BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia adalah negara dengan kondisi warga negara yang sangat pluralistik, dimana terdapat banyak suku, ras, agama maupun kelompok masyarakat dengan keanekaragaman budaya maupun keyakinan. Dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memberikan payung hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan dasar Negara Indonesia yang menyatakan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia pada sila ke lima, niat tulus dari pendahulu bangsa ini yang telah merasakan ketidakadilan dari masa penjajahan, tidak menginginkan bangsa ini kembali merasakan ketidakadilan dari pihak-pihak yang berkuasa dalam hal ini pemerintah yang semestinya mewujudkan sila ke lima dari pancasila agar masyarakat diperlakukan sama tanpa memandang suku, ras, dan agama. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan tujuan didirikan Negara Republik Indonesia, antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat tersebut mengandung makna Negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga Negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas barang, 1
publik, jasa publik, dan pelayanan administratif. Dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal tersebut bisa disebabkan oleh ketidakpastian untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai masalah pembangunan yang kompleks. (penjelasan umum UU nomor 25 2009 tentang pelayanan publik). Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas mengatur tentang kesetaraan dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum. Sangat penting bagi aparatur pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya menjadikan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai acuan, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 dan Pasal 28. Dalam menjalankan penyelenggaraan pelayanan publik, setiap aparatur pemerintah harus memiliki kesadaran dan komitmen untuk tidak melakukan tindakan diskriminasi pada setiap warga negaranya di berbagai bidang kehidupan. Dwiyanto (2010:172) menyatakan bahwa aparat birokrasi yang berada di garis depan juga merupakan representasi dan simbol dari birokrasi pelayanan. Apa yang mereka lakukan ketika berinteraksi dengan warga menentukan persepsi dan penilaian warga terhadap birokrasi pelayanan. Apartur pemerintah dalam penyelenggaran pelayanan publik harus menjunjung tinggi asas kedudukan yang sama bagi setiap warga negara tanpa adanya pembedaan baik dari warna kulit, golongan, suku, etnis, agama dan jenis kelamin. Walaupun peraturan perundang2
undangan yang dibuat telah dipersiapkan dengan baik, namun manusia yang berada di belakang peraturan tersebut sangat menentukan yaitu aparatur pemerintah yang melakukan penyelenggaraan publik. Dalam prakteknya, perlakuan diskriminasi yang dialami oleh warga negara pada akhirnya berujung pada praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal tersebut terjadi karena aparatur pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik cenderung dipandang lebih tinggi dari masyarakat yang membutuhkan pelayanan publik. Sinambela (2008:3) mengatakan pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Masyarakat setiap waktu selalu menuntut pelayanan yang berkualitas dari birokrat, meskipun tuntutan tersebut sering tidak sesuai dengan harapan karena secara empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini masih terkesan berbelit-belit, lambat, mahal, dan melelahkan. Kecenderungan seperti itu terjadi karena masyarakat masih diposisikan sebagai pihak yang “melayani” bukan “yang dilayani”. Osborne
dan
Plastrik
dalam
Sinambela
(2008:4)
mencirikan
pemerintahan (birokrat) sebagaimana diharapkan adalah pemerintahan milik masyarakat, yakni pemerintahan birokrat yang mengalihkan wewenang kontrol yang dimilikinya kepada masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh birokrasi. Dengan adanya kontrol dari masyarakat, pelayanan publik akan lebih baik karena mereka selalu merasa diawasi sehingga mereka juga akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli dan lebih kreatif dalam segala hal. Dwiyanto (2011:365) juga menyatakan 3
warga cenderung memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah ketika mereka menilai pemerintah mampu mencukupi kebutuhan barang dan jasanya. Menurut Hardin dalam Dwiyanto (2011:369) Pemerintah dinilai memiliki komitmen yang kredibel apabila warga percaya bahwa ada encapsulated interest antara dirinya dan aktor-aktor dari institusi pemerintah, yaitu apa yang menjadi kepentingan warga juga menjadi kepentingan para pejabat birokrasi pemerintah, atau setidaknya warga percaya bahwa tindakan pemerintah dan para pejabatnya selalu didasarkan pada keinginan untuk mewujudkan kebaikan bersama (common good) atau melindungi kepentingan dan harta benda warga. Encapsulated interest terjadi apabila kepentingan warga selalu menjadi pertimbangan para pejabat publik dalam membuat dan melaksanakan kebijakan. Arif, Rohman, Ahmad, Purnomo, Sa’id (2008:5) kualitas pelayanan publik yang baik menjamin keberhasilan pelayanan, sebaliknya kualitas yang rendah
kurang
menjamin
keberhasilan
pelayanan
publik.
Keadaan
ini
menyebabkan setiap negara berusaha meningkatkan kualitas pelayanan publiknya. Kenyataan dilapangan pelayanan publik di indonesia menunjukan bahwa pelayanan yang diberikan oleh birokrat kita sangat rumit, prosedural, berbelitbelit, lama, dan boros. Selanjutnya Dwiyanto (2011:90) menyatakan masyarakat rela membayar mahal agar terhindar dari ketidakpastian pelayanan. Akibatnya, biaya pelayanan publik di Indonesia selalu diatas tarif resmi. Ketidakpastian dalam penyelenggaraan pelayanan menyebabkan masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan lebih baik harus mengeluarkan biaya lebih untuk diberikan kepada yang memberikan pelayanan publik atau melalui orang-orang 4
tertentu. Hal ini tentu saja dapat menyebabkan pembedaan pelayanan terhadap masyarakat dan masih terus berlangsung sampai saat ini. Kejadian ini dapat dilihat dari tabel 1.1 berikut tentang reaksi masyarakat pengguna layanan ketika dimintai ‘uang rokok’ (pungutan liar). Tabel 1.1 Reaksi Masyarakat Pengguna layanan Ketika Dimintai ‘Uang Rokok’ (Pungutan Liar). Presentase (%) Reaksi Masyarakat Desa Kota Total Menganggap pungli sebagai hal yang wajar, tetapi tidak
4,5
4,9
4.7
12,1
15,7
13,9
15,7
15,3
13,9
21
18,7
19.9
46,8
45,5
46,1
mau membayar Marah dan menolak untuk membayar pungli Merasa lega karena dengan demikian pekerjaan akan cepat selesai Merasa keberatan, tetapi tetap membayarnya Menganggap pungli sebagai hal yang wajar sehingga membayarnya Sumber : Tabel 2.1 (Dwiyanto, 2011:90) Dari tabel tersebut dapat dilihat jika masyarakat mengetahui bahwa pungutan liar telah menjadi semacam tradisi di lingkungan birokrasi pelayanan di Indonesia. Masyarakat justru memaklumi hal ini dan cenderung menerima perlakuan pembedaan pelayanan saat dimintai uang dengan harapan mendapatkan
5
kualitas pelayanan lebih baik daripada masyarakat yang tidak membayar pungutan liar. Dwiyanto (2011:91) juga menyatakan tingginya tingkat ketidakpastian pelayanan sebagai akibat adanya prosedur pelayanan yang panjang dan melelahkan menjadi penyebab semakin banyaknya warga yang menyerah ketika berhadapan dengan rezim pelayanan yang korup. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan warga cenderung semakin toleran terhadap praktek pungli dan KKN dalam penyelenggaraan layanan publik. Pada awalnya, tindakan kolutif dari masyarakat lebih banyak karena keterpaksaan, yaitu sebagai bentuk respons mereka terhadap kerumitan dan ketidakpastian pelayanan publik. Namun, apabila pada perkembangannya warga pengguna layanan justru banyak yang merasa lega melakukan hal itu, atau bahkan mengharapkannya karena beranggapan hal itu dapat mempercepat urusannya, dan tidak menganggapnya sebagai praktik negatif yang merugikan, berarti masyarakat telah ikut melembagakan praktik KKN. Jika hal itu yang terjadi, penyakit birokrasi menjadi semakin sulit untuk disembuhkan. Zeithaml dalam Dwiyanto (2002:5) mengatakan penyelenggaraan pelayanan publik tidak dilihat lagi sebagai upaya untuk melayani kebutuhan masyarakat, tetapi justru sebagai kepentingan pemerintah untuk mengontrol perilaku warganya. Hal ini sesuai dengan dasar pembuatan sistem pelayanan di Indonesia yang tidak didasari oleh truss dan bertujuan untuk mencegah terjadinya moral hazards dalam warganya. Pelayanan yang diberikan oleh pemerintah bersifat sangat hierarkis dengan dasar distruss untuk mencegah moral hazards 6
dalam masyarakat. Selanjutnya Weber dalam Dwiyanto (2011:25) menyatakan hierarki dapat membantu seseorang melakukan supervisi dan control secara efektif. Hierarki membantu pimpinan dalam melakukan supervisi dan kontrol melampaui batas-batas kemampuannya sebagai seorang individu. Hierarki memungkinkan mereka melakukan kontrol atas banyak orang dengan hanya mengontrol sedikit orang secara langsung. Dwiyanto (2011:65) juga menyatakan ketika birokrasi yang hierarkis beroperasi dalam lingkungan masyarakat yang memiliki budaya paternalistis, kecendrungan pejabat birokrasi memberikan perhatian yang berlebihan kepada pejabat atasan dengan mengabaikan pelayanan kepada masyarakat justru memperoleh justifikasi kultural. Perilaku pejabat birokrasi yang seperti itu memperoleh pembenaran karena budaya paternalistis mengajari mereka untuk menghormati dan menunjukkan dedikasi kepada pimpinan. Budaya paternalistis gagal menjadi sensor bagi berkembangnya perilaku-perilaku pejabat birokrasi yang kurang menghargai profesionalisme. Selanjutnya Triandayani dan Abbas (2001:21) masyarakat selalu mengalami kesulitan dalam mendapatkan pelayanan publik akibat tidak adanya informasi yang pasti tentang aturan main yang berlaku dalam pemberian pelayanan. Dalam proses pemberian pelayanan, masyarakat selalu merasakan adanya perlakuan yang diskriminatif antara satu dengan yang lain. Proses diskriminasi ini terjadi karena adanya permainan antara aparat pemerintah yang memberikan pelayanan dengan masyarakat yang mendapatkan pelayanan. Mengambil jalan pintas dengan menggunakan jabatan atau uang
7
pelicin dalam mendapatkan pelayanan sering dilakukan oleh para pengusaha, pejabat pemerintah, dan militer yang selalu melakukan jalan pintas. Menurut Frederickson dalam Sinambela (2008:15) menyatakan bahwa dalam pelayanan publik, efektivitas dan efisiensi saja tidak dapat dijadikan patokan. Diperlukan ukuran lain yaitu keadilan, sebab tanpa ukuran ini ketimpangan pelayanan tidak dapat dihindari. Pentingnya ukuran ini juga memperhatikan bahwa birokrasi publik cenderung menetapkan target dan dalam pencapaian target, mereka cenderung menghindari kelompok miskin, rentan dan terpencil. Sementara itu telah umum diketahui bahwa efisiensi dan efektivitas merupakan big trade off. Ketika pemerintah memacu efisiensi, pelayanan publik untuk lapisan bawah, miskin dan terpencil yang biasanya diabaikan. Berdasarkan hasil penelitian Governance and Desentralization Survey 2002 dalam Dwiyanto (2003:102) menemukan empat masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu pertama, belum terciptanya keadilan dan persamaan (diskriminasi pelayanan). Penyelenggaraan pelayanan masih dipengaruhi oleh hubungan per-konco-an, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. Kejadian ini tetap marak dalam penyelenggaran pelayanan publik walaupun telah diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang menyatakan kesamaan dalam pelayanan, bukannya diskriminasi. Kedua, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Ketiga, belum adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian pelayanan adalah penyebab munculnya KKN, karena pengguna jasa lebih memilih untuk menyogok kepada 8
penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan. Dan Keempat, maraknya budaya suap dalam penyelenggaran pelayanan publik. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dikarenakan ketidakpastian pelayanan tersebut. Selanjutnya hasil penelitian PERC (Political and Economic Risk Consultancy) menyimpulkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara terburuk dalam bidang birokrasi. Bahkan riset yang dilakukan oleh PERC dalam kurun waktu 10 tahun sejak 2004, birokrasi di Indonesia memperoleh skor 8,5 dari kisaran skor nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Penelitian yang dilakukan oleh
Dwiyanto (2003:127) menyimpulkan
kinerja pelayanan birokrasi publik masih rendah, praktik KKN dalam pemerintahan dan dalam pelayanan publik masih terus berlangsung, bahkan dengan skala dan pelaku yang semakin meluas, keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan publik yang efisien, responsif, akuntabel masih amat jauh dari realitas. Sejak pelaksanaan otonomi daerah setelah reformasi pada tahun 1998, peranan dan fungsi birokrasi semakin dipertanyakan, mengingat banyaknya kecaman dan keluhan masyarakat terhadap rendahnya kualitas pelayanan publik di berbagai sektor kehidupan, banyaknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadikan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi semakin rendah. Kondisi ini menunjukan bahwa harapan masyarakat terhadap reformasi untuk memenuhi tuntutan masyarakat terutama berkaitan dengan perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik masih jauh dari harapan. Dwiyanto (2008:21) juga menjelaskan bahwa buruknya praktik governance dalam penyelenggaraan pelayanan publik sangat dirasakan oleh masyarakat luas. Ini 9
berarti jika terjadi perubahan yang signifikan pada ranah pelayanan publik dengan sendirinya dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat luas. Pelayanan publik di Indonesia masih sangat jauh dari harapan hal ini sesuai dengan pendapat Pramusinto dan Erwan (2009,4) yang menyatakan bahwa pelayanan publik di Indonesia perlu untuk diperbaiki. Pertama, aksesibilitas warga miskin terhadap pelayanan publik dasar seperti pangan, pendidikian, dan kesehatan masih sangat rendah. Kedua, sikap dan perilaku pejabat pelayan publik cenderung menonjolkan sebagai pangreh praja yang jauh dari nilai-nilai sebagai seorang public servant. Ketiga, hak dan kewajiban antara warga dan pemberi layanan masih timpang sehingga warga dalam posisi yang selalu dirugikan. Keempat, otonomi daerah yang seharusnya memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan, ternyata justru melahirkan banyak masalah seperti : kesenjangan pelayanan publik, alokasi anggaran yang banyak diserap untuk kepentingan birokrasi (elite capture), dan semakin maraknya korupsi ditingkat pemerintahan daerah. Paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan daerah ditandai dengan ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta peraturan derivasinya telah membawa konsekuensi yang luas bagi lembaga pemerintah di tingkat daerah. Dalam rangka mewujudkan tujuan otonomi daerah yaitu mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pelayanan publik di daerah, maka lembaga pemerintah di tingkat daerah dituntut mampu memberikan pelayanan publik yang efisien, dan efektif serta nondiskriminatif. Apalagi setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 10
2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Permendagri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah, dalam rangka memajukan dan mensejahterakan rakyatnya maka pemerintah daerah di masing-masing wilayah membentuk berbagai macam organisasi perangkat daerah untuk melaksanakan otonomi. Sebagai tindak lanjut dari adanya kebijakan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Utara mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Utara Nomor 21 tahun 2011 Tentang Pembentukan organisasi dan tata kerja perangkat daerah. Salah satu dinas yang dibentuk adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil merupakan salah satu perangkat Daerah Kabupaten Lampung Utara dalam melaksanakan kewenangan di bidang Kependudukan sebagaimana ditentukan dalam UU No. 32 Tahun 2004. Tugas pokok dan fungsi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dalam Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2011, yaitu: 1) perumusan kebijakan teknis dibidang kependudukan dan pencatatan sipil; 2) penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum dibidang kependudukan dan pencatatan sipil; 3) pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kependudukan dan pencatatan sipil; dan 4) pelaksanaan tugas lain yang di berikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya. Proses pelayanan publik di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lampung Utara masih menemui permasalahan-permasalahan dalam penyelenggaraanya. Hal tersebut dirasakan oleh penulis berdasarkan pengalaman penulis saat bekerja sebagai pegawai di Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung 11
Utara, Penulis pernah mengalami kejadian pada saat membantu saudara membuat kartu KTP sebagai syarat untuk mendaftar dalam proses seleksi penerimaan CPNSD yang prosesnya sangat berbelit- belit, untuk membuat KTP menurut petugasnya kita harus mendapatkan izin yang diketahui oleh RT, Kelurahan, dan Kecamatan serta membawa Kartu Keluarga , kemudian setelah semuanya lengkap menurut petugasnya kita belum mendapatkan kepastian kapan KTP tersebut dapat kita terima karena berbagai macam alasan yang diberikan oleh petugasnya, akan tetapi pada saat itu secara kebetulan penulis bertemu dengan Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang sebelumnya telah mengenal penulis dengan akrab karena penulis saat itu bertugas sebagai Ajudan Bupati di Kabupaten tersebut maka tanpa membutuhkan waktu yang lama dan syarat yang berbelit- belit, KTP yang saudara penulis butuhkan itu dapat diselesaikan dalam waktu 15 menit. Berdasarkan uraian tersebut, maka penyelenggaraan pelayanan publik yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945 menjadi sangat penting karena dalam berlangsungnya proses penyelenggaraan pelayanan publik, masyarakat adalah objek utama dalam prosesnya, dimana masyarakat telah menaruh harapan yang tinggi terhadap kualitas layanan publik yang tidak melakukan tindakan diskriminasi dalam penyelenggaraanya. Oleh karena itu, menyadari pentingnya kesamaan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan ada upaya kajian dan analisis terkait dengan tindakan diskriminasi pelayanan publik beserta berbagai faktor yang menyebabkan diskriminasi pelayanan.
12
Administrasi kependudukan dan pencatatan sipil dibutuhkan oleh pemerintah untuk berbagai macam kebijakan dan kegiatan yang akan dibuat, sedangkan masyarakat juga membutuhkannya sebagai syarat berbagai macam kegiatan sebagai indentitas diri sehingga dibutuhkan pelayanan yang baik, ramah dan tidak diskriminatif oleh pemerintah. Maka dari itu penulis tertarik meneliti tentang “Diskriminasi Pelayanan Masyarakat di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lampung Utara”. Dimana kondisi Kabupaten lampung utara yang memiliki heterogenitas penduduk yang cukup tinggi terdiri dari berbagai suku, agama, tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi yang berbedabeda. Penduduk Kabupaten lampung Utara tidak hanya merupakan penduduk asli tetapi juga banyak terdapat penduduk yang berasal dari suku di luar lampung karena dahulunya kabupaten ini merupakan salah satu daerah tujuan transmigrasi yang berdekatan dengan Pulau Jawa.
1.2 Perumusan Masalah Dengan melihat dari latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut : 1.
Apa bentuk-bentuk diskriminasi pelayanan yang terjadi di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lampung Utara?
2.
Mengapa terjadi Diskriminasi Pelayanan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lampung Utara?
13
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas penelitian ini bertujuan sebagai berikut : 1. Untuk dapat mengetahui apakah telah terjadi tindakan diskriminasi dalam pelayanan terhadap masyarakat pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lampung Utara dan bentuk-bentuk diskriminasi dalam pelayanan terhadap masyarakat pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lampung Utara. 2. Mengungkapkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan diskriminatif dalam pelayanan terhadap masyarakat pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lampung Utara.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah terjadinya peningkatan kualitas dalam pelayanan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Utara terhadap masyarakat yang secara adil dan non-diskriminatif. 1.
Manfaat akademis Kegunaan secara teoritis yaitu penelitian ini diharapkan dapat menjadi
salah satu sumber kajian tentang masalah diskriminasi pada pelayanan publik, untuk meningkatkan pelayanan umum kepada masyarakat secara prima oleh aparatur
pemerintah
yang
profesional
dalam
rangka
mencapai
tujuan
pembangunan secara efektif dan efisien serta non-diskriminatif.
14
2.
Manfaat Praktis Ø
Bagi Pemerintah Dengan adanya penelitian ini dapat membantu memberikan
gambaran kepada Pemerintah Daerah dalam memecahkan masalahmasalah yang timbul pada saat pelaksanaan pelayanan publik, terutama yang berhubungan dengan tindakan diskriminasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Ø
Bagi Ilmu Pengetahuan Agar dapat menjadi masukan untuk menambah wawasan,
pengetahuan, dan pengalaman terutama bagi penulis, praktisi, dan stake holders, serta memberikan khasanah keilmuan yang luas. Ø
Bagi Penulis Agar dapat menambah wawasan, pengalaman serta pengetahuan
yang di miliki oleh penulis agar dapat di terapkan apabila telah kembali bertugas di daerah nantinya.
15
BAB II KERANGKA TEORI
2.1
Pelayanan Publik Dwiyanto (2010:2) mengatakan pemerintah melakukan hubungan dengan
masyarakat melalui pelayanan publik yang menyebabkan pelayanan publik menjadi sesuatu yang sangat penting. Pemerintah mengemban amanah dari rakyat untuk mensejahterakan dan melindungi rakyatnya memiliki beban moral untuk memberikan pelayanan publik yang terbaik bagi warganya. Pelayanan publik yang diharapkan oleh masyarakat adalah pelayanan yang ramah, cepat dan tidak diskriminatif. Menurut
Siagian
(2001:128-129)
penyelenggaraan
pemerintahan
memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi pengaturan dan fungsi pelayanan. Fungsi pengaturan berhubungan dengan pemerintahan sebagai suatu negara hukum (legal state), sedangkan fungsi pelayanan berhubungan dengan pemerintahan sebagai suatu negara kesejahteraan (welfare state). Baik fungsi pengaturan maupun fungsi pelayanan, keduanya mencakup semua segi kehidupan dan penghidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan pelaksanaannya dipercayakan kepada aparatur pemerintah tertentu yang secara fungsional bertanggung jawab atas bidang-bidang tertentu dari kedua fungsi tersebut. Pelayanan merupakan salah satu fungsi utama yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dan negara terhadap masyarakat yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah yang terdapat dalam birokrasi pemerintahan. Oleh Karena itu, kedudukan aparatur pemerintah
16