BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masa penjajahan bukanlah pengalaman sejarah yang hanya dirasakan oleh beberapa negara saja, ia justru menjadi sebuah pengalaman kolektif yang menjadi bagian dari perjalanan hampir seluruh negara di dunia. Edward Said menyebutkan, warisan-warisan sejarah dapat menjadi saksi bahwa empat perlima permukaan bumi dan dua pertiga penduduk bumi pernah mengalami kolonialisme (Day, 2008: 3). Kolonialisme, pada praktiknya merupakan penguasaan terhadap suatu wilayah disertai eksploitasi sumber daya alam dan manusia di daerah terjajah dalam jangka waktu yang panjang. Akan tetapi ia juga turut memberikan dampak pada hal-hal yang sifatnya bukan materiil, yakni psikologi dan cara berpikir baik bangsa penjajah maupun terjajah. Salah satunya adalah terbentuknya citra superior yang dilekatkan pada bangsa penjajah, dan citra inferior dalam diri masyarakat terjajah. Kolonialisme juga mewarisi sebuah cara berpikir turun temurun mengenai konsep Barat dan Timur. Hal ini diakibatkan karena sebagian besar negara yang pernah melakukan penjajahan di hampir seluruh belahan dunia adalah negara-negara dari benua Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Spanyol. Istilah
1
2
Barat dan Timur kemudian bukan hanya sebuah fakta geografis. Pembagian Barat dan Timur dilatarbelakangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Dampak-dampak dari kolonialisme tersebut kemudian dicatat oleh pemerhati sejarah dan dipelajari sebagai bagian dari perjalanan terbentuknya suatu negara di hampir seluruh wilayah di dunia. Di samping itu, fenomena yang terjadi semasa kolonialisme juga ditulis ulang oleh para sastrawan dalam karya sastranya. Di Indonesia kita dapat memahami situasi di jaman kolonialisme dalam novelnovel karya Pramoedya Ananta Toer, salah satunya dalam Tetralogi Pulau Buru. Karya sastra merupakan media alternatif paling efektif yang mampu mengekspresikan kehidupan sehari-hari masyarakat terjajah (Ashcroft, dkk, 2003: xxi). Dalam tuilsanlah, sebagaimana juga dalam karya lukis, patung, musik dan tari, kondisi suatu masyarakat diekspresikan dengan baik. Novel memiliki peranan penting dalam pembentukan sikap, acuan, dan pengalaman imperial (Said, 1995: 12). Novel juga merupakan satu-satunya objek estetika yang sangat menarik untuk dipelajari. Said mempunyai dua alasan kenapa ia memilih novel sebagai bahan dalam kajiannya. Pertama, ia menganggap novel merupakan karya seni dan sekaligus ilmu pengetahuan yang patut dihargai dan dikagumi karena dengan membaca novel akan mendapatkan kesenangan serta manfaat. Kedua, mengaitkan karya-karya itu bukan hanya dengan kesenangan dan manfaat melainkan juga dengan proses imperial di mana mereka secara terbuka dan dengan jelas-jelas merupakan bagiannya; bukan mengutuk atau mengabaikan
3
tulisan mengenai masa kolonialisme, baik dalam tulisan ilmiah maupun karya fiksi, kemudian memicu lahirnya teori poskolonial.
Studi poskolonial hadir sebagai respon dari fenomena pasca kolonial yang banyak direpresentasikan dalam berbagai media, salah satunya karya sastra. Pada umumnya poskolonial didefinisikan sebagai teori yang lahir sesudah kebanyakan negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaannya (Ashcroft, dkk, 2003: xxiixxiii). Kata ‘pos’ dalam poskolonial tidak mengacu pada waktu, melainkan merujuk pada dampak, atau akibat-akibat yang terjadi karena adanya kolonialisme. Ia berpendapat bahwa Istilah poskolonial berbeda dengan pascakolonial. Definisi pascakolonial berkaitan dengan era, zaman, dan periode yang memiliki batasan pasti yakni masa pasca atau setelah kolonial. Sedangkan poskolonial merupakan sebuah teori, sebuah tradisi intelektual dengan batasanbatasan yang bersifat relatif (Ratna, 2008:77-78). Analisis poskolonial dapat digunakan, di satu pihak untuk menelusuri aspek-aspek tersembunyi atau dengan sengaja disembunyikan, sehingga dapat diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja, di pihak lain membongkar disiplin, lembaga, dan ideologi yang mendasarinya. Dalam hubungan inilah peranan bahasa, sastra, dan kebudayaan pada umumnya dapat memainkan peranan sebab di dalam ketiga gejala tersebutlah terkandung wacana sebagaimana diintensikan oleh kelompok kolonialis (Ratna, 2008: 104).
4
Berangkat dari pemaparan pemaparan di atas, penulis kemudian terdorong untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak-dampak kolonialisme yakni mengenai superioritas Barat dan inferioritas Timur yang digambarkan dalam novel L’Amant karya Marguerite Duras, dengan menggunakan teori poskolonial. Dalam penelitian ini penulis memilih novel L’Amant karya Marguerite Duras sebagai objek material. L’Amant pertama kali diterbitkan oleh penerbit Minuit, Paris, pada tahun 1984 dan memenangkan Prix Goncourt dan difilmkan oleh sutradara Prancis, Jean Jaques Annaud pada tahun 1991 (Beaumarchais, 1994: 44-45). L’Amant menceritakan kisah seorang gadis Prancis berusia lima belas setengah tahun yang tinggal di tanah jajahan Prancis, Indocina, tepatnya di Saigon, Vietnam, bersama ibu dan kedua saudara laki-lakinya. Novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama dengan alur campuran. Sepanjang novel pembaca tidak diberitahu siapa nama si tokoh aku dalam novel ini. Dalam L’Amant, tokoh Aku banyak bercerita mengenai keluarganya serta situasi ekonomi yang melilit keluarganya. Tokoh Aku juga menceritakan kisah cintanya dengan laki-laki Cina yang ia sebut Le Chinois berusia 32 tahun. Hubungan mereka ditentang baik oleh keluarga si tokoh aku maupun Le Chinois sebab mereka berasal dari dua golongan yang berbeda, penjajah dan terjajah, Barat dan Timur. Meskipun L’Amant adalah sebuah karya fiksi, tapi ia berangkat dari pengalaman pribadi penulisnya, yakni Marguerite Duras, yang pernah melalui
5
masa remaja di Indocina. Dalam penelitiannya yang berjudul “L’Amant de Marguerite Duras: récit autobiographique, récit des origines, Éros et écriture”, Patricia Martinez Garcia (2007) menyatakan bahwa seperti karya-karya Marguerite Duras yang lain, sebut saja Un barrage contre le Pacifique (1950), L’Eden Cinéma (1977), dan L’Amant de la Chine du nord (1991), L’Amant juga merupakan penceritaan ulang dari masa kecil Marguerite Duras yang ia lalui di Indocina. Garcia juga menyebutkan bahwa tulisan Duras termasuk dalam pacte référentiel, suatu konsep yang dipopulerkan Lejeune tentang karya sastra yang oleh penulisnya dibuat semirip mungkin dengan peristiwa nyata yang pernah benar-benar terjadi. Dalam kajian poskolonial, objek penelitiannya tidak hanya terbatas pada tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh masyarakat dari negara terjajah. Karya sasta yang ditulis oleh masyarakat dari negara penjajah pun masih relevan untuk dikaji guna menelaah dampak-dampak dari kolonialisme. Seperti yang kita ketahui, masa penjajahan Belanda di Indonesia pun ditulis oleh sastrawan Belanda, Hella Hesse, dalam novelnya yang berjudul Inlander, yang menceritakan tentang persahabatan seorang anak keturunan Belanda dengan bocah pribumi. L’Amant karya Marguerite Duras dianggap relevan untuk dijadikan objek material dalam penelitian ini karena karya ia juga menunjukkan dampak-dampak dari penjajahan itu sendiri melalui tokoh-tokoh dalam novel ini. Setiap karya sastra yang menghadirkan fenomena poskolonial dapat dimasukan sebagai karya sastra poskolonial, selama ia mampu menghadirkan ulang fakta-fakta kolonialisme.
6
Dalam penelitian ini akan dibahas bagaimana bentuk-bentuk superioritas Barat
yang
ditunjukkan
oleh
si
tokoh
Aku
dan
keluarganya
yang
merepresentasikan penjajah dan Barat, serta bagaimana bentuk-bentuk inferioritas Timur yang dilakukan oleh Le Chinois dan ayahnya sebagai bangsa terjajah dan pihak Timur.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan bahwa penjajahan yang sebagian besar dilakukan oleh negara-negara Barat ternyata tidak hanya meninggalkan bekas-bekas kasat mata tapi juga menyisakan suatu cara berpikir, yakni adanya suatu anggapan bahwa Barat adalah yang superior sementara Timur adalah pihak yang inferior. Dalam novel L’Amant karya Marguerite Duras, pihak Barat yang superior diwakili oleh si tokoh Aku dan keluarganya, sementara Timur yang dianggap inferior diwakili oleh Le Chinois dan ayahnya.
1.3 Pertanyaan Penelitian Dari rumusan masalah di atas, maka didapatlah pertanyaan penelitian sebagai berikut : a. Apa saja tindakan-tindakan yang dilakukan si tokoh Aku dan keluarganya sebagai pihak penjajah dan Barat untuk menunjukkan superioritasnya?
7
b. Apa saja tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Le Chinois sebagai bangsa Timur yang dicitrakan inferior, serta resistensi yang dilakukan ayah Le Chinois?
1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengetahui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh si tokoh Aku dan keluarganya sebagai bangsa Barat sekaligus penjajah untuk menunjukkan superioritasnya. b. Mengetahui tindakan-tindakan inferioritas yang dilakukan oleh Le Chinois sebagai bangsa Timur, serta resistensi yang dilakukan ayah Le Chinois.
1.5 Tinjauan Pustaka Sejauh pengamatan penulis, novel-novel Marguerite Duras sudah pernah dipakai dalam beberapa penulisan skripsi. Pada tahun 1986 Maria Sri Nerlistjaningsih pernah melakukan penelitian terhadap salah satu karya Marguerite Duras yaitu Moderato Contabile dengan judul “Sebuah Pembicaraan Novel Moderato Contabile karya Marguerite Duras”. Maria melakukan analisis terhadap Moderato Contabile dengan menggunakan teori struktural yang meliputi analisis tema, alur, penokohan, latar, dan alat-alat peceritaan (sudut pandang,
8
konflik, penundaan dan pembayangan, kesatuan organis, judul buku, dan gaya bahasa).
Sementara itu pada tahun 2005 novel L’Amant pernah dijadikan objek penelitian skripsi dengan judul “L’Amant Karya Marguerite Duras : Tinjauan Struktural” oleh Mareta Ayuningtyas. Dalam penelitian tersebut L’Amant dikatakan sebagai perpaduan tradisi penulisan Marguerite Duras
yang
mengedepankan unsur puitis dan teknik alur. L’Amant menjadi istimewa karena diperkaya oleh digresi-digresi yang hadir secara acak dan tidak berpola. Akan tetapi pelukisan anggota keluarga si tokoh Aku terlalu bertele-tele dan diulangulang.
Kemudian pada tahun 2010, L’Amant kembali dijadikan objek material dalam skripsi Hendri Purnani Dyah Wistorini yang berjudul “Karakter Androgini Tokoh Utama Dalam Novel L’Amant Karya Marguerite Duras; Pendekatan Psikologi Sastra”. Dalam skripsinya Hendri membahas karakter androgini dari tokoh utama, gadis Prancis berusia 15 tahun, yang memperlihatkan beberapa karakter maskulin tetapi dia tidak tampak kelaki-lakian.
Dari beberapa skripsi yang menggunakan L’Amant karya Marguerite Duras sebagai objek material, belum ada yang menelitinya dengan objek formal teori poskolonial. Skripsi yang menggunakan teori poskolonial pernah dibuat oleh Andhitya Ardani Soetadyo pada tahun 2010 dengan judul “Stereotip Timur dalam film Le Grand Voyage (Tinjauan Pascakolonialisme)”. Dalam skripsi ini dibahas
9
bagaimana stereotip atas bangsa Timur dan Islam yang ada dalam film Le Grand Voyage dengan menggunakan dasar prinsip teori poskolonial. Seperti bangsa Timur, dalam hal ini bangsa Arab muslim yang bermigrasi ke benua Eropa dianggap sebagai other atau liyan yang berbeda dengan masyarakat Eropa.
Kajian poskolonial juga pernah ditulis oleh Novieta Christina Theodora dari Jurusan Sastra Indonesia dalam skripsinya yang berjudul “Nyai Ontosoroh dalam Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer: Analisis Pascakolonial” pada tahun 2008. Skripsi ini menggunakan objek material novel Bumi Manusia yang merupakan bagian pertama dari tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam skripsinya, Novieta memaparkan wacana dan praktik kolonial dalam mengkonstruksi keliyanan dan mendominasi Nyai Ontosoroh, tokoh utama dalam novel tersebut yang merupakan gundik dari lakilaki Belanda, serta bagaimana bentuk perlawanan tokoh Nyai Ontosoroh terhadap wacana dan praktik tersebut. Neneng Yanti Khozanatu Lahpan dari program studi Sastra Jurusan Ilmuilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM menulis tesis berjudul “Resistensi Pribumi terhadap Kolonialisme dalam Siti Rayati karya Moh. Sanoesi” pada tahun 2002. Dalam penelitiannya Lahpan mengungkapkan bahwa novel Siti Rayati yang merupakan roman Sunda dianggap sebagai wacana tandingan kolonialisme, menampilkan bentuk-bentuk resistensi pribumi pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Tesis dengan pendekatan poskolonial juga ditulis Rusdian Noor pada
10
tahun 2002, dengan judul “Mimikri dan Resistensi Radikal Pribumi Terhadap Kolonialisme Belanda dalam Roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer”. Berdasarkan
pengamatan
penulis,
belum
ada
penelitian
yang
menggunakan objek material novel L’Amant karya Marguerite Duras dengan pendekatan poskolonial. Sehingga penelitian ini akan menjadi suatu rujukan baru untuk membaca novel L’Amant karya Marguerite Duras dengan pisau bedah yang baru, yakni teori poskolonial. Lebih khususnya lagi, penelitian ini memfokuskan diri pada sifat superior pihak penjajah dan sifat inferior pada pihak terjajah yang ada dalam novel L’Amant karya Marguerite Duras.
1.6 Landasan Teori 1.6.1 Poskolonial Penelitian ini menggunakan teori poskolonial, yakni istilah bagi sekumpulan strategi teoritis dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan (kesusastraan, politik, sejarah, dan seterusnya) dari koloni-koloni dan hubungan negara tersebut dengan belah dunia sisanya (Faruk, 2007: 14). Kolonialisme, dari kata colonia (Latin/Romawi), semula berarti kumpulan, perkampungan, masyarakat di perantauan. Jadi, secara etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan, melainkan hanya semacam wilayah atau perkampungan, seperti: koloni semut, koloni para artis, para olah ragawan, dan sebagainya (Ratna, 2008:
11
20). Dalam konsep ini, arti kata pos tidak dimaknai sesudah atau setelah dalam pengertian waktu, melainkan terkait dengan kondisi dan situasi sebagai dampak dari hubungan penguasa kolonial dengan negara yang diajajahnya, tidak hanya saat kolonialisme itu berlangsung, bahkan bertahun-tahun setelah sebuah wilayah memproklamasikan kemerdekaannya dan terbebas dari belenggu penjajahan.
Objek poskolonial mencakup aspek-aspek kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial dari awal sejarah kolonialisasi hingga kurun waktu sekarang, termasuk pula berbagai pengaruh yang ditimbulkannya (Ashcroft, dkk 2003: xxii). Hal tersebut disebabkan adanya kontinuitas penjajahan yang terus berlangsung semenjak dimulainya agresi imperial Eropa hingga sekarang ini. Poskolonial juga dapat digunakan untuk menyebut kritik-kritik lintas budaya yang muncul serta wacana yang dibentuknya. Kajian-kajiannya melingkupi berbagai bidang yang membahas mengenai dampak dari kolonialisme itu sendiri, baik berupa penelitian ilmiah maupun dalam karya sastra. Problem-problem kunci yang
menjadi
wilayah
analisis
dalam
studi
tersebut
adalah
bahasa,
sejarah/kesejarahan, nasionalisme, kanonisitas, politik tubuh, dan ruang/tempat (Lo dan Gilbert, 1998: 5-13). Sementara itu, berbagai kemungkinan keagenan yang tercakup dalam studi ini adalah hibriditas, mimikri, dan ambivalensi.
Kolonialisme Eropa memiliki dampak yang besar bagi negara-negara jajahannya. Dampak yang besar ini mengakibatkan bangsa-bangsa pada era pascakolonial tidak mungkin lagi membayangkan sejarah negeri-negeri bekas koloni
12
secara objektif dengan pengandaian bahwa kolonialisme itu tidak pernah terjadi (Spivak via Loomba, 2003: 23). Kemunculan kolonialisme melahirkan sebuah wacana dominan yang berorientasi pada Eropa-sentris. Penjajah yang berlangsung berpuluh bahkan beratus tahun meninggalkan jejak yang masih membekas hingga hari ini. salah satunya adalah konsep ideal atau normal yang diciptakan oleh penjajah Eropa, bahwa yang ideal dan yang normal adalah semua yang berasal, dilakukan, atau dimiliki oleh bangsa Eropa. Sementara bangsa penjajah adalah bagian luar dari lingkaran ideal tersebut. Kolonialisme secara psikologis juga menyebabkan adanya konstruksi identitas dalam masyarakat pribumi yang inferior secara menurun, yang membuat masyarakat bekas jajahan selalu mencoba untuk menjadi seperti yang dianggap ideal oleh bangsa penjajah.
Hegemoni penjajah yang diaplikasikan melalui penciptaan konsep normal atau ideal tersebut, merupakan salah satu upaya untuk menunjukan superioritas Barat sebagai sebuah bangsa yang memiliki peradaban lebih maju dibandingkan dengan bangsa lain. Dari segi budaya, definisi poskolonial ini kerap dihubungkan dengan proses konstruksi budaya menuju budaya “putih global”. Kebudayaan kulit putih dipandang sebagai acuan perkembangan bagi semua budaya. Bahkan proses seperti ini tetap berlangsung ketika penguasaan kulit putih atas sebuah negara berakhir (Sianipar, 2004: 10-11). Pemerintah
baru yang berasal dari
masyarakat setempat memandang rakyatnya dengan cara pandang orang-orang kolonial terhadap peduduk “non-Barat”. Masyarakatnya tetap dipandang sebagai penduduk yang misterius, terbelakang, percaya takhayul, dan sebagainya,
13
sehingga harus dididik dan diangkat agar sejajar dengan masyarakat negara lainnya, khususnya masyarakat “Barat”.
Secara historis, bahkan mitologis, sejak Abad Pertengahan hingga sekarang, dunia Barat hampir dalam segala bidang dianggap memiliki kedudukan superior terhadap dunia Timur (Ratna, 2008: 175). Barat yang merasa dirinya lebih superior mengidentikan Timur sebagai sebuah wilayah yang penuh hal-hal tidak masuk akal, sementara Barat adalah yang paling rasional. Rasa superior yang dimiliki Barat atas Timur juga tidak lepas dari perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang dianggap berpusat di negara-negara Barat seperti Inggris, Jerman, dan Prancis, sebut saja Revolusi Industri yang bermula di Inggris. Kemampuan berpikir, yang kemudian melahirkan kemajuan teknologi dalam berbagai bidang, secara apriori dianggap berasal dari ras, yaitu ras kulit putih (Ratna, 2008: 175). Keunggulan itu pun ditopang oleh hegemoni awal abad ke-20, seperti kemampuan negara-negara superpower untuk menaklukan dunia yang diwakili oleh Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Jerman. Salah
satu
upaya
yang
dilakukan
Barat
untuk
menunjukan
kesuperioritasannya adalah dengan memosisikan bangsa Timur sebagai sang Liyan. Kata liyan atau the others secara umum ialah siapa saja di luar diri seseorang (Ashcroft, dkk. 1998: 169). Akan tetapi, dalam perspektif poskolonial, kata ini digunakan untuk menerangkan pembedaan biner antara ‘diri penjajah’ dan ‘diri yang dijajah’. Eksistensi ‘liyan’ kemudian menjadi penting untuk mendefinisikan ‘yang normal’ dan memposisikan tempat seseorang di dunia
14
(Ashcroft, dkk. 1998: 169). Menurut Spivak peliyanan (othering) adalah berbagai upaya dalam wacana kolonial yang digunakan untuk mengkonstruksi subjek liyan kolonial (Ashcroft, 1998: 171). Melalui ideologi kolonial, pihak kolonial menciptakan wacana tentang masyarakat terjajah dengan stereotipe-stereotipe bahwa masyarakat terkolonialisasi, atau terjajah adalah masyarakat yang terbelakang, primitif, pemalas, dan lain-lain. hal itu dilakukan untuk membenarkan dan mencari alasan penaklukan dan penguasaan Eropa atas wilayah tersebut (Alatas, 1988: 2-3). Dalam hal inilah masyarakat pribumi akhirnya berhasil dijadikan liyan di tanahnya sendiri. Dalam buku The Location of Culture yang ditulis Homi K. Bhaha, mimikri oleh bangsa terjajah menjadi satu perhatian penting dalam kajian poskolonial. Mimikri merupakan upaya peniruan yang dilakukan oleh bangsa terjajah demi terlihat sejajar dan dianggap bagian dari bangsa penjajah. Mimikri ini tak lain adalah cara yang ditunjukkan bangsa terjajah yang merasa dirinya inferior agar bisa masuk ke lingkaran golongan “superior”. Mimikri dilakukan oleh pribumi melalui dalam beberapa hal. Misalnya saja tindakan meniru gaya hidup bangsa Eropa yang biasa mereka saksikan selama masa penjajahan berlangsung. Dengan meniru cara berpakaian, konsumsi sehari-hari, dan juga meniru barang-barang yang digunakan bangsa Eropa, masyarakat pribumi mencoba untuk memenuhi kriteria normal yang selama ini diterapkan di tanah jajahan, sehingga pada suatu titik mereka akan merasa setara dengan bangsa penjajah, meskipun sekali lagi, seperti yang telah dituliskan sebelumnya, mimikri adalah upaya peniruan yang
15
tidak pernah sempurna, sebab pribumi tidak akan pernah bisa menjadi sama seperti bangsa penjajah. Bhabha mengungkapkan bahwa orang-orang yang melakukan mimikri di hadapan kaum kolonial dianggap sebagai :“..as a subject of a different that is almost the same, but not quit”, suatu subjek yang berbeda, yang hampir sama, tapi tidak benar-benar serupa. Kesewenang-wenangan bangsa penjajah tak membuat pribumi tinggal diam. Tindakan-tindakan sebagai wujud resistensi masyarakat pribumi pada akhirnya dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penjajah, dan bisa jadi merupakan salah satu cara untuk bertahan hidup di negeri yang tengah dijajah. Menurut Selwyn Cudjoe resistensi adalah tindakan atau sekumpulan tindakan yang dibentuk untuk membebaskan rakyat dari penindasnya dan memasukan secara keseluruhan pengalaman hidup di bawah penindasan yang menjadi prinsip estetika yang hampir otonom (Ashcroft, 2001: 28). Bhabha menjelaskan bahwa resistensi atau perlawanan merupakan sebuah efek dari reprsentasi kontradiktif dari penguasa kolonial (Aschroft, 2001: 102). Resistensi dibagi menjadi dua jenis, yaitu resistensi radikal dan resistensi pasif. Resistensi radikal mengacu pada perlawanan masyarakat terjajah terhadap kekuasaan penjajahan dan dilakukan dengan penyerangan langsng atau dengan memproduksi teks atau bacaan yang memuat wacana tandingan. Jenis resistensi yang kedua, yakni resistensi pasif lebih bersifat perlawanan ideologis. Resistensi ini merupakan perwujudan dirinya untuk menolak, yaitu dengan mempertahankan identitas dan kepemilikan budaya (Ashcroft, 2001: 19-21).
16
1.6.2. Orientalisme
Kajian poskolonial tak bisa bisa dipisahkan dengan studi orientalisme. Dalam bukunya, Orientalisme, Edward Said menyatakan bahwa hubungan antara Barat dan Timur adalah hubungan kekuatan, dominasi, hubungan, dan berbagai derajat hegemoni yang kompleks. Timur ditimurkan tidak hanya karena ia didapati dalam keadaan “bersifat Timur” dalam semua hal yang dipandang umum oleh rata-rata orang Eropa abad kesembilan belas, tetapi juga karena ia dapat— yakni mudah untuk—dijadikan Timur (Said, 2010: 7). Kajian poskolonial tidak bisa dipisahkan dengan Orientalisme. Pionir dari teori ini adalah Edward Said. Orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang didasarkan pada pembedaan ontologis dan epistimologis yang dibuat antara “Timur” (the Orient) dan (hampir selalu) Barat (Said, 2010: 3). Konsep ini kemudian menjadi kebiasaan untuk selalu membedakan mana yang Barat dan yang Timur dalam berbagai bidang. Pengetahuan tentang Timur tidak akan pernah menjadi asli sebab yang menceritakan adalah orang-orang yang berhubungan erat dan memiliki kepentingan-kepentingan khusus terhadap kolonialisme (Ratna, 2008: 209). Hubungan antarmanusia penjajah dan terjajah sesungguhnya adalah hubungan penaklukan dalam relasi kekuasaan yang seluruh inisiatif dan pengobjekannya dirancang dalam kerangka orientalis (Sutrisno, 2004: 27).
Mengidentikan penjajah dengan Barat adalah hal yang pada permulaannya selalu menimbulkan pertanyaan. Bukankah penjajah tidak hanya bangsa Barat
17
atau bangsa Eropa? Bagaimana dengan Jepang dan Cina yang juga sempat menjajah beberapa wilayah di dunia? Istilah Barat yang lekat dengan Eropa bermula dari masa penjajahan besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa Eropa di hampir seluruh belahan dunia. Pengertian ‘kolonialisme’ pun sebenarnya berubahubah dari jaman ke jaman dan berbeda-beda di tempat yang satu dan yang lain. Di Asia Tenggara, pada umumnya ‘kolonialisme’ berarti kolonialisme Barat, meskipun sepanjang masa bangsa-bangsa Asia Tenggara pernah mengenal juga penjajahan oleh bangsa-bangsa bukan-Barat baik yang sewilayah maupun yang datang dari luar wilayah ini (Lapian, 1975: 1).
Pemberian label Timur yang diberikan oleh mereka yang menyebut dirinya Barat tidak bisa dilepaskan dari masa lalu kolonialisme berkepanjangan. Timur merujuk pada suatu karakter dan sifat, sebuah stereotip yang diberikan pada negara-negara yang bagi Barat penuh irasionalitas, dan tidak memiliki akal sehat. Pemahaman mengenai Barat dan Timur ini kemudian dikritisi oleh Edward Said, yang menyebutkan bahwa Timur bukanlah fakta alam yang statis. ‘Timur’ tidak semata-mata hadir, seperti halnya ‘Barat’ yang tidak semata-mata ada (Said, 2010: 6). Dalam bukunya yang berjudul Orientalisme, Said menyampaikan bahwa orang Eropa menganggap Timur sebagai barang temuan mereka. Bahkan, sejak zaman dahulu, Timur telah menjadi tempat yang penuh romansa, makhlukmakhluk eksotik, kenangan, panorama yang indah, dan pengalaman-pengalaman yang mengesankan (Said, 2010: 1).
18
Pemahaman atas Timur dan Barat yang lahir dari sejarah panjang kolonialisme ini masih melekat hingga sekarang. Pembagian yang seolah-olah hanya berangkat dari alasan geografis ini memiliki suatu kepentingan yang menunjukkan bahwa Barat tidak ingin disamakan dengan Timur. Barat dan Timur adalah dua kedudukan yang berbeda. Dalam penelitian ini Barat diwakili oleh si tokoh Aku dan keluarganya yang merupakan keturunan Prancis yang tinggal di Indocina. Sementara Timur direpresentasikan oleh Le Chinois, laki-laki keturunan Cina yang tinggal di Indocina dan memiliki hubungan asmara dengan si tokoh Aku. Pengunaan istilah Barat dan Timur dalam penelitian ini dirasa lebih relevan dibandingkan menggunakan istilah penjajah dan terjajah. Karena pada masa penjajahan Prancis di Indocina, masyarakat keturunan Cina bukanlah masyarakat terjajah yang utama. Masyarakat Cina adalah golongan Asia yang lain, yang kedudukannya berbeda dengan masyarakat pribumi. Berdasarkan sejarahnya, Cina sempat ambil bagian dalam pemerintahan Vietnam, sehingga di daerah tersebut banyak ditemui keturunan Cina. Sehingga dalam novel ini, tokoh Le Chinois tidak merasakan langsung penindasan dan kesengsaraan akibat kolonialisme, akan tetapi ia tetap mendapat perlakuan berbeda dari si tokoh Aku dan keluarganya, sebab ia tetap saja dianggap orang Cina, orang Timur yang berbeda dengan mereka.
Dalam Orientalisme Said meyakini bahwa Timur ditimurkan tidak hanya karena ia didapati dalam keadaan “bersifat Timur” dalam semua hal yang dipandang umum oleh rata-rata orang Eropa abad kesembilan belas, tetapi juga
19
karena ia dapat—yakni mudah untuk—dijadikan Timur (Said, 2010: 7). Menurut Said, ketimbang menjadi ‘representasi dan ekspresi bagi beberapa plot imperialis Barat yang keji untuk menekan Timur’, Orientalisme lebih merupakan pendistribusian kewaspadaan geopolitik ke dalam teks estetis, kesarjanaan, ekonomis, sosiologis, historis, dan filosofis (Morton, 2008: 23). Bahkan antisemitisme dan orientalisme memiliki kemiripan, dan kebenarannya dapat dilihat melalui sejarah, kultural, dan politis, yang keironisannya hanya bisa dimengerti oleh mereka yang pernah ditakdirkan menjadi Timur, mereka yang pernah diperlakukan secara tak proporsional oleh Barat (Said, 2010: 41).
Penjajah dalam mengimaji ketimuran sebagai wilayah objek penaklukan politis juga akan mencitrakannya sebagai ranah penaklukan objek eksotisme seksual hingga hasil-hasil teks sejarah ketimuran, imaji, idiom, foto dan dokumendokumen bersumber dari orientalis, tidak lain merupakan tekstualisasi kontruksi kolonial (Sutrisno, 2004: 27).
1.7 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang juga disebut sebagai penelitian deskriptif (Bogdan dan Biklen, 1982: 3 dalam Moloeng, 1991: 2). Metode penelitian ini adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor, 1975: 5 dalam Moleong, 1991: 3). Penelitian
20
deskriptif ditinjau dari jenis masalah yang diselidiki, teknik dan alat yang digunakan dalam penelitian, serta tempat dan waktu penelitian, terdiri atas metode, survei, metode deskriptif berkesambungan, penelitian studi kasus, penelitian analisis pekerjaan dan aktivitas, penelitian tindakan, dan penelitian kepustakaan dan dokumenter (Nazir, 1985: 65). Sesuai dengan jenisnya, penelitian ini menggunakan data kualitatif, yaitu data yang hanya dapat diukur secara tidak langsung melalui pengamatan atau penyelidikan (Hadi, 1981: 66), yang sumber datanya berupa subjek asal data penelitian, yaitu dokumen. Dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah novel L’Amant karya Marguerite Duras. Bogdan dan Taylor dalam Moleong (1991: 4) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
21
1.8 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian berjudul “Superioritas Barat dalam novel L’Amant karya Marguerite Duras” ini adalah sebatas membahas tindakan-tindakan yang ditunjukkan oleh si tokoh Aku dan keluarganya sebagai bangsa Barat dan penjajah untuk menunjukkan superioritasnya, serta tindakan-tindakan yang ditunjukkan oleh Le Chinois sebagai bangsa Timur yang inferior, serta resistensi yang dilakukan ayah Le Chinois dalam novel L’Amant karya Marguerite Duras yang diterbitkan oleh Minuit, Paris, pada tahun 1984.
1.9 Sistematika Penyajian Penulis membagi tulisan ini dalam 4 bab, yakni : BAB I. Pendahuluan, meliputi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Pertanyaan Penelitian, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian Ruang Lingkup Penelitian, dan Sistematika Penyajian BAB II. Superioritas Barat dalam Novel L’Amant 2.1 Kolonialisme Prancis di Indocina 2.2 Superioritas Barat 2.2.1 Sebutan Le Chinois dan L’Amant 2.2.2 Le Chinois sebagai sang Liyan 2.2.3 Diskriminasi Rasial BAB III. Inferioritas Timur dalam Novel L’Amant
22
3.1 Keberadaan Bangsa Cina di Indocina 3. 2 Inferioritas Timur 3.2.1 Pengakuan atas Superioritas Barat 3.2.2 Mimikri Le Chinois 3.2.2.1 Mimikri Gaya Hidup 3.2.2.2 Mimikri Referensi Pengetahuan 3.3 Sikap Anti-Barat sebagai Bentuk Resistensi BAB IV. Kesimpulan Daftar Pustaka Résumé Lampiran