BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Olahraga senam merupakan olahraga yang sangat familier di kalangan
masyarakat Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, senam didefinisikan sebagai gerak badan dengan gerakan tertentu, seperti menggeliat, menggerakkan, dan meregangkan anggota badan. Dalam beberapa literatur olahraga disebutkan bahwa manfaat
olahraga
senam
adalah
untuk
meningkatkan
kesegaran
jasmani,
mengembangkan keterampilan dan menanamkan nilai mental, dan spiritual. Kegiatan senam dapat dilakukan di ruang terbuka maupun di ruangan tertutup yang biasa disebut dengan istilah sanggar senam. Sanggar sendiri didefinisikan sebagai tempat atau sarana yang digunakan oleh suatu komunitas, sanggar senam dalam hal ini komunitas pecinta olahraga senam untuk melakukan suatu kegiatan senam. Sebagai indikasi semakin familiernya olahraga senam di kalangan masyarakat adalah dengan menjamurnya berbagai sanggar senam, semakin banyaknya instrukturinstruktur1 baru bermunculan, dan
semakin banyak dana yang diuncurkan
pemerintah untuk Lembaga Kursus dan Keterampilan (LKP) Sekolah Senam. Yogyakarta merupakan kota dengan tingkat keragaman yang tinggi memiliki sedikitnya lima puluh sanggar senam yang terbagi di lima kabupaten/kotamadya,
1
Instruktur adalah pemimpin/ guru senam yang telah mendapatkan pelatihan dan sertifikat, instruktur bisa berasal dari lembaga formal maupun dari Pendidikan Non Formal (PNF)
1
serta enam LKP Sekolah Pelatih Senam yang telah terdaftar di Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini, Non Formal, Informal Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan2. Banyak ditemukan aspek positif dan aspek negatif terhadap fenomena makin menjamurnya sanggar senam di Yogyakarta ini.
Aspek positif dilihat dari segi
ekonomi yakni membuka lapangan pekerjaan bagi instruktur-instruktur dan bagi pemilik sanggar senam itu sendiri. Dari segi aspek sosial yakni sebagai sarana berkumpul dan bertukar informasi. Aspek positif dari sisi kesehatan yakni semakin banyak individu yang sadar diri terhadap pentingnya kesehatan dan olahraga. Sedangkan aspek negatif adalah muncul citra-citra negatif seperti sang instruktur perempuan bisa dibooking untuk urusan kepuasan seksual, instruktur laki-laki banyak yang menjadi gigolo, instruktur senam yang homoseksual, member perempuan usia setengah baya adalah tante-tante yang hiperseks, penggunaan obat dopping, penyalahgunaan sanggar senam sebagai tempat kencan, dan lain sebagainya. Kenyataan di atas mematahkan pepatah yang berbunyi, “Men Sana in Corpore Sano, Dalam Tubuh yang Sehat Terdapat Jiwa yang Kuat.” Dalam antropologi kesehatan dipandang bahwa disiplin budaya memberikan perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari tingkah laku manusia, terutama dalam hal cara-cara interaksi yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit3 .
Yang
dimaksud dengan penyakit tidak hanya penyakit yang dijelaskan secara biologis saja,
2
Informasi Ini diperoleh dari website resmi
Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan
www.infokursus.net Di Yogyakarta sendiri terdapat 6 LKP yang terdaftar yakni LKP Segar, Noni Kusuma, Cahya Kumala, Studio Senam 56,Hanna, dan Kartika Dewi. 3
Medical Anthrophology (1986) karya George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson
2
namun juga penyakit sosial sebagaimana contoh di atas. Fenomena ini merupakan fenomena yang telah menjadi rahasia umum di kalangan instruktur senam, dan penggila olahraga senam. Namun menjadi sebuah fenomena yang terlihat awam bagi sebagian masyarakat seperti halnya fenomena gunung es. Aroma persaingan yang tidak sehat pun terkadang menjadi aspek negatif dari menjamurnya sanggar senam di Yogyakarta ini. Menurut pengamatan penulis, hal ini didapat dari banyaknya gosip yang beredar, saling menjelekkan satu sama lain, antara instruktur yang satu dengan instruktur yang lain, yang dianggap tidak satu geng. Hingga menjurus ke budaya hedonisme, berlomba-lomba memakai sepatu bermerek, baju senam mahal di kalangan para instruktur dan member. Sebagaimana diketahui penulis, dunia senam sangat rawan dengan budaya hedonisme dan aroma persaingan yang tidak sehat seperti tersebut di atas. Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan travelling merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Kaum hedonis beranggapan hidup ini hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. Di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalanani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Dari golongan penganut paham ini lah muncul nudisme (gaya hidup bertelanjang). Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epikuris yang menyatakan, "Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok engkau akan mati." Sampai pada tahap ini, olahraga senam
3
tidak hanya melulu soal kesehatan, soal kebugaran tubuh, dan kesehatan mental saja. Bahkan bisa terjadi sebaliknya, sangat ekstrim memang. Secara tidak langsung sanggar senam telah berubah menjadi ruang publik. Pada abad 18 masehi, kaum borjuis Eropa memiliki hobi kongkow di kedai-kedai kopi. Duduk berjam-jam sejak senja adalah kegiatan mereka di kedai kopi tersebut. Berawal dari fenomena seperti inilah inspirasi Jurgen Habermas, filsuf kenamaan asal Jerman menciptakan teori ruang publik (public sphere). Jurgen menggambarkan bagaimana mereka saling berbincang dalam strata dan kondisi sosial yang sama. Keseragaman status tersebut yang membuat seseorang menikmati berada di ruang publik. Persamaan kepentingan, motivasi, dan tujuan yang menyebabkan sanggar senam dapat dikategorikan sebagai ruang publik (Budi Hardiman, 2010). Sanggar senam telah menjadi ruanng publik untuk mengaktualisasikan diri sebagai bagian dari keadaan borjuasi kelas menengah perkotaan, juga menjadi komoditas seksual bagi orang-orang tertentu.
B.
Studi Literatur
Mary Douglas dalam Purity And Danger (1966) mengungkapkan bahwa tubuh adalah sebuah teks budaya.
Ibaratnya, jika kita ingin melihat suatu
kebudayaan masyarakat, maka lihatlah bagaimana orang-orang dalam masyarakat tersebut memperlakukan tubuhnya. Tubuh telah menjadi lambang dan representasi budaya masyarakat. Tubuh juga sangat mempengaruhi kejiwaan seseorang.
4
Perempuan bertubuh ideal merasa lebih percaya diri daripada perempuan yang bentuk tubuhnya biasa-biasa saja, atau tergolong jelek. Tubuh telah menjadi modal non-fisik, mulai dari modal finansial, modal sosial, dan lain sebagainya. Sebut saja contoh ketika kita bertemu seseorang di jalan misalnya, kita akan segera tahu dari kelas sosial mana dia berasal. Dengan kata lain, tubuh juga menunjukkan status dan kelas sosial seseorang. Tubuh juga menjadi medium pembentukan identitas dan pencitraan identitas seseorang.
Setiap manusia memiliki pencitraannya masing-
masing. Dalam pengungkapan ekspresi pun banyak yang muncul dari bahasa tubuh atau kinesika. Misalnya mengkedipkan mata, mengernyitkan dahi, memindah posisi kaki, dan lain sebagainya. Dengan ditopang industri kebudayaan (cultural industry) telah mengkonstruksi masyarakat yang tak sekadar berbasis konsumsi, tapi juga menjadikan semua artefak budaya sebagai produk industri, dan sudah tentu komoditas.
Pada tahap ini, tubuh juga telah menjadi komoditas masyarakat. Tubuh dapat dibentuk dan diberlakukan sesuai dengan norma masyarakat dan jaman yang bersangkutan. Kingsley Davis (1960:622-623) berpendapat bahwa perubahan sosial (social change) merupakan bagian dari perubahan kebudayaan (culture change). Perubahan kebudayaan jauh lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Perubahan budaya dan perubahan sosial telah membawa proses yang besar terhadap keberadaan tubuh itu sendiri. Konsep tubuh ideal tersebut sangat dipengaruhi oleh body image culture yang berevolusi dari waktu ke waktu. Akibat yang muncul adalah perbedaan konsep tubuh ideal pada setiap periode sejarah. Konstruksi sosial telah menciptakan image tersebut. Begitu juga dengan perspektif gender yang juga diciptakan oleh
5
konstruksi sosial. feminin.
Ada laki-laki yang maskulin, namun ada juga laki-laki yang
Begitu juga dengan perempuan, ada perempuan yang feminin, namun
banyak juga yang bersifat maskulin. Mary Douglas juga melihat tubuh sebagai sistem simbol. Dalam salah satu bukunya yang berjudul Natural Symbols (1970), Douglas membagi tubuh menjadi dua, yakni the self (individual body) dan the society (the body politics). The body politics membentuk bagaimana tubuh itu secara fisik dirasakan. Pengalaman fisik dari tubuh selalu dimodifikasi oleh kategori-kategori sosial yang sudah diketahui, yang terdiri atas pandangan tertentu dari masyarakat. Di samping Mary Douglas, juga ada tokoh lain yang bernama Bryan S Turner (1984) yang membuat skema permasalahan tubuh yang disebutnya sebagai "geometri tubuh" pada karyanya The Body and Society. Pada abad ke-20, dengan berkembangnya ilmu kedokteran, antropologi, dan psikologi, tubuh dianggap sebagai sesuatu untuk dinikmati, yang sesekali dapat rusak, akan tapi dengan cepat bisa segera disembuhkan atau diperbaiki. Dalam studi tubuh yang ingin penulis bahas dalam skripsi ini adalah keberadaan tubuh sebagai komoditas seksualitas, terutama keberadaannya di ruang publik, yakni sanggar senam. Michel Foucault (2008) dalam Ingin Tahu Sejarah Seksualitas menyebutkan bahwa seks bukanlah realitas awal dan seks bukanlah hanya dampak sekunder, melainkan sebaliknya, seks dibawahi secara historis oleh seksualitas.
Dalam sanggar senam, tubuh telah menjadi komoditas seksualitas.
Penelitian dalam skripsi ini lebih menitikberatkan terhadap perilaku seksual pada beberapa informan yang aktif di sanggar senam. Tidak menutup kemugkinan adanya 6
transaksi seksual, seks terselubung, perilaku menyimpang lainnya, maupun perselingkuhan yang semuanya mematahkan pepatah bahwa “di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat”.
Interaksi sosial yang terjadi dalam penelitian
skripsi ini dengan jelas dipaparkan Cifford Geertz dalam Thick Description. Geertz mendefinisikan bahwa manusia ibarat laba-laba yang hidup saling tergantung dalam makna yang dirajutnya sendiri. Begitu juga dengan interaksi sosial yang dilakukan oleh manusia.
C.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas,
penulis melihat bahwa tujuan seseorang
melakukan olahraga senam di sanggar senam ternyata tidak hanya melulu soal kesehatan, kebugaran, dan kesehatan mental. Akan tetapi, ada beberapa orang yang menjadikan sanggar senam sebagai tempat janjian untuk melakukan transaksi seksual, sebagai tempat kongkow-kongkow antara member tante-tante dengan instruktur laki-laki, dan sebagainya. Pada skripsi ini, peneliti lebih menekankan pada kasus aktivitas seksual menyimpang yang dilakukan informan sanggar senam (dalam hal ini, member dan instruktur). Kemudian dapat ditarik sebuah permasalahan, yakni Bagaimana
interaksi
intensif
para
anggota
sanggar
senam
tersebut
berpengaruh bagi munculnya intimitas hubungan yang mengarah pada komodifikasi seks dan penyimpangan sosial di dalamnya?
7
D.
Tujuan Penelitian
Tulisan ini akan menjawab pertanyaan dari permasalahan di atas. Secara umum penelitian ini akan mendeskripsikan alasan, tujuan, serta motivasi para informan melakukan tindakan demikian. Selain itu melalui penelitian ini juga akan diperoleh hubungan antara komoditas seksualitas dan ruang publik bernama sanggar senam.
E.
Kerangka Pemikiran Studi mengenai tubuh bermula pada abad ke-19 ketika saat itu terdapat empat
alasan yang menjelaskan pentingnya studi mengenai tubuh dalam kajian antropologi. Pertama, Pembahasan antropologi filsafat tentang tema ontologi manusia. Tema ini secara langsung menempatkan perwujudan bentuk manusia dalam posisi sentral. Kedua, asal-usul manusia yang berasal dari spesies mamalia adalah pertanyaan penting dalam antropologi.
Apakah yang kemudian membatasi alam dan
kebudayaan? Ketiga, Sejak masa Victoria telah berkembang telaah evolusi dalam antropologi (darwinisme sosial),
yang memberi kontribusi pada studi tubuh.
Keempat, karena dalam masyarakat pramodern tubuh adalah penanda penting bagi status sosial, posisi keluarga, umur, gender, dan hal-hal yang bersifat religius4. Sejak abad tersebut, kajian antropologi mengenai studi tubuh mulai berkembang dan pada perkembangan berikutnya muncul pandangan-pandangan baru mengenai tubuh. Kajian mengenai tubuh tidak hanya di seputar struktur atau kondisi fisik saja, akan 4
Informasi diperoleh dari artikel Studi Tubuh dalam website KUNCI cultural studies center.
8
tetapi para antropolog mulai memandang tubuh sebagai alat untuk menganalisa masyarakat.
Sebagai tambahan dalam mempelajari masalah ini, juga dapat
menggunakan teori evolusi dimana menurut Spencer yakni pembentukan atau perubahan yang berlalu sama ada di dalam budaya masyarakat, biologi atau bahkan keduanya. Pengaruh biologi ialah sains yang berkaitan dengan struktur, fungsi perkembangan dan proses hidup pada benda hidup. Evolusi masyarakat juga bermaksud sebagai perubahan secara berangsur-angsur pada masyarakat pada bentuk yang lebih kompleks. Perkembangan selanjutnya, muncul tokoh-tokoh yang tertarik pada kajian studi tubuh. Sepanjang sejarah, tubuh tidak henti-hentinya menjadi diskursus dari berbagai disiplin keilmuan. Agama, filsafat, psikologi, antropologi, dan bermacam cabang keilmuan lainnya selalu memberikan ruang pembahasan yang istimewa bagi tubuh. Terdapat dua macam teori besar tentang tubuh. Pertama adalah teori naturalis yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tubuh adalah tubuh biologis. Ciri paling mencolok dari teori ini adalah pembedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan sebagai pembawaan alami. Pembedaan ini menentukan cara pandang masyarakat yang diorganisir.
Kedua adalah teori konstruksi. Tidak hanya gender
yang merupakan hasil konstruksi masyarakat, akan tetapi tubuh juga merupakan hasil konstruksi sosial budaya. Seseorang menjadi laki-laki atau perempuan bukan karena secara alami masing-masing memiliki bentuk-bentuk tertentu dari kelaki-lakian atau keperempuanan, akan tetapi masyarakat dan budayalah yang mengkonstruksi dan memberi makna bagi keduanya. 9
Tubuh, selain sebagai hasil dari konstruksi sosial budaya, tubuh juga merupakan komoditas seksualitas. Seksualitas bukan lagi menjadi hal yang tabu, seksualitas telah berubah menjadi sebuah kebutuhan, dan seksualitas itu sendiri menjadi barang konsumsi. Konsumsi muncul akhir 1950an dan awal 1960an dalam perdebatan mengenai perkembangan masyarakat konsumen (John Storey). Konsumsi secara artifisial distimulasi oleh iklan. Celia Lury mengatakan konsumsi telah menjadi mode yang senantiasa dipercanggih hingga memberikan konteks bagi kreativitas hidup anggota masyarakat sehari-hari. Celia yang mendalami budaya konsumen mengatakan bahwa iklan meningkatkan penciptaan sebuah kecemasan bahwa jika perempuan tidak memenuhi standar maka mereka tidak akan dicintai. Ungkapan kasarnya, perempuan direkayasa untuk membenahi sejumlah bagian tubuh mereka agar menjadi sempurna. Iklan telah memainkan peran penting dalam pemaknaan bahwa kecantikan bukanlah bawaan alamiah, tetapi sesuatu yang dapat dicapai oleh setiap perempuan.
F.
Metode Penelitian Lokasi penelitian berada di wilayah administratif kotamadya Yogyakarta
mengambil sampel 2 (dua) buah sanggar senam yang berada di kawasan tersebut. Dua sanggar senam tersebut merupakan sanggar senam besar dan dianggap mewakili penelitian. Penelitian dikhususkan pada member dan instruktur pada kedua sanggar senam tersebut. Waktu penelitian adalah 3 bulan, dari bulan Maret 2013 sampai dengan bulan Mei 2013. Akan tetapi, penulis sebelumnya telah mengenal para informan dan mengetahui latar belakang informan dikarenakan intensitas pertemuan yang tinggi. 10
Informan dalam penelitian skripsi ini empat informan yang memiliki latar belakang dan pengalaman berbeda dalam hal senam. Dalam mempertimbangkan informan, prioritas tertinggi adalah harus diberikan kepada seseorang yang mempunyai cukup waktu untuk penelitian itu (Spradley, 1997:69). Informan yang dipilih oleh penulis adalah informan yang memiliki tingkat interaksi yang tinggi dalam komunitas ini. Prioritas lain adalah informan yang telah aktif di sanggar senam selama satu tahun atau lebih, memiliki kasus penyimpangan seksual, dan termasuk penggila olahraga senam. Penulis memilih empat informan yang masingmasing informan memiliki kasus penyimpangan seksual yang berbeda. Keempat informan tersebut adalah tiga orang member senam dan satu orang instruktur senam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi-partisipasi dan wawancara mendalam.
Wawancara dilakukan secara nonformal dengan suasana
santai serta tidak canggung. Penulis melakukan wawancara di sela-sela kegiatan mereka sebagaimana perbincangan santai biasa. Wawancara dilakukan di sanggar senam, di warung makan, dan di ajang perlombaan senam. Sharing pengalaman antara penulis dan informan juga dilakukan.
Sedangkan observasi-partisipasi
dilakukan dengan cara mengamati serta terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh informan, antara lain mengikuti kelas senam aerobik, mengikuti latihan fisik para instruktur, berkumpul bersama, ikut menjadi instruktur senam dan mengajar senam di berbagai instansi, dan lain sebagainya. Penulis ikut menjadi bagian dari aktivitas mereka sebagai penggila olahraga senam.
11
Mengenai perolehan data, data akan diperoleh melalui dua macam. Pertama, data primer5 dan data sekunder6. Data primer berupa wawancara dengan informan yang dianggap mewakili dalam penelitian ini. Sedangkan data sekunder, diperoleh penulis dari studi pustaka dan dari data di instansi yang bersangkutan. Penelusuran laman internet juga dilakukan sebagai bahan pendukung dari penulisan skripsi ini.
5
Data primer merupakan data yang didapat langsung dari narasumber. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber/ informan. Dalam penelitian kualitatif/ deskriptif, narasumber disebut dengan informan-sedang dalam penelitian kuantitatif, narasumber disebut dengan responden. 6 Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui perantara atau dengan kata lain tidak berasal langsung dari informannya. Data sekunder berupa studi pustaka, literature, atau data-data di instansi pemerintahan (kelurahan, kecamatan).
12