BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Manusia telah memasukkan alam dalam kehidupan budayanya, akan tetapi
manusia nyaris lupa bahwa dirinya sendiri merupakan bagian dari alam dimana tempat mereka hidup. Dengan kelebihannya dari populasi-populasi yang lainnya, manusia mengemban tugas dan kewajiban untuk mengatur adanya keselarasan dan
keseimbangan
antara
keseluruhan
komponen
ekosistem,
terutama
lingkungan.1 Terlihat perubahan-perubahan alam sekitarnya yang terjadi karena penyesuaian diri manusia, antara lain melalui proses budaya yang lama. Misalnya kemampuan manusia dalam menciptakan teknologi berkualitas tinggi untuk melindungi diri dari pengaruh alam yang buruk serta mempermudah atau membantu
aktivitas
manusia.
Manusia
memperlihatkan
kemampuannya
menyelam jauh kedasar laut, bahkan, mampu terbang ke luar angkasa dan kegiatan-kegiatan lain tanpa mengubah sifat biologisnya. Setelah berlangsungnya dekade pembangunan PBB I (1960-1970), manusia mulai sadar bahwa ia tidak pernah menaklukkan alam. Anggapan manusia akan kebebasannya dari alam lingkungannya mulai pudar dan ternyata suatu khayalan belaka. Kebergantungannya kepada alam atau lebih tepat dikatakan
kesalingbergantungan
manusia
1
dengan
lingkungannya
untuk
Koesnadi Hardjasoemantri, 1999, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 5.
1
2
memperoleh keseimbangan, keserasian dan keselarasan hidupnya dengan lingkungan ternyata dikuasai oleh hukum-hukum ekologi.2 Batasan tentang lingkungan berdasarkan isinya untuk kepentingan praktis atau kebutuhan analisis kita perlu dibatasi hingga lingkungan dalam arti biosphere saja, yaitu permukaan bumi, air dan atmosfir tempat terdapat jasad-jasad hidup. Batasan lingkungan hidup dalam arti ini adalah semua benda, daya, kehidupan, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah lakunya yang terdapat dalam suatu ruang, yang mempengaruhi kelangsungan dan kesejahteraan manusia serta jasadjasad hidup lainnya.3 Istilah lingkungan hidup diartikan luas, tidak saja meliputi lingkungan fisik dan biologi, melainkan juga lingkungan ekonomi, sosial dan budaya.4 Dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam abad ke-20, dalam waktu yang relatif singkat, keseimbangan antara kedua bentuk lingkungan hidup manusia, yaitu lingkungan hidup alami (natural environment or the biosphere of his inheritence) dan lingkungan hidup buatannya (man-made environment or the technosphere of his creation) mengalami gangguan (out of balance), secara fundamental mengalami konflik (potentially in deep conflict). Inilah yang dianggap sebagai awal krisis lingkungan, karena manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya.5 Di Negara Indonesia, yang merupakan negara berkembang dimana letak geografisnya 2
bersuhu
tropis
sedang
melakukan
pembangunan
secara
Daud Silalahi, 2001, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, h. 7. 3 Ibid, h. 9. 4 Ibid. 5 Ibid, h. 10.
3
berkelanjutan
dengan
menggunakan
teknologi-teknologi
modern
seiring
perkembangan jaman sehingga terjadinya pembangunan yang diluar batas dan terdapat kerusakan lingkungan yang terjadi dimana-mana. Semakin meningkatnya pertambahan penduduk dan aktivitas kehidupan masyarakat diperkotaan maupun pedesaan, berakibat semakin banyak timbulnya bangunan-bangunan baru, yang jika tidak diawasi secara baik dan teratur bisa menimbulkan berbagai masalah, bukan hanya bagi pemerintah melainkan juga bagi seluruh masyarakat. Menyadari semakin parahnya kerusakan lingkungan ini, beberapa masyarakat yang peduli terhadap lingkungan melakukan berbagai upaya untuk melindungi alam dan lingkungannya sendiri dengan melakukan penegakan hukum lingkungan serta menuntut hak-hak mereka atas lingkungan yang bersih dan sehat karena mereka sadar akan bahayanya kehancuran yang akan menimpa masyarakat itu sendiri akibat dari kerusakan lingkungan.6 Selain itu menyadari semakin parahnya kerusakan lingukungan pemerintah melakukan tindakan-tindakan hukum dalam menjalankan fungsi pemerintahan administrasi negara juga diberi tugas untuk membentuk
undang-undang dan peraturan-peraturan yang
sebenarnya menjadi tugas legislatif atau lebih tepatnya pemerintah. 7 Secara normatif, prinsip bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada kewenangan ini memang dianut disetiap negara hukum.8
6
Sodikin, 2007, Penegakan Hukum Lingkungan, Djambatan, Jakarta, h. 39. Marbun dan Mohammad Mahfud, 1987, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, h. 71. 8 Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, h. 93. 7
4
Ilmu pengetahuan, teknologi dan industri telah membawa berbagai kemajuan, tetapi sekaligus melahirkan pula risiko-risiko dalam kehidupan yang seringkali berakibat jauh dan panjang. Risiko kerawanan lingkungan hidup adalah salah satu contoh aktualnya. Sebuah kerawanan akibat rekayasa manusia yang mengejar kenikmatan ekonomi melalui kekuatan industri. Profil Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, tetap sibuk mendesain dan memacu pembangunan nasionalnya.9 Pembangunan nasional tersebut dilaksanakan secara berencana, menyeluruh, terpadu, terarah, bertahap dan berlanjut untuk peningkatan kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa-bangsa lain yang lebih maju. Ada 5 (lima) prioritas pembangunan nasional dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propernas) Tahun 2000-2004 tersebut, antara lain: 1. Membangun sistem politik yang demokratis serta mempertahankan persatuan dan kesatuan; 2. Mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik; 3. Mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan; 4. Membangun kesejahteraan rakyat, meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan ketahanan budaya; dan 5. Meningkatkan pembangunan daerah.10 Memperhatikan prioritas pembangunan nasional khususnya
untuk
mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik serta membangun kesejahteraan rakyat. Selain itu, meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan ketahanan budaya dapat digarisbawahi apabila pemerintah serta masyarakat 9
Syamsuharya Bethan, 2008, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri Nasional, Alumni, Bandung, h. 2. 10 Ibid.
5
seluruhnya mendukung prioritas pembangunan tersebut maka akan terciptanya keselarasan dan kedamaian serta berjalannya negara yang demokratis. Sehingga dalam
melaksanakan
kehidupan
dimasa
mendatang
akan
mencapai
kesinambungan yang baik antara pemerintah, masyarakat serta lingkungan itu sendiri. Salah satu wujud mencapai kesinambungan yang baik antara pemerintah, masyarakat serta lingkungan diwujudkan dengan cara penegakan terhadap penataan ruang. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Kemudian Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menjelaskan bahwa penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tujuan dari penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional dengan mewujudkan keharmonisan antar lingkungan alam dan lingkungan buatan, kemudian terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia dan terakhir terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Dalam penataan ruang wewenang pemerintah dalam hal ini pemerintah Kabupaten Badung didasarkan atas Pasal 11 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyebutkan bahwa wewenang pemerintah
6
daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi pengaturan, pembinaan, pengawasan, terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategi kabupaten/kota. Pelaksanaan dari Pasal 11 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Badung diwujudkan dengan cara menerbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033. Dari rumusan Pasal tersebut dapat ditarik arti bahwa suatu proses penataan ruang yang sebagai kewenangannya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Badung. Dimana Pemerintah Kabupaten Badung memberikan upaya-upaya untuk melakukan perencanaan penataan ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang tersebut agar dapat berjalan dengan baik sehingga mencerminkan Tri Hita Karana. Guna mencegah terjadinya pelanggaran rencana tata ruang wilayah maka Pemerintah Daerah Kabupaten Badung melakukan penyelenggaraan penataan ruang dengan memberi pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang yang berlandaskan pada Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033. Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033 Pasal 1 Ayat (6) yang merumuskan “Tri Hita Karana adalah falsafah hidup Masyarakat Bali yang memuat tiga unsur yang membangun keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya yang menjadi sumber kesejahteraan, kedamaian dan
7
kebahagian bagi kehidupan manusia”. Tri Hita Karana bisa diartikan secara leksikal yang berarti 3 penyebab kesejahteraan. Tri Hita Karana tidaklah bisa dipisahkan antara pawongan, palemahan dan parahyangan. Sebagaimana tujuan dari Tri Hita Karana adalah palemahan melestarikan ekosistem dari Tri Hita Karana. Karena susungguhnya Tri Hita Karana merupakan suatu ekosistem, apabila hubungan manusia dengan manusia berjalan dengan baik, secara otomatis hubungannya dengan Tuhan juga akan baik, begitu juga sebaliknya. Begitupun hubungan manusia dengan alam harus tetap berjalan dengan baik. Bahwa sesungguhnya yang terjadi dilapangan dalam hal penataan ruang tidak semua sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dimana pemanfaatan ruang dalam konteks pembangunan hotel di Kabupaten Badung kurang pengawasan yang serius dari pemerintah. Dalam realita di lapangan, beberapa kewenangan tertentu yang berpotensial sering ditarik ulur sehingga berpengaruh terhadap efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah.11 Kawasan yang seharusnya menjadi kawasan lindung beralih fungsi menjadi kawasan budidaya. Itu dikarenakan pangsa pasar yang menuntut pembangunan hotel haruslah memiliki keunikan tempat dan view yang indah dipandang mata. Salah satu kawasan lindung yang beralih fungsi adalah kawasan sempadan jurang. Berdasarkan Pasal 1 angka 35 Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033, sempadan jurang adalah dataran sepanjang daerah datar bagian atas dengan lebar proporsional sesuai bentuk dan kondisi fisik. Berdasarkan Pasal 11
Siswanto Sunarno, 2012, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Timur, h. 2.
8
31 kawasan sempadan jurang terletak pada kawasan-kawasan yang memiliki kriteria yang meliputi, lembah-lembah sungai seluruh wilayah Kabupaten Badung kawasan hutan dan pegunungan di wilayah Kecamatan Petang, lembah-lembah bukit di Kecamatan Petang dan Kuta Selatan serta tebing-tebing di seluruh wilayah Kabupaten Badung. Berdasarkan Pasal 56 Ayat (3) Huruf f Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033 menyebutkan bahwa penggunaan atau pemanfaatan tanah pada bidang-bidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan sungai, sempadan jurang harus memperhatikan kepentingan umum dan keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan. Salah satu kasus pelanggaran terhadap sempadan jurang dikemukakan oleh Koordinator Sekretariat Kerja Penyelamat dan Pelestarian Lingkungan Hidup (SKPPLH) Bali, Made Mangku, di Denpost tertanggal 19 Agustus 2015 yang menyebutkan hotel Kempinsky di tepi pantai Sawangan melanggar ketinggian bangunan, melanggar sempadan pantai, melanggar sempadan jurang, dan arsitektur bali seperti yang tercantum dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033. Komisi I DPRD Badung akan menemui manajemen Hotel Kempinsky yang terletak di Pantai Sawangan Nusa Dua Bali, Kecamatan Kuta Selatan. Dewan mensinyalir jika pembangunan Hotel Kempinsky telah melanggar Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033 tentang Rencana Tata
9
Ruang Wilayah Kabupaten pada Pasal 28 mengatur tentang sempadan pantai, Pasal 58 tentang ketinggian bangunan dan arsitektur Bali dan juga Pasal 25 huruf (f) sempadan jurang. Dengan melihat fakta, maka kawasan yang seharusnya dilindungi menjadi terabaikan. Masih saja terlihat pembangunan kawasan hotel yang berada tidak jauh dari bibir jurang, yang pada hakekatnya sangat membahayakan bagi keselamatan serta terancam akan kerusakan yang termasuk dalam lingkup kawasan sempadan jurang tersebut. Sempadan jurang merupakan salah satu incaran dari pembangunan hotel. Kawasan tersebut dapat mempengaruhi nilai komersial yang tinggi terhadap akomodasi perhotelan. Oleh sebab itu, para investor memlilih salah satu kawasan yang menarik untuk melancarkan bisnisnya yaitu kawasan sempadan jurang. Sempadan jurang merupakan salah satu termasuk zonasi kawasan lindung yang dipertahankan keberadaannya dari aspek kuantitas dan fungsinya diatur pada Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033 Pasal 69 Ayat (2) huruf h merumuskan “Ketentuan umum Peraturan Zonasi Kawasan Sempadan Jurang.” Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan kajian secara ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEMBANGUNAN HOTEL PADA KAWASAN SEMPADAN JURANG DI KABUPATEN BADUNG”
10
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
dapat dirumuskan permalsahan sebagai berikut : 1.
Bagaimana penegakan hukum terhadap pembangunan hotel di kawasan sempadan jurang di Kabupaten Badung?
2.
Bagaimana kendala dalam penegakan hukum terhadap terhadap pembangunan hotel di kawasan sempadan jurang di Kabupaten Badung?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Dalam rangka pembahasan atas materi yang relevan dengan pokok
permasalahan yang akan dibahas, maka perlu dinyatakan secara tegas dan jelas tentang ruang lingkup masalah yang akan dibahas sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Penelitian skripsi ini berkisaran tentang yaitu mengenai penegakan hukum terhadap pembangunan hotel di kawasan sempadan jurang di Kabupaten Badung. Dibahas pula kendala dalam penegakan hukum terhadap terhadap pembangunan hotel di kawasan sempadan jurang di Kabupaten Badung.
1.4
Orisinalitas Penelitian Sejauh
ini
penelitian
tentang
“Penegakan
Hukum
terhadap
Pembangunan Hotel pada Kawasan Sempadan Jurang di Kabupaten Badung” ini belum pernah dilakukan di Kabupaten Badung, fakta ini diperoleh dengan observasi di Ruang Koleksi Skripsi Perpustakaan Fakultas Hukum
11
Universitas Udayana, secara spesifik tidak ada penelitian mengenai kriteria hotel yang berada dalam kawasan bibir jurang di wilayah Kabupaten Badung yang dapat dikatakan melanggar Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033 serta kewenangan pemerintah dalam memberikan sanksi terhadap bangunan hotel yang melanggar ketentuan sempadan jurang. Namun berdasarkan salah satu sitematika penelitian harus menyertakan penelitian yang terkait dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang terkait dengan penelitian ini adalah : 1.
Skripsi oleh Ni Putu Trisniari Muliarsi Tahun 2015 Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan judul Penerapan Perda Tata Ruang Kabupaten Bangli terkait Ketentuan Sempadan Jurang di Sepanjang Jalan Raya Penelokan Kintamani. Permasalahan yang dibahas mengenai bangunan-bangunan di sepanjang Jalan Raya Penelokan Kintamani memenuhi kriteria bangunan yang diperbolehkan terhadap sempadan jurang menurut Pasal 77 Perda Kabupaten Bangli, serta sanksi hukum yang diterapkan terhadap bangunan yang melanggar ketentuan sempadan jurang. Hasil penelitian Ni Putu Trisniari Muliarsi yaitu penerapan tata ruang khususnya terhadap bangunan di kawasan sempadan jurang di Jalan Raya Penelokan Kintamani yang sarana pariwisatanya tidak memliki izin, kewenangan pengaturan IMB No. 28 Tahun 2011. Mengenai semua kawasan lindung dipetakan sesuai dengan keberadaannya di wilayah kabupaten. Khusus untuk
12
pengawasan perlindungan setempat, karena luasnya relatif kecil (sempit), tidak dipetakan dalam peta pola ruang wilayah kabupaten, namun tetap diatur dalam pengaturan pola ruang pada RTRWK. 2.
Skripsi oleh Kadek Nicky Novita Tahun 2015 Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan judul Penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Permasalahan yang dibahas mengenai Penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2012 tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern khususnya mengenai perizinan toko modern, serta hambatan dan upaya pemerintah dalam menegakkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern khususnya mengenai perizinan toko modern. Hasil penelitian Kadek Nicky Novita yaitu berdasarkan hasil sidak yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja sebagai penegak hukum dari Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern diketahui dari jumlah toko modern sebanyak 406 unit, hanya 41% yang melengkapi syarat-syarat izin pendirian toko modern, sedangkan 59% unit tidak melengkapi perizinan. Dilihat dari sanksi yang
13
diberlakukan selama ini, hanya sebatas sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan pembinaan semata.
1.5
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai peneliti melalui penelitian penelitian ini adalah
sebagai berikut : 1.5.1
Tujuan umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum
administrasi khususnya yang berkaitan dengan permasalahan tentang penegakan hukum terhadap pembangunan hotel pada kawasan sempadan jurang di Kabupaten Badung dalam bidang hukum pemerintahan daerah melalui pemahaman tentang. 1.5.2
Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini untuk mengetahui dan memahami
penegakan hukum terhadap pembangunan hotel di kawasan sempadan jurang di Kabupaten Badung. Selain itu, tujuan khusus lainnya untuk mengetahui dan memahami kendala yang dihadapi pemerintah dalam penegakan hukum terhadap terhadap pembangunan hotel di kawasan sempadan jurang di Kabupaten Badung.
1.6
Manfaat Penelitian
1.6.1
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan dibidang ilmu hukum administrasi khususnya pada bidang hukum
14
pemerintah daerah dan hukum lingkungan yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap sempadan jurang. 1.6.2
Manfaat Praktis Penelitian karya tulis ini memberikan manfaat praktis agar dapat
mengetahui hotel yang berada dalam kawasan bibir jurang di wilayah Kabupaten Badung dapat dikatakan melanggar Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033. Selain itu, manfaat praktis lainnya yakni agar dapat mengetahui kewenangan pemerintah dalam memberikan sanksi terhadap bangunan hotel yang melanggar ketentuan sempadan jurang.
1.7
Landasan Teoritis
1.7.1
Teori Negara Hukum Salah satu langkah utama yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) di masa-masa awal era reformasi untuk mengimplementasikan semangat reformasi, adalah memunculkan kembali terminologi “Negara Hukum” dalam UUD 1945. Sebagai lembaga tertinggi negara pada masa itu, MPR melakukan langkah tersebut dengan menjadikan hukum menjadi rujukan tertinggi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.12 Indonesia adalah negara hukum yang dimana setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan atas hukum. Dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “ Negara 12
Tim Indonesian Legal Rountable, 2013, Indeks Persepsi Negara Hukum (Rule Of Law Perception Index) Indonesia 2012, Gajah Hidup, Jakarta Selatan, h. 1.
15
Indonesia adalah Negara Hukum”. Negara hukum harus memenuhi dua persyaratan yaitu supremacy before the law artinya hukum diberikan kedudukan tertinggi. Syarat kedua adalah equality before the law artinya semua orang pejabat pemerintahan maupun masyarakat biasa sama statusnya atau kedudukannya di mata hukum.13 Negara hukum adalah salah satu gagasan yang sangat penting dimasa sekarang. Hal tersebut merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari gagasan mengenai moralitas politik modern serta tidak terpisahkan dari ide mengenai Hak Asasi Manusia, demokrasi, dan prinsip-prinsip ekonomi pasar bebas.14 Negara Indonesia merupakan negara hukum yang didasarkan atas Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa dan peraturan perundangundangan yang berlaku bukan hanya berdasarkan atas kekuasaan semata sifat negara hukum tersebut dapat dilihat dari alat-alat kelengkapan pemerintah yang bertindak menurut hukum yang didasarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Teori negara hukum menggambarkan bahwa negara Indonesia beserta masyarakatnya harus mematuhi hukum yang berlaku baik hukum yang diciptakan oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun hukum yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Sehingga diharapkan dapat terciptanya suatu keadaan yang tertib hukum dan menciptakan rasa aman bagi masyarakat yang dimana negara Indonesia pemerintahannya harus berdasarkan 13
C.S.T. Kansil, 2000, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h.
14
Tim Indonesian Legal Rountable, Op.cit, h. 4.
88.
16
hukum, adanya independensi kekuasaan hakim, penghormatan, pengakuan serta perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, akses terhadap keadilan dan peraturan yang terbuka dan jelas. 1.7.2
Teori Penegakan Hukum Penegakan hukum ditinjau dari sudut subyek dan sudut obyek penegakan
hukum. Sudut subyek penegakan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yakni dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Penegakan hukum merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktorfaktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja.
17
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau di terapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang di dasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum.15 Faktor hukumnya sendiri dimaksudkan bahwa dalam arti materiil adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat untuk daerah yang sah. Sedangkan Penegak hukum sendiri diartikan sebagai para aktor hukum yang melaksanakan pengayoman, pengawasan serta penindakan dari berjalannya hukum yang diterapkan dalam masyarakat. Penegak hukum dalam mejalankan fungsinya memerlukan alat-alat yang digunakan sebagai penunjang dari pelaksanaannya disebut sarana atau fasilitas. Serta masyarakat sendiri merupakan lingkungan dimana aturan-aturan tersebut di terapkan dan aturan-aturan tersebut berdampak pada lingkungan tersebut. Yang terakhir adalah kebudayaan merupakan segala seni yang ada di dalam kehidupan masyarakat dan mempunyai pengaruh besar terhadap aktifitas kelangsungan hidup sehari-hari masyarakat tersebut.
15
Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 8.
18
1.7.3
Izin dan Perizinan Izin pada dasarnya adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
menyimpang
dari
berlaku
ketentuan-ketentuan
dalam
suatu
larangan
keadaaan
tertentu
perundang-undangan.16
Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Spelt dan ten Berge, dalam izin dapat dipahami bahwa suatu pihak tidak dapat melakukan sesuatu kecuali diizinkan oleh pemerintah. Dengan demikian pemerintah mengikatkan perannya dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang atau pihak yang bersangkutan.17 Secara garis besar hukum perizinan adalah hukum yang mengatur hubungan masyarakat dengan negara dalam hal adanya masyarakat yang memohon izin. Prinsip izin terkait dalam hukum publik oleh karena berkaitan dengan perundang-undangan pengecualiannya apabila ada apek perdata yang berupa persetujuan seperti halnya dalam pemberian izin khusus. Izin merupakan perbuatan Hukum Administrasi Negara bersegi satu yang diaplikasikan peraturan berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ketentuan perundangundangan. Menurut WF. Prins izin hanmpir sama pengertiannya dengan dispensasi, hanya saja perbedaannya pada izin termuat uraian yang limitatif tentang alasan penolakannya, sedangkan dispensasi memuat uraian yang limitatif tantang hal-hal yang untuk itu diberikan dispensasi.18 Oleh karena itu izin tersebut secara tidak langsung digunakan oleh pemerintah untuk pengaturan demi
16
Ibid, h. 7. N.M Spelt dan J.B.J.M ten Berge, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, (disunting oleh Philipus M Hadjon), Yuridika, Surabaya, h. 2. 18 Marbun dan Mohammad Mahfud, Op.cit. h. 95. 17
19
keselarasannya dalam kehidupan bernegara. Sesuainya perizinan terhadap pembangunan hotel dapat menyebabkan terlindungnya hak asasi manusia dan terlindungnya lingkungan dari tangan-tangan tidak bertanggung jawab dengan alasan ingin menguntungkan diri sendiri.
1.8
Metode Penelitian
1.8.1
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah jenis
penelitian hukum empiris. Jenis penelitian ini pada dasarnya merupakan kesenjangan norma antara das sollen dengan realitas hukum atau das sein.19 1.8.2
Jenis Pendekatan Pendekatan yang digunakan penulis dalam meneliti ini berupa pendekatan
fakta (the fact approach), dimana pendekatan ini mengacu pada pencarian data dari beberapa informan dalam penelitian skripsi ini. Disamping itu, penelitian skripsi ini juga menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statute approach) yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang serta Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033 yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di Kabupaten Badung. 1.8.3
Data dan Sumber Data Sumber data adalah sumber darimana data diperoleh yang pada umumnya
dibedakan antara data-data yang diperoleh langsung dari masyarakat (data primer) 19
Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah Alternatif, Universitas Trisakti, Jakarta, h. 43.
20
dan data-data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka (data skunder). Pada penelitian ini, adapun data yang digunakan adalah bersumber dari: 1.
Sumber data primer, yakni data yang diperoleh langsung dari sumber utama di lapangan, dimana data tersebut berasal dari observasi atau pengamatan secara langsung ke tempat kejadian dan melalui wawancara terhadap pihak-pihak yang mengetahui dan terkait dengan pengaturan mekanisme perizinan dan penegakan hukum terhadap pembangunan hotel di Kabupaten Badung.
2.
Sumber data sekunder, yakni data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research). Data yang diperoleh dari bahan hukum primer, berupa: a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); c) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); d) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata Cara Masyarakat Dalam Penataan Ruang, (Lembaran
21
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); e) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005
Tentang
Pedoman
Pembinaan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
Dan
Pengawasan
(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); f) Peraturan Menteri PU No. 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten; g) Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033, (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 26, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 25). Selain itu bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku hukum, hasil penelitian, pendapat dari para pakar serta jurnal-jurnal hukum. Serta yang terakhir bahan hukum tersier, yaitu berupa bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan teradap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.
22
1.8.4
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik wawancara (interview). Menurut Soejono Soekanto, dalam penelitian lazimnya dikenal tiga jenis pengumpulan data, yaitu study dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, wawancara atau interview.20 Wawancara dilakukan bukan semata-mata bertanya pada seseorang, melainkan menghibahkan pertanyaan-pertanyaan yang jelas dirancang untuk menperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian yang ditujukan kepada informan agar hasil wawancara nantinya memiliki
nilai validitas dan reabilitas. Dalam
penelitian ini wawancara dilakukan kepada informan yang terkait di dalam pengaturan mekanisme perizinan dan penegakan hukum terhadap pembangunan hotel di Kabupaten Badung. 1.8.5
Teknik Analisis Dengan terkumpulnya data yang dicari kebenarannya yang berhubungan
dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, kemudian data ini dianalisis dengan teknik analisis kualitatif atau analisis deskriptif, maka seluruh data primer maupun data sekunder yang terkumpul akan diolah dan dianalisis secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema, dikategorikan dan diklasifikasikan, dihubungkan antara data satu dengan yang lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari
20
Soejono Soekanto, 1990, Ringkasan Metodelogi Penelitian Hukum Empiris, Cet. I, INDHILL-CO, Jakarta, h. 114.
23
perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data. Kemudian data akan disajikan secara deskriptif, kualitatif dan sistematis.21
21
Ibid, h. 75.