BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa penting, yaitu lahir, menikah dan meninggal dunia yang kemudian akan menimbulkan akibat hukum tertentu. Manusia sebagai subyek hukum secara riil berlaku sejak lahir sampai meninggal, namun terdapat pengecualiannya yaitu anak yang masih didalam kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingan si anak menghendakinya.1 Ukuran kedewasaan seseorang sebagai subyek hukum yang cakap, didalam hukum adat seseorang telah dikatakan dewasa apabila ia telah purna jeneng yaitu mampu untuk bekerja secara mandiri, cakap mengurus harta benda dan keperluannya sendiri, serta cakap untuk melakukan segala tata cara pergaulan hidup kemasyarakatan termasuk mempertanggungjawabkan segala tindakannya.2 Seseorang akan melangsungkan perkawinan setelah beranjak dewasa dengan pasangan hidupnya yang bertujuan membentuk suatu keluarga bahagia lahir batin serta mendapatkan keturunan sebagai penerus generasi dalam keluarganya. Budaya perkawinan dan aturan yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya.3 Pengertian dari suatu perkawinan tercantum dalam Pasal 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa: 1
R. Soeroso, 1996, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 233. Iman Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, hlm. 78. 3 Hilman Hadikusuma I, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 1. 2
1
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya, hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Peristiwa penting yang ketiga adalah ketika manusia meninggal dunia. Peristiwa ini mengakibatkan timbulnya persoalan dan pertanyaan mengenai segala sesuatu yang ditinggalkan oleh si mati. Peraturan yang menampung segala akibat dari meninggalnya seseorang kemudian disebut dengan hukum waris, hal inilah yang sangat diperlukan. Hukum waris adalah peraturan-peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya.4 Peraturan ini umumnya mengatur mengenai hal-hal yang bersifat pribadi, contohnya seperti adanya anggota keluarga yang tidak termasuk sebagai ahli waris dan ahli waris itu sendiri. Hukum waris Indonesia bersifat majemuk, hal tersebut terjadi karena Indonesia belum mempunyai Undang-Undang Hukum Waris Nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Istilah masyarakat majemuk mempunyai arti yang sama dengan istilah masyarakat plural atau pluralistik,
4
J. Satrio, 1992, Hukum Waris, Alumni, Bandung, hlm. 9.
2
biasanya hal itu diartikan sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai suku bangsa atau masyarakat yang berbhinneka.5 Hukum Waris Adat di Indonesia bersifat pluralistik disebabkan oleh karena sistem garis keturunan yang berbeda-beda yang menjadi dasar sistem suku-suku bangsa dan kelompok-kelompok etnik. Sehubungan dengan belum adanya Undang-undang tersebut di Indonesia masih diberlakukan 3 (tiga) sistem hukum kewarisan yakni hukum kewarisan KUH Perdata, Islam dan Adat. Kebutuhan hukum bagi masyarakat Indonesia yang serba beragam di masa kini dan masa akan datang dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka diperlukan adanya konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum yang berasal dari hukum adat. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional kearah unifikasi hukum yang terutama akan dilaksanakan melalui perbuatan peraturan perundang-undangan.6 Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta bagaimana cara harta warisan tersebut dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.7 Soerjono Soekanto didalam bukunya mengatakan “Sistem kewarisan individual merupakan sistem kewarisan dimana para ahli waris mewaris 5
12
6 7
Soerjono Soekanto I, 2008, Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hlm. Hilman Hadikusuma II, 1999, Hukum Waris Adat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 1. Ibid, hlm 7.
3
secara perorangan, dalam sistem kewarisan kolektif ahli waris bersama sama mewarisi harta peninggalan dan dalam sistem kewarisan mayorat anak tertua menurut jenisnya menguasai harta peninggalan dengan hak dan kewajiban mengatur dan mengurus kepentingan adik-adiknya atas dasar musyawarah dan mufakat para anggota kelompok waris, sistem kewarisan mayorat dikelompokkan menjadi dua yang pertama mayorat pria atau laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal dan mayorat perempuan atau anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal”.8 Dalam hukum waris yang menjadi subjek adalah pewaris dan ahli waris, demikian pula halnya dalam hukum waris adat. Pewaris adalah seseorang yang menyerahkan atau meninggalkan harta warisan, sedangkan yang dimaksud ahli waris adalah orang-orang yang berdasarkan hukum yang berhak menerima warisan. Sistem kekerabatan yang berlaku di Indonesia sangat beragam dipengaruhi oleh kemajemukan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia berdasarkan suku, etnis, ras, agama, dan lainnya. Secara umum dalam masyarakat Indonesia dikenal tiga macam persekutuan hukum berdasar atas pertalian darah atau sistem kekeluargaan antara lain sistem kekeluargaan patrilineal, sistem kekeluargaan matrilineal, dan sistem kekeluargaan parental.9 Masyarakat Bali menganut sistem kewarisan mayorat pria/laki-laki sehingga yang menjadi ahli waris menurut hukum adat Bali adalah anak lakilaki dilihat dari garis kekerabatan patrilinial, dipengaruhi oleh sifat kekeluargaan masyarakat Bali yang beragama Hindu sehingga yang berhak menjadi ahli waris hanyalah laki-laki atau purusa.
8 9
Soerjono Soekanto II, 2001, Hukum Adat Bali, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hlm. 260. R. Soepomo, 1996, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 51.
4
Fungsi hukum waris menurut hukum adat Bali adalah mengatur penerusan dan pemindahan barang-barang materiil dan immateriil pewaris kepada ahli warisnya. Prinsip dasar yang dianut dalam sistem kekeluargaan purusa, antara lain keturunan dilacak dari garis laki-laki atau bapak, dan kedudukan laki-laki lebih penting dibandingkan dengan saudara-saudara perempuannya karena dalam perkawinan seorang perempuan dilepaskan dari hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya. Perkawinan mengakibatkan keluarga inti yang secara ideal terdiri dari bapak, ibu dan anak.10 Laki-laki dikatakan lebih penting karena selaku pemikul Dharma (kewajiban) menunaikan pitra puja yaitu pemujaan dan tanggung jawab kepada leluhur, yang diiringi dengan hak mendapat warisan, mempergunakan dan menjaga barang-barang pusaka. Upaya untuk melanjutkan kelangsungan keturunan terdapat hal lain yaitu pasangan suami isteri yang hanya mempunyai anak perempuan ataupun hanya perempuan tunggal sehingga mengupayakan adanya sentana rajeg dimana pengantin perempuan yang menarik suaminya keluar ikatan purusa bapak, ibu dan saudara-saudaranya. Secara keagamaan dan hukum sang istrilah yang berkedudukan sebagai purusa serta sang suami sebagai pradana dalam perkawinan tersebut sehingga anak perempuan memperoleh kedudukan sebagai sentana purusa yaitu sebagai anak pelanjut keturunan dalam lingkungan keluarganya. Harta warisan itu terdiri dari: 10
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 78.
5
a. Harta Pusaka, yang terdiri dari: 1) Harta pusaka yang tidak dapat dibagi, ialah harta warisan yang mempunyai nilai magis-religius, contohnya adalah tempat ibadah (pemerajanan, sanggah), alat pemujaan (siwa krana), keris yang bertuah, dan lain-lain. 2) Harta pusaka yang dapat dibagi ialah harta warisan yang tidak mempunyai nilai magis-religius misalnya sawah, ladang dan lainlain. b. Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa baik oleh mempelai wanita maupun pria ke dalam perkawinan misalnya jiwa dana, tetadan, akskaya. c. Harta perkawinan, yaitu harta yang diperoleh dalam perkawinan (guna karya). d. Hak yang didapat dari masyarakat, misalnya: bersembahyang di Kahyangan Tiga, mempergunakan kuburan, melakukan upacara pitra yadnya11. Fungsi hukum adat waris di Bali bertujuan agar harta warisan tetap utuh menjadi satu, pemanfaatannya agar terpelihara kesejahteraan semua anggota keluarga ketika memuja roh leluhur dalam satu tempat persembahyangan yang disebut merajan, Pura dan harta warisan orang tua dalam suatu keluarga di Bali umumnya dipegang oleh anak laki-laki tertua, agar harta warisan tersebut tetap utuh. Keadaan ini menimbulkan permasalahan bilamana dalam keluarga tersebut ingin membagi harta warisan dan bahkan apabila orang tua ingin memberikan sebagian hartanya kepada anak perempuannya. Pelaksanaan hukum adat bagi masyarakat bali dilakukan secara konsekuen dan sangat ditaati dari generasi ke generasi. Masyarakat hukum adat Bali diikat oleh hukum adat yang dikenal dengan awig-awig yang merupakan pedoman bagi adat dalam menjalankan pemerintahannya. Awigawig ini secara alami mempunyai kekuatan karena tumbuh dari bawah, ditaati
11
Soerjono Soekanto II, op.cit., hlm. 277.
6
karena dirasa sebagai sesuatu yang harus ada untuk ketentraman dan juga sulit dipisahkan dari tingkah laku dan kehidupan masyarakat adat Bali. Pewarisan menurut Agama Hindu dalam perkawinan biasa bahwa seorang perempuan menurut garis keturunan patrilinial bukan merupakan ahli waris dari orang tuanya. Anak perempuan hanya dapat menikmati hasil peninggalan selama ia melaksanakan dharmanya sebagai anak perempuan, apabila ia kawin dan mengikuti suaminya tidak berhak mewaris dari orang tuanya. Pembagian warisan menurut hukum adat Bali tidak saja terjadi setelah pewaris meninggal tetapi hidup pun pembagian warisan itu dapat dilakukan. Perkembangan jaman di Bali sering terjadi orang tua memberikan bekal berupa benda kepada anak perempuannya dikarenakan sifat alamiah orang tua kandung kepada anak kandungnya yang ingin anaknya hidup sejahtera. Pemberian ini dikenal dengan istilah: 1. Jiwa dana yaitu harta pemberian dengan dasar tulus ikhlas dari orang tua kepada anak perempuannya sewaktu masih hidup berkumpul, pemberian bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat oleh ahli waris lainnya. 2. Tetadan yaitu harta pemberian kepada anak perempuannya pada waktu perkawinan dilangsungkan. Dalam prakteknya, semakin banyak orang tua yang memberikan beberapa hartanya kepada anak perempuannya walaupun anak perempuan bukan merupakan ahli waris, dari hasil penjajakan ternyata kemudian dipermasalahkan dan sangat menarik untuk dikaji.
7
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pelaksanaan pemberian harta kekayaan dari orang tua kepada anak perempuan yang kawin dan mengikuti suami di
Kota
Denpasar? 2. Bagaimanakah upaya penyelesaian apabila terjadi perselisihan dalam pemberian harta kekayaan dari orang tua kepada anak perempuan yang kawin dan mengikuti suami di Kota Denpasar?
C. Tujuan Penelitian Mengacu pada pokok masalah seperti yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji: 1. Pelaksanaan pemberian harta kekayaan dari orang tua kepada anak perempuan yang kawin dan mengikuti suami di Kota Denpasar 2. Upaya penyelesaian apabila terjadi perselisihan dalam pemberian harta kekayaan dari orang tua kepada anak perempuan yang kawin dan mengikuti suami di Kota Denpasar.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan secara teoritis ataupun praktis, antara lain sebagai berikut:
8
1. Perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan bidang hukum waris adat pada khususnya dalam kaitan hak anak perempuan yang kawin dan mengikuti suami terhadap harta kekayaan orang tuanya di Denpasar. 2. Dapat berfaedah dalam menambah wawasan hukum di Indonesia pada umumnya dan masyarakat adat Bali di Denpasar pada khususnya dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan hak anak yang kawin dan telah mengikuti suami terhadap harta kekayaan orang tuanya di Denpasar.
E. Keaslian Penelitian Setelah menelusuri kepustakaan, sejauh pengamatan penulis mengetahui bahwa dalam penelitian tentang “HAK ANAK PEREMPUAN YANG KAWIN
DAN
MENGIKUTI
SUAMI
TERHADAP
HARTA
KEKAYAAN ORANG TUANYA DI DENPASAR”, sampai pada saat ini belum ditemukan ada. Namun Penulis pernah menemukan tiga hasil penelitian tesis yang meneliti tentang pewarisan adat mengenai anak perempuan/wanita berdasarkan sistem pewarisan Adat di Indonesia, yang masing-masing berjudul : 1. “Kedudukan wanita menurut Hukum Waris Adat di Muara Enim provinsi Sumatera Selatan”.12 Rumusan masalahnya sebagai berikut :
12
Dessy Yunita, 2009, Kedudukan wanita menurut Hukum Waris Adat di Muara Enim provinsi Sumatera Selatan, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
9
a. Bagaimana kedudukan wanita menurut Hukum Adat di kabupaten Muara Enim provinsi Sumatera Selatan? b. Pembagian ahli waris anak perempuan dan istri dalam sistem pewarisan adat Muara Enim? 2. “Analisis yuridis terhadap hak waris anak perempuan pada masyarakat Batak Karo menurut Hukum Adat (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1542 K/PDT/1999 tanggal 24 Mei 2000)”.13 Rumusan masalahnya sebagai berikut : a. Apakah putusan pengadilan terhadap sengketa pembagian warisan Nampat Sitepu telah sesuai dengan ketentuan Hukum Adat pada masyarakat Batak Karo? b. Dasar hukum manakah yang digunakan hakim dalam memutus perkara pembagian waris pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1542 K/PDT/1999 tanggal 24 Mei 2000 mengenai persamaan kedudukan dan hak yang sama anak perempuan dan laki-laki dalam pembagian harta warisan terhadap harta yang ditinggalkan oleh pewaris?
13
Maya Kania, 2010, Analisis yuridis terhadap hak waris anak perempuan pada masyarakat Batak Karo menurut Hukum Adat (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1542 K/PDT/1999 tanggal 24 Mei 2000), Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
10
3. “Kedudukan Anak hasil perkawinan 'Ganti Tikar' dalam hukum Waris Adat pada masyarakat Batak Toba”.14 Rumusan masalahnya sebagai berikut : a. Bagaimanakah kedudukan anak hasil perkawinan "ganti tikar" dalam hukum waris adat Batak Toba di wilayah Kecamatan Sipolohon kabupaten Tapanuli Utara? b. Adakah keterlibatan Notaris dalam pewarisan pada anak hasil perkawinan 'ganti tikar' di kalangan masyarakat Batak Toba di kecamatan sipolohon kabupaten Tapanuli Utara? Ketiga judul hasil penelitian diatas, tidak identik dengan penelitian penulis, yang berjudul “HAK ANAK PEREMPUAN YANG KAWIN DAN MENGIKUTI SUAMI TERHADAP HARTA KEKAYAAN ORANG TUANYA DI DENPASAR”. Penulis mengangkat topik permasalahan tentang kedudukan dan hak anak perempuan yang kawin dan mengikuti suami terhadap harta kekayaan orang tuanya di Denpasar serta akibat hukum yang terjadi dengan adanya pemberian bekal oleh orang tua kandung kepada anak perempuannya yang telah kawin dan mengikuti suaminya. Apabila di kemudian hari ternyata diketemukan hasil penelitian yang serupa, maka penelitian ini dapat dikatakan sebagai pelengkap atas penelitian yang terdahulu.
14
Loisa Hutahuruk, 2011, Kedudukan Anak hasil perkawinan 'Ganti Tikar' dalam hukum Waris Adat pada masyarakat Batak Toba, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
11