1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gizi yang baik merupakan landasan kesehatan manusia karena mempengaruhi kekebalan tubuh, kerentanan penyakit, serta pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental. Gizi yang baik akan menurunkan kesakitan, kecacatan, dan kematian sehingga meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan, 2015). Hal tersebut penting karena kualitas sumber daya manusia merupakan
tolak
ukur
Indeks
Pembangunan
Manusia
untuk
membandingkan keberhasilan pembangunan SDM antarnegara. Gizi
merupakan
kebutuhan
dasar
dari
pertumbuhan
dan
perkembangan, terutama gizi pada bayi karena gangguan pertumbuhan dan perkembangan biasanya dimulai dari sejak bayi. Kesehatan bayi yang dilahirkan merupakan indikator penting dalam Scalling Up Nutrition. Status gizi bayi baru lahir sangat berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas bayi pada umur selanjutnya. Penilaian status gizi pada bayi baru lahir dapat dilakukan dengan pengukuran antropometri pada berat dan panjang badan bayi baru lahir (Kemenkes, 2010). Ukuran lahir mencerminkan bagaimana pertumbuhan janin dalam kandungan. Menurut (Branca & Ferrari, 2002) dalam Impact of Micronutrient Deficiencies on Growth anak yang sehat memiliki ukuran fisik yang sesuai dengan umurnya bersamaan juga dengan perkembangan psikologi dan emosional.
2
Ukuran fisik yang dimaksud adalah berat dan panjang bayi. Kesesuaian ukuran fisik terhadap umur ini dapat dilihat sejak anak tersebut dilahirkan. Saat ini, ukuran lahir yang menjadi perhatian penting adalah panjang lahir di samping ukuran lahir lainnya. Kategori panjang badan lahir menurut buku Standar Antropometri WHO 2005, panjang bayi lakilaki dikategorikan pendek (stunted) < 46cm dan tinggi > 53,7cm sedangkan bayi perempuan dikategorikan pendek < 45,4cm dan tinggi >52,9cm (Kemenkes, 2010). Berdasarkan (Riskesdas, 2013) penggolongan panjang bayi di Indonesia, panjang lahir pendek < 48cm, normal antara 48 – 52 cm dan panjang lahir tinggi > 52 cm. Pengumpulan data panjang lahir yang dilakukan pertama kali ini, didapatkan prevalensi panjang badan lahir pendek 20,2% bervariasi dari yang tertinggi di Nusa Tenggara Timur (28,7%) dan terendah di Bali (9,6%). Gambaran nasional kondisi bayi lahir di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi panjang badan <48 cm mencapai 20,2% dan 3,3% bayi dengan panjang badan >52 cm. Panjang badan pendek saat ini menunjukkan angka yang lebih tinggi dibandingkan prevalensi berat badan rendah yaitu 10,2% (Riskesdas, 2013). (Simbolon et al., 2013) menunjukkan bahwa panjang badan lahir pendek menunjukkan gangguan pertumbuhan janin. Panjang lahir bayi menggambarkan pertumbuhan linier bayi selama dalam kandungan. Ukuran linier yang rendah biasanya menunjukkan keadaan gizi yang kurang akibat kekurangan energi dan protein yang diderita dalam waktu
3
lampau (Najahah, 2014). Kekurangan gizi selama dalam kandungan menyebabkan janin melakukan reaksi penyesuaian berupa perlambatan pertumbuhan dengan pengurangan jumlah dan pengembangan sel-sel tubuh termasuk sel otak dan organ tubuh lainnya (Bappenas, 2013). Hipotesis Barker (Barker et al., 2002) Fetal Origin of Adult Disease Hypothesis menyatakan terdapat efek yang permanen akibat janin yang mengalami kurang gizi, sebagai akibat terjadinya adaptasi seluler terhadap kondisi kekurangan gizi yang mengakibatkan kesalahan pemrograman metabolisme pelbagai komponen seperti glukosa, lemak, protein dan hormon, terjadi resintensi insulin akibat gangguan toleransi glukosa dan rendahnya massa tulang. Dampak panjang badan lahir pendek sangat luas dan berkelanjutan. Berdasarkan penelitian Ernawati et al. (2013) membuktikan bahwa bayi panjang badan lahir pendek berisiko 5,9 kali mengalami stunting pada usia 12 bulan dibandingkan dengan anak panjang lahir normal. Stunting akan memberikan dampak lambatnya pertumbuhan anak, daya tahan tubuh yang rendah, kurangnya kecerdasan dan produktifitas yang rendah . Dampak dari stunting tidak hanya dirasakan oleh individu yang mengalaminya, namun juga berdampak terhadap roda perekonomian dan pembangunan bangsa. Stunting tidak terjadi secara mendadak melainkan melalui proses yang perlu waktu lama atau bersifat kronis. Stunting berkorelasi dengan gangguan perkembangan neurokognitif dan risiko menderita penyakit tidak menular di masa depan seperti hipertensi,
4
diabetes mellitus tipe 2, dan penyakit jantung koroner pada usia dewasa. Oleh karena itu, stunting merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang selanjutnya akan berpengaruh pada pengembangan potensi bangsa (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan, 2015). Banyak yang berpendapat bahwa ukuran fisik, termasuk tubuh pendek, disebabkan oleh faktor genetik. Dengan demikian, banyak yang beranggapan bahwa ukuran fisik tersebut tidak dapat diperbaiki dan diubah. Namun, berbagai penelitian dunia membuktikan secara ilmiah dan dapat mengubah paradigma tersebut. Tubuh pendek, gemuk, penyakit tidak menular, dan beberapa indikator kualitas hidup lainnya, faktor penyebab terpenting adalah lingkungan hidup sejak konsepsi sampai anak usia 2 tahun. Seribu hari pertama kehidupan, yang dimulai sejak janin di dalam kandungan hingga seorang anak berusia dua tahun, merupakan periode terpenting dan perlu mendapatkan perhatian terbesar. Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat sehingga sering dikenal sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai sehingga tumbuh kembang dapat dicapai secara optimal. Sebaliknya, apabila bayi dan anak pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang
5
bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Khomsan et al., 2010) Dengan demikian, pengukuran panjang badan lahir harus dilakukan dengan tepat agar dapat dilakukan intervensi untuk memperbaikan gizi sehingga bayi dapat tumbuh normal dan optimal. Kekurangan gizi terutama pada ibu hamil dan anak balita akan berdampak pada lahirnya generasi muda yang tidak berkualitas (Lost Generation) (Miller & Rosso, 2009). Keadaan ibu selama kehamilan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap panjang lahir bayi. Faktor-faktor tersebut meliputi, keadaan lingkar lengan atas (LILA) ibu, tinggi badan, kadar Hb selama kehamilan, umur, paritas, pendidikan, dan status ekonomi ibu. Kekurangan gizi dapat mengakibatkan anemia pada kehamilan dan menyebabkan janin melakukan reaksi penyesuaian. Penyesuaian tersebut meliputi perlambatan pertumbuhan dengan pengurangan jumlah dan pengembangan sel-sel tubuh termasuk sel otak dan organ tubuh lainnya sehingga menyebabkan bentuk tubuh pendek yang terlihat pada usia dewasa (MCAIndonesia, 2012; WHO, 2015). Ibu hamil dianggap anemia jika kadar hemoglobin <11 g/dl. Anemia secara fungsional adalah ketidakmampuan sel darah merah dalam mengangkut oksigen ke jaringan perifer (Muljati et al., 2011). Sekalipun tampaknya janin mampu menyerap berbagai nutrisi dari ibunya, dengan adanya anemia kemampuan metabolisme tubuh akan berkurang sehingga pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim akan terganggu. Ibu
6
yang mengalami kekurangan energi kronis, anemia atau sering mengalami penyakit infeksi seperti malaria pada saat hamil akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin sehingga menyebabkan intrauterine growth retardation (IUGR) dan berpengaruh pada luaran bayi yang dilahirkan, seperti berat dan panjang badan bayi. Anemia yang selama ini terjadi sering dikaitkan akibat defisiensi zat besi. Hal tersebut karena pada ibu hamil terjadi peningkatan kebutuhan zat besi dua kali lipat akibat peningkatan volume darah tanpa ekspansi volume plasma (Simbolon, 2013). Bila hal ini terjadi pada saat trimester III, maka berdasarkan penelitian yang dilakukan di Yogyakarta, risiko melahirkan prematur ataupun BBLR 3,7 kali lebih besar dibandingkan ibu hamil trimester III non anemia. Hal tersebut terjadi karena kebutuhan janin akan zat besi terakumulasi pada trimester akhir. Pertambahan panjang relatif kecil sampai usia 14-16 minggu kehamilan, kemudian meningkat cepat sampai minggu ke 35-37 kehamilan (Fatimah et al., 2011). Pada penelitian yang dilakukan (Najahah, 2014), menunjukan bahwa ibu hamil dengan anemia berisiko melahirkan bayi dengan panjang badan lahir bayi pendek 3 kali dibandingkan ibu dengan tidak anemia. Hasil Riskesdas menunjukkan bahwa anemia ibu hamil di Indonesia mengalami peningkatan dari 24,5% (Riskesdas, 2008) menjadi 37,1% (Riskesdas, 2013). Proporsi anemia ini hampir sama antara ibu hamil di perkotaan (36,4%) dan perdesaan (37,8%). Profil kesehatan DI Yogyakarta menunjukkan bahwa prevalensi anemia ibu hamil di
7
Kabupaten Sleman dan Gunungkidul di bawah 15%, Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta 15% - 38%, dan Kabupaten Kulon Progo mencapai lebih dari 49%.(Dinkes DIY, 2013) Melihat fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui hubungan anemia ibu hamil trimester III dengan panjang badan lahir bayi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan anemia ibu hamil trimester III dengan panjang badan lahir bayi?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan meminimalisir panjang badan lahir pendek, sehingga pertumbuhan fisik dan kognitif dapat berkembang secara optimal serta terhindar dari risiko penyakit degeneratif di masa dewasa. 2. Tujuan Khusus a.
Mengidentifikasi kejadian anemia ibu hamil trimester III
b.
Mengidentifikasi panjang badan lahir
c.
Mengetahui hubungan anemia ibu hamil trimester III dengan panjang badan lahir
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
8
a.
Sebagai bahan masukan dalam kegiatan proses belajar mengajar, khususnya pada mata ajaran Asuhan Kebidanan pada Kehamilan sebagai mata ajaran yang berhubungan dengan anemia ibu hamil
b.
Sebagai bahan masukan dalam kegiatan proses belajar mengajar, khususnya pada mata ajaran Asuhan Kebidanan pada Bayi Baru Lahir
sebagai
mata
ajaran
yang
berhubungan
dengan
antropometri pada bayi baru lahir, terutama panjang badan lahir c.
Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa kebidanan pada khususnya, maupun tenaga kesehatan pada umumnya tentang pentingnya pencegahan anemia ibu hamil trimester III yang dapat berpengaruh dengan panjang badan bayi yang dilahirkan.
2. Manfaat Praktis a. Bagi Instansi Kesehatan Memberikan masukan kepada Dinas Kesehatan dan Instansi terkait dalam pengambilan kebijakan upaya perbaikan gizi, terutama dalam hal anemia ibu hamil yang dapat mempengaruhi salah satu indikator status gizi, yaitu panjang badan lahir bayi di Kabupaten Wates. b. Bagi Masyarakat Memberikan
informasi
kepada
masyarakat
pentingnya
pencegahan anemia pada ibu hamil yang dapat mempengaruhi panjang badan lahir bayi yang dilahirkan. c. Bagi Peneliti
9
Meningkatkan pengetahuan dan memberikan pengalaman nyata bagi peneliti sehingga dapat menjadi bahan rujukan untuk mecocokan teori dengan keadaan yang sebenarnya. E. Keaslian Penelitian 1.
Faktor risiko panjang lahir bayi pendek di ruang bersalin RSUD Patut Patuh Patju Kabupaten Lombok Barat (Najahah, 2014) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko panjang lahir pendek di Ruang Bersalin RSUD Patut Patuh Patju Kabupaten Lombok Barat. Jenis penelitian yang digunakan adalah cross sectional, dengan besar sampel 126 bayi baru lahir. Analisis data dilakukan secara bertahap meliputi analisis univariat, bivariat (chi-square) dan multivariat (regresi logistik). Prevalensi panjang lahir pendek 38,1%. Pada analisis multivariat variabel yang dominan adalah status KEK OR 6,2 (CI 95% 1,146-34,049) dan status HDK OR 2,6 (CI 95% 1,010-7,159). Persamaan dengan penelitian ini terletak pada desain penelitian yang digunakan yaitu cross sectional dan variabel terikat yang diteliti yaitu panjang badan lahir. Sedangkan perbedaan dengan penelitian ini terletak pada variabel bebas, peneliti menggunakan status HDK, status KEK, status anemia, dan persalinan preterm dan berat lahir bayi, penelitian ini menggunakan status anemia ibu hamil trimester III. Perbedaan lain terletak pada waktu dan lokasi penelitian.
10
2.
Peran status kelahiran terhadap stunting pada bayi: sebuah studi prospektif (Kusharisupeni, 2004) Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai peran status kelahiran terhadap stunting pada bayi. Desain penelitian yang digunakan adalah studi prospektif kohor, dan besar sampel ditetapkan dari perhitungan Fliess, dengan power sebesar 0,80 untuk studi longitudinal. Dari perhitungan itu didapat jumlah sampel minimal untuk bayi kelompok normal 221, untuk kelompok prematur 50, kelompok IUGR API 81 dan IUGR LPI 92. Uji yang digunakan adalah uji analysis of variance (Anova) dan Tuckey digunakan untuk membandingkan pertumbuhan antara kelompok. Hasil penelitian menunjukkan, pada umur 3 bulan dan 6 bulan, pada bayi laki-laki terdapat perbedaan panjang badan yang bermakna antara kelompok normal dan prematur, intra uterine growth retardation - low Ponderal index (IUGR LPI) serta intra uterine growth retardation adequate Ponderal index (IUGR API). Untuk bayi perempuan terdapat perbedaan panjang badan yang bermakna antara kelompok normal dan prematur; selain itu juga terdapat perbedaan panjang badan yang bermakna antara kelompok IUGR API dan IUGR LPI. Pada umur 12 bulan, pada bayi laki-laki terdapat perbedaan panjang badan yang bermakna antara kelompok normal dan prematur, IUGR API serta IUGR LPI, sedangkan untuk bayi perempuan terdapat perbedaan panjang badan yang bermakna antara kelompok normal
11
dan prematur serta IUGR API. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa risiko relatif growth faltering lebih besar padabayi yang telah mengalami growth faltering sebelumnya. Semua kelompok status kelahiran berkontribusi terhadap terjadinya stunting pada umur 12 bulan; kontribusi terbesar dari kelompok IUGR API dan terkecil kelompok normal. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada variabel terikat yang digunakan yaitu anemia panjang badan lahir. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada variabel bebas, desain, waktu dan tempat penelitian. 3.
Study of effects of maternal anaemia on anthropometric measurements of newborns (Gaur et al., 2015) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mengetahui efek dari anemia ibu pada pengukuran antropometri bayi baru lahir di Rajasthan Barat, India. Dari penelitian yang dilakukan, 938 ibu 90 (9,58%) menderita anemia dan 848 ditemukan normal (90,40%). Anemia pada ibu sangat mempengaruhi berarti berat lahir dan tingkat BBLR. Pada analisis multivariat dengan uji ANOVA, anemia ibu memiliki sangat signifikan (p <0,01) efek pada berat lahir, dada dan pertengahan lingkar lengan dan signifikan (P <0,05) berpengaruh pada panjang dan betis lingkar neonatus. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada variabel bebas yang digunakan yanitu anemia pada ibu hamil. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada variabel terikat, desain, waktu dan tempat penelitian.
12