atau menghalalkan suatu hal. manusia hanya memiliki hak untuk berijtihad, yaitu menafsirkan atas apa yang dijelaskan oleh Al Quran dan Sunnah. 3. Sesuatu yang bersifat najis dan merusak harkat manusia dan lingkungan adalah haram. 4. Sesuatu yang menyebabkan kepada yang haram adalah haram. 5. Tujuan atau niat baik tidak dapat membuat yang haram menjadi halal. 6. Halal dan haram adalah berlaku bagi siapapun yang muslim, berakal dan merdeka. 7. Keharusan dalam menentukan skala prioritas dalam pengambilan keputusan, yaitu: a) menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mencari kebaikan, b) kepentingan sosial dan luas diutamakan daripada kepentingan individu yang sempit,
Universitas Sumatera Utara
c) manfaat kecil dapat dikorbankan untuk mendapat manfaat yang lebih besar, d) bahaya kecil dapat dikorbankan untuk menghindari bahaya yang lebih besar. 33 Al Quran dan Sunnah dengan tegas menguraikan prinsip dasar hukum kontrak atau akad Islam. Prinsip yang pertama adalah bahwa harta merupakan ciptaan dan pemberian Allah, bedanya dengan konsep harta yang sekularistik, yang menganggap harta merupakan nilai yang ditetapkan dan ditetapkan ulang sesuai kebutuhan untuk memanfaatkan kegunaannya. Prinsip yang kedua adalah, kontrak merupakan cara yang bermoral dan absah untuk mendapatkan kekayaan. 34 Adapun rukun akad menurut jumhur (mayoritas) fuqoha, rukun akad terdiri dari: 1. Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighah al aqad). 2. Pihak-pihak yang berakad. 3. Obyek akad. 35 Setiap akad memiliki syarat-syarat khusus. Tetapi secara umum ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu akad. Para ulama fiqih menetapkan syarat-syarat umum tersebut sebagai berikut: 36
33
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta atas kerjasama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal.35. 34 Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes,III, Hukum Keuangan Islam: Konsep, Teori dan Praktik, di alih bahasakan oleh M. Sobirin Asnawi, Siwi Purwandari dan Waluyati Handayani, (Bandung: Nusamedia, 2007), hal. 87-88. 35 Ulama mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun akad itu hanya satu yaitu sighah alaqad, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad tidak termasuk rukun akad, tetapi syarat akad. M. Ali Hasan, Op.cit, hal.103. 36 H.M. Hasballah Thaib, Op.cit, hal 8-9.
Universitas Sumatera Utara
1. Pihak-pihak yang melakukan akad telah dipandang mampu bertindak menurut hukum (mukallaf). 37 2. Obyek akad harus diakui oleh syara’. Untuk itu obyek akad ini harus memenuhi syarat: berbentuk harta, dimiliki seseorang, dan bernilai harta menurut syara’. Para ulama fiqih menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syarat, mempunyai kekuatan hukum yang mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad. 38 Mengenai hal ini Allah SWT telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…”(QS.Al Maidah:1) Dapat juga dilihat pada Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: “Perjanjian dapat dilakukan diantara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalakan yang haram.” Syariah Islam sangat menjunjung asas kebebasan berkontrak sebagaimana dapat dilihat dari kaidah usul fiqih yang menyatakan pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Oleh karena itu, seorang muslim bebas untuk mengadakan berbagai macam akad dengan segala inovasinya sepanjang tidak ada mengandung unsur atau hal-hal yang diharamkan oleh Al Quran dan atau Sunnah.
37
Berdasarkan ketentuan ini akad yang dilakukan oleh anak kecil yang belum mumayyiz atau dilakukan oleh orang yang kurang waras secara langsung hukumnya tidak sah kecuali dilakukan oleh wali mereka dan mendatangkan manfaat bagi mereka. Ibid. 38 M. Ali Hasan, Op.cit, hal.108.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian syariah Islam menganut asas kebebasan berkontrak dengan batasan-batasan tertentu. Di antara beberapa transaksi yang dilarang dalam Islam adalah Israf dan tabzir (menafkahkan hartanya untuk berbagai hal yang diharamkan oleh Allah seperti digunakan untuk menyuap), taraf (berfoya-foya dengan jalan menyalahgunakan nikmat) dan taqtir( tidak mau memberikan hartanya untuk keperluan yang hak seperti enggan membayar zakat). 39 Sebagaimana telah dikemukakan bahwa L/C adalah salah satu produk perbankan syariah yang merupakan aplikasi dari akad wakalah. Ensiklopedi
hukum
Islam
menjelaskan
pengertian
wakalah,
yaitu
perwakilan yang bertindak untuk dan atas nama orang yang diwakilinya. Dalam fiqih Islam wakalah merupakan salah satu bentuk transaksi dalam rangka tolong menolong antarpribadi dalam masalah perdata dan pidana. 40 Pengertian wakalah menurut Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam adalah mewakilkan seseorang atas wewenangnya dalam hal yang dibolehkan untuk diwakilkan, seperti dalam jual beli dan lain-lainnya. 41 Secara etimologi wakalah berasal dari kata “wakalah” yang berarti menjaga. Seperti dalam firman Allah: “waqaalu hasbunallahu wani’mal wakiil” artinya Maha Suci Allah Dialah yang memberikan segala nikmat dan Allah adalah sebaik-baik
39
M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007),
hal.136. 40
Abdul Azis Dahlan, et.al., (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), hal.1911. 41 Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam , Ensiklopedi Ijmak , dialih bahasakan oleh Sahal Mahfudz, Mustafa Bisri, (Jakarta: Pustaka Firdaus kerjasama dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1987), hal.102.
Universitas Sumatera Utara
wakil (QS. Ali Imran (3): 173). Kata wakil disini berarti Al Hafizh, “Yang Menjaga”. Juga dalam firman Allah: “Laa ilaa ha illa huwa fat takhidzuhu wakila” (QS. Al Muzammil (73): 9). 42 Hukum wakalah adalah jaiz dan masyru’ (disyariatkan). 43 Dengan demikian akad al wakalah dibolehkan dalam Islam. Landasan hukum dari pemberian fasilitas di Bank Syariah dalam bentuk wakalah seperti dalam pembukaan L/ C adalah: 1. Al Quran Surat Al Kahfi (18) : 19 yang artinya: “…maka suruhlah salah seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini,…” Surat An Nisa (4): 35 yang artinya: “…Maka jikalau kamu kuatirkan ada persengketaan antara keduanya maka kirimkanlah seorang juru damai, dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.” 2. Hadist Banyak hadist yang mengandung hukum perwakilan diantaranya sebagai berikut: Dikabarkan Rasulullah SAW telah mengutus Assaah untuk mengumpulkan zakat, Urwah Bin Umayah untuk menjadi wali dalam pernikahan beliau dengan Ummu Habibah Binti Abi Sofyan, Abu Rafi’i dalam menerima pernikahan Maimunaah Binti Haris (HR.Malik, Syafi’i, Ahmad, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Hibban) dan 42
HM. Hasballah Thaib, Op.cit., hal.91. Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim (Minhajul Muslim) Muamalah, dialihbahasakan oleh Rachmat Djatnika dan Ahmad Sumpeno, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1991), hal.782. 43
Universitas Sumatera Utara
diriwayatkan Rasulullah telah mengangkat Hakim Bin Hajam dikala membeli ternak kurban (HR. Abu Dawud dan At Tirmizi). 44 Rukun wakalah menurut jumhur ulama ada empat, yaitu yang mewakilkan, wakil, hal yang diwakilkan, dan sigah (lafal) wakil. 45 Sedangkan syarat yang harus dipenuhi oleh suatu akad wakalah adalah: 1. Orang yang mewakilkan (muwakkil, pen) disyaratkan a) telah cakap bertindak hukum, yaitu telah balig dan berakal sehat, baik lakilaki maupun perempuan, b) boleh tidak berada ditempat maupun berada di tempat, c) boleh dalam keadaan sakit maupun dalam keadaan sehat 46 ; 2.
Wakil disyaratkan: a) cakap bertindak hukum untuk dirinya dan orang lain serta memiliki pengetahuan yang memadai tentang masalah yang diwakilkan kepadanya, b) wakil ditunjuk secara langsung oleh orang yang mewakilkan dan penunjukannya harus tegas sehingga benar-benar tertuju kepada wakil yang dimaksud, c) syarat bahwa wakil harus secara tegas dan serius menjalankan tugasnya 47 . Menurut HM. Hasballah Thaib, syarat wakalah adalah pemberian kuasa dari
muwakkil kepada wakil dicantumkan dalam akad, dan kedua-duanya cakap hukum.
44
HM.Hasballah Thaib, Op.cit, hal. 92. Abdul Azis Dahlan, et.al., Loc.cit. 46 Ibid. 47 Ibid. 45
Universitas Sumatera Utara
Wakil yang ditunjuk tidak ada hubungan darah langsung dengan mitra (pihak) muwakkil. Kelalaian wakil dalam menjalankan kuasa dari muwakkil menjadi tanggung jawab wakil. Tetapi apabila kegagalan tersebut disebabkan forcemajeur, menjadi tanggung jawab muwakkil. Apabila wakil yang ditunjuk ada beberapa orang maka
masing-masing
wakil
tidak
dibenarkan
bertindak
sendiri
sebelum
bermusyawarah dengan wakil yang lain, kecuali dengan seizin muwakkil. 48 3. Hal yang diwakilkan disyaratkan: a) bukan sesuatu yang mubah (boleh) dilakukan oleh setiap orang atau dengan kata lain yang menjadi objek perwakilan bukan milik umum, b) merupakan milik sah dari orang yang mewakilkan, c) memiliki identitasyang jelas, d) bukan berbentuk utang kepada orang lain seperti pernyataan:”saya tunjuk engkau sebagai wakil saya untuk meminjam uang kepada Ahmad.” Jika hal ini terjadi maka utang itu merupakan utang wakil, e) merupakan sesuatu yang dibolehkan menurut syarak. Apabila objek perwakilan adalah sesuatu yang diharamkan maka perwakilan tersebut tidak sah. 49 4. Keuntungan wakil, disyaratkan: 50 a) tidak merugikan pemberi kuasa dan mitra pemberi kuasa,
48
HM. Hasballah Thaib, Op.cit, hal.94-95. Abdul Azis Dahlan, et.al., Loc.cit. 50 HM. Hasballah Thaib, Op.cit, hal.96. 49
Universitas Sumatera Utara
b) wakil berhak mendapatkan upah (fee) berdasarkan kesepakatan bersama yang didasarkan pada ‘urf (kebiasaan). Akibat hukum wakalah dalam hal jual beli, menurut ulama fikih dibedakan antara perwakilan mutlak dan perwakilan secara terbatas. Dalam perwakilan secara mutlak maka wakil bebas melakukan segala tindakan dalam jual beli yang diwakilkan itu. Sedangkan dalam perwakilan terbatas, tindakan wakil hanya terbatas pada hal-hal yang telah ditentukan oleh muwakkil dan tidak boleh bertindak melampaui batasbatas tersebut. 51 Kebijakan-kebijakan wakalah menurut Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam adalah: 1. Wakalah dapat ditetapkan berdasarkan setiap perkataan yang menunjukkan adanya izin. Dalam hal wakil mewakilkan itu, tidak disyaratkan bentuk ungkapan khusus. 2. Perwakilan itu sah dalam segala hak perdata seperti dalam hal jual beli, nikahruju’, fasakh, cerai dan khulu’, begitu pula perwakilan sah dalam hal menunaikan hak-hak Allah yang memang boleh diwakilkan seperti memberikan zakat, haji atau umrahnya orang yang telah meninggal atau orang yang lemah. 3. Perwakilan sah bila dilakukan dalam penerapan hudud dan dalam pemenuhannya. 4. Perwakilan itu tidak boleh dalam hal bertaqarrub kepada Allah.
51
Abdul Azis Dahlan, et.al. (ed), Loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
5. Perwakilan itu batal dengan adanya fasakh (pembatalan) dari salah seorang yang menjadi wakil, atau yang mewakilkan, atau salah satu pihak meninggal dunia, gila, atau muwakkil mencabut perwakilan terhadap wakil. 6. Wakil dilarang untuk membeli atau menjual barang yang serupa dengan objek yang diwakilkan
dari dan kepada orang-orang yang masih dalam ikatan
kekerabatan. 7. Wakil tidak bertanggungjawab atas kerusakan atau kehilangan barang yang diwakilkan kepadanya kecuali dia yang merusaknya. 8. Perwakilan mutlak adalah sah, maka seseorang boleh mewakilkan segala urusan perdata dan wakil dapat melakukan apa saja yang termasuk hak-hak perdata orang yang diwakilinya. 9. Apabila wakil membeli atau menjual barang tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan muwakkil kepadanya, membeli barang yang cacat, atau membeli dengan maksud menipu , maka muwakkil berhak menolaknya. 10. Perwakilan itu sah dengan pemberian upah dan ketentuan batas kerja yang dijelaskan oleh pihak yang mewakilkan. 52 Menurut Sayid Sabiq sebagaimana yang dikutip oleh Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi k. Lubis, wakalah berakhir dengan sendirinya apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
52
Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam, Op.cit, hal.103-105.
Universitas Sumatera Utara
1. Pemberi atau penerima kuasa meninggal dunia, atau menjadi tidak waras, sebab dengan terjadinya kematian dan ketidakwarasan berarti syarat syahnya perjanjian kuasa tidak terpenuhi. 2. Dihentikannya pekerjaan dimaksud, yang berarti secara otomatis pemberian kuasa tidak bermanfaat lagi. 3. Pencabutan kuasa oleh orang yang memberikan kuasa. 4. Penerima kuasa memutuskan sendiri. 5. Orang yang memberikan kuasa keluar dari status kepemilikan. 53 Dalam konteks L/C, maka berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 34 tentang L/C Impor Syariah, akad yang dapat digunakan untuk pembiayaan L/C impor adalah: 1. Wakalah bil Ujrah; 2. Wakalah bil Ujrah dengan Qardh; 3. Murabahah; 4. Salam atau Istishna dan Murabahah; 5. Wakalah bil Ujrah dan Mudharabah 6. Musyarakah; dan 7. Wakalah bil Ujrah dan Hawalah.
53
Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan akad yang dapat digunakan untuk pembiayaan L/C ekspor berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.35 tentang L/C Ekspor Syariah adalah: 1. Wakalah bil Ujrah; 2. Wakalah bil Ujrah dan Qardh; 3. Wakalah bil Ujrah dan Mudharabah; 4. Musyarakah; 5. Bai’ dan Wakalah. Aplikasi wakalah dalam pembukaan L/C adalah sebagai berikut: 1. Nasabah memberi tahu bank kebutuhan membuka L/C dan meminta bank untuk menyediakan fasilitas tersebut. 2. Bank meminta nasabah untuk menempatkan dana di bank dalam jumlah yang cukup atas dasar prinsip al wadiah (dalam giro). 3. Bank membuka L/C dan membayar kepada bank koresponden dengan mempergunakan uang nasabah yang didepositokan dan menyerahkan dokumen terkait kepada nasabah. 4. Bank menarik fee dan komisi kepada nasabah atas penggunaan fasilitas pembukaan L/C. 54
54
Karnaen Perwataatmadja, H. Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Pt. Dana Bhakti Prima Yasa, 1992), hal.42-43.
Universitas Sumatera Utara
2. Kerangka Konsepsi Untuk
menghindari
kesalahpahaman
atas
berbagai
istilah
yang
dipergunakan, maka di bawah ini akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah berikut: Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. 55 Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). 56 Letter of Credit (L/C) adalah janji dari bank penerbit untuk melakukan pembayaran atau memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran kepada penerima atas penyerahan dokumen-dokumen (misalnya konosemen, faktur, sertifikat asuransi) yang sesuai dengan persyaratan L/C. 57
55
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 56 Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan 57 Ramlan Ginting, Op.cit, hal.15.
Universitas Sumatera Utara
Wakalah adalah perwakilan yang bertindak untuk dan atas nama orang yang diwakilinya. 58 Wakalah bil Ujrah adalah perwakilan yang bertindak untuk dan atas nama orang yang diwakilinya dengan memberikan upah kepada wakil. Qardh secara syariah bermakna harta yang diberikan kepada orang lain untuk ditagih kembali dengan yang sepadan dengan itu. Secara teknis perbankan qardh adalah akad pemberian pinjaman dari bank kepada nasabah yang dipergunakan untuk kebutuhan mendesak, seperti dana talangan / cerukan (over draft) dengan kriteria tertentu dan bukan untuk pinjaman yang bersifat konsumtif. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan bersama dan pembayarannya bisa dilakukan secara angsuran atau sekaligus. 59 Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.60 Salam adalah penjualan sesuatu dengan kriteria tertentu (yang masih berada) dalam tanggungan dengan pembayaran segera/disegerakan. Atau akad yang disepakati untuk membuat sesuatu dengan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kepada pembeli di kemudian hari. 61
58
Abdul Azis Dahlan, et.al., (ed.),Op.cit hal.1911. Tim Asistensi Pengembangan LKS Bank Muamalat (ed.), Op.cit, hal. 131 dan 134. 60 Adiwarman A. Karim, Op.cit, hal.113. 61 Tim Asistensi Pengembangan LKS Bank Muamalat (ed.), Op.cit, hal.50 59
Universitas Sumatera Utara
Istishna’ adalah perjanjian jual beli antara Mustashni’ (pemesan/pembeli) dan Shani’ (produsen/penjual), dimana barang (mashnu’) yang akan diperjualbelikan tersebut harus dipesan terlebih dahulu dengan kriteria yang jelas. Menurut jumhur ulama istishna’ sama dengan salam yaitu dari segi obyek pesanannya harus dibuat atau dipesan terlebih dahulu dengan ciri-ciri khusus. Pebedaannya hanya terletak pada sistem pembayarannya, dimana salam pembayarannya dilakukan sebelum barang diterima sedangkan istishna’ bisa di awal, di tengah atau diakhir pesanan. 62 Mudharabah adalah pemilik modal (shahibul mal) menyerahkan modalnya kepada pekerja/pedagang (mudharib) untuk diperdagangkan/diusahakan, sedangkan keuntungan dagang itu dibagi menurut kesepakatan bersama. 63 Musyarakah atau syirkah adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang dua-duanya sepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan. 64 Hawalah adalah pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak pertama) kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran utang dari/atau membayar utang kepada pihak ketiga, karena pihak ketiga berutang kepada pihak pertama dan pihak pertama berutang kepada pihak kedua , atau karena pihak pertama berutang kepada pihak ketiga dan pihak kedua berutang kepada pihak pertama, baik
62
Ibid, hal.58. HM. Hasballah Thaib, Op. cit, hal.114. 64 Ibid, hal 98. 63
Universitas Sumatera Utara
pemindahan itu dimaksudkan sebagai ganti pembayaran yang ditegaskan dalam akad ataupun tidak. 65 Bai’ adalah jual beli, yaitu menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain. 66
G. Metode Penelitian Metode mutlak harus digunakan dalam suatu penelitian ilmiah, karena ciri khas ilmu adalah dengan menggunakan metode. 67 Inti daripada metodologi dalam setiap penelitian hukum adalah bagaimana suatu penelitian hukum itu harus dilakukan. 68 1. Tipe atau Jenis Penelitian Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, digunakan metode penelitian normatif. Penelitian normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan. 69 Dapat disimpulkan bahwa metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum 65
Tim Asistensi Pengembangan LKS Bank Muamalat (ed.), Op.cit, hal.138. M. Ali Hasan, Op.cit, hal.113. 67 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , (Malang: Bayu Media Publishing, 2006), hal.294. 68 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal.17. 69 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.14. 66
Universitas Sumatera Utara
normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. 70 Jenis penelitian dalam tesis ini adalah deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum. 71
2. Sumber Data Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder 72 , yang terdiri dari: 1)
Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang hukum perikatan atau kontrak, khususnya aturan hukum yang menyangkut masalah L/C. Terkait dengan judul penelitian yang menganalisis L/C Syariah berdasarkan UU Perbankan Syariah, maka UU No.21/2008 tentang Perbankan Syariah menjadi bahan hukum primer. Disamping itu sumbersumber hukum Islam juga ditempatkan sebagai bahan hukum primer, yaitu: Al Quran, As Sunnah/Al Hadist, serta Ijtihad para fuqoha sebagai relevansi dari penelitian ini yang mengupas L/C dari perspektif syariah . Fatwa Dewan Syariah Nasional juga menjadi bahan hukum primer dalam penelitian ini. Demikian juga Konvensi Internasional di bidang L/C yaitu Unifom Customs and Practice for Documentary Credit (UCP), 2007 Revision, ICC Publication No.600.
70
Johnny Ibrahim, Op.cit, hal.57. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.63. 72 Pada penelitian hukum normatif, data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bambang Waluyo, Op.cit, hal.14. 71
Universitas Sumatera Utara
2)
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, pendapat sarjana, dan hasil-hasil penelitian.
3)
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: Studi Kepustakaan (Library Research) Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan, meneliti nash-nash AlQuran,As Sunnah/Al Hadist dan Ijtihad para ulama yang terkait dengan materi penelitian. Berbagai literatur serta tulisan-tulisan pakar hukum juga akan ditelusuri melalui studi kepustakaan ini.
4. Analisis Data Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif, kemudian ditafsirkan secara yuridis, logis, dan sistematis. Pertama, menemukan makna atau konsep-konsep yang terkandung dalam data sekunder. Konseptualisasi ini dilakukan dengan memberikan interpretasi terhadap
data-data
yang
berupa
kata-kata
dan
kalimat-kalimat;
kedua,
mengelompokkan konsep-konsep yang sejenis atau berkaitan (kategorisasi); ketiga, menemukan hubungan diantara pelbagai kategori; keempat, hubungan diantara
Universitas Sumatera Utara
pelbagai
kategori
diuraikan
dan
dijelaskan.
Penjelasan
dilakukan
dengan
menggunakan perspektif pemikiran teoritis para sarjana. Setelah
data-data
diseleksi,
kemudian
dianalisis
secara
kualitatif
menggunakan metode deduktif. Metode deduktif berpangkal dari prinsip-prinsip dasar, kemudian menghadirkan objek yang diteliti, 73 untuk menarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus. Analisis diuraikan secara deskriptif yang bersifat kualitatif. Hasil dari analisis ini diharapkan mampu memberikan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.
73
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006), hal.42
Universitas Sumatera Utara