perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) telah menjadi suatu keadaan yang membutuhkan
perhatian di Indonesia. World Health Organisation (2012)
mengatakan bahwa pada tahun 2012 terdapat lebih dari 3 juta orang meninggal karena Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang setara dengan 6 % kematian populasi dunia pada tahun tersebut. Lebih dari itu, sebanyak 90 % Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) terjadi pada negara berkembang yang tersebar di dunia. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki prevalensi cukup tinggi terhadap kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003), Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk dalam 10 penyebab tersering kematian di Indonesia, khususnya di daerah Jawa Tengah, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (2013) mengatakan bahwa prevalensi penyakit ini sebanyak 3,4 %. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) terdiri dari emfisema, kerusakan dan pembesaran alveoli paru; dan bronkitis kronis, kondisi batuk kronis dan berdahak (Fauci et al., 2012). Pada bronkitis kronis terjadi batuk kronis dan tipe napas yang pendek sedangkan pada emfisema terdapat keterbatasan aktivitas kerja sehari-hari. Meskipun Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) terbagi menjadi dua bagian yaitu bronkitis kronis dan emfisema, American Lung Association usermengatakan bahwa sebanyak 4,7 (2013) memaparkan bahwa padacommit tahun to 2011 juta penduduk Amerika terdiagnosis emfisema dengan rasio 20.2/1000 orang per
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
tahun sedangkan bronkitis kronis sebanyak 10 juta orang dengan rasio 43.6/1000 orang per tahun. Indonesia, menurut Suradi (2007), angka kejadian emfisema lebih sering dalam praktiknya, sehingga dapat dikatakan sebagai penyumbang terbesar dalam Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Kelainan pada emfisema berbentuk pelebaran abnormal dan permanen ruang udara distal bronkiolus terminalis yang diakibatkan oleh destruksi difus dinding alveoli tanpa fibrosis yang nyata, bersifat kronik, progresif dan memberikan kecacatan menetap. Hal ini tentu perlu dicermati dan ditindaklanjuti dengan baik agar di kemudian hari Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) prevalensinya semakin menurun khususnya di negara Indonesia itu sendiri. Pada umumnya penyakit organik seperti Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) ini tidak diperhatikan mengenai adanya penyakit psikiatrik seperti depresi. Apabila terdapat penelitian pun, penjelasan mengenai dampak penyakit psikiatrik terhadap penyakit organik yang diderita pasien tidak dipaparkan dengan jelas (Diez et al., 2012). Depresi merupakan gangguan alam perasaan atau mood yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan serta hilangnya kegairahan hidup, rasa bersalah, rendah diri, konsentrasi buruk dan mengalami gangguan tidur, penurunan berat badan bahkan apabila parah dapat memiliki kecederungan ingin bunuh diri (Marcus et al., 2012). Sekitar 40 % pasien yang mengalami PPOK baik tipe bronkitis kronis maupun emfisema mengalami depresi (Stage et al., 2006). Menurut penelitian di commit to user Toronto prevalensi depresi pada pasien dengan penyakit paru obstruktif berkisar antara 7 – 42 % (Hill et al., 2008). Menurut penelitian lain, prevalensi depresi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
bervariasi yaitu sekitar 10 – 42 % pada pasien PPOK stabil (Maurer et al., 2008). Pada penelitian di Itali, prevalensi depresi pada pasien PPOK sebesar 18,8 % (Di Marco et al., 2006). Beberapa penelitian menunjukan bahwa kejadian depresi pada PPOK adalah 55 % dari total Pasien PPOK yang diteliti (Ryu et al., 2010) dan 37 – 71 % dari total yang diteliti (Waseem et al., 2012). Terdapat beberapa penelitian yang menjelaskan bahwa depresi merupakan manifestasi sistemik PPOK (Fitriani et al., 2006; Agusti et al., 2003). Seringkali depresi tidak terdeteksi oleh karena gejala maupun kondisi klinis yang tumpang tindih antara PPOK sendiri dengan depresi (Stage et al., 2006). Penelitian di Indonesia sendiri pun belum banyak yang meneliti mengenai kejadian depresi pada penyakit bronkitis kronis maupun emfisema. Menurut penelitian di Spanyol, angka kejadian depresi yang terjadi pada orang dengan bronkitis kronis adalah sebanyak 15,9 % (Diez et al., 2012), sementara emfisema, dalam penelitian di Amerika kejadian depresi sebanyak 30 – 58 % (Kozora et al., 2008). Oleh karena itu penelitian ini disusun untuk menambah informasi mengenai depresi yang terjadi pada penyakit bronkitis kronis maupun emfisema, khususnya di Indonesia. Depresi yang terjadi pada emfisema memiliki kemungkinan yang lebih parah dibandingkan pada bronkitis kronis. Menurut penelitian Amanda (2008) akibat rusaknya parenkim paru pada pasien ini akan menyebabkan elastisitas paru mengalami penurunan dan kehilangan daya rekoilnya. Keadaan ini dapat memungkinkan udara masuk tetapi sulit untuk keluar karena terperangkap pada paru-paru yang rusak. Kondisi ini kemudian akan menyebabkan sesak napas yang commit to user berat bahkan lebih parah dari bronkitis kronis dan berlangsung lama. Hal ini akan menjadi stressor yang akan menyebabkan ketidakseimbangan hormon pengendali
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
stress dan akan menyebabkan depresi yang parah. Sedangkan pada bronkitis kronis, keadaan hipoksia akibat obstruksi jalan napas menyebabkan suplai oksigen ke seluruh tubuh mengalami penurunan. Apabila terjadi penurunan suplai oksigen khususnya di daerah otak, maka akan menyebabkan penurunan kondisi pasien. Menurut Areza (2010) akibat hipoksia yang kronis akan menyebabkan kerusakan di daerah subkortikal yang merupakan substansi yang berperan dalam menjaga regulasi beberapa hormon termasuk hormon pengendali stress. Keadaan hipoksia di daerah subkortikal yang kronis ini akan menyebabkan demensia subkortikal yang nantinya akan menyebabkan depresi. Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta merupakan sebuah pelayanan kesehatan yang pada awalnya berfokus pada pemberantasan TB paru di Surakarta. Namun, seiring perkembangan dan kemajuan dunia kesehatan, maka pelayanan nya diperluas lagi tidak hanya sebatas pemberantasan TB paru. Balai Besar Kesehatan Paru masyarakat Surakarta memiliki prestasi yang cukup baik , terbukti dengan didapatkannya Abdi Satya
Bhakti yaitu penghargaan
sebagai instansi kesehatan dengan pelayanan terbaik pada tahun 1995, 1996, 1997 dan mendapatkan sertifikat ISO terkait mutu pelayanan kesehatan pada tahun 2008. Dengan prestasi ini dan didukung dengan luas tempat yang memadahi serta tenaga kesehatan yang kompeten maka sebagian besar masyarakat di Surakarta melakukan kunjungan untuk konseling maupun terapi kesehatan di Balai Besar Kesehatan Paru masyarakat Surakarta. Oleh karena itu peneliti menggunakan BBKPM Surakarta sebagai tempat untuk pengambilan sampel dengan tujuan agar data yang diperoleh dapat merepresentasikan hasil commit to user yang sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
Apabila skrining terhadap penyakit psikiatri dapat dilakukan lebih dini, maka diharapkan dapat dilakukan tatalaksana yang spesifik terhadap pasien yang mengalami PPOK baik tipe bronkitis kronis maupun emfisema sehingga kondisi fisik pasien pun diharapkan mengalami perbaikan. Berdasarkan latar belakang inilah peneliti ingin mengetahui perbedaan tingkat depresi pasien PPOK tipe bronkitis kronis dengan emfisema di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, Surakarta. B. Perumusan Masalah Adakah perbedaan tingkat depresi pasien PPOK tipe bronkitis kronis dengan emfisema di BBKPM Surakarta? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat depresi pasien PPOK tipe bronkitis kronis dengan emfisema di BBKPM Surakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai perbedaan tingkat depresi pasien PPOK tipe bronkitis kronis dengan emfisema di BBKPM Surakarta. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat membantu para klinisi dalam mengetahui adanya depresi pada pasien PPOK dengan tipe bronkitis kronis maupun emfisema serta perbedaan tingkat depresi dari masing-masing penyakit, commitsecara to user sehingga dapat dilakukan skrining dini akan terjadinya depresi pada penyakit ini yang kemudian dapat dijadikan pedoman untuk terapi lebih lanjut.