BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Peristiwa konflik dan kerusuhan yang terjadi di Indonesia merupakan hal yang memprihatinkan. Sebab, pada akhirnya konflik dan kerusuhan itu akan selalu bermuara pada satu hal yang selalu dijadikan alasan atau kambing hitam munculnya konflik dan kerusuhan tersebut, yaitu masalah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Peristiwa konflik dan kerusuhan di Kalimantan Tengah, Ambon, Poso, hingga Solo membuktikan hal itu. Bahkan, sekalipun pada awalnya isu yang berkembang sebagai penyebab konflik dan kerusuhan itu adalah masalah politik atau ekonomi seperti pada saat krisis multi dimensional yang terjadi pada masa Orde Baru (ORBA), yang ditandai dengan banyaknya demonstrasi dan desakan dari banyak pihak terutama para mahasiswa yang menginginkan mundurnya bapak Soeharto dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia, ternyata kerusuhan itu pada akhirnya, berubah menjadi sentimen etnis/kesukuan yang mendorong aksi anarki seperti penjarahan, pengerusakan, kekerasan hingga pembunuhan terhadap etnis lainnya. Dalam hal ini, Solo adalah salah satu contohnya, dimana kerusuhan yang terjadi pada tanggal 14-15 Mei 1998, yang semula merupakan aksi demonstrasi mahasiswa untuk menuntut agar bapak Soeharto mundur dari jabatan presiden, serta pemulihan ekonomi akibat krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997, pada akhirnya justru berimbas pada konflik dan kerusuhan antar etnis, secara khusus di antara etnis Jawa dan Tionghoa.1 Bila dikaji lebih jauh, memang konflik dan kerusuhan yang tergolong besar tersebut bukannya tanpa sebab. Melalui kajian historis, terlihat bahwa Solo adalah salah satu kota di Indonesia yang rawan konflik dan kerusuhan terutama yang menyangkut persoalan di antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa oleh karena politik dari penjajah kolonial Belanda yang sengaja mengkotak-kotakkan masyarakat berdasarkan ras/etnisnya. Konflik dan kerusuhan antar etnis Jawa dan Tionghoa bukan hanya terjadi pada tanggal
1
M. Hari Mulyadi, et al., Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit: Studi Radikalisasi Sosial “Wong Sala” dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta (Solo: Lembaga pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) Surakarta, 1999) pp.489-492.
1
14-15 Mei 1998 saja, melainkan telah terjadi beberapa kali, jauh sebelum konflik dan kerusuhan tersebut.2 Bukankah sejak bangsa Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan semboyan Bhineka Tunggal Ikanya, telah mengakui bahwa Indonesia merupakan negara yang plural, dengan banyak suku, agama, kepercayaan, adat istiadat, kebiasaan, dan lain sebagainya yang memang berbeda satu sama lainnya? Namun, rupanya seringkali semboyan itu hanya tinggal slogan tanpa tindakan konkrit. Perbedaan yang ada di Indonesia, yang terlihat lewat SARA, justru menjadi alasan untuk saling membenci, mencurigai bahkan menjadi faktor pendorong munculnya konflik dan kerusuhan. Melihat kondisi yang memprihatinkan ini, sudah seharusnya kesadaran tentang perdamaian ditumbuhkan dan dijadikan acuan dalam segala aspek kehidupan, baik itu dalam hidup berbangsa dan bernegara, bermasyarakat, beragama bahkan hingga bergereja. Kesadaran tentang pentingnya perdamaian harus ditanamkan sejak dini, selain itu perdamaian harus ditegakkan dan diwujudkan lewat tindakan konkrit bukan hanya sekedar slogan atau wacana semata. Di Solo, ada salah satu gereja yang menyadari pentingnya arti perdamaian. Kesadaran ini ditegaskan dengan mengangkat identitas dirinya sebagai gereja perdamaian. Gereja itu adalah Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Solo. Ada beberapa hal yang menarik dari gereja ini, berkaitan dengan identitasnya sebagai gereja perdamaian, yaitu : 1. Sejarahnya sebagai gereja yang berlatar belakang Tionghoa yang sebelumnya hanya terbatas di kalangan etnis Tionghoa, namun pada akhirnya membuka diri dan membaur dengan etnis Jawa yang masuk menjadi anggota jemaatnya, sehingga menjadi gereja universal (gereja lintas etnis/terbuka bagi siapa saja) yang menerima semua golongan etnis tanpa terkecuali.3 2. Dua faktor pembentuk identitasnya sebagai gereja perdamaian, yaitu konteks Solo yang rawan konflik dan kerusuhan, terutama yang bernuansa etnis di antara etnis Jawa dan 2
Ibid, pp.4-5 & pp.155-156, 170-171. Di Solo, tercatat ada tujuh kali kerusuhan yang terjadi karena gesekan antara warga pribumi (etnis Jawa) dengan etnis Tionghoa yaitu : 1. Kerusuhan “Geger Pecinan” yang dimulai pada “peristiwa Roa Malaka” Batavia yang kemudian meluas hingga menjadi penyebab utama ibukota Kerajaan Mataram di Kartasura Hadiningrat (“Bedah Keraton Kartasura”) dipindahkan ke Surakarta Hadiningrat (1745), 2. Perang Diponegoro atau yang dikenal dengan sebutan perang Jawa (1825-1830), 3. Zaman Sarikat Islam Lama (1911-1912), 4. Pasca Sarikat Islam (tahun 1916), 5. Pasca-G-30-S/PKI (tahun 1965), 6. Kerusuhan November di Solo (tahun 1980), dan 7. Kerusuhan Mei 1998.
3
Lih. Lawrence M. Yoder, Tunas Kecil: Sejarah Gereja Kristen Muria Indonesia (Semarang: Sinode GKMI, 1995) pp.247-249.
2
Tionghoa serta keyakinan teologisnya yang dikembangkannya sebagai gereja beraliran Mennonit dari teologi Anabaptis abad 16.4 3. Praksis perdamaian yang mereka lakukan sebagai usaha untuk mewujudkan damai lewat tindakan konkrit, sehingga perdamaian bukan sekedar wacana, namun tetap berpegang pada keyakinan teologisnya sebagai suatu gereja sehingga tindakan yang dilakukan bukan sekedar aksi sosial.5
Sebelum disebut Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI), Kumpulan gereja etnis Tionghoa yang beraliran Mennonit bernama Khu Hwe Muria. Setiap gereja itu masing-masing disebut Gereja Tionghoa Muria. Pusatnya pertama kali ada di daerah Pantai Utara Jawa, di sekitar Muria seperti Kudus,
Pati
dan
Jepara.6
Karena
adanya
anjuran
pemerintah
pada
saat
itu
untuk
“mengindonesiakan” istilah asing, maka Gereja-gereja Tionghoa beraliran Mennonit itu berembuk dan memutuskan menggunakan nama GKMI dan persekutuan mereka (kumpulan gereja Mennonit Tionghoa) disebut Persatuan Gereja-Gereja Kristen Muria Indonesia. Nama GKMI diikuti dengan wilayah/tempat ia berada. Gereja Mennonit di Solo, disebut GKMI Solo.7 Sebagai gereja yang bertumbuh di kalangan etnis Tionghoa, sudah barang tentu anggota jemaatnya mula-mula berasal dari etnis Tionghoa. Namun, seiring berjalannya waktu mereka mulai membuka diri terhadap etnis 4
Hasil wawancara dengan gembala jemaat GKMI Solo, Pdt. Paulus Hartono, M.Min. tgl, 10 Oktober 2007, di kediamannya di jalan Dawung Wetan no.16.
5
6
Ibid. Lih. Yoder, Tunas Kecil, pp.194-195.
7
Lih. Charles Christano, Asal Mula Jemaat Mennonit (Semarang: Pustaka Muria, 2001) pp.61-70. GKMI merupakan bagian dari gereja-gereja Mennonit yang tersebar di seluruh dunia. Gereja Mennonit di Indonesia berasal dari penginjilan yang dilakukan oleh Zending Mennonit Belanda yang pertama dilakukan di daerah pantai utara Jawa seperti Kudus, Pati dan Jepara. Namun bagi GKMI, pertama kali kemunculannya bukan lewat penginjilan suatu badan misi seperti Zending dan sebagainya. GKMI muncul lewat perkumpulan/persekutuan kecil orang-orang Tionghoa dalam suatu komunitas. Semula ia bernama Gereja Tionghoa Muria. Setelah berkembang, dan jumlah jemaatnya cukup banyak mereka memutuskan untuk bergabung dengan badan misi Mennonit Belanda yang pada saat itu telah membentuk suatu jemaat Mennonit di Indonesia yaitu GITJ (Gereja Injili di Tanah Jawa). Nama Muria dipilih karena asal mula Mennonit di Indonesia adalah di daerah Muria (Pantai Utara Jawa), karena itu GKMI adalah singkatan dari Gereja Kristen Muria Indonesia. Istilah Mennonit sendiri berasal dari nama salah satu pemimpin Anabaptis yang berasal dari Belanda, yaitu Menno Simons. Menno Simons adalah tokoh Anabaptis yang berpengaruh di Belanda. Penamaan Mennonit dilakukan oleh para pengikut Anabaptis di Belanda untuk menghormati Menno Simons. Kelompok Mennonit di Belanda merupakan bagian dari gerakan Anabaptis abad 16 yang terjadi di Eropa.
3
lain, hingga terjadi percampuran etnis sebagai anggota jemaatnya yakni dengan etnis Jawa.8 Demikian pula dengan kondisi jemaat yang ada di Solo. Dilihat dari keanggotaannya, GKMI Solo beranggotakan jemaat beretnis Tionghoa dan juga Jawa. Perbedaan lainnya, terlihat dari pekerjaan, status sosial, kebiasaan hingga cara bersikap. Anggota jemaat GKMI Solo tidak begitu besar yakni berjumlah lebih kurang 100 orang. Sekalipun dalam konteks Solo mengesankan ada jarak atau masalah di antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa, namun hal itu tidak terlihat di GKMI Solo. Jemaat bisa membaur satu dengan yang lain tanpa ada rasa canggung, tidak ada yang berselisih atau bersikap diskriminatif.9 Terlihat adanya ikatan yang baik di antara mereka, dan prinsip sebagai komunitas kekeluargaan yang mereka lakukan tanpa dibatasi oleh perbedaan-perbedaan yang ada. Hal ini menjadi menarik saat dibandingkan dengan konteks Solo yang dari kajian sejarah rawan konflik dan kerusuhan di antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa. Hal itu dibuktikan dengan terjadinya konflik dan kerusuhan di antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa sebanyak tujuh kali. Identitas sebagai gereja perdamaian menjadikan GKMI Solo belajar dan berupaya untuk mewujudkan perdamaian yang dimulai secara internal gereja, yaitu di antara sesama warga jemaat GKMI Solo maupun dengan umat Kristen lainnya (baik seasas maupun tidak), kemudian juga secara eksternal yaitu dalam hidup sosial dan bermasyarakat.10 Eksistensi GKMI Solo sebagai Gereja Mennonit, memiliki beberapa perbedaan mendasar dari gereja yang umum ada di Indonesia, yang beraliran Kalvinis seperti Gereja Kristen Jawa (GKJ) maupun gereja yang juga berlatar belakang Tionghoa seperti Gereja Kristen Indonesia (GKI). Perbedaan itu di antaranya menyangkut soal teologis, baptisan, maupun tata cara ibadah.11 GKMI 8
Lih. Yoder, Tunas Kecil, p.198. Hal itu dimulai saat GKMI mengangkat pendeta dari suku Jawa yaitu Pdt. Sudarsohadi Notodiharjo, dan banyak menggunakan tenaga pelayanan dari etnis Jawa, yang kemudian juga melakukan penginjilan kepada etnis Jawa. 9
GKMI Solo adalah tempat penulis melakukan stage (praktek kejemaatan), yaitu pada tanggal 15 Mei 2006-15 Agustus 2006. Penulis melihat bahwa anggota jemaat GKMI Solo yang terdiri dari etnis Tionghoa dan etnis Jawa tidak ada yang bersikap diskriminatif atau merasa diri lebih baik dari yang lain. Saat berinteraksi dengan mereka pun penulis merasakan adanya hubungan kekeluargaan dan keterbukaan antara satu dengan yang lain. Sebagai gereja yang tergolong kecil (terdiri dari kurang lebih seratus orang jemaat), GKMI Solo merupakan komunitas orang percaya yang hidup di dalam kasih persaudaraan.
10
Hasil wawancara dengan ketua majelis GKMI Solo ibu Susilani, pada tgl 10 Agustus 2007 di kediamannya.
11
Lih. Charles Christano, Asal Mula jemaat Mennonit, pp.55-59. Mennonit adalah salah satu cabang dari gerakan Anabaptis yang muncul pada abad 16. Untuk mengenal dan mengkaji Mennonit, kita harus meneliti Anabaptisme sebagai induk yang membidanginya. Komunitas Anabaptis menekankan pada keyakinan baptisan orang percaya (bukan
4
Solo berupaya konsisten memegang jati dirinya sebagai gereja Mennonit. Jati diri ini diakui oleh gereja-gereja GKMI di Indonesia, karena itu tidak boleh ditinggalkan dan selalu dicantumkan sebagai kekhasan dalam setiap penamaan gereja-gereja GKMI lokal (setempat) yang terlihat dalam tulisan warta jemaat atau juga Surat Keputusan (SK) pemerintah sebagai bagian dari agama Kristen yang sah dan diakui di Indonesia.12 Pada dasarnya, identitas sebagai gereja perdamaian, juga digunakan gereja-gereja Mennonit di seluruh dunia.13 Hal itu terlihat dari teologi dan praksisnya yang fokus pada persoalan perdamaian termasuk di dalamnya berpantang kekerasan. Gereja-gereja Mennonit juga dikenal sebagai bagian dari komunitas HPC (Historic Peace Churches),14 yaitu komunitas gereja-gereja perdamaian. GKMI Solo juga merupakan bagian dari komunitas HPC.15 GKMI Solo menyadari bahwa perdamaian adalah hal yang penting untuk selalu diperjuangkan dan akan selalu relevan bagi siapa saja, dimanapun dan sampai kapanpun. GKMI Solo mengangkat identitas sebagai gereja perdamaian yang mempunyai visi, misi, dan tujuan untuk membawa baptisan pada anak seperti gereja Katolik atau Protestan). Dalam hal berteologi penekanan pada perdamaian terlihat pada sikap anti kekerasan dan perilaku hidup yang meneladani Yesus Kristus sebagai wujud ketaatan sebagai seorang murid. Lih juga http://reformed-worship.blogspot.com/2006/11/mennonitika diakses pada tgl 25 Juni 2007. 12
BPH Sinode GKMI, Tata Dasar dan Tata Laksana Sinode GKMI (Semarang: Sinode GKMI, 2001) p.18.
13
Lih. Charles Christano, Keyakinan Jemaat Mennonit (Semarang: Komisi Literatur Sinode Muria, 2001) p.24. Gerakan Anabaptis yang dipimpin oleh Menno Simons terkenal dengan praksis perdamaiannya, yaitu menjauhi kekerasan dan menekankan pada hidup saling mengasihi dalam komunitas gereja. Dalam perkembangan selanjutnya, ajaran Menno Simons yang juga dikenal sebagai sebagai bapa gereja Mennonit yakni memperjuangkan dan concern pada perdamaian serta anti kekerasan menjadi ajaran yang diakui dan dipegang oleh gereja-gereja Mennonit.
14
Lih.Dale W. Brown, Biblical Pasifism: A Peace Church Perspective (USA: Brethren Press, 1986) p.2. HPC adalah organisasi gereja-gereja yang berasal dari tradisi Anabaptis. Tidak hanya gereja-gereja Mennonit tetapi juga gereja dan komunitas Kristen yang berasal dari Brethren dan juga Quakers/Friends. Gereja-gereja dari tradisi Anabaptis, sekarang dikenal sebagai gereja-gereja Mennonit, Hutterites, Quakers, dan Brethren. Perbedaan sebutan ini karena perbedaan konteks dan lokasi perkembangan meskipun tetap dalam satu aliran yaitu Anabaptisme. Misalnya sebutan Mennonit untuk kelompok Anabaptis Belanda, sedangkan di Swiss sebutannya menjadi Brethren. Identitas gereja-gereja dari tradisi Anabaptis sebagai gereja perdamaian, bukan berarti menunjukkan gereja-gereja yang lain tidak concern pada perdamaian, tetapi lebih menunjukkan peran HPC sebagai gereja-gereja yang secara historis anti pada perang dan kekerasan selain juga kesaksian dari HPC untuk menegakkan perdamaian. Lih. juga Marline E. Miller & Barbara Nelson Gingerich, The Peace Church’s Witness (Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co, 1994) p.182.
15
Terkait dengan partisipasi GKMI Solo di dalam HPC, pada bulan Desember 2007, di Solo diadakan konferensi gerejagereja perdamaian seluruh dunia atau yang juga dikenal sebagai HPC. Solo dipilih, pertama karena ada Gereja Mennonit yaitu GKMI Solo selaku tuan rumah, lalu alasan yang kedua adalah karena Solo merupakan kota yang plural baik dilihat dari etnisitas maupun hidup keagamaannya, yang terutama juga karena di Solo sedang giat melakukan usaha-usaha perdamaian oleh semua komponen yang ada di sana guna menghindari terulangnya tragedi kerusuhan, konflik maupun kekerasan. Solo adalah kota pertama di Asia yang dipilih oleh HPC guna bersidang membahas masalah-masalah perdamaian. Sebelumnya konferensi pernah dilakukan di Afrika dan Eropa.
5
perdamaian yang berdampak positif dan konstruktif bagi kota Solo dan bahkan lebih luas yakni hingga di seluruh Indonesia dan seluruh dunia.16 Penggunaan identitas sebagai gereja perdamaian memang tidak langsung digunakan pada awal berdirinya GKMI Solo sekitar tahun 1964, maupun saat sudah menjadi gereja dewasa pada tahun 1984. Identitas tersebut terbentuk dan mulai digunakan di GKMI Solo, sejak dilayani oleh bapak Pdt. Paulus Hartono selaku pendeta atau yang juga bisa disebut gembala jemaat, yakni pada tahun 1994 hingga saat ini. Menurut Pdt. Paulus Hartono, ada dua faktor yang membentuk identitas gereja Perdamaian, yakni konteks Solo yang rawan konflik dan kerusuhan, salah satunya dipicu masalah etnis di antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa, serta teologi dan praksis perdamaian Anabaptis abad 16 yang merupakan background teologi GKMI Solo sebagai gereja Mennonite.17 Komunitas Anabaptis abad 16 fokus untuk memperjuangkan nilai-nilai perdamaian alkitabiah sebagai background teologinya yang mengacu pada sosok Yesus Kristus. Nilai-nilai perdamaian itu, di antaranya adalah menekankan cinta kasih, hidup dalam komunitas persaudaraan, anti kekerasan dan penggunaan senjata, serta anti perlawanan.18 Dalam berteologi, kelompok Anabaptis juga dikenal sebagai komunitas yang menekankan praksis.19 Praksis yang dilakukan oleh komunitas Anabaptis dapat disebut sebagai praksis perdamaian. Hal itu terlihat dalam keyakinan mereka yang berpusat pada Yesus Kristus. Mereka meyakini bahwa menjadi Kristen berarti menjadi murid/pengikut Yesus yang meneladani sikap, tingkah laku, dan tutur kata Yesus dari hari ke hari. Dengan kata lain, jika Yesus menekankan kasih seperti mengasihi sesama maupun musuh maka pengikutNya juga harus melakukan hal yang sama. Pada saat Yesus menghadapi musuh-musuhNya, tidak dengan cara-cara kekerasan, maka 16
Hasil wawancara dengan gembala jemaat GKMI Solo, Pdt. Paulus Hartono, M.Min. tgl, 10 Oktober 2007.
17
Ibid. Teologi Anabaptis abad 16, merupakan teologi yang dipegang oleh gereja-gereja Mennonit, termasuk GKMI Solo, sebab gereja Mennonit yang mewarisi tradisi dan ajaran Anabaptis dan memegangnya sampai saat ini sebagai keyakinan teologis.
18
Nilai-nilai perdamaian alkitabiah merupakan nilai-nilai perdamaian yang mengacu pada ajaran dan teladan Yesus sendiri yang tercantum dalam Alkitab. Sikap Yesus itu nampak dalam sikap mengasihi siapa pun tanpa terkecuali, anti kekerasan dan juga hidup dalam komunitas persaudaraan.
19
Lih. Gerald O’ Collins SJ & Edward G. SJ, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996) p.260. Praksis berasal dari bahasa Yunani “praxis” yang berarti kegiatan kritik diri yang tidak puas hanya berhenti pada mempertahankan kebenaran secara teoritis, melainkan berusaha juga untuk membuktikannya. Praksis selalu terpusat pada Yesus Kristus dan tetap menunjukkan keterikatannya dengan kehidupan gerejawi. Dengan kata lain berpraksis merupakan tindakan gereja secara konkrit dalam meresponi persoalan-persoalan aktual berdasarkan teologi yang diyakininya. Jadi, dari teologi menuju pada suatu sikap/tindakan konkrit.
6
orang Kristen juga harus menunjukkan sikap dan perilaku hidup yang menjauhi kekerasan.20 Komunitas Anabaptis abad 16, tersebar di banyak tempat di Eropa. Tempat-tempat yang paling menonjol, dilihat dari tokoh-tokoh (teolognya), peristiwa yang terjadi serta ajaran teologi dan praksis perdamaiannya adalah Swiss, Jerman dan Belanda. Jadi, dapat disimpulkan bahwa teologi dan praksis perdamaian Anabaptis abad 16, merupakan ajaran dan tindakan konkrit yang dilakukan komunitas Anabaptis pada masa itu berkaitan dengan usaha perdamaian, sama dengan upaya yang dilakukan GKMI Solo sebagai gereja perdamaian yang beraliran Mennonit di masa kini. Konflik dan kerusuhan etnis di Solo, yang masih sering terjadi terutama antara etnis Jawa dan etnis Tionghoa, harus mendapat perhatian yang lebih dari gereja-gereja di Solo. Gereja tidak boleh tinggal diam melihat kondisi tersebut. Gereja harus dapat menghadirkan Shalom termasuk yang melintasi batas kesukuan.21 Teologi dan praksis harus dapat berkembang dan terwujud secara konkrit. GKMI Solo melihat bahwa gereja harus peka dan peduli pada masalah kemanusiaan yang tercakup dalam tema besar yaitu perdamaian. GKMI Solo menyadari bahwa perdamaian tidak bisa hanya diucapkan saja, atau hanya berkutat dalam ranah wacana. Perdamaian harus dapat diwujudkan lewat tindakan konkrit, namun tindakan itu tidak terlepas dari identitas sebagai gereja perdamaian.22 Setiap tindakan yang dilakukan harus mempunyai landasan teologi yang kuat sehingga tindakan itu dapat disebut sebagai suatu praksis. Usaha GKMI Solo untuk mewujudkan perdamaian dalam tataran praksis perlu mendapat apresiasi, sebab bila hanya dalam tataran teori, upaya perdamaian hanya akan menjadi wacana yang tidak akan dapat berdampak positif. Praksis perdamaian GKMI Solo, juga menunjukkan peran agama dalam menciptakan perdamaian. Di Solo, peran aktif umat beragama dalam menciptakan perdamaian pasca konflik dan kerusuhan memegang peran penting dan harus diwujudkan secara nyata. Hal itu disebabkan kerusuhan etnis yang terjadi sering dipolitisir oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab seolah-olah menjadi konflik agama. Tidak dapat dipungkiri, itu terjadi karena adanya stereotipe bahwa orang Jawa mayoritas beragama Islam, sedangkan orang Tionghoa mayoritas beragama
20
Pdt. Paulus Sugeng Widjaja , S.Th., Mencari jati diri Mennonite (Semarang: Tidak diterbitkan, 1992) p.2.
21
A.A. Yewangoe, Pendamaian: Suatu studi tentang pemulihan dan relasi antara Allah, manusia dan alam semesta (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983) p.147.
22
Hasil wawancara dengan Pdt. Paulus Hartono, tgl, 10 Oktober 2007.
7
Kristen/Katolik (sebagian kecil beragama Budha/Kong Hu Cu), seperti yang terlihat di wilayah pemukiman Tionghoa, yaitu di daerah Balong.23 Sesudah kerusuhan besar yang terjadi pada tanggal 14-15 Mei 1998, para pemuka agama dari berbagai agama yang ada di Solo bergabung dalam Forum Komunikasi Umat Beriman Surakarta (FOKUBS) untuk berdialog secara terbuka satu dengan yang lain.24 Mereka melibatkan aparat keamanan dan juga pemerintah, melakukan langkah-langkah konkrit dalam usaha pemulihan kota Solo yang telah porak-poranda setelah kerusuhan Mei 1998.25 Dialog itu cukup efektif dan puncaknya adalah dengan dilakukannya doa bersama yang melibatkan semua pemeluk agama di Solo. Semua pemuka agama menghimbau umatnya masing-masing, agar tenang dan tidak terprovokasi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab serta selalu bersikap toleransi dan menjunjung tinggi persatuan di antara umat beragama di Solo. Agama dapat dijadikan sebagai pendorong ke arah perdamaian dan terbukti dapat meredam kerusuhan maupun tindakan anarki. Pada dasarnya, agama selalu bertujuan baik bagi manusia, mengutip pandangan Bambang Subandrio26, yakni : 1. Agama mendorong umatnya untuk menjadi berkat bagi semua umat manusia tanpa terkecuali. Dengan kata lain keberadaan setiap umat beragama akan selalu mendatangkan kesejahteraan dan mendatangkan kebaikan. 2. Agama selalu mendorong umatnya untuk melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat. Dengan kata lain melakukan kehendak Tuhan dan menjauhi laranganNya. 3. Agama mendorong umatnya untuk mencari kebenaran dan keadilan Allah.
Agama dapat mengupayakan pencegahan konflik dan kerusuhan melalui upaya-upaya damai. Pada gilirannya, setiap pemeluk agama itu sendiri diperhadapkan pada pilihan untuk berbuat 23
Mulyadi, et al., Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit, p.205.
24
Ibid, p.552. Dialog yang dilakukan antar umat beragama ini di awali oleh prakarsa dari Forum Komunikasi Umat Islam Surakarta (FKUIS) dan Badan Antar Gereja Kristen di Surakarta (BAGKS). GKMI Solo adalah salah satu gereja yang menjadi anggota BAGKS. Dalam menyebut nama kota mereka, masyarakatnya lebih sering menggunakan kata Surakarta daripada kata Solo, sehingga kata Surakarta juga sering mereka gunakan dalam penamaan forum/oragnisasi agama atau kemasyarakatan. Pada dasarnya Solo atau Surakarta menunjuk pada hal mau pun tempat yang sama.
25
Ibid.
26
Bambang Subandrio, “Agama: Sebuah Praksis Kehidupan”, dalam Bambang Subandrio (Ed), Agama dan Praksis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003) p.16.
8
baik dengan mewujudkan perdamaian atau sebaliknya. Jadi, agama dapat berfungsi sebagai referensi dan juga pendorong bagi praksis perdamaian, sebagai salah satu upaya untuk mencegah konflik dan kerusuhan, maupun tindak kekerasan, seperti yang dilakukan oleh umat beragama di Solo dan salah satunya adalah GKMI Solo. Terkait dengan peran agama untuk mewujudkan damai, adalah hal yang menarik dan bermanfaat untuk melihat GKMI Solo berupaya mewujudkan damai dalam tataran praksis. Sebagai gereja yang berlatar belakang Tionghoa, praksis perdamaian GKMI Solo merupakan usaha berteologi yang relevan dengan konteksnya, mengingat kerusuhan di Solo dipicu oleh ketegangan hubungan di antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa yang telah lama berlangsung. Mengutip pernyataan Pdt. Dr. Karel Ph. Erari, kepala BALITBANG PGI,27 Sudah saatnya gereja pada abad 21 ini melakukan fungsionalisasi teologi, merelevansikan teologi, dan mendekatkan teologi kepada kehidupan konkrit. Kemandirian teologi menyangkut kemampuan warga gereja dan pejabatnya untuk menetapkan pandangan dan sikap serta keterlibatannya secara positif, kreatif, kritis, dan realistis dalam menjawab banyak persoalan dan tantangan kehidupan baik itu dalam hidup pribadi, keluarga, masyarakat, gereja, dan negara yang berpedoman pada petunjuk dan motivasi yang diperoleh dari pemahaman akan Firman Tuhan. Senada dengan pernyataan di atas, bahwa gereja perlu merelevansikan teologi sesuai konteksnya, maka identitas GKMI Solo sebagai gereja perdamaian, yang dibentuk oleh konteks Solo yang rawan konflik dan kerusuhan antar etnis, serta teologi dan praksis perdamaian Anabaptis abad 16 yang pada akhirnya mendorong terwujudnya praksis perdamaian GKMI Solo menjadi penting dan bermanfaat untuk dikaji dalam upaya membahas peran agama bagi perdamaian dan kontekstualisasi teologi yang relevan lewat praksis perdamaian.
B. Rumusan Permasalahan Dari latar belakang masalah yang penulis angkat dalam skripsi ini, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana konteks Solo yang rawan konflik dan kerusuhan di antara etnis Jawa dan etnis Tionghoa, serta teologi dan praksis perdamaian Anabaptis abad 16, menjadi faktor-faktor yang 27
Pdt. Dr. Karel Ph. Eri, Kepala BALITBANG PGI, “Pengantar” dalam Pdt. Dr. Jan S. Aritonang (ed), 50 Tahun PGI: Gereja Di Abad 21, Konsoliasi Untuk Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Jakarta: BALITBANG PGI, 2000) p.i.
9
membentuk identitas diri GKMI Solo sebagai gereja perdamaian serta mempengaruhi praksis perdamaiannya? 2. Bagaimanakah wujud konkrit praksis perdamaian GKMI Solo? 3. Sejauh mana praksis perdamaian GKMI Solo meneruskan, mengubah atau mentransformasikan praksis perdamaian Anabaptis abad 16? Dari rumusan permasalahan tersebut, maka penyusun tertarik untuk menggunakan judul skripsi yaitu : GEREJA PERDAMAIAN : TINJAUAN TERHADAP PRAKSIS PERDAMAIAN GKMI SOLO
C. Batasan Permasalahan Guna terfokus pada setiap pembahasan rumusan permasalahan, diperlukan adanya pembatasan masalah. Adapun batasan masalah adalah sebagai berikut : 1. Melihat sejarah kemunculan GKMI Solo sampai terwujudnya identitas sebagai gereja perdamaian pada tahun 1994 hingga saat ini di tahun 2007, serta faktor-faktor yang membentuk identitas gereja perdamaian yaitu konteks Solo dan teologi/praksis perdamaian Anabaptis abad 16. 2. Adapun batasan bagi konteks Solo, yaitu mencakup hubungan antar etnis yang ada di Solo, sejarah konflik dan kerusuhan yang bernuansa etnis di antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa dari awal berdirinya Solo hingga kerusuhan terakhir pada Mei 1998, serta kehidupan umat beragama dan perannya dalam mencegah konflik dan kerusuhan lewat upaya-upaya perdamaian. 3. Batasan bagi deskripsi teologi dan praksis perdamaian Anabaptis abad 16, dimulai dari penelusuran pada komunitas Anabaptis abad 16 yang tersebar di tiga tempat yang paling berpengaruh dan memiliki keterkaitan sejarah dengan gereja Mennonit yaitu, Swiss, Jerman dan Belanda. Dari ke tiga tempat itu muncul pemahaman teologi dan praksisnya yang berorientasi pada perdamaian. Dalam hal ini, penulis merujuk pada rumusan teologi dan praksis perdamaian Anabaptis abad 16 yang dirumuskan oleh Harold S. Bender28 dan Arnold C. Snyder.29
28
Harold S. Bender, “The Anabaptist Vision”, dalam Guy F. Hershberger (Ed), The Recovery of Anabaptist Vision: A Sixtieth Anniversary tribute to Harold S. Bender (Scottdale, Pennsylvania: Herald Press, 1962) p.42.
10
4. Meneliti dan menganalisa praksis perdamaian GKMI Solo, secara teologis, etis dan liturgis, dengan teori sosial identitas agama.30 5. Berdasarkan konteks Solo, etika GKMI Solo dalam hidup sehari-hari, dilihat dalam lingkup internal gereja, yaitu dalam hidup bergereja antar jemaat GKMI Solo maupun dengan umat Kristen di gereja lain (seasas maupun tidak) juga dalam lingkup eksternal, yaitu dalam hidup bermasyarakat, yakni dengan masyarakat yang berbeda etnis dan keyakinan (khususnya Islam), dan dengan pemerintah, sedangkan liturgi yang dilihat adalah dalam liturgi ibadah Minggu. 6. Adapun subjek yang diteliti adalah semua komponen yang ada di GKMI Solo baik itu Gembala Jemaat (Pendeta), Majelis serta anggota jemaat.
D. Alasan pemilihan judul Masalah perdamaian adalah hal yang menarik dan penting untuk diangkat. Agar mewakili isi dari skripsi ini yang bertema perdamaian, maka kata perdamaian dijadikan sebagai judul. Selain itu, ada tiga unsur yang menjadi pondasi utama dalam skripsi ini yang coba penulis angkat ke dalam skripsi, itulah yang menjadi alasan penulis untuk memilihnya sebagai judul, yaitu: 1. Gereja Perdamaian, mau merujuk pada identitas GKMI Solo sebagai gereja perdamaian, yang menjadi substansi utama dan juga tempat penulis melakukan penelitian. 2. Praksis Perdamaian GKMI Solo, adalah fokus persoalan yang menjadi sentral kajian penulis. Praksis perdamaian merupakan bagian inti yang membentuk identitas GKMI Solo sebagai gereja perdamaian. Dalam hal ini, karena GKMI Solo mencoba untuk memahami dan mewujudkan perdamaian dengan tindakan konkrit namun tetap berpegang pada keyakinan teologisnya sebagai gereja. Praksis perdamaian mengandung unsur teologis (pemahaman) dan juga praktik jemaat (etika) baik dalam bergereja maupun bermasyarakat, termasuk dalam hidup bersekutu lewat ritual (liturgi). 3. Tinjauan Terhadap praksis Perdamaian GKMI Solo adalah usaha untuk melihat dan mengkaji praksis perdamaian GKMI Solo setelah dilakukan penelitian dan analisa secara teologis, etis dan liturgis, dengan melihat pada praksis perdamaian Anabaptis abad 16 yang didorong oleh ajaran
29
Arnold. C. Snyder, Dari Benih Anabaptis : Intisari Kesejarahan Jati Diri Anabaptis (Semarang : Sinode GKMI, 1999) semua halaman. 30
Eka Darmaputera, Ph.D., “Menuju Teologi Kontekstual di Indonesia”, dalam Eka Darmaputera (Ed), Konteks Berteologi di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004) p.14.
11
teologinya. Dalam meninjau, penulis menggunakan teologi dan praksis perdamaian Anabaptis abad 16, yang dirumuskan Harold. S. Bender dan Arnold C. Snyder.
E. Tujuan Penulisan Penulisan skripsi ini bertujuan untuk : 1. Melihat eksistensi GKMI Solo sebagai gereja perdamaian, yang mencoba untuk mewujudkan damai dalam tataran praksis, sebab perdamaian itu sendiri tidak cukup dalam tataran teori atau wacana saja, serta bagaimana tindakan konkrit dari praksis perdamaian GKMI Solo 2. Mengetahui lebih jauh faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dan menjadi konteks pemilihan identitas diri GKMI Solo sebagai gereja perdamaian. 3. Mengetahui wujud konkrit praksis perdamaian GKMI Solo. 4. Melihat dan mengetahui, sejauh mana praksis perdamaian GKMI Solo meneruskan, mengubah atau mentransformasikan praksis perdamaian Anabaptis abad 16 dengan meninjaunya menggunakan teologi Anabaptis abad 16 yang dirumuskan oleh Bender dan Snyder.
F. Kerangka Teori Dalam rangka menjawab permasalahan dan mencapai tujuan penulisan, maka digunakan teori dan konsep dalam rangka meneliti dan menganalisa praksis perdamaian GKMI Solo, yaitu : 1. Bila GKMI Solo sebagai gereja yang berjati diri Mennonit, telah menetapkan identitas sebagai gereja perdamaian, dan menekankan praksis guna mewujudkan damai secara konkrit, maka menarik untuk dikaji lebih dalam, baik dari sisi teologis maupun etisnya yang tercakup dalam praksis perdamaian tersebut. Adapun kajian dilakukan dengan menggunakan teori sosiologi, bahwa dalam suatu identitas agama terdapat 3 inti, yaitu dogma, etika dan ritual, atau dalam konteks bergereja menurut Eka Darmaputera dapat dibahasakan menjadi teologi, etika dan liturgi31. Dari ketiga komponen inti tersebut, dapat terlihat wujud konkrit dari praksis perdamaian GKMI Solo sebagai gereja perdamaian, yang dilihat dan dianalisa baik itu dari segi pemahaman teologis, etis dan ditambah dalam hal liturgis. Teori sosial tentang identitas agama ini akan penulis gunakan sebagai alat analisa terhadap praksis perdamaian GKMI Solo.
31
Darmaputera, Ph.D., Menuju Teologi Kontekstual di Indonesia, p.14.
12
2. Praksis perdamaian GKMI Solo mengacu pada teologi dan praksis perdamaian Anabaptis abad 16. Rumusan teologis dan praksis perdamaian yang penulis jadikan acuan untuk meninjau praksis perdamaian GKMI Solo adalah rumusan yang dibuat oleh Harold S. Bender yang disebut “The Anabaptist Vision.”32 dan Arnold C. Snyder dalam bukunya “ Dari Benih Anabaptis (Intisari Kesejarahan dan Jati Diri Anabaptis).33 Keunikan dari teologi dan praksis perdamaian Anabaptis abad 16 yang mereka rumuskan adalah sebagai berikut :
1. Pemuridan yang meneladani Yesus Kristus Bagi komunitas Anabaptis abad 16, Yesus adalah sosok yang sentral dan mendapat tempat yang penting dalam hidup orang percaya. Lewat praktik hidup maupun pengajaranNya, Orang percaya harus meneladaniNya dan hidup sebagai murid Kristus, sehingga penekanan pada praksis menjadi penting, juga sebagai respon terhadap keselamatan dan anugerah Tuhan. Perdamaian adalah salah satu hal sentral yang menjadi pusat pengajaran dan tindakan Kristus seperti dalam ajaran “Khotbah di bukit”.
2. Gereja sebagai komunitas persaudaraan Komunitas Anabaptis abad 16, menekankan pola hubungan kekeluargaan dan persaudaraan di dalam gereja sehingga tercipta persekutuan yang erat. Hidup orang percaya harus dijiwai oleh kasih, dan saling memperhatikan. Gereja adalah komunitas bukan individual, jadi kepentingan sebagai komunitas harus diutamakan di atas kepentingan pribadi. Semua orang percaya harus dapat hidup bersama di dalam keharmonisan dan menjauhi sikap egois.
3. Hubungan gereja dan negara. Komunitas Anabaptis abad 16 menolak hubungan gereja dan negara, sebab meyakini bahwa gereja adalah milik Kristus yang berdasarkan pada Firman Tuhan, jadi tidak boleh dicampuri negara. Negara tidak berhak mengatur gereja bagaimana harus berkeyakinan teologis dan beriman kepada Tuhan.
32
33
Yoder, Tunas Kecil, p.203. dan juga Lih.Bender, Anabaptist Vision, p.42. Snyder, Dari Benih Anabaptis, semua halaman.
13
4. Anti kekerasan Menolak perang dan penggunaan senjata, sebab Kristus mengajarkan untuk tidak menggunakan pedang atau senjata serta tindak kekerasan. Mereka menentang gereja dan negara yang justru bekerja sama dalam melakukan kekerasan termasuk menghalalkan perang untuk mencapai tujuan dan kepentingan pribadi/golongan. Mereka tidak melawan atau membangkang saat mereka harus dihukum dan disiksa, apapun alasannya mereka tidka akan melawan karena tidak mau melakukan kekerasan, apalagi menggunakan senjata.
5. Gereja yang kelihatan Menjadi gereja yang kelihatan, berarti menjadi gereja yang mau menunjukkan kualitas hidup keimanannya sebagai komunitas orang percaya, sekaligus sebagai gereja yang hadir dan berkarya di tengah-tengah dunia, karena hidup di dalamnya. Komunitas Anabaptis abad 16 menekankan pada kesalehan hidup dan kerelaan dalam mengikut Yesus, bukan karena paksaan. Jadi, bisa dikatakan, mereka menghendaki kebebasan dalam memeluk suatu agama atau keyakinan teologi, dan menentang pemaksaan, apalagi dengan kekerasan. Mereka berpegang pada kualitas hidup keimanan jemaat bukan, bukan pada jumlah jemaat. Keyakinan seseorang akan terlihat secara nyata lewat hidup dan tindakan yang konkrit.
Teologi Anabaptis abad 16 yang penulis uraikan di atas akan penulis gunakan sebagai alat untuk meninjau sejauh mana praksis perdamaian GKMI Solo meneruskan, mengubah atau mentransformasi praksis perdamaian Anabaptis abad 16.
G. Manfaat penulisan 1. Bagi Penulis : Skripsi ini membuka pemahaman baru tentang perdamaian. Perdamaian bukanlah hal yang abstrak atau mustahil diwujudkan. Sebagai seorang mahasiswa, penulis melihat dan merasakan bahwa studi tentang perdamaian adalah hal yang penting dan harus terus dikembangkan secara inovatif dan berkelanjutan. Perdamaian akan selalu menjadi hal yang relevan dimanapun dan sampai kapanpun. Perdamaian sendiri ada, karena ada keyakinan dan tindakan nyata yang disebut praksis perdamaian.
14
2. Bagi Fakultas Teologi : Kiranya skripsi ini bisa menambah perbendaharaan tulisan ilmiah dalam pengkajian tentang perdamaian. Apalagi fakultas Teologi UKDW memang telah membuka studi khusus tentang perdamaian. 3. Bagi gereja : Identitas sebagai gereja perdamaian sudah seharusnya menjadi identitas diri bagi setiap gereja yang ada di Indonesia. Melalui identitas sebagai gereja perdamaian, maka gereja-gereja ditantang untuk mewujudkan teologi dan praksis perdamaian secara konkrit dan relevan. Kesadaran diri yang muncul sebagai gereja yang mampu menjadi pembawa damai sejahtera, pada gilirannya merupakan usaha kontekstualisasi, sebab perdamaian yang diusahakan dan diwujudkan merupakan “usaha yang berkomunikasi” serta tidak lepas dari konteks yang mempengaruhinya. Dengan demikian maka teologi dan praksis itu dapat bertumbuh dan berkembang dengan efektif. Manfaat lainnya bagi umat Kristen, yaitu dapat belajar dari sejarah gerejanya untuk tetap konsisten dalam mewujudkan damai sebagai bagian dari upaya menjalankan dan meneruskan kasih Yesus Kristus, sehingga setiap orang bisa hidup di dalam damai dan memperjuangkan damai tersebut. Melalui praksis perdamaian, setiap orang dapat berusaha untuk mendorong terciptanya perdamaian yang nyata dan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Adapun usaha perdamaian itu bisa dimulai lewat relasi yang baik di antara jemaat gereja tersebut, dengan sesama orang Kristen yang lainnya sampai dengan masyarakat luas yang berbeda-beda baik itu etnis dan keyakinannya. 4. Bagi semua umat beragama : Agama dan perdamaian memiliki satu hubungan sinergis yang tidak dapat dibantah. Skripsi ini berusaha untuk mengajak agar agama tidak bersikap eksklusif atau menempatkan kebenaran suatu agama sebagai suatu kebenaran yang mutlak berlaku bagi semua orang. Pada hakekatnya, agama dapat berfungsi sebagai alat perdamaian. Kiranya setiap uraian yang ada dalam skripsi ini dapat semakin meyakinkan dan mendukung peran agama dalam usaha perdamaian. Semua agama mengajarkan kebaikan, dan kebaikan itu adalah dasar bagi perwujudan damai. Kiranya damai di Solo sendiri bahkan di seluruh Indonesia dapat terwujud lewat sikap saling menghormati, toleransi dan dialog di antara semua pemeluk agama yang berbeda-beda tanpa terkecuali. 5. Bagi Masyarakat : Kiranya skripsi ini dapat menggugah semangat persatuan dan kesatuan di antara semua komponen masyarakat yang memang plural ditinjau dari SARA. Perdamaian harus dijunjung tinggi senafas dengan ideologi negara Pancasila yang menempatkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai alat pemersatu bangsa. Tidak boleh lagi ada sikap diskriminasi atau konflik
15
dan kerusuhan atas nama SARA. Hal itu dapat diwujudkan bila setiap elemen masyarakat mau bertindak dan bergerak secara konkrit bagi perdamaian.
H. Metode Pengumpulan Data dan Penulisan Dalam mengerjakan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa metode dalam hal pengumpulan data dan penulisan, yaitu : 1. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu : a. Studi literatur/kepustakaan yang relevan dan sesuai dengan topik bahasan yang penulis buat, baik itu tentang GKMI Solo, Konteks Solo yang rawan konflik dan kerusuhan antar etnis, serta komunitas Anabaptis abad 16. b. Penelitian di lapangan, selama 3 bulan yaitu mulai Agustus - Oktober 2007, dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu : b.1 Observasi-Partisipatif : Pendekatan ini dilakukan dengan cara mengamati dengan seksama dan juga berinteraksi langsung dengan subjek yang penulis jadikan sasaran penelitian.34 Penulis pernah berstage selama 3 bulan pada tahun 2006, serta mengadakan penelitian lanjutan selama 3 bulan pada tahun 2007 guna melihat secara lebih dekat bagaimana eksistensi GKMI Solo. b.2 Pendekatan Kualitatif : Pendekatan ini dilakukan dengan cara wawancara mendalam, dengan gembala jemaat GKMI Solo, para majelis jemaat, serta dengan beberapa anggota jemaat GKMI Solo.35 Pendekatan ini penting dilakukan guna mengetahui penjelasan mengenai topik bahasan secara lebih mendalam dan terbuka. Pendekatan kualitatif memungkinkan penulis untuk menangkap makna dan nuansa yang lebih khas, luas dan detil serta terarah, tentang praksis perdamaian GKMI Solo. Pendekatan kualitatif dapat menggali informasi lebih dalam dan bervariatif sebagai keterangan yang dibutuhkan terkait dengan praksis perdamaian GKMI Solo. Dengan interaksi langsung, penelitian ini dapat menghindarkan bahaya salah memahami jawaban sebab bisa langsung dikonfirmasi ulang.
34
John Mansford Prior, Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partisipatoris (Jakarta: Grasindo, 1997)
35
Asmadi Alsa, Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif Serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
16
b.3 Pendekatan Kuantitatif : Pendekatan ini dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada majelis dan anggota jemaat GKMI Solo.36 Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan penulis untuk melakukan wawancara maupun pengamatan yang mendalam dengan semua majelis dan anggota jemaat GKMI Solo. Pendekatan ini memungkinkan keterlibatan lebih banyak majelis dan anggota jemaat GKMI Solo dalam menjawab pertanyaan di seputar praksis perdamaian GKMI Solo, serta membuktikan bahwa memang anggota jemaat GKMI Solo mengetahui dan berpertisipasi dalam praksis perdamaian GKMI Solo, sekaligus sebagai pendukung pendekatan kualitatif karena sifatnya yang terukur. Pendekatan ini, sebagai pelengkap metode kualitatif. Dari metode kuantitatif akan didapat jawaban tertulis, yang telah dibagi ke dalam kategori teologi, etika dan liturgi ibadahnya, berdasarkan teori sosial identitas suatu agama. Dari ketiga inti identitas agama tersebut, akan dikaitkan dengan praksis perdamaian GKMI Solo.
2. Metode Penulisan Adapun metode yang penulis gunakan dalam menulis skripsi ini adalah deskripsi-analitis. Deskripsi : Pemaparan/penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terperinci. Ini merupakan kegiatan mengobservasi dengan teliti semua fakta yang harus diketahui, untuk memahami dan menanggapi situasi permasalahan yang dikemukakan. Pendeskripsian, penulis lakukan dengan menguraikan data yang diperoleh dari studi literatur maupun penelitian lapangan di GKMI Solo. Dalam hal
ini penulis mendeskripsikan tentang GKMI Solo sebagai gereja perdamaian yang
mengembangkan praksis perdamaiannya, lewat teologi, etika dan liturginya sebagai komponen dari praksis perdamaian GKMI Solo. Penulis juga akan mendeskripsikan konteks Solo yang rawan konflik dan kerusuhan antar etnis Tionghoa dan etnis Jawa serta bagaimana agama berpotensi sebagai alat perdamaian dan pada akhirnya penulis akan mendeskripsikan komunitas Anabaptis abad 16 sebagai komunitas yang menjadi acuan bagi GKMI Solo dalam mewujudkan praksis perdamaian nya. Komunitas Anabaptis abad 16 merupakan cikal bakal dari gereja-gereja Mennonit dan ajarannya yang dikenal sebagai teologi Anabaptis abad 16. Analitis : Sesudah data-data tentang GKMI Solo, konteks Solo yang rawan konflik dan kerusuhan antara etnis Tionghoa dan Jawa, serta komunitas Anabaptis abad 16 dideskripsikan, maka akan 36
Consuelo G. Sevilla, et al., Pengantar Metode Penelitian (Jakarta: UI Press, 1993)
17
dilakukan analisa dengan menggunakan teori sosial yaitu teori identitas Agama terhadap praksis perdamaian GKMI Solo. Adapun aspek-aspek yang dianalisa menyangkut teologi, etika dan liturgi. Setelah hasil analisa didapat, maka dilanjutkan dengan tinjauan dari perspektif teologi Anabaptis abad 16, guna melihat sejauh mana praksis perdamaian GKMI Solo meneruskan, mengubah atau mentransformasi praksis perdamaian Anabaptis abad 16.
I. Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini berisi Pendahuluan yang berupa latar belakang, rumusan permasalahan, batasan masalah, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, kerangka teoritis, manfaat penulisan, metode pengumpulan data dan penulisan, dan juga sistematika penulisan.
BAB II
DESKRIPSI GKMI SOLO SERTA KONTEKS SOLO DAN KONTEKS KOMUNITAS ANABAPTIS ABAD 16
Bab ini mendeskripsikan GKMI Solo mulai dari sejarah berdirinya GKMI Solo hingga munculnya identitas sebagai gereja perdamaian dan praksis perdamaian GKMI Solo yang menunjukkan peran aktif umat beragama dalam menciptakan perdamaian di Solo. Bab ini juga mendeskripsikan dua faktor yang membentuk identitas GKMI Solo sebagai gereja perdamaian yaitu konteks Solo yang rawan konflik dan kerusuhan secara khusus yang disoroti adalah kerusuhan yang terjadi di antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa, mulai dari sejarah berdirinya kota Solo hingga kerusuhan terkakhir yang terjadi tanggal 14-15 Mei 1998, serta teologi Anabaptis abad 16, yang akan dideskripsikan sekaligus dalam konteks sejarah
perkembangan
komunitas
Anabaptis
16
dengan
melihat
latar
belakang
kemunculannya di tiga tempat yakni Swiss, Jerman dan Belanda, yang melahirkan teologi dan aksi yang dapat disebut sebagai praksis perdamaian Anabaptis abad 16.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA PRAKSIS PERDAMAIAN GKMI SOLO
18
Bagian ini berisi hasil penelitian dan analisa terhadap Praksis Perdamaian GKMI Solo. Adapun penelitian dilakukan dengan metode yang telah ditentukan, kemudian akan dilakukan analisa dengan melihat unsur-unsur dari praksis perdamaian tersebut yaitu teologi, etika dan liturgi, sebagai inti yang terkandung di dalam identitas GKMI Solo sebagai gereja perdamaian yang berpraksis perdamaian, dengan menggunakan teori sosial identitas agama. seperti yang telah dijelaskan oleh Eka Darmaputera. Usaha ini dilakukan guna melihat keterkaitan antara teologi, etika dan liturginya sehingga praksis perdamaian GKMI Solo bukan hanya sekedar aksi sosial melainkan memang dapat disebut sebagai sebuah praksis karena dilandasi keyakinan teologis. Bab ini juga akan menganalisa bagaimana pengaruh konteks Solo terhadap praksis perdamaian GKMI Solo, dan bagaimana wujud konkrit dari praksis perdamaian GKMI Solo tersebut.
BAB IV
TINJAUAN TERHADAP PRAKSIS PERDAMAIAN GKMI SOLO
Dalam bab ini akan dipaparkan tentang tinjauan terhadap praksis perdamaian GKMI Solo. Adapun tinjauan dilakukan dengan melihat dan membandingkannya dengan praksis perdamaian Anabaptis abad 16, sehingga dapat terlihat sejauh mana praksis perdamaian GKMI Solo meneruskan, mengubah atau atau mentransformasikannya. Adapun dalam usaha peninjauan digunakan teologi Anabaptis abad 16 yang telah dirumuskan oleh Bender dan Snyder.
BAB V
PENUTUP
Bagian ini berisi kesimpulan dari seluruh bab dan juga saran-saran
19