BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Thailand adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang sebagian besar
masyarakatnya memperoleh pendapatan melalui sektor pertanian. Sejak tahun 1961 Thailand telah mengimplementasikan five year development plans sebagai pedoman dalam pembangunan ekonomi nasional yang menjadikan arah perubahan perekonomian Thailand menjadi lebih terbuka. Adapun dalam penerapannya strategi pembangunan ekonomi nasional Thailand ini menemui banyak kendala sehingga perencanaan tersebut tidak tepat sasaran (Thongpakde, 2010). Adanya kegagalan pembangunan ekonomi nasional yang terjadi melalui five year development plans tersebut maka dari tahun 2001 Thailand mulai mengadopsi filosofi sufficiency economy, yang dicetuskan oleh Raja Thailand Bhumibol Adulyadej sebagai landasan dalam five year development plans. Penggunaan sufficiency economy sebagai landasan dalam pembangunan ekonomi nasional tersebut, didasarkan pada pengalaman strategi pembangunan ekonomi nasional Thailand dari tahun 1961 sampai dengan 1997 yang hanya berfokus pada cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara cepat (NESDB, 2002). Strategi pembangunan ekonomi nasional yang seperti itu hanyalah memberikan
keuntungan
bagi
daerah
perkotaan,
karena
pemerataan
pembangunan yang dilakukan lebih dominan terjadi di daerah perkotaan. Hal ini
1
2
pada akhirnya menyebabkan terjadinya kesenjangan pendapatan antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan. Adanya krisis ekonomi pada tahun 1997, telah mengakibatkan semakin banyaknya masyarakat pedesaan Thailand menjadi lebih miskin. Krisis ekonomi ini pada akhirnya telah membuka pemikiran pemerintah Thailand untuk menggunakan pendekatan yang dapat menciptakan kemandirian dalam masyarakatnya, sehingga kesenjangan pendapatan antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaaan dapat diminimalisir (NESDB, 2007). Penggunaan sufficiency economy sebagai landasan pembangunan ekonomi nasional Thailand sendiri, menekankan bahwa keberhasilan suatu strategi pembangunan ekonomi nasional haruslah didasarkan pada pengambilan keputusan yang lebih mengedepankan kesejahteraan rakyat daripada mengejar kemakmuran ekonomi semata. Dalam hal ini sufficiency economy sebagai suatu landasan pembangunan ekonomi nasional yang memfokuskan pada bagaimana membangun pondasi yang kuat dalam masyarakat sehingga masyarakat mampu bertahan dan memaksimalkan peluang dari setiap perubahan yang ada dalam lingkungan global dan kawasan (Curry & Sura, 2007: 88). Melihat arus globalisasi yang semakin menguat, Thailand sebagai salah satu entitas ASEAN tentunya juga ikut terlibat dalam kegiatan ekonomi secara regional. Terlebih dengan adanya kesepakatan negara-negara anggota ASEAN melalui Bali Concord II pada tahun 2003, untuk membentuk suatu kawasan ekonomi yang terintegrasi melalui ASEAN Economic Community (AEC) di tahun 2015. ASEAN Economic Community (AEC) sendiri memiliki karakteristik utama untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi, kawasan ekonomi yang
3
berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, serta kawasan ekonomi yang terintegrasi secara global yang akan terimplementasi secara penuh pada tahun 2015 (Direktorat ASEAN, 2009). Adanya tantangan yang dihadapi oleh Thailand di kawasan Asia Tenggara melalui pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) juga menjadi faktor penting dalam penerapan strategi pembangunan ekonomi nasional yang dilakukan oleh pemerintah Thailand. Thailand sebagai salah satu negara anggota ASEAN tentunya harus mengoptimalkan setiap keputusan yang akan diambil dalam menghadapi perubahan yang ada dalam kawasan Asia Tenggara, agar bisa memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi nasionalnya. Pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) yang akan meningkatkan intensitas perpindahan barang dan jasa diantara negara-negara ASEAN ini tentunya akan menyebabkan suatu tantangan baru dalam menentukan strategi pembangunan ekonomi nasional di Thailand yang berlandaskan sufficiency economy (NESDB, 2012). Hal inilah yang menarik peneliti untuk membahas lebih lanjut tentang strategi pembangunan ekonomi nasional yang dilakukan oleh Thailand dengan berlandaskan sufficiency economy dalam menghadapi terselenggaranya ASEAN Economic Community (AEC) tahun 2015.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan penjabaran singkat dari latar belakang tersebut, penulis
menetapkan sebuah research question atau pertanyaan penelitian mengenai bagaimana strategi pembangunan ekonomi nasional yang dilakukan Thailand
4
dengan berlandaskan sufficiency economy dalam menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) 2015.
1.3.
Batasan Masalah Agar pembahasan penelitian tidak meluas dan tetap fokus pada
permasalahan tersebut, maka peneliti memberikan batasan masalah terkait strategi pembangunan ekonomi nasional Thailand yang berlandaskan sufficiency economy dari tahun 2003-2013.
1.4.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana strategi
pembangunan ekonomi nasional yang dilakukan Thailand dengan berlandaskan sufficiency economy dalam menghadapi terselenggaranya ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun 2015.
1.5.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman terhadap
strategi pembangunan nasional yang dilakukan suatu negara untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan regional. Selain itu, penelitian ini juga dapat digunakan sebagai salah satu sumber informasi dan bahan kajian lebih lanjut bagi mahasiswa-mahasiswi yang mendalami studi Hubungan Internasional khususnya dalam kawasan Asia Tenggara.
5
1.6.
Tinjauan Pustaka Adanya suatu upaya para aktor Hubungan Internasional dalam
menghadapi integrasi regional, khususnya kawasan Asia Tenggara merupakan sebuah isu yang cukup menarik perhatian masyarakat. Hal ini menyebabkan beberapa akademisi tertarik untuk mengkaji lebih dalam terkait upaya para aktor Hubungan Internasional dalam menghadapi integrasi regional dari berbagai macam perspektif. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ratna Desi Prihandini (2013), dimana dalam tulisannya menjelaskan tentang strategi akuisisi salah satu perusahaan multinasional yaitu Maybank terhadap bank lainnya, yaitu BII dalam menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) 2015. Prihandini (2013), dalam tulisannya menggunakan teori pembuatan keputusan dan konsep integrasi ekonomi untuk menjelaskan bagaimana ASEAN Economic Community (AEC) mempengaruhi strategi akuisisi yang dilakukan oleh Maybank terhadap BII. Hasil
yang didapat
adalah ASEAN Economic Community (AEC)
memberikan pengaruh dalam strategi akuisisi yang dilakukan oleh Maybank terhadap BII, bahwa dengan menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif dalam hal pengembangan strategi sehingga faktor opportunity menjadi lebih kuat dibandingkan dengan risk yang ada. Penelitian yang dilakukan oleh Prihandini (2013), penulis mendapatkan suatu masukan terkait peran negara dalam menghadapi suatu tantangan integrasi ekonomi, sehingga penulis tertarik untuk membahas bagaimana negara melakukan pembangunan ekonomi nasional untuk menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) yang dalam hal ini adalah
6
Thailand. Perbedaan yang terdapat dalam tulisan yang dibuat oleh Prihandini (2013) dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah terkait aktor yang terlibat dalam menghadapi tantangan integrasi ekonomi regional. Selain itu, penulis juga menggunakan konsep sufficiency economy dan kerjasama perdagangan regional dalam menjelaskan strategi pembangunan ekonomi nasional yang dilakukan oleh Thailand dalam menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) di tahun 2015. Penelitian lain yang dilakukan oleh Adhitya Irvan Maulana (2005) menjelaskan tentang bagaimana pengaruh ASEAN Economic Community (AEC) bagi perekonomian negara anggotanya. Penelitian ini membahas tentang pengaruh yang diberikan oleh ASEAN Economic Community (AEC) bagi setiap negara anggotanya, dengan memfokuskan pada pengaruh secara regional. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Maulana (2005), menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dan negatif dari penerapan ASEAN Economic Community (AEC) bagi negara anggotanya, dimana pengaruh positifnya adalah mengurangi ketimpangan pembangunan sosial ekonomi di negara-negara anggota ASEAN. Sedangkan pengaruh negatif dari penerapan ASEAN Economic Community (AEC) ini adalah adanya kebebasan investasi yang cenderung mengeksploitasi sumber daya negara-negara anggota ASEAN, serta kebebasan mobilitas tenaga kerja yang berlebihan yang dapat menyebabkan persaingan untuk mendapatkan pekerjaan menjadi lebih sulit dari sebelumnya. Maulana (2005) menggunakan konsep integrasi ekonomi dengan lebih memfokuskan analisanya pada pengaruh yang diberikan oleh pembentukan
7
ASEAN Economic Community (AEC) terhadap perekonomian Indonesia. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Maulana (2005) dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penggunaan konsep sufficiency economy dan kerjasama perdagangan regional untuk menjelaskan strategi pembangunan ekonomi nasional yang dilakukan Thailand dalam menghadapi ASEAN Economic Community (AEC). Hasil akhir yang ingin dicapai dalam penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah strategi pembangunan ekonomi nasional yang dilakukan Thailand dengan berlandaskan sufficiency economy dalam menghadapi ASEAN Economic Community (AEC), sedangkan hasil akhir yang dilakukan oleh Maulana (2005) adalah implikasi yang diberikan oleh pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) terhadap Indonesia.
1.7.
Kerangka Konseptual
1.7.1. Sufficiency Economy Sufficiency economy adalah sebuah filosofi yang dikembangkan oleh Raja Thailand Bhumibol Adulyadej melalui pernyataan kerajaan yang diberikannya pada tahun 1974. Filosofi sufficiency economy menurut National Economic and Social Development Board (NESDB) Thailand memiliki perspektif yang dinamis dan sistematis di dunia. Adapun pengertian dari konsep sufficiency economy Thailand ini adalah (Mongsawad, 2010: 127) “Sufficiency economy” is a philosophy that stresses the middle path as the overriding principle for appropriate conduct by the populace at all levels. This applies to conduct at the level of the individual, families, and communities, as well as to the choice of a balanced development strategy for the nation so as to modernize in line with
8
the forces of globalization while shielding against inevitable shocks and excesses that arise. “Sufficiency” means moderation and due consideration in all modes of conduct, as well as the need for sufficient protection from internal and external shocks. To achieve this, the application of knowledge with prudence is essential. In particular, great care is needed in the utilization of untested theories and methodologies for planning and implementation. At the same time, it is essential to strengthen the moral fibre of the nation, so that everyone, particularly political and public officials, technocrats, businessmen and financiers, adhere first and foremost to the principles of honesty and integrity. In addition, a balanced approach combining patience, perseverance, diligence, wisdom and prudence is indispensable to cope appropriately with the critical challenges arising from extensive and rapid socio-economic, environmental and cultural changes occurring as a result of globalization. Konsep sufficiency economy negara Thailand lebih memfokuskan pada pemberdayaan rakyat kecil di Thailand. Adapun salah satu tujuan dari filsafat ekonomi ini adalah menciptakan keseimbangan dan keberlanjutan pembangunan ekonomi, serta kesiapan untuk menghadapi segala perubahan yang terjadi. Sufficiency economy sebagai sebuah perspektif yang universal, dapat dipahami dengan mudah dan praktis. Oleh karena itu, sufficiency economy juga dapat diimplementasikan sebagai pedoman untuk perencanaan dan pembangunan negara dalam rangka untuk mengikuti setiap perubahan yang terjadi dengan cepat dalam era globalisasi saat ini. Menurut Office of the National Economic and Social Development Board (NESDB) Thailand (2007: 6-7), penerapan sufficiency economy sebagai landasan pembangunan ekonomi nasional didasarkan pada tiga prinsip dasar, yaitu:
a.
Reasonableness, yaitu menekankan pada keputusan ekonomi yang menyeimbangkan kearifan lokal Thailand dan globalisasi. Titik beratnya
9
terletak pada pengambilan keputusan negara dengan tujuan memajukan ekonomi rakyat Thailand. Agar menjadi reasonable, maka pengambilan keputusan harus dilakukan langkah demi langkah, dimulai dari unit terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. b.
Moderation, artinya, dalam setiap pengambilan keputusan ekonomi yang diambil haruslah disertai dengan pengetahuan akan potensi diri atau kapabilitas yang ada, sehingga setiap keputusan yang diambil bisa menjadi lebih efisien. Titik berat dalam prinsip ini terdapat dalam pengetahuan terkait apa saja yang sungguh dibutuhkan negara dan lingkungannya.
c.
Self immunity, artinya, keputusan ekonomi yang diambil harus disertai dengan risk management. Setiap pengambilan keputusan yang dilakukan haruslah memiliki jangkauan analisis dampak yang panjang serta baik dan buruknya bagi masyarakat dan negara.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut, dapat dilihat bahwa pembangunan ekonomi Thailand yang berlandaskan sufficiency economy difokuskan kepada pengembangan cara berpikir dan berperilaku dalam menyikapi setiap perubahan yang terjadi dalam lingkungan global dan kawasan, sehingga tiap unit yang ada dalam masyarakat mampu memiliki pondasi yang kuat dalam menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Oleh karena itu penulis menggunakan konsep sufficiency economy untuk menjelaskan bagaimana pemerintah Thailand mengembangkan dan membangun pondasi perekonomian negaranya dengan didasarkan pada prinsip moderation, reasonableness, dan self immunity yang ada dalam konsep sufficiency economy tersebut.
10
1.7.2. Kerjasama Perdagangan Regional Kerjasama atau perjanjian perdagangan regional adalah perjanjian dari dua atau lebih negara yang bertujuan untuk mengurangi hambatan dalam perdagangan atas dasar resiprokal dan atau preferensi (World Bank, 2005). Adapun terdapat dua konsep mengenai kerjasama perdagangan dalam lingkup regional ini, yaitu: kerjasama regional (regional cooperation) dan penyatuan regional (regional integration). Kerjasama regional dapat diartikan sebagai kebijakan bersama yang diambil oleh sekelompok negara yang biasanya terletak dalam satu kawasan, untuk mencapai tingkat kemakmuran tertentu yang lebih tinggi dibandingkan dengan upaya yang diambil masing-masing negara secara individu (Lamberte, 2005).
Penyatuan regional adalah penyatuan secara de facto beberapa negara dalam satu kawasan geografis. Penyatuan tersebut dapat didorong oleh kebutuhan pasar (market driven) sehingga tidak diperlukan perjanjian eksplisit atau koordinasi tindakan antar negara untuk menyatukan perekonomiannya, serta penyatuan yang dihasilkan dari kerjasama regional dalam bentuk perjanjian perdagangan regional, sering disebut dengan instilah institution-driven. Intensitas penyatuan regional dapat bervariasi, regional full economic integration tercipta apabila barang, jasa, dan faktor produksi dapat bergerak bebas antar negara dalam satu kawasan dan pasar keuangannya juga telah menyatu (Saputra, 2007).
Adapun
faktor-faktor
perdagangan regional antara lain:
yang
mendasari
terbentuknya
kerjasama
11
a. Membangun rasa aman baik secara ekonomis maupun politis diantara negara yang berdekatan; Sebagai contoh, pembentukan masyarakat ekonomi Eropa dilakukan melalui kebijakan kerjasama perdagangan dengan maksud untuk memperoleh pengaruh ekternal secara politis mengingat di kawasan tersebut tidak mempunyai kebijakan luar negeri atau kebijakan keamanan bersama. b. Mengelola friksi perdagangan. c. Peningkatan kapasitas (capacity building) untuk pembangunan; diharapkan dengan kerjasama di kawasan dalam bentuk penurunan hambatan perdagangan dapat mendorong peningkatan efisiensi, produktivitas dan daya saing serta penurunan biaya dan resiko perdagangan dan investasi. d. Kebijakan untuk menjamin diplomasi perdagangan. e. The Copycat Syndrome; merupakan reaksi pertahanan terhadap regionalisme di Eropa, Amerika Utara, dan Amerika Latin yang mengancam daya saing perekonomian Asia Timur. Dengan demikian kerjasama regional diadopsi sebagai strategi untuk pembangunan dan peningkatan daya saing negara-negara di kawasan (Lamberte, 2005). f. Persaingan untuk mendapatkan Penanaman Modal Asing (PMA)
ASEAN sendiri sebagai salah satu organisasi regional telah menerapkan berbagai kerjasama perdagangan diantara negara-negara anggotanya yang diantaranya adalah ASEAN Preferential Trade Agreement (PTA), ASEAN Free Trade Area (AFTA), dan ASEAN Investment Area (AIA).
12
1.8.
Metode Penelitian Penulis menggunakan jenis penelitian dengan metode deskriptif. Penelitian
metode deskriptif ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan secara cermat fenomena atau kenyataan sosial yang didasarkan pada penggunaan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah yang diteliti (Faisal, 1997: 20). Metode penelitian yang bersifat deskriptif memiliki ciri-ciri menguatkan perhatian pada masalah-masalah yang pada saat penelitian dilakukan atau masalah-masalah yang bersifat aktual, serta menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya (Nawawi, 1995: 63). Penelitian yang dilakukan ini, menggunakan studi dokumen atau literature study, yaitu penelitian yang dilakukan melalui perpustakaan, surat kabar, buku, majalah atau dokumen lainnya, termasuk juga informasi dari situs internet (Adi, 2004: 64). Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber data yang bersifat sekunder seperti dokumen national economic and social development plan of Thailand, surat kabar, majalah dan jurnal tentang penerapan sufficiency economy di Thailand serta jurnal dan dokumen terkait strategi pembangunan ekonomi nasional Thailand dalam menghadapi ASEAN Economic Community (AEC).
1.9.
Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari empat bab dan pembahasan dalam tiap bab
dijabarkan lebih rinci ke dalam sub-sub bab. Pembahasan yang terkandung dalam bab satu dengan yang lainnya saling berhubungan sehingga pada akhirnya nanti
13
akan membentuk karya tulis yang runut dan sistematis. Adapun, sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I membahas latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II membahas pembangunan ekonomi nasional di Thailand dan ASEAN Economic Community (AEC) 2015. Bab III membahas strategi pembangunan ekonomi Thailand yang berlandaskan sufficiency economy dalam menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) 2015. Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari bab-bab sebelumnya.