BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Setiap sengketa yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap sengketa dapat diselesaikan agar keseimbangan tatanan masyarakat dapat dipulihkan. Pada dasarnya, keberadaan cara penyelesaian sengketa sama tuanya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Dalam setiap masyarakat telah berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana sengketa ditangani. Sengketa dapat diselesaikan melalui berbagai cara, baik melalui forum formal yang disediakan oleh Negara, maupun melalui forum-forum lain yang tidak resmi disediakan oleh negara.1 Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sebagaimana yang diatur oleh pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat dilakukan dalam empat lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara. Setiap lingkungan peradilan menyelesaikan sengketa sesuai yurisdiksinya masing-masing. Keberadaan pengadilan sebagai forum formal penyelesaian sengketa merupakan aplikasi dari ajaran Trias Politica, dimana badan-badan peradilan diberi wewenang dan otoritas untuk mengadili suatu perkara. Melalui lembaga peradilan, setiap sengketa harus diselesaikan menurut tata cara
1
Eman Suparman, 2004, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, Jakarta, Tata Nusa, h. 18
Universitas Sumatera Utara
formal yang diatur dalam hukum acara serta memberi hak kepada para pihak untuk mempergunakan upaya hukum. Dalam beberapa masyarakat ada kecenderungan untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, namun adapula masyarakat yang lebih suka menyelesaikan sengketa melalui forum-forum lain diluar pengadilan. Alasan-alasan kebudayaan menyebabkan beberapa masyarakat cenderung mengenyampingkan pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang timbul diantara mereka. Pada awalnya pengadilan dijadikan sebagai pilihan pertama dan terakhir dalam penyelesaian sengketa. Selama beberapa dekade masyarakat di berbagai negara memberikan kepercayaan kepada lembaga peradilan untuk mengelola sengketa yang mereka hadapi, dengan harapan akan memperoleh keadilan sebagaimana secara normatif dan eksplisit disebutkan dalam ketentuan perundang-undangan. Akan tetapi faktanya lembaga peradilan telah terbukti tidak mampu memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyak keluhan yang timbul terhadap kinerja pengadilan yang dinilai formalistic, teknis dan biaya mahal. Dengan munculnya penyelesaian sengketa alternatif ini, pengadilan hanya dijadikan sebagai pilihan terakhir oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa. Para pihak yang bersengketa baru akan mengajukan sengketanya ke pengadilan apabila mekanisme penyelesaian sengketa alternatif tidak mampu menyelesaikannya. Di Indonesia sendiri, disamping pengadilan sebagai forum penyelesaian sengketa yang keberadaannya diakomodir oleh Negara melalui UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, terdapat juga forum penyelesaian sengketa lain yang
Universitas Sumatera Utara
mengacu pada pranata adat dan agama. Hal tersebut dilatarbelakangi karena adanya pluralisme hukum yang berlaku di Indonesia, dimana hukum yang berlaku bukan hanya hukum yang berasal dari pemerintah atau negara (hukum negara), tapi juga hukum yang berasal dari adat kebiasaan masyarakat (hukum adat) serta hukum yang berasal dari ajaran-ajaran agama (hukum agama). Di samping peradilan sebagai lembaga formal penyelesaian sengketa, terdapat juga lembaga alternatif penyelesaian sengketa nonformal yang keberadaannya mengacu kepada hukum adat. Hukum adat yang umumnya berlaku dalam masyarakat yang diliputi semangat komunal memandang manusia atau individu sebagai bagian integral dari masyarakat. Setiap individu harus berupaya mencegah timbulnya disharmoni, dalam arti membina hubungan yang seimbang antara pasangan-pasangan dalam kehidupan, baik antar individu dalam masyarakat atau sebaliknya, atau antara dunia nyata dengan dunia gaib. Tetapi dalam kenyataannya selalu terbuka kemungkinan munculnya sengketa yang terjadi diantara para individu (warga masyarakat). Keadaan ini dapat mengakibatkan terganggunya system keseimbangan hubungan dalam masyarakat. Dalam masyarakat hukum adat sudah sejak lama sengketa-sengketa yang terjadi diselesaikan secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga adat seperti peradilan desa atau yang disebut dengan peradilan adat. Biasanya yang bertindak sebagai hakim dalam lembaga tersebut adalah tokoh-tokoh adat (kepala adat) dan ulama. Kewenangan dari hakim peradilan adat ini tidak semata-mata terbatas pada perdamaian saja, tetapi juga kekuasaan memutus sengketa dalam semua
Universitas Sumatera Utara
bidang hukum yang tidak terbagi ke dalam pengertian pidana, perdata, publik,2 dan lain-lain. Dalam hal ini proses penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan tiga asas kerja untuk menghadapi perkara-perkara adat, yaitu asas rukun, patut dan keselarasan.3 Keberadaan peradilan adat atau peradilan desa ini dapat menjadi alternatif penyelesaian sengketa bagi masyarakat yang sistem kerjanya kurang lebih mirip dengan penyelesaian sengketa alternatif modern yang sekarang berkembang, dimana musyawarah menjadi model umum dan utama dalam proses penyelesaian sengketa. Ini berarti, lembaga peradilan adat tidak berperan sebagai sarana pemaksa, tetapi memainkan peran sebagai mediator dalam rangka rekonsiliasi dan konsolidasi para pihak melalui proses penemuan putusan yang melegakan semua pihak, karena pada dasarnya keputusan diambil secara sukarela oleh para pihak. Hampir diseluruh Indonesia terdapat lembaga peradilan ini, walaupun dengan nama yang berbeda-beda, seperti di Tapanuli, Minangkabau, Sulawesi Selatan, Bali, dan lain-lain. Di Tapanuli, pada masyarakat Batak Karo terdapat lembaga musyawarah desa yang disebut runggun adat yang berfungsi memeriksa dan menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat. Lembaga ini beranggotakan anak beru, senina, dan kalimbubu. Di daerah Toraja, masyarakat biasanya mengajukan sengketa mereka kepada suatu dewan yang berfungsi menyelesaikan
2
Hilman Hadikusuma, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar Maju, h. 40. 3 Moh. Koesnoe, 1974, Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Surabaya, Erlangga University Press, h. 44-45.
Universitas Sumatera Utara
sengketa, yang disebut hadat.
Dewan tersebut beranggotakan orang-orang yang
menjadi pimpinan dalam suatu desa. Berkaitan dengan sengketa yang diajukan, dewan tersebut sidang untuk menentukan siapa yang harus dipersalahkan dan hukuman apa yang dijatuhkan. Di Bali, terdapat Desa Adat yang kekuasaannya diwujudkan dalam Sangkepan (rapat) desa adat, yaitu suatu forum yang membahas masalah-masalah tertentu yang sedang dihadapi desa secara musyawarah. Di Minangkabau dikenal lembaga peradilan desa yang disebut Kerapatan Adat Nagari (KAN). Sementara di Aceh juga dikenal Lembaga Adat Aceh. Lembaga sebagai suatu sistem norma untuk mencapai tujuan tertentu yang oleh masyarakat tertentu dianggap penting. Sistem norma mencakup gagasan, aturan tata cara kegiatan, dan ketentuan sanksi (reward system). Sistem norma merupakan hasil proses berangsur-angsur menjadi suatu sistem yang terorganisasi. Artinya sistem itu telah teruji kredibilitasnya, dipercaya sebagai sarana mencapai tujuan tertentu. Bila ditelusuri jejak sejarah Aceh, akan ditemukan bahwa lembaga agama dan lembaga adat istiadat sangat dalam berakar dalam masyarakatnya. Semboyan ”Hukom ngon adat han jeuet cre, lagee zat ngon sifeut”4 syariat (hukum) dan adat tidak dapat dipisahkan seperti zat tuhan dengan sifatnya. Pandangan dunia etnis Aceh tentang hal tersebut tercermin dari tulisan seorang ulama besar pada abad XIX, Sheikh Abbas Ibnu Muhammad alias Teungku Chik Kutakarang yang menulis dalam kitabnya Tadhkirad a rakidin (1889), antara lain sebagai berikut ”adat ban adat 4
T. Ibrahim Alfian, 1999, Wajah Aceh Dalam Lintaasn Sejarah,, Banda Aceh, PDIA,, h. 232.
Universitas Sumatera Utara
hukom ban hukom, adat ngon hukom sama keumba. Tatkala mufakat adat ngon hukom, nanggroe seunang hana goga”. Maknanya ”Adat menurut adat, hukum syariat menurut hukum syariat. Adat dengan hukum syariat tidak dapat dipisahkan. Tatkala mufakat adat dengan hukum, negeri senang tanpa huru hara” Dalam masyarakat Aceh sebutan adat sangat populer untuk keseluruhan tatanan kehidupan, baik yang menyangkut dengan fungsi hukum adat maupun berkenaan dengan fungsi adat istiadat. Dalam pengertian adat istiadat atau reusam yang berlaku pada suatu tempat, biasanya berbeda antara satu dengan lainnya ataupun dapat sama. Menurut Ter Haar5 dalam buku Badruzzaman, lembaga hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan – perbuatan hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum. Dalam peraturan daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 2 Tahun 1990, pasal 1 angka d, menjelaskan: ”Gampong/desa” adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri”.
5
Badruzzaman Ismail, 2007, Mesjid dan Adat Meunasha Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, Banda Aceh, MAA, h. 150.
Universitas Sumatera Utara
Dalam tatanan kehidupan perilaku masyarakat Aceh Besar, terdapat dua gambaran sebagai komponen penentu tentang masih berfungsi atau tidak hak-hak adat
yang
menjadi
pendukung
kekuatan
dalam
menjalankan
tugas-tugas
pemerintahan dalam masyarakat Gampong. Gambaran kedua komponen penentu itu merupakan bagian kesinambungan perilaku kehidupan masyarakat Gampong dalam era kejayaan masa lalu, dimana landasan pembinaan adat berada di bawah kendali lembaga yang menempatkan fungsinya dibawah rujukan ”Adat bak Poteumereuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putrou Phang, Reusam Bak Lakseumana”. Pada masa itu berbagai persoalan, terutama menyangkut dengan sengketa-sengketa yang dihadapi oleh masyarakat dapat diselesaikan, melalui rapat musyawarah orangorang patut sebagai fungsionaris, dengan menggunakan norma-norma hukum adat sebagai pedoman hukum yang diperoleh dari hasil pembahasan Keputusan Musyawarah perangkat Gampong yang dipilih oleh masyarakat itu sendiri (dumpee but ta mupakat, beek meularat oh wayee dudoe). Keputusan musyawarah semacam itu menjadi norma hukum dan mengikat masyarakat, sehingga secara langsung dapat diterapkan untuk penyelesaian masalah hukum adat, berarti memberikan bentuk kepada apa yang dibutuhkan sebagai keputusan hukum yang berlaku. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, telah memberikan bentuk-bentuk baru bagi pengembangan hak-hak otonomi daerah, termasuk keleluasaan untuk mengembangkan dasar-dasar
Universitas Sumatera Utara
hukum adat dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat desa, sebagaimana penjelasan pasal 122 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, yang antara lain menegaskan bahwa pengakuan keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh didasarkan pada sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, sedangkan isi keistimewaannya, berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat dan pendidikan serta memperhatikan peranan ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Ketentuan itu berarti membuka peluang untuk membangun kembali regulasi/aturan formal kedalam berbagai hak-hak adat masyarakat. Salah satunya yang harus direkonstruksikan adalah fungsi lembaga adat. Bila hukum adat diterapkan, dengan itu pula dilakukan penerapan hukum / syariat Islam. Kondisi sosiologis dan perubahan nilai-nilai yuridis bagi masyarakat merupakan kondisi dinamis yang sangat dikehendaki agar ketentuan-ketentuan hukum adat semacam itu dapat segera dilaksanakan. Karena ketentuan semacam itu dapat dipandang dalam panutan budaya Aceh, berupa serapan nilai dari narit maja ”adat dengan hukum (agama) seperti ”zat dengan sifeut”. Narit maja ini, mengandung makna bahwa pelakanaan hukum adat tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam, bahkan sebaliknya penerapan hukum adat yang paling cocok adalah yang mengandung nilai-nilai hukum Islam. Jadi peranan hukum adat disini memperkuat penegakan nilai-nilai syariat dalam membangun ketertiban, ketentraman, kedamaian, kerukunan bagi kesejahteraan masyarakat. Khusus berkenaan dengan pengaturan terhadap syariat Islam itu sendiri telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat
Universitas Sumatera Utara
Islam, sebagai implementasi Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Perlu menjadi catatan bahwa tuntutan pelaksanaan Syariat Islam dan pelaksanaan hukum adat, sebagai bagian dari tatanan budaya ke Aceh, sangat dikehendaki oleh masyarakat Aceh. Tuntutan itu dapat disimak dari berbagai reaksi elemen masyarakat, baik melalui media cetak/elektronik, melalui seminar, diskusi, ceramah, sepanduk maupun melalui lembaga-lembaga formal yang terus berkembang dalam rangka mengangkat kembali harkat dan martabat masyarakatnya. Lahirnya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tersebut, telah memberikan landasan yuridis yang lebih konkrit kepada pemerintah daerah Aceh, terhadap wewenang pengaturan keistimewaan Aceh. Wewenang pengaturan dan berbagai kebijakan itu, terutama berkenaan dalam hal untuk penyelesaian (hukum) adat bagi masyarakat. Antara lain konsepsi rumusan kerangkanya dapat diimplimentasikan berasaskan kepada dasar-dasar pertimbangan sebagai berikut: 1. Otonomi daerah Aceh, merupakan kewenangan khusus dan istimewa, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat yang berdasarkan prakarsa dan aspirasi masyarakatnya sendiri, dapat mengatur dan menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan keikutsertaan ulama dalam berbagai kebijakan daerah. 2. Daerah dapat menetapkan kebijakan dalam pelestarian dan pengembangan adat serta lembaga adat yang dijiwai oleh Syariat Islam dan dapat membentuk
Universitas Sumatera Utara
lembaga-lembaga yang sudah ada itu, baik di propinsi, kabupaten / kota, kecamatan, kelurahan dan di desa-desa / Gampong (UU No. 44 Tahun 1999). Tindak lanjut dari amaran Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999, antara lain merujuk pada penafsiran rumusan-rumusan tersebut, pemerintah Daerah Istimewa Aceh telah melahirkan peraturan daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, yang sekaligus dapat berfungsi dan berkedudukan sebagai peraturan pelaksanaan yang sederajat dengan peraturan pemerintah (PP) dalam konteks dengan Undang-undang lain. Sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang itu, pemerintah Daerah Istimewa Aceh melalui Perda Nomor 7 Tahun 2000 telah menetapkan beberapa rumusan untuk pedoman, antara lain sebagai berikut: 1. Masyarakat hukum adat dapat membentuk lembaga adat Aceh, sebagai organisasi kemasyarakatan adat dalam wilayahnya serta memiliki kekayaan sendiri, untuk berhak dan berwenang mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh. 2. Tuha Peut, Tuha Lapan dan Mukim, merupakan badan kelengkapan Gampong, dan unsur pemerintah, agama pimpinan adat, cerdik pandai, unsur pemuda/wanita dan unsur kelompok masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
3. Gampong adalah suatu wilayah yang menyelenggarakan rumah tangga sendiri dibawah pimpinan Geuchik (Keuchik ) dan Imeum Meunasah serta berwenang menyelesaikan segala sengketa di Gampong, berdasarkan hukum adat6 Berdasarkan
ketentuan
yang
diatur
dalam
Perda
dimaksud,
telah
mengisyaratkan bahwa perangkat Gampong dan fungsi-fungsinya, berkewajiban menyelenggarakan pemerintahan di Gampong serta berhak dan berwenang pula untuk menggunakan lembaga dan hukum adat dalam menyelesaikan segala sengketa dalam masyarakatnya. Dengan demikian atas landasan Perda, lembaga adat dapat melaksanakan fungsinya sebagai pusat pengendali kehidupan masyarakat, dengan menggunakan hukum adat menjadi pegangan yang berfungsi sebagai hukum positif dalam masyarakat. Penataan perangkat Gampong, seperti Keuchik / wali Keuchik (Geuchik istilah Perda), Teungku Sago / Wali Teungku (Imum Meunasah istilah Perda), Tuha Peut danTuha Lapan, termasuk fungsi Meunasah sebagai realisasi hakhak adat masyarakat dapat terus naik, sebagai upaya penegakan harkat dan martabat masyarakat Aceh yang berlandaskan norma-norma (hukum) adat yang hidup dan berkembang. Berkenaan dengan hak-hak adat dan kewenangan serta tanggung jawab Gampong dalam menata kehidupan masyarakat, lebih lanjut dijelaskan oleh sumber hadih maja, ”Lampoh mupageu, Umong meu ateung, Nanggroe meu syara’, maseng-
6
Perda No 7 Tahun 2000
Universitas Sumatera Utara
maseng na Raja7. Maksudnya setiap negeri ada peraturan dan mempunyai kekuasaan / raja masing-masing. Beberapa produk adat itu merupakan sumber hukum yang bernilai yuridis normatif dan Islamis reseptif (receptio in complexu) serta sumber-sumber normatif kebiasaan lainnya yang hidup dan berlaku dalam masyarakat8. Dengan demikian pemerintah provinsi kabupaten / kota, kecamatan, kelurahan dan desa-desa / Gampong diberi amaran oleh undang-undang itu untuk melaksanakan kaedah-kaedah hukum adat dalam rangka reaktualisasi hak-hak adat masyarakat. Hak-hak masyarakat itu adalah sesuatu tatanan yuridis normatif yang dapat digunakan sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan masyarakat, sebagai tatanan dalam mengembangkan hubungan (antar hak). Adapun pengertian ”masyarakat” menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah merupakan sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Berkenaan dengan pemahaman masyarakat hukum itu, Lili Rasjidi memberi penjelasan, bahwa masyarakat hukum adalah himpunan kesatuan hukum yang satu sama lain terikat dalam suatu hubungan yang teratur. Kesatuan hukum yang membentuk masyarakat itu dapat berupa individu, kelompok, organisasi atau badan hukum negara dan kesatuan-kesatuan lainnya. Sedangkan alat yang dipergunakan mengatur hubungan antar kesatuan hukum disebut ”hukum”, yaitu suatu kesatuan
7 8
Majalah Jeumpa, 1999, penerbit LAKA h.8 Ibid, h. 9
Universitas Sumatera Utara
sistem hukum yang tersusun atas berbagai komponen9 . Dengan demikian masyarakat Gampong sebagai suatu persekutuan yang terikat berdasarkan hukum adat merupakan suatu sistem hukum yang dapat membentuk dan membina kesatuan Gampongnya dengan hukumnya secara tertib dan teratur. Perkembangan tatanan hukum yang hidup dalam masyarakat tidak lepas dari pengaruh sosiologis kehidupan masyarakat, sebab itu apabila masyarakat dilihat dari pranata-sosial, maka pengertiannya menunjuk pada adanya unsurunsur yang mengatur perikelakuan para anggota masyarakat sebagai sesuatu bentuk dan sekaligus juga mengandung pengertian-pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu, yang menjadi ciri pada lembaga itu10.
Berdasarkan pandangan ini, dapat dipahami bahwa pranata sosial dapat di fungsikan sebagai: 1. Pedoman bagi anggota masyarakat tentang bagaimana mereka harus bertingkah laku dan bersikap dalam menghadapi masalah dalam masyarakatnya, terutama yang menyangkut dengan masalah-masalah pokok. 2. Pemeliharan keutuhan daripada masyarakat bersangkutan 3. Pegangan bagi masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial dan sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah lakunya11 Lembaga adat berfungsi sebagai pranata sosial, sehingga prinisip-prinsip keadilan hukum yang dikandungnya (hukum adat), dapat ditegakkan kembali sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat itu sendiri, sebagai bagian dari tuntutan sosial. 9
Lili Rasyidi, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, h.105 Soerjono Soekanto, 1969, Subjek Hukum, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Yayasan Universitas Indonesia, h.73. 11 Ibid, h. 74 10
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan itu, maka “hak-hak masyarakat” dapat di rumuskan dari aspek hukum, sebagai norma-norma prilaku yang hidup dalam masyarakat serta berhak, dan berwenang mengatur, menguasai berbagai kepentingan untuk kebersamaan dalam wilayahnya, melalui fungsi lembaga adat sebagai paradigma adat yang memiliki otoritas tanggung jawab pengendalian dan pengawasan terhadap hak-hak masyarakat itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa hukum adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh Besar adalah hukum non-statutair yang sebagian besar meliputi hukum kebiasaan dan sebagian lagi hukum Islam. Hukum adat dengan hukum Islam dalam prilaku orang Aceh sudah berkembang menyatu secara integral mendarah daging “lagee zat ngon sifeu / zat dengan sifat” sebagaimana disebutkan diatas. Perkembangan menurut Savigny yang dikutip oleh R. Soepomo, menyatakan bahwa sesuai dengan fitrahnya, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang di tengah-tengah pergaulan masyarakat12. Dari proses perkembangan itu menunjukkan bahwa hukum adat di Gampong – Gampong erat kaitannya dengan fungsi Meunasah, yang dengan fungsinya itu dapat menerapkan hukum adat dalam kehidupan masyarakat. Perkara-perkara yang diselesaikan di Meunasah dalam hal sengketa keperdataan misalnya; menyangkut dengan tanah, ternak, gangguan pertanian, hutang piutang, masalah kekeluargaan, harta pustaka, dan lain-lain yang timbul dalam masyarakat Gampongnya. Sedangkan penyelesaian menyangkut dengan perbuatan 12
Surojo W, 1967, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Bandung, Alumni, h.71
Universitas Sumatera Utara
kejahatan / kepidanaan di lingkungan warga maupun antar warga, misalnya perbuatan pertengkaran, penganiayaan, pembunuhan, pencurian dan sebagainya yang bersifat delik-delik hukum yang menganggu kehidupan kerukunan dan ketentraman serta keseimbangan (equilibrium) Gampong, juga diselesaikan di Meunasah. Apabila sengketa keperdataan atau delik-delik pidana adat terjadi dalam masyarakat, maka norma-norma hukum adat yang hidup dan berlaku akan muncul dengan sendirinya melalui fungsionaris perangkat Gampong, sehingga lembaga musyawarah yang dipimpin oleh Keuchik akan dengan cepat dapat mengatasinya. Khazanah hukum adat keberadannya mengendap dalam masyarakat dan hanya melalui fungsionaris-fungsionaris hukum, seperti Keuchik , Tengku Sago, Tuha Peut, Tuha Lapan dan orang-orang tua patut lainnya (karena pengalaman hidup) yang mampu mengangkatnya, bila suatu saat diperlukan, misalnya bila terjadi sengketa / pertengkaran dalam masyarakatnya, maka saat itu pula hukum adat itu akan muncul dengan sendirinya. Dengan demikian melalui keputusan-keputusan musyawarah Gampong itu akan mampu menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dalam masyarakat, secara cepat, tegas dan sederhana dengan penuh wibawa serta dipatuhi oleh masyarakatnya secara serta merta demi harkat dan martabat para pihak yang berkepentingan. Sudah menjadi suatu kelaziman / adat dalam masyarakat, bahwa bila pada warga Gampong terjadi sengketa, misalnya masalah tanah (perdata /pidana), maka masalah itu diserahkan pada Keuchik
untuk diselesaikan. Keuchik
membawa
masalah tersebut kedalam musyawrah Gampong / desa di Meunasah, dimana
Universitas Sumatera Utara
komponen perangkat Gampong (Teungku, Tuha Peut) diikutsertakan untuk membahas dan menyidangkan sengketa-sengketa tersebut yang pada umumnya berhasil diselesaikan dengan baik, menggunakan sumber hukum adat yaitu hasil keputusan musyawarah yang sangat berwibawa, murah, cepat dan sederhana. Peranan Keuchik untuk menyelesaikan sengketa-sengketa semacam itu, tidak hanya berlaku untuk internal antar anggota masyarakat suatu Gampong, melainkan berlaku pula secara eksternal untuk sengketa anggota dan atau masyarakat antar Gampong dengan Gampong lainnya. Keuchik sebagai pimpinan Gampong memegang peran kunci di bidang hukum adat untuk kesejahteraan komunitasnya. Dengan demikian, bila terjadi pertengkaran / sengketa antar Gampong, peranan Keuchik amat penting, karena sesuai dengan kebutuhan sifat masyarakat hukum adat yang berada dalam kesatuan yang homogen, tidak sama dengan masyarakat kota. Perasaan masyarakatnya yang berada dalam wawasan kosmo komunal dan relegio magis, menjadi penting diperhatikan, karena hal itu menjadi latar belakang kemasyarakatan dimana tempat hukum pidana itu bergerak, begitu pula tempat penyelesaiannya13. Dalam hubungan musyawarah, fungsionaris hukumlah yang dapat berperan di Gampong-Gampong seperti peran Keuchik , Teungku, Tuha Peut, Tuha Lapan dan cerdik pandai lainnya. Musyawarah / persidangan yang dilakukan di Meunasah, pada saat demikian memegang peranan untuk dapat berfungsi sebagai lembaga pengadilan.
13
Bushar Muhammad, 1985, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramitha, h.61.
Universitas Sumatera Utara
Fungsi demikian merupakan fakta tentang sikap perilaku masyarakat, dimana setiap persoalan selalu berurusan dengan ureung-ureng tuha / khususnya melalui Keuchik. Hukum adat tidak mengenal sistem pelanggaran atau perbuatan kejahatan yang telah di tetapkan lebih dulu, untuk dapat dikenakan hukuman atau tindakan balasan. Lebih lanjut dalam hal itu, Soepomo mengutip alasan yang dikemukakan oleh Ter Haar, yang mengatakan bahwa gangguan keseimbangan serta pemulihan banyak hal, dalam masyarakat, ditentukan oleh unsur-unsur yang sangat pribadi, yaitu merasa malu atau tersinggung perasaannya, sehingga malu, rasa tidak enak, rasa amarah, rasa balas dendam dari orang yang terkena terhadap orang yang menyinggung, amat dirasakan, baik hal itu sengaja atau kelalaian dari pihak lain14. Dari pandangan diatas menunjukkan, dalam masyarakat hukum adat, sesuatu perbuatan pelanggaran atau kejahatan dalam Gampong, dapat dipandang sebagai pengganggu keseimbangan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Karena itu bila kondisi masyarakat terjadi sengketa, maka langkah yang perlu ditempuh adalah pemulihan untuk mengembalikan keseimbangan itu. Disinilah otoritas, kewenangan dan tanggung jawab Keuchik sebagai pimpinan Gampong. Dalam hubungan ini peranan Keuchik amat penting, apalagi karena fungsinya yang menurut M.Isa Sulaiman berkaitan sebagai lembaga pengikat pertumbuhan sosial ekenomi pedesaan, dimana konsentrasi basisnya adalah komunikasi Gampong yang dikepalai oleh Keuchik , serta berfungsi mempunyai pengadilan sendiri sebagai
14
Loc.cit, h. 73
Universitas Sumatera Utara
lembaga meusapat dan landschapgerachter, disamping Mukim (gabungan beberapa Gampong) yang diikat oleh mesjid dan dikepalai oleh seorang Imuem15. Undang-undang No. 44 Tahun 1999 tentang penyelesaian keistimewaan Aceh, menegaskan
bahwa
keistimewaan
adalah
kewenangan
khusus
untuk
menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah (pasal 1 ayat 8). Berdasarkan UU tersebut, baik de facto maupun de jure pemerintah bersama DPRnya, telah memberikan landasan yuridis yang kuat, bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh untuk dapat memperlakukan syariat Islam, adat dan pendidikan. Khusus menyangkut keistimewaan bidang adat, UU itu juga memberikan beberapa penafsiran sebagai berikut: a. Daerah istimewa Aceh mendapatkan hak dan kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, menurut prakarsa sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat dan perundang-undangan. b. Daerah istimewa Aceh dapat segera membentuk dan mengakui lembagalembaga adat yang telah ada, secara formal sesuai dengan kedudukannya masing-masing,
sebagai
kebijakan
pemberdayaan,
pelestarian
dan
pengembangan adat / lembaga adat yang dijiwai dengan syariat Islam, mulai pada tingkat provinsi, kabupaten / kota, kecamatan, mukim sampai kedesa Gampong. Dasar pokok-pokok penafsian dimaksud, akan dapat memberi
15
Isa Sulaiman, 1997, Sejarah Aceh, Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Pustaka Sinar Harapan, h.16
Universitas Sumatera Utara
makna
bahwa
penyelenggaraan
adat
boleh
bersamaan
dengan
penyelenggaraan bidang agama dan pelaksanaan pendidikan sekaligus dengan menjadikan substansi-substansi integral dalam penyelenggaraan keistimewaan Aceh dan dengan menempatkan fungsi ulama pada peran dalam penetapan kebijakan daerah. c. Kelahiran UU ini merupakan momentum yang bernuansa prospektif bagi Daerah Istimewa Aceh dalam upaya untuk dapat mereaktualisasikan fungsi lembaga adat yang hidup dan berwibawa dalam masyarakat. Dengan demikian, dapat diharapkan baik dilihat dari segi fungsi maupun peranan yang mungkin dapat dimainkan. Konstruksi ini, telah digambarkan oleh Hardi, SH sebagai berikut: a. Menciptakan keadilan b. Memadukan bakat dan sifat kepahlawanan c. Menciptakan kemakmuran yang merata d. Memupuk suasana kerukunan dalam pergaulan hidup e. Mewujudkan kesejahteraan rohaniah dan jas maniah16 Pedoman pembangunan semacam itu penting untuk dapat menumbuhkan motivasi dan inovasi-inovasi baru dalam masyarakat tentang implementasi hak-hak adat, terutama berkenaan dengan reaktualisasi fungsi lembaga adat bagi memperkuat
16
Hardi, 1993, Daerah Istimewa Aceh, Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, Jakarta, Citra Panca, h.198.
Universitas Sumatera Utara
landasan yuridis normatif untuk kesejahteraan rakyat Aceh untuk menemukan nilainilai yuridis normatif itu perlu melakukan temuan-temuan dalam masyarakat. Karena itu pelaksanaan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999, sebagaimana telah dijelaskan, merupakan peluang yang amat prospektif dan strategis bagi menghidupkan kembali fungsi lembaga adat. Ketiga fungsi (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang telah disebutkan diatas dalam hubungan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Hardi dimaksud, dilihat dari sisi hukum tata negara, menunjukkan bahwa lembaga adat dapat mengembangkan fungsinya sebagai pelaksana teori Trias Politica, sebagaimana dianut oleh negara-negara maju dalam era globalisasi dewasa ini, walaupun ada perbedaan dalam fungsi operasional di lapangan. Sejalan dengan perkembangan itu, maka secara realitas fungsi-fungsi tersebut dapat diekspresikan melalui tiga bidang kekuasaan yaitu: a. Kekuasan yang bersifat mengatur atau menemukan peraturan b. Kekuasaan yang bersifat melaksanakan peraturan c. Kekuasaan yang bersifat mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut17 Hal tersebut dalam prakteknya tercermin pada sikap dan perilaku Keuchik dan Teungku (simbol bapak-ibu) saat mengayomi penyelesaian masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan masyarakat. Unsur-unsur itu selalu dapat ditemukan dalam dinamika perilaku masyarakat Gampong, sebagai berikut: a. Sebagai eksekutif, didapati pada fungsi Keuchik dalam menjalankan tugastugas keputusan musyawarah dan tatanan masyarakat, 17
Max Boll Sabono, 1994, Ilmu Negara, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, h.169
Universitas Sumatera Utara
b. Fungsi legeslatif, didapati dalam musyawarah / duk pakat, yang dihadiri oleh perangkat fungsionaris Gampong, yaitu Keuchik , Teungku Sago, Tuha Peut, Tuha Lapan / Cerdik pandai. c. Fungsi yudikatif, didapati pada rapat paripurna / rapat Gampong dan atau melalui musyawarah perangkat Gampong, yang bersifat evaluasi dan mengontrol terhadap berfungsi tidaknya segala tatatan dan keputusankeputusan / kebijakan yang telah ditetapkan. Untuk berjalannya pelaksanaan adat dengan baik dan berwibawa, sangat ditentukan oleh pimpinan Gampong yaitu Keuchik . Ia harus berpucuk keatas dan berakar ke bawah dan mampu mengayomi, sehingga memiliki ikatan lahir bathin dengan rakyat. Hal ini terlihat dari cara lembaga adat menyelesaikan sengketa, kaidah hukum yang menjadi pegangan dalam penyelesaian itu, serta pelaksaanaan keputusan adat itu. B. Permasalahan Berdasarkan uraian dan kenyataan tersebut diatas, timbul beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana mekanisme / cara lembaga adat Aceh menyelesaikan sengketa masyarakat Aceh? 2. Apa saja kaedah hukum (pertimbangan) yang digunakan lembaga adat Aceh dalam menyelesaikan sengketa? 3. Bagaimana efektifitas pelaksanaan putusan lembaga adat Aceh dalam menyelesaikan sengketa pada masyarakat Aceh?
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui mekanisme / cara lembaga adat Aceh menyelesaikan sengketa. 2. Untuk mengetahui kaidah (pertimbangan )yang digunakan lembaga adat Aceh dalam menyelesaikan sengketa. 3. Untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan putusan lembaga adat Aceh dalam menyelesaikan sengketa. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis yaitu: 1. Secara teoritis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum khususnya di bidang hukum adat dan pelaksanaannya dalam kaitannya terhadap suku Aceh. 2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam mempelajari tentang lembaga adat pada masyarakat Aceh dan efektifitasnya, bagi para akademis, mahasiswa dan masyarakat umum. E. Keaslian Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul ”Efektifitas Putusan Penyelesaian Sengketa Oleh Lembaga Adat Aceh”
Universitas Sumatera Utara
belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,18 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.19 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.20 Teori yang dipakai sebagai pisau analisis penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum Islam yaitu dengan cara sulhu (perdamaian). Perintah melakukan sulhu terdapat dalam Al-Quran di Surat An Nisa ayat 126. Cara ini sudah dikenal di kalangan bangsa Arab mulai masa pra Islam. Pada waktu itu meskipun belum terdapat sistem peradilan yang teroganisir, setiap ada persengketaan mengenai hak seseorang sering kali diselesaikan melalui wassith (juru damai) yang ditunjuk oleh orang yang bersangkutan. Lembaga ini terus dikembangkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan memodifikasi yang
18
J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, 1996, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, Jakarta, FE UI, h. 203. M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 27. menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. 19 Ibid, h. 16 20 M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian,, Bandung, CV. Mandar Madju, h. 80.
Universitas Sumatera Utara
pernah berlaku pada masa pra Islam. Tujuan dari penyelesaian sengketa ini adalah agar tidak terjadi putusnya silaturrahmi diantara mereka yang bersengketa;21 Syarat sulhu menurut ulama fikih adalah sebagai berikut: 1. Syarat yang terkait dengan kedua belah pihak yang melakukan perdamaian: a. Kedua belah pihak adalah orang yang cakap bertindak hukum b. Jika salah satu pihak yang akan melakukan sulhu adalah anak kecil, baik sebagai tergugat maupun penggugat, maka disyaratkan perdamaian yang dilakukan itu tidak membawa mudharat baginya. c. Orang yang bertindak atas nama anak kecil dalam perdamaian adalah orang yang memiliki hak untuk mengelola hartanya, seperti ayah atau kakek. 2. Syarat yang terkait dengan objek sulhu: a. Objek itu adalah sesuatu yang bernilai harta, baik berupa materi dan utang, maupun manfaaat. b. Harta itu bernilai bagi umat Islam. c. Objeknya jelas. d. Harta itu milik orang yang digugat dan berada di bawah penguasaannya. 3. Syarat yang terkait dengan persengketaan yang didamaikan: a. Objek persengketaan merupakan hak pribadi semata-mata. b. Yang dipersengketakan itu merupakan hak penggugat.
21
Hasballah dalam Iman Jauhari, 2009, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan Menurut Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press, Medan, h. i.
Universitas Sumatera Utara
4. Syarat yang terkait dengan ijab dan kabul adalah bahwa kabul harus sejalan dengan ijab22. Teori lain yang juga dipakai sebagai pisau analisis dalam penyelesaian sengketa dalam hukum Islam yaitu Islah. Islah artinya memperbaiki, mendamaikan, dan menghilangkan sengketa atau kerusakan. Berusaha menciptakan perdamaian, membawa keharmonisan, menganjurkan orang untuk berdamai, melakukan perbuatan baik, berperilaku sebagai orang suci.23 Islah yang ada kaitannya dengan pewarisan, khususnya mengenai wasiat. Dalam Surat al-Baqarah (2) ayat 182, Allah SWT memerintahkan umat Islam agar jika melihat pelaksanaan wasiat yang menyimpang dan mengakibatkan pembuatnya terjatuh ke dalam dosa, untuk segera mengadakan Islah. Sementara eksistensi kebiasaan / adat yang berkembang sebagai hukum di masyarakat menurut perspektif Islam dapat dilihat dari pendapat Prof. Dr. H.M. Hasballah Thaib M.A. dalam bukunya Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam menyatakan : “Urf atau adat kebiasaan adalah suatu yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik berupa perkataan ataupun perbuatan. Para ulama mazhab Maliki membagi adat / urf kepada tiga macam, yaitu : a. Urf / adat yang timbul oleh semua ulama, yaitu adat yang ditunjuki oleh nash
22
Iman Jauhari, 2009, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan Menurut Hukum Islam,Medan, Pustaka Bangsa Press, h.64-65 23 Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Hasballah, 2008, Tafsir Tematik Al-Qur an,, Medan, Pustaka Bangsa, h. 147.
Universitas Sumatera Utara
b. Adat yang jika diambil berarti mengambil sesuatu yang dilarang oleh syara‟ atau meninggalkan sesuatu yang tugas syara‟ (adat ini tidak ada nilainya) c. Adat yang tidak dilarang syara‟ dan tidak ditunjuki untuk mengamalkannya24. Fikih Muamalah mengatur hubungan kepentingan antar sesama manusia yang dalam Al-Qur‟an disebut habl min an-naas. Hanafi berpendapat bahwa pokok-pokok urusan agama salah satunya adalah muamalah. Muamalah meliputi transaksi kehartabendaan seperti jual-beli, perkawinan dan hal-hal yang berhubungan dengannya, urusan persengketaan (gugatan, peradilan dan sebagainya) dan pembagian warisan.25 2. Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sebagai berikut : a. Efektifitas adalah pengaruh atau akibat, keterkaitan antara tujuan yang dinyatakan dengan hasil yang dicapai. Jadi efektifitas adalah pengaruh yang ditimbulkan /
24 25
Hazballah Thaib, 2002, Tajdid, Reaktualisasi Dan Elastisitas Hukum Islam, Medan, h. 33 Ensiklopedi hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2003, h. 356-357.
Universitas Sumatera Utara
disebabkan oleh adanya suatu kegiatan tertentu untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan yang dicapai dalam setiap tindakan yang dilakukan. b. Putusan adalah hasil atau kesimpulan terakhir dari sesuatu pemeriksaan perkara. c. Adat adalah aturan (perbuatan) yang lazim dilakukan sejak dulu kala, kebiasaan. d. Sengketa adalah permasalahan, perkara yang belum ada penyelesaiannya. e. Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti yang sangat luas dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka nilai sama. f. Aceh adalah suku bangsa yang mendiami ujung utara Sumatera. g. Lembaga Adat Aceh adalah lembaga adat yang dibentuk secara khusus oleh Pemerintah Aceh berdasarkan Perda dan Qanun. h. Gampong adalah kampung. G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan sosiologis empiris. Melalui penelitian deskriptif dimaksudkan untuk menggambarkan secara sistematis, faktual tentang keakuratan fungsi lembaga-lembaga adat bersamaan dengan pelaksanaan hukum adat dalam prilaku masyarakat serta konteksnya dengan teori-teori sumber hukum berkenaan dengan permasalahan yang diajukan. Melalui sosiologis empiris, penelitian itu dilakukan dari aspek perkembangan dan efektifitasnya dengan terlebih dahulu meneliti, berbagai peraturan serta bahan-bahan kepustakaan yang ada, kemudian menghubungkannya dengan yuridis empiris dari fenomena-fenomena data
Universitas Sumatera Utara
lapangan dengan kaedah-kaedah adat yang hidup dalam masyarakat, terutama berkaitan dengan keputusan yang dibuat oleh lembaga adat Aceh (LAA). 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Aceh Besar khususnya di Gampong Bakoy, Gampong Manyang, Gampong Tutong. Lokasi ini dipilih karena sangat strategis sebagai standar tentang kemungkinan pelaksanaan adat bagi masyarakat adat. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data diperoleh dari penelitian lapangan yang didukung penelitian kepustakaan, sebagai berikut : a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan.26 b. Penelitian Lapangan (field research) untuk mendapatkan data primer yang terkait dengan masalah putusan adat tentang pewarisan pada masyarakat Aceh, dan dengan melakukan wawancara kepada: a. Tokoh-tokoh adat tingkat kabupaten, kecamatan, yaitu LAA dan tokoh adat intelektual lainnya. b. Cendikiawan / cerdik pandai / tokoh-tokoh Gampong, yaitu Geuchik, tuha peut dan tokoh adat. c. Tokoh-tokoh dan instansi terkait lainnya.
26
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995, h. 39.
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Data Sesuai dengan spesifikasi penelitian yaitu sosiologis empiris, maka data yang ada akan dianalisis secara kualitatif yakni mengelompokkan data dan menceritakan kembali dalam uraian. 5. Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan merupakan logika berfikir untuk memperoleh hasil akhir. Dalam hal ini akan digunakan metode induktif-deduktif, dimana akan ditarik satu kesimpulan secara khusus untuk dapat digeneralisasikan.
Universitas Sumatera Utara