1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia
merupakan
negara
berkembang
yang
melaksanakan
pembangunan dengan tujuan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tujuan Negara Republik Indonesia yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Indonesia sebagai negara berkembang dengan kepadatan dan kebutuhan penduduk yang semakin hari semakin bertambah menuntut penambahan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum (infrastruktur). Pengadaan infrastruktur membutuhkan dana yang sangat besar dan akan berat apabila hanya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Daerah (APBN/APBD). Melihat keterbatasan pemerintah melalui APBN maupun APBD dalam penyediaan dana untuk pembangunan infrastuktur ini, maka dituntut adanya model-model baru pembiayaan proyek pembangunan. Dalam pengadaan infrastruktur di daerah, tak jarang sebagai alternatif pendanaan, pemerintah melibatkan pihak swasta dalam proyekproyeknya. Partisipasi swasta dalam pengadaan proyek infrastruktur tersebut tentunya merupakan hal yang baru di Indonesia. Pola-pola seperti penerbitan obligasi daerah, BOT (Build Operate Transfer), BOO (Build Operate Own), BROT (Build Rent Operate Transfer), KSO (Kerjasama Operasi atau Joint
2
Operation), usaha patungan, merupakan jenis kerjasama yang melibatkan partisipasi swasta.1 Salah satu cara pembiayaan proyek yang dapat dilakukan dengan mengajak pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengadaan proyek pemerintah dengan sistem BOT (Build, Operate, and Transfer) atau Perjanjian Bangun Guna Serah.2 Perjanjian Build, Operate, and Transfer (BOT) atau dikenal dengan Perjanjian Bangun Guna Serah merupakan bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian BOT dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah jangka waktu perjanjian berakhir.3 Perjanjian BOT merupakan suatu konsep dimana proyek dibangun atas biaya sepenuhnya dari perusahaan swasta, beberapa perusahaan swasta, ataupun kerjasama dengan BUMN. Setelah dibangun, dioperasikan oleh kontraktor dan setelah tahapan pengoperasian selesai sebagaimana ditentukan dalam perjanjian BOT, kemudian dilakukan pengalihan proyek kepada pemerintah selaku pemilik proyek. Perjanjian BOT pernah dilakukan di Yogyakarta pada tahun 2002, yaitu Perjanjian Kerja sama antara Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Perseroan
1
Budi Santoso, 2008, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur dengan Model BOT (Build Operate Transfer), Genta Press, Yogyakarta, hlm 3. 2 Bambang Pujianto, 2005, Analisis Potensi Penerapan Kerjasama Pemerintah Swasta dalam Pengembangan Infrastruktur Transportasi di Perkotaan, Universitas Diponegoro, Semarang. 3 Ima Oktorina, 2010, Kajian Tentang Kerjasama Pembiayaan dengan Sistem BOT dalam Revitalisasi Pasar Tradisional, Universitas Diponegoro, Semarang, hlm 12.
3
Terbatas (PT) Perwita Karya tentang Pembangunan dan Pengelolaan Terminal Penumpang Tipe A Giwangan Kota Yogyakarta. Perencanaan Kerjasama Pemerintah dan Swasta terminal Giwangan dimulai sejak tahun 1995 oleh Pemerintah
Kota
Yogyakarta.
Dinas
Perhubungan
Pemerintah
Kota
Yogyakarta bermaksud membangun terminal bus tipe A di daerah Giwangan dan melakukan tender untuk mencari investor. Berdasarkan Keputusan Menteri Nomor 31 Tahun 1995 Pasal 16 ayat 1 pembangunan terminal dapat dilakukan dengan cara bekerjasama dengan pihak swasta khususnya pengelolaan daerah komersial. Sampai tahun 1998 tidak ada investor yang serius, baru pada tahun 2002 setelah dampak krisis ekonomi 1998 sudah berkurang, Pemerintah Kota Yogyakarta melakukan pelelangan umum Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam pembangunan dan pengelolaan Terminal Giwangan. PT. Perwita Karya berhasil memenangkan tender yang dilakukan oleh pihak Dinas Perhubungan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk membangun dan mengelola terminal bus Giwangan setelah mengalahkan 2 peserta lainnya. Pada tahapan tender, 2 peserta saingan mengundurkan diri, PT. Perwita Karya adalah perusahaan konstruksi yang business core-nya adalah kontraktor di bidang pembuatan gedung, perumahan dan infrastruktur. Pengelolaan terminal Giwangan berdasarkan kesepakatan terbagi menjadi fungsi tranportasi yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Kota Yogyakarta dan fungsi komersial yang menjadi tanggungjawab pengelola PT. Perwita Karya. Setelah resmi menjadi pemenang tender maka dilakukan tahap
4
negosiasi yang menghasilkan kesepakatan Public Private Partnership (P3) atau Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) berbentuk BOT selama 30 tahun dengan waktu 2 tahun sebagai masa pembangunan dan 28 tahun masa pengelolaan. PT. Perwita Karya kemudian mulai membangun terminal bus Giwangan di atas tanah seluas 5 hektar dengan spesifikasi terminal tipe A pada tahun 2002. Terminal Giwangan akan menjadi terminal pusat Yogyakarta dan menjadi tempat transit untuk perpindahan dari bus AKAP (Antar Kota Antar Provinsi) ke bus dengan tujuan kota-kota kecil sekitar Yogyakarta dan sebagai terminal angkutan dalam kota Yogyakarta sendiri. Fasilitas bangunan terminal terbagi atas daerah fasilitas utama terminal (lintasan bus dan angkutan, kantor dishub dan kantor pengelola, pool bus, parkir bus), fasilitas penunjang (toilet, musholla, tempat istirahat awak bus, parkir pengunjung, dan SPBU) dan fasilitas komersial (kios-kios, penginapan dan mall). PT. Perwita Karya memproyeksikan bus masuk sekitar 1.400 bus dengan penumpang sekitar 36.000 orang per-hari. Dengan perkiraan seperti ini maka dalam masa 28 tahun Kerjasama Pemerintah dan Swasta diperkirakan sudah dapat menghasilkan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Kerjasama
Pemerintah dan Swasta dalam pembangunan terminal Giwangan, selama 5 tahun terakhir yang dilaksanakan oleh PT. Perwita Karya telah berhasil membangun terminal tipe A Giwangan, menghasilkan keuntungan bagi pemerintah, namun di sisi lain ternyata tidak mampu menghasilkan profit bagi operator swasta, baik karena kesalahan prediksi pemasukan tingkat
5
penumpang dan bus, perubahan perilaku penumpang maupun ketidakpatuhan terhadap peraturan tentang trayek dan perilaku awak bus yang menaik turunkan penumpang di luar kawasan terminal. Target pendapatan dari pengelolaan kawasan komersial (penyewaan kios) maupun bagi hasil retribusi tidak mampu menutupi biaya operasional dari PT. Perwita Karya sehingga merugi sekitar Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) setiap tahun. Sementara di sisi lain pendapatan Dinas Perhubungan Pemerintah Kota Yogyakarta selama masa pengelolaan 5 tahun terakhir menghasilkan pendapatan bersih (nett income) sekitar Rp 3.500.000.000,00 (tiga milyar lima ratus juta rupiah). Kerugian yang ditanggung operator swasta mengakibatkan tidak optimalnya pengelolaan dan kelanjutan pembangunan fasilitas terminal, khususnya bangunan komersial.4 Dalam hal ini fasilitas komersial yaitu pusat perbelanjaan di dalam wilayah terminal Giwangan tidak dapat dibangun oleh PT. Perwita Karya sebagaimana yang dimaksud di dalam perjanjian awal. Akhirnya sejak tanggal 10 Maret 2009 pengelolaan terminal secara resmi diambil alih oleh Dinas Perhubungan Pemerintah Kota Yogyakarta karena PT. Perwita Karya tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk membangun layanan komersil berupa pusat perbelanjaan di komplek Terminal Giwangan sebagaimana diatur dalam perjanjian awal. Bersamaan dengan proses pengambilalihan tersebut, dilakukan audit terhadap aset terminal yang dibangun PT. Perwita Karya oleh tim appraisal independen yang telah 4
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2009, Background Paper “Analisis Kebijakan Persaingan dalam Industri Angkutan Darat Indonesia”, hlm 15.
6
ditunjuk oleh kedua belah pihak yaitu PT. Satyatama Graha Tara. Setelah melakukan penilaian selama 2 bulan 7 hari, PT. Satyatama Graha Tara menyatakan nilai aset Terminal Giwangan yang dibangun oleh PT. Perwita Karya adalah sebesar Rp. 41.537.174.000,00 (empat puluh satu milyar lima ratus tiga puluh tujuh juta seratus tujuh puluh empat ribu rupiah). Pemerintah Kota Yogyakarta telah menerima angka dari aset Terminal Giwangan tersebut, namun PT. Perwita Karya masih menolaknya, dengan alasan masih ada beberapa jenis aset yang belum dihitung oleh tim appraisal independen. Aset-aset tersebut adalah : 1. Saluran sambungan telepon senilai Rp. 319.400.000,00 (tiga ratus sembilan belas juta empat ratus ribu rupiah); 2. Pematangan tanah atau urugan tanah senilai Rp. 2.480.000.000,00 (dua milyar empat ratus delapan puluh juta rupiah); dan 3. Piutang PT. Perwita Karya atas sewa kios senilai Rp. 6.373.300.176,00 (enam milyar tiga ratus tujuh puluh tiga juta tiga ratus ribu seratus tujuh puluh enam rupiah) Jika dijumlah, maka aset yang harus dibayar oleh Pemerintah Kota Yogyakarta kepada PT. Perwita Karya sebesar Rp. 50.731.873.176,00 (lima puluh milyar tujuh ratus tiga puluh satu juta delapan ratus tujuh puluh tiga ribu seratus tujuh puluh enam rupiah). Pemerintah Kota Yogyakarta menyanggupi untuk membayar nilai aset Terminal Giwangan kepada PT. Perwita Karya berdasarkan penilaian tim appraisal independen sebesar Rp. 41.537.174.000,00 (empat puluh satu milyar
7
lima ratus tiga puluh tujuh juta seratus tujuh puluh empat ribu rupiah), namun PT. Perwita Karya menolak karena masih ada beberapa nilai aset yang belum dihitung. Berdasarkan hal tersebut PT. Perwita Karya kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta pada 10 Maret 2010 dan dinyatakan memenangkan gugatan, sehingga Pemerintah Kota Yogyakarta diwajibkan membayar nilai appraisal yang ditetapkan ditambah nilai dari tiga obyek yang masih menjadi catatan yaitu sebesar Rp. 50.731.873.176,00 (lima puluh milyar tujuh ratus tiga puluh satu juta delapan ratus tujuh puluh tiga ribu seratus tujuh puluh enam rupiah). Pemerintah Kota Yogyakarta yang tidak puas dengan ketetapan dari Pengadilan Negeri Yogyakarta pun akhirnya memutuskan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan dinyatakan memenangkan perkara. PT. Perwita Karya kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan dinyatakan memenangi kasus. Terhadap putusan dari Mahkamah Agung (MA), Pemerintah Kota Yogyakarta mengajukan Peninjauan Kembali karena sebelum melakukan perjanjian resmi dengan Pemerintah Kota Yogyakarta, PT. Perwita Karya telah melakukan pencairan dana dari salah satu bank milik pemerintah yaitu PT. Bank Negara Indonesia (Persero) sebesar Rp. 60.000.000.00,00 (enam puluh milyar) dengan jaminan Hak Guna Bangunan (HGB) lahan Terminal Giwangan. PT. Perwita Karya disebut-sebut meminta persetujuan Hak Guna Bangunan (HGB) lahan Terminal Giwangan selama 30 tahun, sebelumnya lahan Terminal Giwangan berstatus Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama
8
Pemerintah Kota Yogyakarta. Namun dalam hal ini terdapat Surat Keputusan (SK) dari Wali Kota mengenai izin yang mengubah status Hak Pengelolaan Lahan (HPL) menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) dan Surat Keputusan (SK) Wali Kota yang menyetujui sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) untuk mengajukan pinjaman dana kepada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) sebesar Rp. 60.000.000.00,00 (enam puluh milyar). Sebuah proyek BOT dalam kenyataannya tidak selalu berjalan dengan lancar, permasalahan demi permasalahan dapat saja muncul dalam pelaksanaan proyek. Maka dari itu, sebuah proyek pembangunan dengan model BOT perlu dirancang dengan baik agar BOT dapat berjalan sesuai dengan rencana yaitu memberikan keuntungan bagi para pihak yang terkait. Beberapa permasalahan sekitar perhitungan untung rugi perlu dipersiapkan dengan matang, baik bagi pemilik proyek dalam hal ini Pemerintah ataupun kontraktor sebagai pelaksana proyek. Tidak kalah menariknya memperkirakan risiko yang akan terjadi dan diantisipasi dalam pelaksanaan proyek. Risiko yang
potensial
terjadi,
cara
mengamankannya,
pihak
yang
akan
menanggungnya, dan menentukan pihak yang akan melaksanakan pemenuhan kompensasi bagi para pihak apabila perjanjian putus. Berdasarkan hal-hal diatas, penulis tertarik untuk melakukan studi kasus mengenai pelaksanaan pemenuhan suatu kompensasi bagi salah satu pihak apabila perjanjian bangun guna serah atau build, operate and transfer (BOT) putus sebagai dasar penyusunan penulisan hukum dengan judul Pemenuhan Pembayaran kepada Investor oleh Pemerintah Kota Yogyakarta akibat
9
Putusnya Perjanjian Bangun Guna Serah dengan studi kasus pada Terminal Giwangan Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, permasalahan yang menjadi fokus penulis dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana cara Pemerintah Kota Yogyakarta membayar kembali biaya yang telah dikeluarkan oleh investor ketika suatu Perjanjian Bangun Guna Serah dinyatakan putus? 2. Bagaimana perlindungan atas hak tagih pihak ketiga terhadap kredit yang diberikan kepada PT. Perwita Karya ketika tidak dapat melunasi piutang setelah Perjanjian Bangun Guna Serah dinyatakan putus? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penulisan hukum ini dapat digolongkan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu sebagai berikut : 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui dan menganalisis cara pemenuhan pembayaran kembali biaya yang telah dikeluarkan oleh investor ketika suatu Perjanjian Bangun Guna Serah dinyatakan putus. b. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan atas hak tagih pihak ketiga terhadap kredit yang diberikan kepada PT. Perwita Karya ketika tidak dapat melunasi piutang setelah Perjanjian Bangun Guna Serah dinyatakan putus. 2. Tujuan Subjektif
10
Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan
hukum
guna
melengkapi
persyaratan
akademis
untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan dan pengamatan penulis berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, belum pernah ada penelitian maupun penulisan hukum yang mengangkat judul “Pemenuhan Pembayaran kepada Investor oleh Pemerintah Kota Yogyakarta akibat Putusnya Perjanjian Bangun Guna Serah”. Meski demikian, telah ada beberapa penelitian yang mengangkat tema tentang perjanjian Bangun Guna Serah atau Build, Operate, and Transfer (BOT), namun tidak secara spesifik membahas tentang pemenuhan pembayaran kompensasi terhadap salah satu pihak ketika perjanjian putus. Beberapa penelitian yang terkait dengan penulisan hukum penulis, yaitu : 1. Skripsi yang disusun oleh Devi Indah Sari dari Fakultas Hukum Universitas Jember pada tahun 2011 dengan judul “Aspek Hukum Build, Operate, and Transfer dalam Perjanjian Pemborongan Bangunan”.5 Pembahasan penelitian ini tertuju pada akibat hukum wanprestasi terhadap perjanjian pemborongan bangunan dengan sistem build, operate, and transfer
dan upaya penyelesaian yang dapat
dilakukan apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian pemborongan bangunan dengan sistem tersebut. 5
Devi Indah Sari, 2011, Aspek Hukum Build, Operate, and Transfer dalam Perjanjian Pemborongan Bangunan, skripsi Program Sarjana Hukum, Universitas Jember.
11
2. Thesis yang disusun oleh Ima Oktorina dari Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro pada tahun 2010 dengan judul “Kajian tentang Kerjasama Pembiayaan dengan Sistem Build, Operate, and Transfer dalam Revitalisasi Pasar Tradisional (Studi Kasus pada Pembangunan Sentral Pasar Raya Padang)”.6 Pembahasan penelitian ini tertuju pada hak dan kewajiban para pihak dalam proses pelaksanaan perjanjian kerjasama tersebut serta kendala-kendala yang dihadapi dalam kerjasama. Selain penelitian-penelitian di atas, masih terdapat beberapa penelitian hukum lain yang mengangkat tema terkait Perjanjian Bangun Guna Serah atau Build, Operate, and Transfer, namun terdapat perbedaan mendasar antara penelitian-penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilaksanakan penulis, yakni dalam hal fokus penelitian. Penulis secara spesifik akan melakukan analisis yuridis terhadap pemenuhan pembayaran kompensasi atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan investor oleh Pemerintah Kota Yogyakarta ketika perjanjian Bangun Guna Serah atau Build, Operate, and Transfer dinyatakan putus. Berdasarkan penelusuran penulis, belum ada satupun penelitian hukum yang membahas mengenai pemenuhan pembayaran kompensasi atas biayabiaya yang telah dikeluarkan investor. Dengan demikian kekhususan dalam hal fokus penelitian ini menunjukkan keaslian (otentisitas) dari penelitian ini dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. 6
Ima Oktorina, 2010, Kajian tentang Kerjasama Pembiayaan dengan Sistem Build, Operate, and Transfer dalam Revitalisasi Pasar Tradisional (Studi Kasus pada Pembangunan Sentral Pasar Raya Padang), thesis Program Pascasarjana Hukum, Universitas Diponegoro.
12
Penelitian ini dilakukan dengan itikad baik dengan menjunjung orisinalitas sesuai dengan etika akademik dengan tidak melakukan plagiasi ataupun kejahatan akademik lainnya. Apabila diluar pengetahuan penulis ternyata telah ada penelitian serupa, maka diharapkan penelitian ini dapat melengkapi penelitian sebelumnya serta menambah literatur dan khasanah ilmu hukum khususnya di bidang hukum perdata. E. Kegunaan Penelitian 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperkaya khasanah pengembangan ilmu pengetahuan dan ilmu hukum pada umumnya serta hukum perdata pada khususnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur kajian tentang perjanjian Bangun Guna Serah atau Build, Operate, and Transfer serta akibat hukum ketika perjanjian Bangun Guna Serah atau Build, Operate, and Transfer putus. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran sebagai bahan pertimbangan pembentukan perjanjian Bangun Guna Serah atau Build, Operate, and Transfer yang lebih memberikan kepastian hukum bagi para pihak, khususnya pihak investor yang dalam hal ini telah mengeluarkan biaya dalam pembangunan terminal Giwangan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan positif dalam hal pemenuhan pembayaran atas biaya yang telah dikeluarkan investor oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam kasus terminal Giwangan.