BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Permasalahan yang sangat penting kiranya jika berbicara tentang anak. Seperti yang di ketahui anak merupakan aset ataupun masa depan dari suatu bangsa. Jika berbicara mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak tentu masih terdengar jarang di mata masyarakat karena aksi kriminalitas umumnya lebih kepada orang dewasa. Memelihara kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orang tua yang tidak boleh diabaikan. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pokok – Pokok Perkawinan selanjutnya disebut UU Pokok Perkawinan Pasal 45 menentukan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak – anak yang belum dewasa sampai anak – anak yang bersangkutan dewasa atau dapat berdiri sendiri. Pengelompokan
pengertian
anak,
memiliki
aspek
yang
sangat
luas.Berbagai makna terhadap anak, dapat diterjemahkan untuk mendekati anak secara benar menurut sistem kepentingan agama, hukum, sosial, dari masingmasing bidang.1Anak dalam pemaknaan umum mendapat perhatian tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan (the body of knowledge), tetapi dapat ditelaah dari sisi pandang sentralistis kehidupan seperti, agama, hukum, dan sosiplogi yang menjadikan pengertian anak semakin rasional dan actual dalam lingkungan sosial. Faktor yang menjadi perhatian di dalam sistem hukum nasional dan perlu
1
Maulana Hassan Wadong, 2000, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h. 5
mendapat susunan secara substasional adalah sebagai berikut : (1) status anak atau eksistensi anak (2) sistem hukum positif yang mengatur tentang anak.2 Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian “Anak” dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang dibawah umur/ keadaan dibawah umur (minderjarigheid/ infernority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige ondervoordij).3 Kedudukan keluarga sangat fundamental dan mempunyai peranan yang vital dalam mendidik anak. Pasal 45 UUPokok Perkawinan, menentukan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak–anak yang belum dewasa sampai anak-anak yang bersangkutan dewasa atau dapat berdiri sendiri. Orang tua merupakan yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal 9 UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak). Apabila pendidikan dalam keluarga gagal, maka anak cenderung melakukan tindakan kenakalan dalam masyarakat dan sering menjurus ke tindakan kejahatan atau kriminal.4 Pada dasarnya anak belum dapat melakukan perlindungan terhadap dirinya sendiri dari berbagai ancaman baik fisik ataupun mental oleh karena itu anak membutuhkan perlindungan dari pihak orang lain khususnya orang tua. Akan tetapi pada kenyataannya banyak orang tua yang melupakan kewajibannya sebagai orang tua karena terlalu sibuk akan pekerjaannya sehingga anak pun 2
Ibid, h. 1 Lilik Mulyadi, 2005, Pengadilan Anak di Indonesia Teori Praktek dan Permasalahannya, Mandar Maju, Bandung, h. 3 4 Maidin Gultom, 2006, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, h. 1 3
menjadi kurang mendapatkan perhatian yang merupakan bagian penting dari mendidik anak. Akibat dari hal tersebut tentu saja anak menjadi dapat melakukan tindakan pelanggaran ataupun tindakan kriminalitas di masyarakat. Anak
merupakan
salah
satu
aset
pembangunan
nasional,
patut
dipertimbangkan dan diperhitungkan dari segi kualitas dan masa depannya. Tanpa kualitas yang handal dan masa depan yang jelas bagi anak, pembangunan nasional akan sulit pula dibayangkan.5Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat UUPA), dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “ Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency, yang diartikan dengan anak cacat sosial. Romli Atmasasmita dalam bukunya Maidin Gultom mengatakan bahwa delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuanketentuan hukum yang berlaku di suatunegara dan yang oleh masyarakat sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.6Kenakalan remaja dirumuskan sebagai suatu tingkah laku, perbuatan ataupun tindakan remaja yang bersifat asocial, bertentangan dengan agama, dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.7 Kerasnya kehidupan di masyarakat menyebabkan anak yang secara fisik ataupun mental belum siap terhadap kehidupan yang keras menjadi memiliki 5
Bunadi Hidayat, 2010, Pemidanaan Anak Dibawah Umur, P.T. Alumni, Bandung, h.1 Maidin Gultom, op.cit, h. 32 7 Ibid, h. 55 6
pemikiran–pemikiran yang tidak baik. Seseorang menjadi jahat atau baik dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat. Hal ini tentu dapat di lihat dari pergaulan yang didapat sang anak dalam pergaulannya di masyarakat. Semakin meningkatnya perkembangan kehidupan masyarakat di segala bidang, maka semakin berkembang pula tindak pidana yang dilakukan oleh anak.Selain itu permasalahan yang dihadapi oleh anak adalah rasa keingintahuan yang besar terhadap sesuatu yang baru, yang menjadi masalahnya adalah terkadang mereka masih belum bisa menentukan apakah tindakan yang mereka lakukan tersebut adalah benar atau salah. Hal ini berarti bahwa anak atau remaja Indonesia sebagai pemegang amanat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, diharapkan mampu mengisi meneruskan tekad bangsa dalam membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik, dimana kehidupan seorang anak dijadikan sebuah salah satu tolak ukur dalam perkembangan suatu bangsa. Keberadaan anak yang ada di lingkungan memang perlu mendapatkan perhatian terutama pada tingkah lakunya. Anak dalam perkembangan ke arah dewasa terkadang melakukan perbuatan yang lepas kontrol, sehingga dapat merugikan orang lain. Tindakan ini dikarenakan anak belum memiliki sikap dan mental
yang
belum
stabil
dan
pengaruh
pergaulan
yang
buruk
di
lingkungannya.Selain itu, juga disebabkan oleh kesenjangan sosial yang tinggi.Sudah banyak terjadi kenakalan anak yang menjadi tindak pidana atau kejahatan yang tidak dapat ditolerir lagi sehingga anak harus berhadapan dengan hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Berbicara tentang anak nakal tentu tidak jauh dari tindakan yang dilakukan oleh anak.Secara substansial, pada hakikatnya anak nakal dalam persidangan anak dapat dijatuhi pidana atau tindakan pidana tersebut adalah pidana pokok yang berupa pidana penjara, kurungan, denda atau pengawasan.8Proses pengadilan anak baik dari ditangkap, ditahan, diadili dan selanjutnya dibina wajib atau harus dilakukan oleh pejabat yang benar-benar memahami masalah anak. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak, bahwa terdapat suatu badan yang dilibatkan dalam menangani masalah tentang anak nakal yaitu BAPAS (Balai Permasyarakatan). Selain itu, dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, dinyatakan bahwa fungsi pemasyarakatan adalah menyiapkan warga binaan pemasyarakatan, yaitu anak didik pemasyarakatan atau anak yang berada dalam lembaga pemasyarakatan anak agar dapat berinteraksi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Suatu kebijakan yang rasional untuk menanggulangi kejahatan disebut dengan politik kriminal.Kebijakan kriminal bila dilihat lingkupnya, sangat luas dan tinggi kompleksitasnya.Pada hakikatnya kejahatan dan kenakalan merupakan masalah kemanusiaan dan sejaligus masalah sosial yang memerlukan pemahaman tersendiri.Kenakalan sebagai masalah sosial merupakan gejala sosial dan struktur
8
Lilik Mulyadi, op.cit, h. 19
kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks, yang merupakan suatu sociopolitical problem.9 Mengenai pemidanaan anak, tidak dapat dilepaskan dari fungsi dan tugas Balai Permasyarakatan atau yang disingkat BAPAS itu sendiri. BAPAS merupakan bagian dari tubuh Direktorat Jendral Bina Tuna Warga yang berfungsi untuk membantu pembinaan tuna warga baik secara perdata maupun pidana agar dapat berfungsi sebagai warga negara yang baik. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No. Y.S.4/2/23 tahun 1976, tanggal 11Maret 1976 tentang Pembentukan Kantor-Kantor Direktorat Jendral Bina Tuna Warga di Kabupaten/Kota Madya, maka Kantor Balai Bimbingan Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA) Denpasar mulai didirikan pada tahun 1976 tanpa upacara peresmian dengan diberikan tempat sementara di serambi depan di sebelah selatan pintu masuk Lembaga Pemasyarakatan (Kantor Direktorat Jendral Pemasyarakatan Denpasar) Jalan Diponogoro No. 98 yang dulunya bekas ruangan jaga militer (penjagaan tahanan G.30.S/PKI) yang terdiri dari tiga ruangan, yaitu : Ruangan Kepala, Ruangan Tata Usaha, dan Ruangan Teknis Pembinaan dengan jumlah pegawai pertama kalinya 11 orang. Pada hari rabu tepatnya pada tanggal 1 Juli 1981, Kantor Balai BISPA Denpasar sudah mempunyai dan menempati bangunan tersendiri yang terletak di Jalan Ken Arok Nomor 4 Denpasar, hingga sekarang. Pada
tahun
1997
Balai
BISPA
berubah
nama
menjadi
Pemasyarakatan (BAPAS) berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman
9
Maidin Gultom, op.cit, h. 58
Balai No.
M.01.PR.07.03 Tahun 1997. Demikian halnya Balai BISPA Kelas I Denpasar dengan sendirinya berubah menjadi BAPAS Kelas I Denpasar. BAPAS Kelas I Denpasar merupakan Pelaksana Teknis dibawah Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Bali yang dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya bermitra dengan instansi Pemerintah Penegak Hukum
yaitu :
Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, Kepolisian, Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara dan Balai Pemasyarakatan Lainnya. Selanjutnya membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal berdasarkan putusan pengadilan yang dijatuhi hukuman Pidana bersyarat, Pidana pengawasan, Pidana denda, Diserahkan kepada Negara (Anak Negara), Harus mengikuti latihan kerja, Anak yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan. Adapun salah satu tugas dari BAPAS yaitu memperlancar tugas penyidik, penuntut umum dan hakim dalam perkara Anak Nakal baik di dalam maupun di luar sidang. Selanjutnya membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal berdasarkan putusan pengadilan yang dijatuhi hukuman.10Tugas pokok dari BAPAS sendiri adalah memberikan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak sesuai dengan peraturan Perundang–Undangan yang berlaku. Akan tetapi Peran serta tugas dari BAPAS kerap kali kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat luas. Hal ini dapat dilihat dari minimnya informasi dan pengetahuan yang diketahui tentang BAPAS oleh Masyarakat.
10
Darwan Prinst, 1997, Hukum Anak Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 30
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat ditarik sebuah usulan penelitian dengan judul DALAM
PEMBIMBINGAN
DAN
“PELAKSANAAN PERAN BAPAS PENGAWASAN
TERHADAP
TERPIDANA ANAK (STUDI DI BAPAS KELAS I DENPASAR)”
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakahpelaksanaan pembimbingan dan pengawasan yang dilakukan oleh BAPASkelas I Denpasar terhadap terpidana anak? 2. Hambatan apayang dialami oleh BAPAS dalam menjalankan tugasnya dalam pembimbingan dan pengawasan terhadap terpidana anak?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Agar tidak terjadi pembahasan yang berlebihan dan ada kesesuain dengan pembahasan dengan permasalahan maka penulis merasa perlu untuk memberikan batasan-batasan terhadap permasalahan tersebut sehingga masalah yang di bahas mempunyai ruang lingkup yang jelas. Dalam pembahasan ini akan menekankan pembahasan mengenai : 1. Batasan pertama akan mengkaji tentang proses pelaksanaan yang dilakukan di BAPAS terhadap terpidana anak yang berguna untuk memberikan pembimbingan serta pengawasan 2. Batasan yang kedua akan lebih menekankan kepada faktor – faktor hambatan BAPAS dalam melakukan tugas dan fungsinya serta upaya penanggulangannya.
1.4Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penulisan usulan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan peran BAPAS dalam pembimbingan dan pengawasan terhadap terpidana anak melalui studi kasus di BAPAS kelas I Denpasar.
b. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan yang dilakukan oleh BAPAS dalam pembimbingan dan pengawasannya 2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan BAPAS dalam melakukan tugas dan fungsinya,serta upaya penanggulangannya.
1.5 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Adapun manfaat teoritis dari penulisan usulan penelitian ini yaitu hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pengembangan disiplin bidang ilmu hukum khususnya hukum pidana terutama mengenai bagaimana proses pelaksanaan yang dilakukan
oleh
pengawasannya
BAPAS,
baik
dalam
pembimbingan
dan
b. Manfaat Praktis 1. Bagi Penulis Memperluas pengetahuan tentang penegakan hukum tentang balai pemasayarakatan khususnya tentang peranan yang dilakukan oleh BAPAS terhadap terpidana anak. Dan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh
BAPAS dalam
membimbing anak yang dijatuhi hukuman pidana. 2. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan masyarakat mendapatkan suatu informasi tentang peranan yang dilakukan oleh BAPAS dalam menjalankan tugas pembimbingan dan pengawasan
1.6Landasan Teoritis a. Istilah hukuman dan pidana memiliki arti yang berbeda, dimana hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.11 -
Menurut Van Hamel dalam bukunya Moeljatno, hukum pidana didefinisikan sebagai semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban umum (rechtsoerde) yaitu melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa yang melanggar laranganlarangan tersebut.12
-
Van Kan mengatakan bahwa hukum pidana tidak mengadakan norma-norma baru dan tidak menimbulkan kewajiban-kewajiban
11
Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Renika Cipta, Jakarta, h. 27 Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 8
12
yang dulunya belum ada. Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan. Hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya norma-norma hukum yang telah ada. Tetapi tidak mengadakan norma baru. Hukum pidana sesungguhnya adalah hukum sanksi (het straf-recht is wezenlijk sanctie-recht).13 -
Adami Chazawi berpendapat Hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang:
Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu;
Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya;
Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar
hukum
pidana
dalam
rangka
usaha
negara
menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hakhaknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.14
13
Ibid, h.12 Adam Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, P.T Raja Grafindo Persada Jakarta, h.
14
2
Jadi dapat di simpulkan bahwa hukum pidana mengatur mengenai : a) Larangan untuk melakukan suatu perbuatan; b) Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana; c) Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik); d) Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana.Dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana. Van Hamel berpendapat bahwa kemampuan bertanggung-jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan : a) Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatnnya sendiri, b) Mampu untuk menyadari bahwa perbuatnnya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan, c) Mampu
untuk
menentukan
kehendaknya
atasa
perbuatan-
perbuatnnya itu.15 Adapun Memorie van Toelitching (memori penjelasan), secara negatif menyebutkan mengenai pengertian kemampuan bertanggungjawab itu, antara lain, tidak ada kemampuan bertanggungjawab pada si pelaku dalam hal:
15
Moeljatno, op.cit, h. 15
a) Ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang, b)
Ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.16 Bersifat melawan hukum mutlak untuk setiap pidana.Inti dari
hukum pidana adalah untuk dapat dikatakan seseorang melakukan tindak pidana, perbuatannya tersebut harus bersifat melawan hukum.17Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuantujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan.18
b. Teori Pemidanaan
-
Teori Absolut Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari
16
Adam Chazawi, op.cit, h 10 Chairul Huda, 2008, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, h. 51 18 Jecky Tengens, 2011, Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia,URL : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice-idalam-sistem-pidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh-, diakses pada tanggal 27 Agustus 2015 17
masa ke masa. Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan19
-
Teori Relatif Teori relatif atau teori tujuan berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Teori relatif penjatuhan pidana tergantung dari efek yang diharapkan dari penjatuhan pidana itu sendiri, yakini agar seseorang tidak mengulangi perbuatannya. Hukum pidana difungsikan sebagai ancaman sosial dan psikis. Hal tersebut menjadi satu alasan mengapa hukum pidana kuno engembangkan sanksi pidana yang begitu kejam dan pelaksanaannya harus dilakukan di muka umum, yang tidak lain bertujuan untuk memberikan ancaman kepada masyarakat luas. Sementara itu, sifat pencegahannyadari teori ini ada dua macam yaitu :
Teori Pencegahan Umum Menurut teori ini, pidana yang dijatuhkan kepada penjahat ditujukan agar orang-orang menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi hukuman itu dijadikan contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan tidak melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu.
19
Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, h. 105
Teori Pencegahan Khusus Contoh untuk teori ini adalah upaya pembimbingan yang dilakukan oleh BAPAS terhadap anak yang menjalani pidana bersyarat diperlukan suatu pencegahan yang khusus.20
Menurut teori pencegahan khusus, tujuan pidana ialah menncegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan kejahatan dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu kedalam bentuk perbuatan nyata.Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang sifatnya ada tiga macam, yaitu menakut-nakutinya, memperbaikinya, dan membuatnya menjadi tidak berdaya. Van Hamel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus yaiu :
Pidana selalu diakukan untuk pencegahan khusus, yakni untuk menakut-nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah dengan cara penjatuhan pidana agar orang tidak melakukan niat jahatya.
Akan tetapi, jika tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara menjatuhkan
pidana,
penjatuhan
pidana
harus
bersifat
memperbaiki dirinya.
Jika penjahat itu tidak dapat diperbaiki, penjatuhan pidana harus bersifat membinasakan atau membuat mereka tidak berdaya.
Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempeertahankan tata tertib hukum di dalam masyarakat.21
-
Teori Gabungan Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat. Dengan kata lain,dua alasan itu
20
Muhammad Zainal Abidin dan I Wayan Edy Kurniawan, 2013, Catatan Mahasiswa Pidana, Indie Publishing, Jawa Barat, h.37 21 Ibid. h. 38
menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankan tata tertib di masyarakat. 2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak bolehlebih
berat
dari
pada
perbuatan
yang
dilakukan
terpidana.22 Titik tolak dari ajaran ini, sebagai mana dianut oleh oleh Hugo Grotius, adalah bahwa siapa yang berbuat kejahatan, maka ia akan terkena derita. Penderitaan dianggap wajar diterima oleh pelaku kejahatan, tetapi manfaat sosial akan mempengaruhi berat-ringannya derita yang layak dijatuhkan. Sejalan dengan pandangan tersebut, M.P. Rosi menggatakan bahwa selain pembalasan, pencegahan umum (general perventive) juga dianggap tujuan penting dalam hukum pidana. Karena hidup dalam masyarakat yang tidak sempurna dan tidak mungkin juga untuk menuntut keadilan yang absolut, maka dapat kiranya mencukupkan diri dengan pemidanaan yang dilandaskan pada tertib sosial yang tidak sempurna tersebut. Dengan kata lain penerapan hukum pidana yang manusiawi dibatasi oleh syarat-syarat yang dituntut oleh masyarakat. Pandanagn seperti di atas dengan sudut pandangan agama katolik juga muncul seperti dikemukakan oleh Thomas Aquinas, yang membedakan antara pidana dan pidana sebagai obat. Maksud pembedaan yang dilakukan oleh Thomas Aquinas tersebut adalah ketika negara menjatuhkan pidana, maka perlu diperhatikan pula fungsi pencegahan umum (general perventive) dan pencegahan khusus (special perventive). Dengan ajaran ini akan tercipta kepuasan nurani masyarakat dan ada pemberian rasa aman kepada masyarakat. Pembelajaran dan rasa takut juga muncul dalam 22
Ibid
masyarakat, termasuk perbaikan dari pelaku kejahatan. Negara dalam menjatuhkan pidana sebagai pembalasan, penjeraan, dan perbaikan disubordinasikan terhadap kemanfaatan dari penjatuhan pidana tersebut. Pidana sebagai pembalasan dipadang sebagai sarana untuk menegakkan tertib hukum.
1.7Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Skripsi ini menggunakan penelitian hukum empiris. Metode penelitian hukum empiris adalah hukum dikonsepsikan sebagai suatu gejala empiris yang dapat di amati di kehidupan nyata. Hukum tidak hanya sebagai aturan hukum positif dan cita-cita saja tetapi secara empris operatum.23 Penelitian akan diadakan ke BAPAS Kelas I Denpasar sehingga akan mengetahui lokasi, keadaan dan data yang diperlukan secara nyata dan akurat.
b. Jenis Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penulisan usulan penelitian ini adalah Pendekatan Pendekatan Kasus (The Case Approach). Mengenai
pendekatan
kasus,
ialah menelusuri
titik pusat
permasalahan yang berada di lapangan atau lokasi agar dapat menyelesaikan permasalahan yang terkait.
c. Sifat Penelitian Sifat Penelitian yang dilakukan adalah Penelitian yang bersifat deskriptif yakni bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada
23
Mukti Fajar ND. Dan Yulianto achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Cetakan I, Pustaka Belajar, Yogyakarta, h. 34
tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat24.
d. Data dan Sumber Data Sumber bahan hukum yang dipakai dalam penellitian ini berasal dari : 1. Sumber Data Primer/ Data Lapangan Data Primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu suatu data yang diproleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu dari
informan.Lokasi penelitian akan dilakukan di BAPAS
Denpasar, dan pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini.
2. Sumber Data Sekunder/ Data Kepustakaan Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai
bahan
hukum
primer.
Bahan
hukum
sekunder,yang digunakan dalam penelitian ini adalah : -
Buku-buku hukum (text book)
-
Pandangan ahli hukum
-
Skripsi / makalah
-
Internet
e. Teknik Pengumpulan Data Terhadap bahan-bahan hukum yang diperlukan dan akan digunakan dalam penelitian, dijelaskan teknik pengumpulannya adalah menggunakan teknik Wawancara (interview) yaitu pengumpulan data dengan memberikan pertanyaan – pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dari informan.
24
Amiruddin dan H, Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 25
f. Teknik Penentuan Sampel Penelitian Teknik Penentuan Sampel Penelitian yang digunakan disini adalah Teknik non probability sampling yang memberikan peran yang sangat besar dalam penelitian untuk penentuan pengambilan sampel. Ketentuan dalam hal ini tidak pasti berapa sampel yang harus diambil agar dapat mewakili populasinya. Bentuk dari non probability sampling yang digunakan adalah purposive sampling yang sampelnya dipilih atau ditentukan sendiri, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat – sifat tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya.
g. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Setelah mendapatkan data-data terkumpul baik data lapangan maupun data kepustakaan kemudian akan diklarifikasikan secara kualitatif sesuai dengan permasalahan yang ada. Dimana data-data tersebut akan dianalisa dengan teori-teori yang ada.25 Kemudian nantinya akan ditarik kesimpulan untuk menjawab masalah yang ada dan disajikan secara deskriptif analisis.26 Yaitu yang menggambarkan secara lengkap tentang aspek-aspek tertentu atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan yang bersangkutan dengan masalah dalam analisa kebenaran tersebut.
25
Rony Hanitijo Soemitro, 1986, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 503 Hadi Sutrisno dan Sri Diamuli, 1997, Metode Research Jilid II, Gama University, Yogyakarta, h. 159 26