BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi minyak dan gas bumi (migas) di wilayah perairan Indonesia memang sangat besar karena 70 persen cadangan migas Indonesia atau sebesar 9,1 miliar barel diperkirakan berada di lautan1. Dengan adanya potensi tersebut maka dapat menarik minat investor untuk melakukan eksplorasi migas di wilayah perairan, akan tetapi untuk melakukan pengelolaan migas investor tidak bisa langsung melakukan kegiatan eksplorasi tersebut begitu saja, karena untuk mencari cadangan minyak dan gas bumi investor terlebih dahulu harus memiliki izin wilayah kerja dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau selanjutnya disebut SKK Migas. Setelah memperoleh izin tersebut maka investor kemudian disebut sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama atau lebih dikenal dengan sebutan KKKS. KKKS merupakan pihak yang memiliki Kontrak Kerja Sama dengan SKK Migas, yang merupakan Badan Usaha Tetap atau Perusahaan Pemegang Hak Pengelolaan dalam suatu Blok atau Wilayah Kerja yang memiliki hak
1
https://www.selasar.com/ekonomi/potensi-laut-indonesia-mencapai-12-triliun-dolar-as-pertahun , diakses pada tanggal 14 Oktober 2014
2
untuk melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi minyak dan gas bumi di Indonesia2. Guna mendukung kegiatan eksplorasi offshore ini, maka pihak KKKS membutuhkan fasilitas-fasilitas pendukung guna
menunjang kegiatan
operasional hulu migas di wilayah kerjanya, salah satunya ialah Jasa Pengangkutan melalui Laut atau lebih dikenal dengan Pelayaran. Pelayaran adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan di perairan, kepelabuhanan, serta keamanan dan keselamatannya. Jasa Pelayaran memiliki peranan yang signifikan dalam pengelolaan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, karena ia dapat berperan sebagai usaha penunjang kegiatan minyak dan gas bumi khususnya dalam hal ini ialah kegiatan Hulu Migas yang berkaitan dengan Eksplorasi dan Eksploitasi. Dasar hukumnya terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 27 tahun 2008 tentang Kegiatan Usaha Penunjang Minyak dan Gas Bumi, dimana disebutkan bahwa : “ Usaha Jasa Penunjang Migas adalah kegiatan usaha jasa layanan dalam Kegiatan Usaha Hulu yang meliputi eksplorasi dan eksploitasi/produksi dan Kegiatan usaha Hilir yang meliputi pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga”.
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Kontraktor_Kontrak_Kerja_Sama, diakses pada tanggal 14 Oktober 2014
3
Jasa layanan yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 itu ialah usaha dari industri untuk menghasilkan barang, material atau peralatan yang akan digunakan sebagai penunjang langsung dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. Dengan diberlakukannya prinsip cabotage yang telah ditetapkan pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional dan Pasal 8 ayat (1) UndangUndang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, maka perusahaan KKKS wajib untuk memilih perusahaan angkutan laut nasional karena adanya pelaksanaan asas cabotage yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Asas cabotage ialah asas yang menyatakan bahwa seluruh komoditi domestik atau angkutan melalui laut Indonesia harus dimuat oleh kapal nasional, kapal milik Indonesia, bukan kapal asing 3. Dasar hukum suatu Negara diperbolehkan menerapkan asas Cabotage
diatur dalam United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, dimana dalam Pasal 49 ayat (1) dan (2) mengatur bahwa pada dasarnya kedaulatan suatu Negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Kedaulatan ini juga
3
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/03/14/mewujudkan-negara-maritim-evaluasipelaksanaan-asas-cabotage-dalam-industri-pelayaran-nasional-menghadapi-aec-2015639439.html, diakses pada tanggal 1 April 2014
4
meliputi ruang udara di atas perairan kepulauan, dasar laut dan tanah yang ada di bawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Penerapan asas cabotage dapat memberikan manfaat yang besar untuk peningkatan perekonomian masyarakat Indonesia, karena dapat memberikan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya bagi perusahaan angkutan laut nasional dalam memperoleh pangsa muatannya sehingga diharapkan tercapainya kemandirian pelaku bisnis lokal. Asas cabotage ini juga berfungsi untuk melindungi kedaulatan negara khususnya di dalam industri maritim atau kelautan.
Dalam kesempatan ini penulis akan membahas mengenai pelaksanaan kontrak kerjasama yang dilakukan antara PT. BRL selaku perusahaan penyedia jasa di sektor perkapalan dengan PT. X selaku perusahaan pengguna jasa yang merupakan salah satu KKKS yang beroperasi di Indonesia. industri Jasa pelayaran yang dilakukan PT. BRL berfungsi untuk meyediakan logistik untuk eksplorasi lepas pantai, pengeboran, konstruksi, produksi dan aktifitasaktifitas lain terkait dengan minyak bumi serta bisnis pertambangan 4. Terkait dengan perannya sebagai vendor KKKS, jasa pelayaran yang dilakukan oleh PT. BRL dapat dikategorikan sebagai jasa pelayaran laut dengan jenis angkutan laut khusus. Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah 4
Hasil wawancara staf Pejabat Staf Divisi Kerjasama PT.BRL, Jakarta 1 April 2014
5
Nomor 20 tahun 2010 J.o
Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2011
tentang Angkutan di Perairan, yang dimaksud dengan Angkutan Laut Khusus ialah : “ Kegiatan angkutan laut khusus dilakukan oleh badan usaha untuk menunjang usaha pokok untuk kepentingan sendiri dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal dan diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia; ” Maksud dari kegiatan angkutan laut khusus diperuntukan untuk kepentingan sendiri karena jasa angkutan ini lebih ditekankan untuk memenuhi kepentingan bisnis para pengusaha selaku investor dalam menjalankan usaha pokok yang perusahaan tersebut lakukan. Usaha pokok ini sendiri meliputi usaha yang bergerak industri, kehutanan, pariwisata, pertambangan, pertanian, perikanan, salvage dan pekerjaan bawah air, pengerukan, jasa konstruksi; dan kegiatan penelitian, pendidikan, pelatihan, dan penyelenggaraan kegiatan sosial lainnya.
Untuk dapat menciptakan hubungan hukum dalam melaksanakan usaha jasa penunjangan migas khususnya pada sektor pelayaran ini, para pihak dapat menggunakan perjanjian pengangkutan dengan menggunakan sistem charter. Berdasarkan Pasal 453 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dimana disebutkan bahwa :
6
“ Yang diartikan dengan mencarterkan (vervrachten) dan mencarter (bevrachten) ialah pencarteran menurut waktu (carter waktu) dan pencarteran menurut perjalanan (carter perjalanan)”. Dalam carter menurut waktu, pemilik kapal berkewajiban untuk untuk menyediakan kapal berikut dengan nahkoda dan para anak buah kapal (ABK), selain itu juga menanggung atas gaji nahkoda dan ABK, perawatan kapal, minyak pelumas, biaya survai kapal dan asuransi. Penyewa kapal menanggung beban atas biaya-biaya pelabuhan sandar, disbursement dimana kapal yang di sewa itu singgah/ meninggalkan pelabuhan, bahan bakar minyak,air minum dan biaya-biaya lain terkait dengan kepentingan eksploitasi penyewa. Dalam carter menurut perjalanan, kewajiban pemilik kapal lebih banyak karena berkewajiban untuk menyediakan kapal berikut dengan nahkoda dan para anak buah kapal (ABK), perawatan kapal, minyak pelumas, biaya survai kapal dan asuransi yang membedakan ialah selain menanggung atas gaji nahkoda dan ABK, perawatan kapal, minyak pelumas, biaya survai kapal dan asuransi, dan juga akan menanggung semua biaya-biaya kapal baik saat kapal berada di pelabuhan, dalam proses pengangkutan, semua biayabiaya kebutuhan kapal termasuk bahan bakar dan air minum. Kewajiban penyewa dalam hal ini hanyalah membayar uang sewa kapal. Kesepakatan diantara Para pihak yang terikat dalam perjanjian charter kemudian dituangkan dalam bentuk suatu akta yaitu charter party. Charter
7
party adalah suatu akta yang memuat mengenai perjanjian sewa-menyewa ruangan kapal, beserta sejumlah persyaratan lain yang telah disepakati antara pemilik kapal (Shipowners) dengan pencharter (Charterers)5. Berdasarkan Ketentuan Pasal
454 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)
charter party wajib dibuat secara tertulis oleh para pihak. Tujuannya sendiri ialah sebagai alat bukti bahwa telah terjadi perjanjian charter antara Shipowner dengan Chartetrer. Berdasarkan hasil pra penelitian, pelaksanaan kontrak carter kapal yang dilakukan oleh PT. BRL dan PT. X selaku KKKS juga mengacu pada ketentuan Pedoman Tata Kerja Nomor 007 REVISI-II/PTK/I/2011 Jo PTK 007 007/SKKO0000/2015/S0 tentang Pedoman Pengelolaan Rantai Suplai Kontraktor Kontrak Kerja Sama, hal ini dikarenakan PT.X selaku charterer merupakan operator KKKS swasta yang beroperasi di salah satu blok wilayah operasi Minyak dan gas bumi di Indonesia. Pedoman tata kerja ini diberlakukan oleh SKK Migas selaku Badan Pelaksana sebagai bentuk pengendalian atas pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam setiap Kontrak Kerjasama yang dilakukan oleh setiap KKKS Swasta dan KKKS pemerintah yang khusus untuk menunjang pada sektor hulu migas. Dasar hukum kewenangan SKKMigas terdapat dalam diatur Peraturan Pemerintah No.35 5
Dayan dalam http://www.scribd.com/doc/45156448/Bab-II-Charter-Party#scribd , diakses pada tanggal 26 Agustus 2015
8
tahun 2004 Jo Peraturan Pemerintah No.55 tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi khususnya Pasal 91 dan 102 dimana Badan pelaksana yaitu dalam hal ini ialah SKK Migas diberikan kewenangan untuk melakukan pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan ketentuanketentuan Kontrak Kerja Sama. Kewenangan dari segi pengendalian inilah yang membuat SKK Migas berwenang untuk membuat aturan-aturan lebih lanjut mengenai ketentuan terkait dengan ruang lingkup pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas. Proses pengadaan dan manajemen kontrak merupakan lingkup yang diatur oleh Pedoman Tata Kerja, hal ini telah diatur dalam Butir 2.1
BAB
I
oleh
PTK No
007 REVISI-II/PTK/I/2011
Jo
PTK
007/SKKO0000/2015/S0 tentang Pedoman Pengelolaan Rantai Suplai Kontraktor Kontrak Kerja Sama. Dalam
dunia
bisnis,
terdapat
bentuk-bentuk
perjanjian
yang
mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Asas Kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Dengan adanya asas Kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tersebut, maka membuka peluang bagi pelaku usaha untuk membentuk perjanjian sesuai dengan kepentingan para
9
pihak yang akan mengikatkan dirinya sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan Undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Implementasi dari asas kebebasan berkontrak ini dapat dilihat dari adanya hubungan kontraktual antara Pemilik kapal yang selaku Perusahaan Pelayaran yang menawarkan jasa carter kapal dengan Penyewa kapal merupakan Perusahaan KKKS yang beroperasi di area offshore, yang mengakibatkan di dalam pembentukan kontrak time charter party ini sendiri pun terdapat beberapa sumber aturan yang kemudian dituangkan ke dalam klausa perjanjian carter yang mengikat para pihak. Pertama ketentuan dalam Buku ke III KUHPerdata tentang Perikatan. Kedua, ketentuan terkait dengan Pengangkutan laut yaitu Undang-undang No. 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran khususnya yang mengatur tentang Kapal sebagai Angkutan laut khusus dan Kewajiban Pengangkut dalam proses pengangkutan, beberapa ketentuan dalam KUHD khususnya yang membahas mengenai carter menurut waktu, General time charter (GENTIME) yang diatur dalam The Baltic and International Maritime Confrence (BIMCO) yang berisi mengenai hak dan kewajiban beserta tanggung jawab yang dibebankan kepada penyewa dan pemilik kapal dalam perjanjian charter dan Ketentuan International Ship and Port Facility (ISPF) sebagaimana telah diratifikasi ke dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor. KM 33 Tahun 2003
10
khususnya mengatur mengenai keselamatan kapal.
Ketiga ketentuan
mengenai di bidang Ketenagakerjaan seperti Undang-undang Nomor 13 tahun 2003, Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.101 tahun 2004 tentang Penyedia Tenega Kerja, Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.261 tahun 2004 tentang Perusahaan Wajib Melaksanakan Pelatihan Kerja, dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.220 tahun 2004 tentang Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain . Keempat, ketentuan mengenai Masalah lingkungan laut seperti MARPOL (Marine Polution) 73/78 Annexes I - VI dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. Kelima, ketentuan yang terdapat dalam Pedoman Tata Kerja Nomor 007 REVISI-II/PTK/I/2011 Jo PTK 007/SKKO0000/2015/S0 tentang Pedoman Pengelolaan Rantai Suplai Kontraktor Kontrak Kerja Sama khususnya BAB XII yang membahas mengenai Kontrak beserta Pelaksanaannya terkait dengan Kegiatan Penunjangan di Hulu Migas. Bentuk perjanjian yang digunakan dalam Kontrak ini ialah Perjanjian baku, yaitu perjanjian dimana bentuk dan isinya telah ditetapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak yaitu dalam hal ini pihak PT.X selaku pengguna jasa dan perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk perjanjian di bawah tangan. Dalam penentuan klausula-klausula ini sendiri, perusahaan penyedia jasa
11
selaku vendor tidak dapat melakukan negosiasi terkait dengan syarat dan ketentuan terkait dengan fungsi dari chartering ini sendiri. Dalam pola hubungan yang demikian itu, terciptalah kedudukan yang tidak seimbang diantara para pihak dalam perjanjian ini, pihak yang ekonominya kuat cenderung lebih dominan untuk menentukan syarat dan ketentuan yang akan dicantumkan dalam kontrak, sedangkan pihak yang ekonominya lebih lemah hanya mempunyai dua pilihan yaitu menerima segala macam syarat-syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan atau menolak sama sekali dengan konsekuensi perjanjian tidak akan terlaksana. Perjanjian baku semacam ini tentu cenderung dikatakan substansi hukumnya hanya menuangkan dan lebih melindungi hak-hak pada pihak yang kedudukannya lebih kuat sedangkan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu karena posisinya lebih lemah6. Dalam kontrak kerjasama ini sendiri, terdapat beberapa ketentuan klausa yang bermasalah khususnya terkait dengan penyelesaian perselisihan bagi perusahaan penyedia jasa atau vendor manakala terjadi pelanggaran kontrak.
Pertama
Ketidakpatuhan
6
ialah
yang
penerapan
diberikan
sanksi
kepada
klausula
vendor
Penalti
apabila
Atas
melakukan
Hasanudin Rahman Daeng Naja, 2000, Legal Drafting, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 134
12
wanprestasi atas kewajibannya, sedangkan apabila pihak KKKS yang melakukan wanprestasi atas kewajiban kontraktualnya, hal tersebut tidak diatur secara terperinci dalam kontrak. Kemudian klausula yang kedua ialah klausula Pemutusan Hubungan Lebih Awal atau Early Termination dimana hak tersebut hanya dimiliki oleh KKKS apabila vendor melakukan pelanggaran kewajiban Kontraktualnya, yaitu secara sengaja merusak atau mencabut sistem Pelacakan Kapal sehingga tidak merekam parameter(parameter) dengan benar, tidak mengirimkan bahan-bahan yang dimuat sesuai dengan apa yang diminta oleh penyewa termasuk petunjuk bahan arit, dan telah terkena akumulasi denda sebesar 10 persen dari total harga satuan Kapal untuk setiap bulan atas ketidakpatuhan dalam menutup celah Contractor Safety Management System (CSMS) dan lalai dalam penentuan kinerja kecepatan atas kapal, sedangkan vendor dalam kontrak tidak memiliki hak untuk melakukan terminasi lebih awal dalam pelaksanaan kontraknya, padahal
dalam
ketentuan
Butir
2.14
BAB
XII
PTK
007
007/SKKO0000/2015/S0 tentang Pedoman Pengelolaan Rantai Suplai Kontraktor Kontrak Kerja Sama, memungkinkan adanya pemutusan kerja lebih awal yang dilakukan oleh vendor, meskipun dengan konsekuensi jaminan pelaksanaan yang telah disetorkan oleh vendor akan dicairkan oleh KKKS apabila alasan pemutusan kontrak tidak dapat diterima oleh KKKS.
13
Masalah ini merupakan dampak dari pembentukan dari kontrak baku dimana klausula-klausula dalam kontrak sudah dibakukan secara sepihak oleh pengguna jasa. Negosiasi terhadap klausula-klausulapun sulit untuk dilakukan, karena apabila terbuka peluang untuk itu maka pelaksanaan kontrak sendiri juga menjadi terhambat untuk dilaksanakan. Untuk dapat menyeimbangkan kedudukan diantara para pihak, manakala pihak penyewa melakukan pelanggaran atas kewajiban kontraktualnya maka di dalam penyelesaiannya dapat menempuh jalur musyawarah terlebih dahulu untuk menentukan sanksi yang akan dijatuhkan manakala Perusahaan KKKS melakukan pelanggaran kontraktual dan apabila hasil dari musyawarah ini tidak memperoleh kesepakatan, ,maka penyelesaian perselisihan melalui jalur pengadilan maupun melalui BANI. Berdasarkan apa yang sudah dipaparkan diatas, maka perlu kiranya diketahui mengenai pelaksanaan kontrak kerjasama charter kapal yang berfungsi untuk menunjang kegiatan operasi di offshore serta bentuk-bentuk perlindungan hukum yang menjadi hak diantara kedua belah pihak manakala terjadi pelanggaran hukum dalam kontrak kerjasama yang seharusnya diatur dalam kontrak kerjasama ini. Dengan demikian, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : Tinjauan Hukum atas Pelaksanaan Kontrak Jasa Pelayaran Selaku vendor Kontraktor Kontrak Kerja Sama
14
(KKKS) dalam Menunjang Jasa Eksplorasi offshore (Studi Kontrak Kerjasama antara PT BRL selaku penyedia Jasa Perkapalan dengan PT.X selaku Pengguna Jasa). Berdasarkan apa yang sudah dipaparkan diatas, maka perlu kiranya diketahui mengenai pelaksanaan kontrak kerjasama charter kapal yang berfungsi untuk menunjang kegiatan operasi di offshore serta bentuk-bentuk perlindungan hukum yang menjadi hak diantara kedua belah pihak manakala terjadi pelanggaran hukum dalam kontrak kerjasama yang seharusnya diatur dalam kontrak kerjasama ini. Dengan demikian, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : Tinjauan Hukum atas Pelaksanaan Kontrak Kerjasama Jasa Pelayaran Selaku vendor Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam Menunjang Jasa Eksplorasi offshore (Studi Kontrak Kerjasama antara PT BRL selaku penyedia Jasa Perkapalan dengan PT.X selaku Pengguna Jasa). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana Pelaksanaan Kontrak Jasa Pelayaran antara PT. BRL selaku vendor dengan PT. X selaku KKKS di dalam menunjang Jasa Eksplorasi Migas?
15
2. Bagaimana bentuk Perlindungan Hukum bagi Para Pihak apabila terjadi wanprestasi dalam Pelaksanaan Kontrak Kerjasama Jasa Pelayaran yang berfungsi untuk menunjang Jasa Eksplorasi Migas?
C. Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pelaksanaan Kontrak Jasa Pelayaran antara PT. BRL selaku vendor dengan PT. X selaku KKKS di dalam menunjang Jasa Eksplorasi Migas 2. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi Para Pihak apabila terjadi wanprestasi dalam Pelaksanaan Kontrak Jasa Pelayaran yang berfungsi untuk menunjang Jasa Eksplorasi Migas D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini ada dua, yaitu : 1. Manfaat Teoritis Penulis berharap hasil penelitian ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum umumnya, khususnya ilmu hukum Bisnis dengan spesialisasi pada Hukum Kontrak Jasa Pelayaran. Diharapkan kedepannya hukum kontrak jasa pelayaran bisa lebih berkembang dan dapat tersosialisasi di kalangan pelaku usaha Jasa Pelayaran sehingga dalam proses kontraktual antara pengguna jasa dan penyedia jasa selalu
16
mengedapankan sisi yuridis dan selalu tunduk pada peraturan perundangundangan yang berlaku khususnya dalam bisnis jasa pelayaran. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi Jasa Pelayaran terkait dengan aspek-aspek hukum dalam pelaksanaan kontrak di dalam melakukan kerjasama dengan perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), dan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas yang berkepentingan berupa masukan mengenai praktek bagi vendor jasa pelayaran di dalam menunjang kegiatan jasa eksplorasi offshore E. Keaslian Penelitian Menurut sepengetahuan peneliti dan hasil penelusuran penelusuran penelitian pada berbagai referensi dan hasil penelitian serta dalam media cetak maupun elektronik terdapat beberapa penelitian yang menjadikan Jasa Pengangkutan sebagai objek kajian penelitian. Beberapa diantaranya yaitu : 1. “
Pelaksanaan
Tanggung
Jawab
Para
Pihak
Dalam
Perjanjian
Pengangkutan Barang Melalui Laut di PT. Barwil Unitor Ships Service Semarang “ Penelitian ini dilakukan oleh Siti Aminah, Program Studi Magister
Kenotariatan
Fakultas
Hukum
Universitas
Diponegoro,
17
Semarang, Jawa tengah. Penelitian ini dilakukan untuk melihat untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian barang melalui laut, tanggung jawab dari para pihak yang terkait dalam pelaksanaan perjanjian tersebut, serta penyelesaian masalahnya jika terjadi suatu sengketa. Metode penelitian yang digunakan ialah metode pendekatan yuridis empiris, yakni melakukan deskriptif analisis berdasarkan data yang diperoleh melalui penelitian. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa Perjanjian pengangkutan terjadi karena adanya kesepakatan antara pengirim (shipper) dengan pengangkut (carrier),
dimana
pengangkut
mengikatkan
dirinya
untuk
menyelenggarakan pengangkutanya ketempat tujuan tertentu dan pihak pengirim mengikatkan dirinya untuk membayar ongkosnya. Dalam perjanjian pengangkutan laut, masing-masing pihak ada dua pihak yang terkait yaitu mempunyai tanggung jawab yang berbeda. Tanggung jawab itu sendiri terbagi dari dua aspek yaitu yang bersifat kewajiban (responsibility) dan tanggung jawab ganti rugi (liability). PT. Barwil Unitor Ships
Service
Semarang
sebagai
pengangkut
berkewajiban
menyelenggarakan pengangkutan dan menjaga keselamatan barang yang diangkut hingga diserahkan pada penerima barang di pelabuhan tujuan, sedangkan tanggung jawab pengirim adalah memberikan informasi yang sebenar-benarnya mengenai sifat, jenis dan jumlah barang yang akan
18
diangkut tersebut serta membayar biaya pengapalanya. Menyangkut tanggung jawabnya, PT.Barwil Unitor Ships Service Semarang karena alasan kelangsungan bisnis pernah membayar suatu tuntutan ganti rugi yang disebabkan karena keterlambatan barang, meskipun keterlambatan itu bukan merupakan kesalahannya. Terkait dengan Penyelesaian sengketa, dalam pengangkutan barang melalui laut pada umumnya telah diatur dalam konosemen atau Bill of Lading sebagai persyaratan pengangkutan (conditioan of carriage) sebagaimana tercantum dalam cassatoria clause. Peraturan di dalam B/L dibuat secara sepihak yaitu dari pihak carrier saja maka untuk melindungi kepentingan pengirim dan penerima perusahaan pelayaran menunjuk pada hukum yang tertinggi (paramount clause) yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa dengan pengirim dan penerima. 7
2. “ Pelaksanaan Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Perusahaan Angkutan Darat di Kota Medan (Studi di Perusahaan Pengangkutan Barang CV. Asimurni).“ Penelitian ini dilakukan oleh Ramadani Fitria Manurung, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan untuk melihat perjanjian antara konsumen dengan perusahaan pengangkutan CV. 7
Siti Aminah, 2007, “ Pelaksanaan Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Laut di PT. Barwil Unitor Ships Service Semarang “, Universitas Diponegoro, Semarang, tesis untuk memperoleh gelar S2 Magister Notariat
19
Asimurni dimana dalam pelaksanaannya harus menggunakan kontrak baku. Permasalahan berikutnya ialah terkait dengan tanggung jawab pengangkut dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan dan perlindungan hukum terhadap konsumen akibat hilang atau rusaknya barang dalam perjanjian pengangkutan antara CV. Asimurni dengan Konsumen. Metode penelitian dalam penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris , yakni melakukan deskriptif analisis berdasarkan data yang diperoleh melalui penelitian. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa perjanjian pengangkutan yang dilakukan oleh perusahaan CV. Asi Murni tidak sesuai dengan asas kebebasan berkontrak karena kedudukan pihak pengirim tidak seimbang, sehingga tidak ada kebebasan pengirim untuk menentukan isi perjanjian. Dalam perjanjian baku yang dibuat, pihak perusahaan CV. Asi Murni menentukan secara sepihak tanggung jawabnya mengenai ganti rugi. Pembatasan tanggung jawab tersebut bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang No 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dimana pengirim berhak mendapatkan ganti rugi yang sesuai dengan kerugian yang dideritanya akibat kesalahan pengangkut. Selain itu, dalam perjanjian baku pengiriman barang tidak
20
memberi perlindungan hukum kepada pihak pengirim (konsumen), sehingga dalam hal ini pihak pengirim (konsumen) merasa dirugikan. 8 Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya kedua penelitian sebelumnya ini tidak terlepas dari peranan jasa pengangkutan yang dilakukan berdasarkan pada kontrak atau perjanjian yang dibuat antara kedua pihak yaitu pengirim dan pengangkut dimana juga diatur mengenai tanggung jawab serta hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Namun yang membedakan antara kedua penelitian sebelumnya tersebut dengan penelitian ini adalah tidak ada yang mendasarkan penelitiannya pada aspek yuridis kontrak kerjasama jasa pengangkutan laut yang berperan sebagai vendor kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dalam menunjang usaha jasa eksplorasi offshore. Dengan demikian, dapat dikatakan penelitian ini memenuhi kaedah keaslian penelitian. Walaupun memiliki perbedaan, namun penelitian-penelitian sebelumnya tersebut diharapkan dapat memberikan pengayaan dan/atau atas penelitian ini.
8
Ramadani Fitria Manurung, 2011, “Pelaksanaan Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Perusahaan Angkutan Darat di Kota Medan (Studi di Perusahaan Pengangkutan Barang CV. Asimurni)“, Universitas Sumatera Utara, Medan, tesis untuk memperoleh gelar S2 Magister kenotariatan