BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pernikahan merupakan sunnatullah yang
umum berlaku pada semua
makhluk yang hidup, baik manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.1 Sebagaimana firman Allah surat al-Dhâriyâh ayat 49 yang berbunyi:
(٤٩ :@A)ار/ )ا.ن َ ْْ َ* َ) 'آ ُ&و+,ُ -'.َ /َ 1 ِ 2ْ 3 َ ْ َزو5َ67ْ -َ8 َ : ٍ 2ْ ; َ = ِّ ْ ُآ1>ِ َو Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”. (QS. al-Dhâriyâh: 49)2 Manusia diberi berbagai kelebihan dari pada makhluk lainnya, sehingga mereka menjadi subyek yang memiliki hak menentukan pilihannya, selain itu manusia juga diberi tanggung jawab atas segala tindakannya. Bagi manusia perkawinan merupakan sunnatullah yang amat penting. Demi menjaga martabat kemanusiaannya, maka Allah memberikan ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antara dua jenis manusia yang berbeda. Di sinilah nilai sakral dari suatu perkawinan yang menempatkan manusia pada proporsi yang dikehendaki Allah SWT, yaitu dalam rangka mengabdi kepada-Nya. Hal tersebut terjadi karena
1
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunnah, Jilid 6. Terj. Kamaluddin A. Marzuki (Bandung: PT AlMa’arif, 1980), 7. 2 Depag, Al-Qur'an Dan Terjemahnya (Semarang: CV. Asy-Sifa’, 1992), 862.
1
2
lembaga perkawinan merupakan bagian integral dari syariat Islam.3 Islam memberi karakteristik tersendiri terhadap lembaga perkawinan sehingga ia bukan hanya sekedar akad dua belah pihak, antara lelaki dan wanita, tetapi perkawinan dalam Islam merupakan "5a2-b
5_5`2>"
(perjanjian yang kokoh lagi kuat).4
Nabi Muhammad SAW menganjurkan setiap muslim agar segera menikah ketika sudah mampu. Dengan menikah berarti melaksanakan sunah Rasul dan bahkan telah menyempurnakan separuh agamanya. Ahmad Yasin Asymuni mengatakan, bahwa keutamaan orang yang sudah berkeluarga dibanding dengan orang yang belum berkeluarga, bagaikan keutamaan antara orang yang ikut berjihad dalam peperangan di jalan Allah dengan orang-orang yang duduk-duduk saja di rumah tanpa ikut berjihad. Keutamaan ini dikarenakan kesibukan dan keprihatinan mengurus dan memelihara kesejahteraan keluaraga.5 Penikahan merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan untuk berkembang biak dan untuk melestarikan hidupnya. Pernikahan bukanlah sebagai sarana penyaluran nafsu seksual semata, melainkan lebih bertujuan untuk menjalin kasih sayang serta mewujudkan kedamaian dan
3
M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama (Yogyakarta: Total Media, 2006), 5. Dalam surat al-Nisâ’ (4) ayat 21, Allah berfirman: (٢١ :ء5r6/ )ا.5a2-b 5_5`2> +,6> )ن8 واg.h i/ ا+,j.h ijk اl_ وmn)و8o* p2وآ Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lainnya sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” 5 A. Yasin Asymuni, Keistimewaan, Fungsi dan Keindahan dalam Perkawinan (Kediri: Pon. Pes Hidayah al-Thullab, tt.),31. 4
3
ketentraman bagi yang melaksanakannya.6 Sebagaimana Firman Allah SWT. Surat al-Nûr ayat 32 yang berbunyi:
&َا َء7َ kُ ْاxnُ ْx,ُ Aَ ْْ ِان+,ُ zِ 5َ>ْ َوِا+ ِد ُآ5َ|} ِ ْ1>ِ 1 َ 2ْ y ِ /ِ5'~/ْ وَا+,ُ 6ْ >ِ iَ>5َAw َ ْْا اxy ُ ,ِ nْ وَا (٣٢ :رx6/ )ا.ٌ+2ْ -ِ} َ ٌ ِ وَا ُ وَاmِ -ِa ْ kَ ْ1>ِ ُ ا+ُ ِ 6ِ ْ Aُ Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian. Diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Nûr: 32)7 Sebagaimana termaktub dalam surat al-Rûm ayat 21, bahwa tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga sakinah penuh mawaddah dan rohmah. Undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 pun menyebutkan hal yang serupa yakni bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.8 Keharmonisan rumah tangga adalah dambaan setiap pasangan suami istri, dimana di dalamnya mereka dapat menumpahkan kasih sayang dan saling mendapatkan kebahagian. Kebahagian yang meliputi dimensi ganda, baik dimensi lahiriyah maupun rohaniyah dan dimensi dunia maupun akhirat.9 Kebahagian ini dapat tercapai dengan adanya toleransi, kesamaan keyakinan, visi dan misi antara suami dan istri. Oleh karena itu, kebahagian dalam
6
Slamet Abidin Aminuddin, Fiqih Munakahat I (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 99. Depag, Al-Qur'an Dan Terjemahnya , 549. 8 Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Surabaya: Arikola, 7
tt.), 16.
9
Anshari Thayib, Struktur Rumah Tangga Muslim (Yogyakarta: Risalah Gusti, tt.), 24.
4
sebuah rumah tangga akan sulit tercapai jika dibangun di atas pondasi agama yang berbeda. Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan laki-laki dan wanita yang sama akidah, akhlaq dan tujuannya, di samping cinta dan ketulusan hati. Di bawah naungan keterpaduan itu, kehidupan suami istri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia dan anak-anak akan sejahtera. Jika agama keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan dan lain-lain.10 Menurut Mahmûd Shaltût, perkawinan merupakan pembentukan keluarga. Keluarga menurutnya merupakan batu bata dalam pembangunan bangasa. Oleh karenanya, manakala batu bata itu kokoh dan kuat, maka bangunan itu kokoh dan kuat pula, dan begitu pula sebaliknya, jika batu bata yang menyangga bangunan itu rapuh, maka bangunan itu niscaya akan runtuh pula, dan sesungguhnya satu bangsa itu terdiri dari kumpulan beberapa keluaraga ini. Oleh karena itu menurut Mahmûd Shaltût, soal perkawinan perlu menjadi perhatian penuh dari masyarakat, dan janganlah seseorang itu kurang perhatiannya terhadap keluarga, yang merupakan jalinan dari hasil perkawinan.11 Islam dengan tegas melarang perkawinan muslim dengan mushrikah. Hal ini berdasarkan nass al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 221sebagai berikut:
tt), 1.
10
Ahmad Sukarjo, Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,
11
Mahmûd Shaltût, Al-Islâm Aqîdah wa Sharî’ah (Kairo: Dâr al-Qalam, 1966), 147.
5
ْx/َ ِ& َآ ٍ@ 'و ْ > ْ1>ِّ ٌ&2ْ 8 َ @ٌ 6َ >ِ ْ> @ٌ >َ w َ َو1 ' >ِ ْAُ i' َ ت ِ 5َ ِ&آ ْ ُ /ْ ااxُy,ِ 6ْ *َ w َ َو (٢٢١ :&اة7|/ )ا...ْ+,ُ ْ |َ َ} ْ َا Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.” (QS. al-Baqarah: 221)12 Islam juga melarang perkawinan muslimah dengan pria non muslim baik mushrik maupun ahl kitâb. Hal ini berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah (2) ayat: 221 dan surat al-Mumtahanah (60) ayat: 10 sebagai berikut:
ْx/َك َو ٍ &ِ ْ > ْ1>ِّ ٌ&2ْ 8 َ ٌ1>ِ ْ> ٌl|ْ } َw َ ْا َوx6ُ >ِ ْAُ i' َ 1 َ 2ْ ِ& ِآ ْ ُ /ْ ااxُy,ِ 6ْ *ُ w َ َو... mِ nِ ِْذhِ َ ْ ِ َ& ِة/ْ ِ@ وَا6' َ /ْ اiَ/ْا ِاx} ُ ْlAَ ُ ِر وَا5'6/ اiَ/ن ِا َ ْx} ُ ْlAَ َ ِ /َْ اُو+,ُ |َ َ} ْ َا 13
(٢٢١ :&اة7|/ )ا.ن َ ْ َ َ) 'آ ُ&وAَ ْ+ُ -'.َ /َ س ِ 5'6-ِ/ mِ ِ A ا1 ُ 2ِّ |َ Aُ َو
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayatayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah: 221)14
+ُ -َ} ْ َا ُ ا1 ' ْ ُهx6ُ y ِ َ >ْ 5kَ ت ٍ &َا3 ِ 5َ>ُ ت ِ 5َ6>ِ ُْ /ْ ا+ُ َ َء ُآ3 ْا ِإذَاx6ُ >َ 1 َ Aْ )ِ /'ا5َA َh = ِ 1 ' ُهw َ ِر5',ُ /ْ اiَ/ ِا1 ' ْ ُهx.ُ 3 ِ ْ&*َ ¡ َ kَ ت ٍ 5َ6>ِ ْ>َ 1 ' ْ ُهxُ ُ ْ -ِ} َ ْن5ِkَ 1 ' ِ nِ 5َAْ ِhِ 1 ' ْا ُهxy ُ ,ِ 6ْ *َ ْْ َان+,ُ 2ْ -َ} َ ح َ 5َ63 ُw َ ْا َوx7ُ َ nْ ْ >ََا+ْ ُهx*ُ َوَا1 ' ُ /َ ن َ ْx-y ِ Aَ ْ+ ُهw َ ْ َو+ُ /' َ .ِ hِ ْاx,ُ r ِ ْ *ُ w َ َو1 ' ْ َر ُهx3 ُ ُا1 ' ْ ُهxُ ُ 2ْ *َ ِإذَا َا (١٠ :@6y/ )ا... &ِ kِ َاx,َ /ْ ا+ِ ~ 12
Depag, Al-Qur'an Dan Terjemahnya, 53-54. Ibid, 14 Depag, Al-Qur'an Dan Terjemahnya, 53-54. 13
6
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benarbenar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir”. (QS. al-Mumtahanah: 10).15 Yang menjadi persoalan dari zaman sahabat sampai abad modern ini adalah perkawinan antara muslim dengan kitâbîyah. Menurut pandangan ulama pada umumnya, pernikahan muslim dengan kitâbîyah diperbolehkan. Mereka membolehkan berdasarkan nass al-Qur’an surat al-Mâ'idah (5) ayat 5 sebagai berikut:
ْ1>ِ ب َ 5َ,ِ /ْ ْا اx*ُ ْ ُاو1 َ Aْ )ِ /' ا1 َ >ِ ت ُ 56َ ~ َ y ْ ُ /ْ ت وَا ِ 56َ >ِ ُْ /ْ ا1 َ >ِ ت ُ 56َ ~ َ y ْ ُ /ْ وَا... ْ¨ ِ)ي ِ ' >ُ w َ َو1 َ 2ْ y ِ kِ 5َr>ُ &َ 2ْ b َ 1 َ 2ْ 6ِ ~ ِ y ْ >ُ 1 ' ْ َر ُهx3 ُ ُأ1 ' ْ ُهxُ ُ 2ْ *َ ْ ِإذَا ا+,ُ -ِ|ْ _َ (٥ :ةlz5/)ا...ن ٍ َاl8 ْ َا Artinya: “(Dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik”. (QS. al-Mâidah: 5).16 Secara redaksional dari zâhirnya ayat, laki-laki muslim diperbolehkan mengawini kitâbîyah, namun ada beberapa pendapat yang berkembang 15 16
Ibid., 924. Ibid., 158.
7
dikalangan ulama dalam menafsirkan ayat tersebut.17 Menurut Abdullah ibn Umar, lelaki muslim haram menikahi kitâbîyah. Adapun argumen beliau adalah surat al-Baqarah (2) ayat 221 sebagai berikut:
(٢٢١ :&اة7|/ )ا...ْاx6ُ >ِ ْAُ i' َ 1 َ 2ْ ِ& ِآ ْ ُ /ْ ااxُy,ِ 6ْ *ُ w َ َو... Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.”18 Menurut Abdullah Ibn ‘Umar, termasuk golongan syirik mereka yang menuhankan ‘Isa Ibn Maryam dan menuhankan Uzer.19 Menurut ‘Ata’, laki-laki muslim boleh kawin dengan kitâbîyah yang disebutkan dalam surat al-Mâ’idah ayat 5 adalah sebuah rukhsah, karena saat itu wanita muslimah sangat sedikit. Sedangkan sekarang wanita muslimah telah banyak, oleh karenanya mengawini kitâbîyah tidak diperlukan lagi dan otomatis hilanglah rukhsah untuk mengawininya.20 Menurut jumhur ulama mengawini kitâbîyah diperbolehkan berdasarkan firman Allah dalam surat al-Mâ’idah ayat 5 sebagaimana yang diuraikan di atas. Dikalangan jumhur ulama berpendapat bahwa yang termasuk kategori kitâbîyah adalah wanita-wanita dari kalangan Yahudi dan Nasrani.21 Halalnya menikahi kitâbîyah telah jelas ditunjuk oleh nass, dan sejarah juga telah menunjukkan bahwa beberapa sahabat Nabi telah mengawini ahli kitab 17
Abd. Salam Arief, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta Dan Realita (Yogyakarta: Lesfi, 2003), 125-126. 18 Depag, Al-Qur'an Dan Terjemahnya, 53. 19 Muhammad al-Râzî Fakhr al-dîn, Tafsîr, al-Fakhr al-Râzi, Vol 2 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995), 150. 20 Ibid., 21 Ibid., 151.
8
dari kalangan Nasrani. Tercatat seperti 'Uthmân Ibn Affân mengawini ahli kitab bernama Nâ’ilah binti al-Farâfisah al-Kalbîyah dari kalangan Nasrani yang kemudian memeluk Islam, dan Hudhayfah mengawini kitâbîyah dari kalangan Yahudi penduduk kota Madinah.22 Mengenai kasus perkawinan Hudhayfah dengan
kitâbîyah,
Umar ibn
Khattâb
pernah
memerintahkan
agar ia
menceraikannya. Umar ibn Khattâb merasa khawatir, jika jejak Hudhayfah mengawini kitâbîyah ini akan diikuti oleh orang Islam lainnya, dan mereka lebih memilih mengawini kitâbîyah yang cantik dari pada mengawini wanita muslimah.23 Sedangkan menurut Mahmûd Shaltût dalam kitab al-Fatâwâ, perkawinan laki-laki muslim dengan kitâbîyah tidak diperbolehkan. Hal ini karena kecenderungan yang amat sangat dari laki-laki Mesir saat itu mengawini kitâbîyah. Menurutnya, suami-suami muslim yang kawin dengan kitâbîyah itu, telah terpengaruh oleh budaya dan adat istiadat istrinya, sehingga anak-anaknya didik oleh istrinya menurut agamanya dan adat istiadatnya. Dengan demikian suami tersebut telah membiarkan anak-anak dan keluarganya terlepas dari ajaran Islam, akibat dari pengaruh istrinya yang begitu dominan sehingga dikhawatirkan keturunannya beralih akidah.24
22
Abî Zakariyyâ Muhy al-Dîn bin Saraf al-Nawawî, Al-Majmû', Vol. 17 (Beirut: Dâr al-Fikr, 2000), 396. 23 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, Vol. 7 (Beirut: Dâr al-Fikr,1989), 154155. 24 Mahmûd Shaltût, Al-Fatâwâ (Kairo: Dâr al-Qalam, tt.), 279-280.
9
Fatwa Shaltût dalam kitab al-Fatâwâ tersebut bersifat kondisional dan kasuistis, yang berarti mana kala kondisi seorang laki-laki tidak memenuhi kriteria negatif sebagaimana yang diungkapkannya, maka tidak mengapa seorang laki-laki muslim mengawini seorang kitâbîyah. Meskipun Mahmûd Shaltût bukan orang yang pertama kali melarang perkawinan muslim dengan kitâbîyah, namun ia memiliki alasan rasional, orisinil dan sesuai dengan masyarakat Indonesia pada saat sekarang. Ia melarang perkawinan ini lantaran sangat mengakhawatirkan anak keturunan dari keluarga yang dibina dalam perkawinan itu berpaling dari ajaran Islam. Jika hal ini dibiarkan, maka tidak mustahil generasi yang akan datang dari kalangan keluarga yang semula muslim, akan berpindah menjadi generasi yang tidak tahu ajaran Islam dan bahkan berpindah menjadi orang non Islam. Selain itu, perkawinan ini juga tidak hanya menimbulkan kesenjangan emosional spiritual dari kedua belah pihak suami dan istri, akan tetapi pada gilirannya juga akan mereduksi nilai agama yang mereka yakini. Berangkat dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang pemikiran Mahmûd Shaltût yang berkaitan dengan perkawinan beda agama. Dan akan penulis tuangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul “PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF MAHMÛD SHALTÛT) (Studi Analisis Kitab al-Fatâwâ)”.
10
B. Penegasan Istilah Dalam judul ini istilah yang mendapatkan penegasan adalah: 1. Perkawinan Beda Agama: perkawinan antara seorang muslim dengan non muslim, baik dari kalangan mushrikah maupun wanita kitâbîyah dan sebaliknya (muslimah dengan mushrik maupun,kitâbî). 2. Mahmûd Shaltût: adalah shaykh al-Azhar yang dikenal sebagai tokoh dan cendekiawan yang memiliki tipologi mujtahid dan mujaddid dengan pemikiran Islam moderat dan fleksibel.25 3. Kitab al-Fatâwâ: adalah kitab karangan Mahmûd Shaltût yang merupakan himpunan fatwa-fatwa beliau mengenai berbagai problema hukum Islam yang diajukan kepadanya.
C. Rumusan Masalah Agar lebih terarah dari segi operasional maupun sistematika penulisan skripsi ini, maka pokok permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana
pendapat
dan
argumentasi
Mahmûd
Shaltût
tentang
perkawinan beda agama dalam kitab al-Fatâwâ ? 2. Bagaimana relevansi pemikiran Mahmûd Shaltût dengan hukum Islam di Indonesia berkaitan dengan perkawinan beda agama ?
25
Heri Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam (Jakarta: PT Mizan Publik, 2003), 247.
11
D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pendapat dan argumentasi Mahmûd Shaltût tentang perkawinan beda agama dalam kitab al-Fatâwâ . 2. Untuk mengetahui relevansi pemikiran Mahmûd Shaltût dengan hukum Islam di Indonesia berkaitan dengan perkawinan beda agama.
E. Kegunaan Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan bermanfaat atau berguna untuk: 1. Kegunaan Ilmiah Sebagai bahan kajian untuk dikembangkan lebih lanjut dalam penelitian berikutnya mengenai hasil pemikiran Mahmûd Shaltût. 2. Kegunaan Terapan Penelitian ini diharapkan menjadi wawasan bagi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat Islam supaya mereka mengetahui hukum perkawinan beda agama.
F. Telaah Pustaka Sungguhpun studi terhadap perkawinan beda agama telah banyak mengundang perhatian para ahli hukum termasuk hukum Islam di Indonesia, baik
12
melalui berbagai tulisan lepas dan laporan hasil penelitian. Namun kajian terhadap pemikiran Mahmûd Shaltût dalam kitab al-Fatâwâ, sepanjang pengetahuan penulis belum ada. Ada beberapa karya tulis mengenai perkawinan beda agama. Karya tulis yang terkait dengan perkawinan beda agama ini terdapat dalam skripsi S1 Fakultas Syariah STAIN Ponorogo atas nama Subhan Rasyid dengan judul “Telaah Kritis Terhadap Persepsi Shaykh Muhammad Abduh Tentang Perkawinan Orang Islam Dengan Ahli Kitab”.26 Nurul Khasanah menulis skripsi dengan judul “Studi Atas Pemikiran Ulil Abshar Abdala Tentang Perkawinan Beda Agama”.27 M. Karsayuda menulis buku dengan judul “Perkawinan Beda Agama”.28 Buku ini membahas perkawinan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam. Abdul Muta’âl Muhammad al-Jabari menulis buku dengan judul “Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam”.29 Sedangkan kajian mengenai pemikiran Shaykh Mahmûd Shaltût, antara lain skripsi yang ditulis Nanik Sundari dengan judul “Inseminasi Buatan Perspektif Mahmûd Shaltût”.30 Suziana menulis dengan judul “Saksi Wanita
26
Subhan Rasyid dengan judul Telaah Kritis Terhadap Persepsi Shaykh Muhammad Abduh Tentang Perkawinan Orang Islam Dengan Ahli Kitab, Skripsi Syari’ah STAIN PO, tahun 1998. 27 Nurul Khasanah dengan judul Studi Atas Pemikiran Ulil Abshar Abdala Tentang Perkawinan Beda Agama, Skripsi Syari’ah STAIN PO, tahun 2005. 28 M. Karyasuhada dengan judul Perkawinan Beda Agama, Yogyakarta: Gajah Mada, 1996. 29 Abdul Muta’âl Muhammad al-Jabari dengan judul Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988. 30 Nanik Sundari dengan judul “Inseminasi Buatan Perspektif Mahmûd Shaltût, Skripsi Syari’ah STAIN PO, tahun 2005.
13
Menurut Mahmûd Shaltût dan Imam Shâfi’î”.31 Dan Siti Walidaturrahmah yang menulis dengan judul “Bunga Bank Perspektif Mahmûd Shaltût”.32 Sedangkan karya tulis yang berupa buku adalah karangan Dr. H. Abd. Salam Arif, MA., yang berjudul “Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita”, buku ini membahas biografi dan ijtihad Mahmûd Shaltût.33 Dari berbagai tulisan mengenai perkawinan beda agama dan pemikiranpemikiran Mahmûd Shaltût di atas, sepanjang pengetahuan penulis belum ada karya-karya yang intens dan tegas mengupas pemikiran Mahmûd Shaltût tentang perkawinan beda agama yang terdapat dalam kitab al-Fatâwâ. Maka dari itu, penelitian ini masih layak dilakukan.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah literer atau penelitian perpustakaan (library research), artinya sebuah studi dengan mengkaji bukubuku yang ada kaitannya dengan skripsi ini yang diambil dari perpustakaan. Semua sumber berasal dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan permasalahan penelitian dan literature-literatur lainnya.34
31
Suziana menulis dengan judul Saksi Wanita Menurut Mahmûd Shaltût dan Imam Shâfi’i, Skripsi Syari’ah STAIN PO, tahun 2005. 32 Siti Walidaturrahmah dengan judul Bunga Bank Perspektif Mahmûd Shaltût, Skripsi Syari’ah STAIN PO, tahun 2007. 33 Abd. Salam Arif, dengan berjudul “Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita, Yogyakarta: Lesfi, tahun 2003. 34 Sutrisno Hadi, Metodologi Riserch 1 (Yogyakarta: Gajah Mada, 1980), 3.
14
2. Sifat Penelitian Dalam penelitian ini bersifat deskriptif analisis, penulis dalam hal ini berusaha mendeskripsikan pendapat Mahmûd Shaltût tentang perkawinan beda agama. Dengan proses analisa sebagai berikut: memaparkan data-data, menganalisa secara tuntas dan mengambil kesimpulan dari data dan analisa yang telah dipaparkan.35
3. Data Penelitian Dalam penulisan ini, literatur atau data yang akan diteliti meliputi pendapat, argumentasi Mahmûd Shaltût tentang perkawinan beda agama dalam kitab al-Fatâwâ dan relevansi pendapatnya dengan hukum Islam di Indonesia serta literatur-literatur lain yang mendukung. 4. Sumber Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan tiga sumber data, yaitu sumber data primer, sekunder dan tersier. Sumber data primer adalah buku yang dijadikan rujukan utama dalam penelitian ini, yaitu kitab al-Fatâwâ karya Mahmûd Shaltût.. Sedangkan data sekunder adalah buku-buku yang penulis rujuk untuk melengkapi data-data yang tersedia dalam sumber data primer seperti, Fiqh al-Islâm wa adillatuh, karya Wahbah al-Zuhaylî. Tafsîr al-Fakhr al-Râzî,
35
Muh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), 63.
15
karya Muhammad al-Râzî Fakhr al-Dîn. Al-Islâm Aqîdah wa Sharî’ah, karya Mahmûd Shaltût. Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sâbiq. Kitâb al-Fiqh ‘alâ alMadhâhib al-‘Arba’ah karya Abd. al-Rahman al-Jazîrî. Rawâ’i’ al-Bayân karya Muhammad ‘Ali al-Sâbûnî. Perkawinan Beda Agama, karya M. Karsayuda. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Realita, karya Abd. Salam Arif dan Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam, karya Abdul Mutaal Muhammad Al-Jabiry. Sedangkan data tersier adalah data yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap data primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedi dan artikel-artikel yang berhubungan dengan topik yang dibahas dalam skripsi ini. 5. Metode Pengumpulan Data Karena jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka, maka metode pengumpulan
data
yang
lebih
tepat
adalah
menggunakan
metode
dokumentasai. Metode dokumentasi yaitu mencari data-data mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang berupa catatan atau tulisan, surat kabar, majalah atau jurnal dan sebagainya yang diperoleh dari sumber data primer dan sekunder.36 6. Teknik Pengolahan Data
36
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta,2000), 234.
16
Adapun teknik analisa yang digunakan untuk mengolah data dalam penelitian ini yaitu: a. Editing Data: yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari data-data yang telah terkumpul. b. Penyajian Data: yaitu menyajikan sekumpulan data yang telah tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. c. Penemuan hasil data yaitu melakukan analisa lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data dengan kaidah dan dalil-dalil, sehingga diperoleh kesimpulan sebagai pemecahan dari rumusan yang ada. 7. Teknik Analisa Kemudian dalam menganalisa data kualitatif tersebut, penulis menggunakan dua macam analisa yaitu: a. Analisa Induktif, yaitu metode berpikir yang berangkat dari fakta-fakta peristiwa-peristiwa
yang
khusus
kemudian
ditarik
generalisasi-
generalisasi yang sifatnya umum. b. Analisa Deduktif, yaitu pola pikir yang berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa umum yang kemudian ditarik generalisasi-generalisasi yang sifatnya khusus.37
37
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Surasin, 1996), 93.
17
c. Analisa Komparatif, yaitu pola pikir dengan cara membandingkan pendapat satu dengan pendapat yang lain. Dalam penelitian ini penulis berusaha membandingkan perkawinan beda agama menurut fiqih dengan pemikiran Mahmûd Shaltût dalam kitab al-Fatâwâ.
H. Sistematika Pembahasan Agar lebih mudah dalam pembahasan skripsi ini, maka penulis akan membagi skripsi ini dalam lima bab dan beberapa sub bab yang secara garis besarnya dapat penulis gambarkan sebagai berikut: Bab pertama merupakan pola dasar yang memberikan gambaran secara umum dari seluruh isi skripsi yang meliputi: latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab kedua merupakan landasan teori mengenai perkawinan beda agama diklasifikasikan menjadi tiga poin, yaitu: perkawinan laki-laki muslim dengan mushrikah, perkawinan laki-laki muslim dengan kitâbîyah dan perkawinan muslimah dengan laki-laki non muslim. Selain itu dipaparkan juga tentang perkawinan beda agama menurut hukum Islam di Indonesia. Bab ketiga mengemukakan hasil penelitian literatur mengenai studi tokoh Mahmûd Shaltût yang meliputi: biografi, pendapat dan argumentasi Mahmûd Shaltût tentang perkawinan beda agama.
18
Bab keempat merupakan analisa pendapat dan argumentasi Mahmûd Shaltût tentang perkawinan beda agama dan analisa relevansi pemikirannya mengenai perkawinan beda agama dengan hukum Islam di Indonesia. Bab kelima merupakan penutup dari pembahasan skripsi ini, yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
19
BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT FIQH DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A. Perkawinan Beda Agama Menurut Fiqh Perkawinan beda agama merupakan masalah khilafiyah dalam agama Islam. Ada yang membolehkan secara shar’î dan ada juga yang mengharamkan. Hal itu timbul karena sebagian ulama memahami dalil tentang perkawinan beda agama secara tekstual dan sebagian yang lain secara kontekstual. Pemahaman tekstual yakni memahami teks secara langsung yang terkadang tidak mempertimbangkan hal-hal penting lain yang ada di balik ayat. Sedangkan pemahaman secara kontekstual selain mengkaji teks juga memahami hal di luar seperti asbâb al-nuzûl, tafsîr dan aspek sosial, politik dan kultur masa turunnya ayat. Para ulama' mengklasifikasi perkawinan beda agama menjadi 3, yaitu: 1) Perkawinan antara seorang muslim dengan mushrikah, 2) Perkawinan antara muslimah dengan non muslim, dan 3) Perkawinan antara seorang muslim dengan kitâbîyah.
20
Untuk lebih memudahkan pemahaman tentang kategori perkawinan beda agama di atas, akan diuraikan pengertian istilah-istilah yang berkaitan dengannya, antara lain definisi muslim, non muslim, mushrik, mushrikah dan kitâbîyah. Muslim adalah orang yang memeluk agama Islam yakni agama Samawi (langit) yang diturunkan oleh Allah SWT melalui utusan-Nya, Muhammad SAW, yang ajaran-ajarannya terdapat dalam kitab suci al-Qur’an dan al-Sunnah dalam bentuk perintah-perintah, larangan-larangan dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia, baik di dunia maupun akhirat.38 Syekh Hasan Khalid mendefinisikan muslim sebagai orang yang telah menerapkan lima perkara yang ada dalam pengertian Islam. Yang dimaksud dengan lima tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah SAW tentang definisi Islam, yakni:
i¯¯-َ} َ ¡ ُم َ ¯ ْw ِ ْ ا³ َ ¯ 6ِ hُ :+َ -'¯ َ َوmِ ¯ 2ْ -َ} َ ُ اi'-¯ ° َ ِ لا ُ ْx¯ ُ ل َر َ 5¯¯_َ ِ اlُ ¯ |ْ } َ ل َ 5¯¯_َ َ ِءAْ ¡ ِة َوِا َ~ ' / ُم ا5َ_ َوِا ِ لا ُ ْx ُ ًا َرl' y َ >ُ ن ' َوَا ُ اw ' ِاmَ /َ ِاw َ ْ َد ُة َان5َ; َ .´ ٍ ْ 8 َ (+-r> » )روا.¡ ً 2ْ |ِ َ mِ 2ْ /َع ِا َ 5َ¸َ ْ ْ ِا1َ /ِ ¹ ِ 2ْ |َ /ْ اº ِ ن َو َ 5َj>َ ْ ُم َرx° َ ِة َو5َ '¶آ/ا “Islam dibangun atas lima perkara, yaitu: bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan ramadhan dan beribadah haji ke Baitullah bagi orang yang mampu”.39 Jadi seorang muslim adalah seorang yang telah bersyahadat, shalat, zakat, puasa dan haji jika mampu. Lima hal dikenal dengan istilah rukun Islam. Akan
38 39
Ensiklopedi Islam, Vol. 2 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), 246. Adib Bisri Mustofa, Terjemah Sahîh Muslîm (Semarang: CV. Asy-Sifa’ 1992), 19.
21
tetapi, untuk mengukur keislaman seseorang memang tidak mudah. Ada orang yang mengaku beragama Islam namun tidak pernah shalat, puasa atau rukun yang lain. Hanya saja dalam identitas maupun pengakuan lisannya adalah seorang yang beragama Islam. Hal ini dikarenakan penerapan dari hukum Islam, dosa dan pahala dari perbuatan tersebut pada hakekatnya hanya dipertanggung jawabkan kepada sang khaliq. Dengan identitas Islam dalam KTP (Kartu Tanda Penduduk) seseorang bisa menentukan tata cara atau prosedur perkawinan yang sesuai dengan kepercayaannya itu. Sebaliknya, non muslim adalah orang yang mengingkari adanya Allah atau berbuat syirik, yaitu menisbatkan kepada Allah suatu sifat yang telah dinafikan dan ditolak oleh al-Qur’an seperti bapak, istri dan anak. Siapa saja yang menyembah selain Allah, baik berupa manusia, batu, binatang, pohon atau apa saja dari benda-benda di alam semesta, mengingkari kenabian Muhammad SAW sebagai utusan untuk seluruh umat manusia dan mengingkari al-Qur’an sebagai kalam Allah, maka ia bukan seorang muslim.40 Kemudian yang dimaksud dengan mushrik adalah pelaku perbuatan syirik yakni menyekutukan Allah dengan apapun. Artinya, seorang mushrik bisa dipastikan tidak percaya adanya Allah, ia tidak patuh kepada Allah maka ia menyembah yang lain, baik berupa benda, manusia atau segala sesuatu yang nota bene adalah makhluk Allah. Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam, syirik adalah
40
Syaikh Hasan Khalid, Menikah dengan Non Muslim, terj. Zainal Abidin Syamsuddin (Jakarta: Pustaka al-Shofwa, 2004), 78.
22
sebagai perbuatan, anggapan atau iktikad menyekutukan Allah dengan yang lain, seakan ada yang kuasa di samping Allah.41 Quraish Shihab menyebutkan bahwa yang dimaksud syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Sedangkan mushrik adalah siapa yang percaya bahwa ada tuhan bersama Allah, atau siapa yang melakukan aktifitas yang bertujuan utama ganda pertama kepada Allah dan kedua kepada selain-Nya. Dengan demikian seorang yang mempersekutukan Allah dari sudut pandang ini adalah mushrik.42 Adapun pengertian mushrik menurut Shaikh Hasan Khalid adalah orang yang menjadikan tandingan, saingan atau keserupaan bagi Allah dari pada makhluk-Nya dalam hal-hal yang berhubungan dengan hak Allah baik dalam rubûbîyah maupun ulûhîyah-Nya.43 Allah melarang hal ini dalam firman-Nya QS. al-Baqarah ayat 22 yang berbunyi:
(٢٢ :&ة7|/ )ا.ن َ ْxُ -َ.ْ *َ ْ+ُ nْ َادًا َوَأlnْ َأ ِ ِ اxُ-.َ ْ *َ ¡ َ kَ Artinya: “Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui”. (al-Baqarah: 22).44 Jadi mushrik adalah sebutan bagi orang laki-laki yang syirik dan mushrikah bagi perempuan yang syirik. Siapapun yang menjadikan tandingan atau saingan bagi Allah dalam hal ibadah, kecintaan, rasa cemas dan berharap
41
Ensiklopedi Islam, Vol. 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), 16. Quraish Shihab, Al-Misbah, Vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 442. 43 Khalid, Menikah dengan Non Muslim, 78. 44 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Gema Risalah Press, 1993), 11. 42
23
berarti dia telah berbuat syirik besar yang tidak diampuni Allah kecuali melalui proses taubatan nasuha. Paparan selanjutnya mengenai ahl al-kitâb yang jumhur ulama baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf berpendapat bahwa maksud lafadz ahl alkitâb yang termaktub dalam QS. al-Mâ’idah: 5 maupun ayat lain adalah Yahudi dan Nasrani. Sedangkan Sâbi’ûn dan Majusi misalnya tidak termasuk ahl alkitâb.45 Pendapat yang lebih radikal adalah dari Rashîd Ridâ yang memasukkan Majusi, Sâbi’ah, Budha, Hindu Brahmana, Konghucu Cina dan Konghucu Jepang serta Hindu sebagai ahl al-kitâb karena mereka semua bermuara kepada salah satu diantara para nabi dan rasul, percaya adanya wahyu, hari akhir hisab dan balasan amal, surga dan neraka.46 Dalam hal ini jumhur ulama ahli fiqih sependapat bahwa yang dimaksud dengan ahl al-kitâb adalah Yahudi dan Nasrani. Adapun selain mereka seperti Sâbi’ah dan Majusi terdapat perbedaan pendapat diantara ulama dan yang sahih adalah bahwa mereka bukanlah ahl al-kitâb. Kejelasan definisi masing-masing istilah di atas, dapat dipakai dalam memaparkan kategori perkawinan beda agama seperti yang disebutkan di awal. 1. Perkawinan muslim dengan mushrikah
45 46
Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, Vol. 7 (Beirut: Dâr al-Fikr,1989), 153. Rashîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr, Vol. 6 (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 185.
24
Perkawinan muslim dengan mushrikah adalah perkawinan yang dilakukan seorang laki-laki beragama Islam dengan perempuan yang melakukan syirik yakni perempuan yang menyekutukan Allah dengan yang lainnya, seperti berhala, binatang, api atau hewan. Dan disamakan dengan mushrikah adalah perempuan Mulhidah atau Mâdiyah, yaitu perempuan tidak mengakui adanya tuhan (Atheis).47 Hal itu berdasarkan surat al-Baqarah 221 yang berbunyi:
ْx¯¯َ/ ِ& َآ ٍ@ َو ْ ¯¯> 1¯¯¼> &ُ ¯¯ْ28 َ @ٌ ¯ 6َ >ِ ْ> @ٌ ¯ >َ ½ َ َو1 ' >ِ ْ¯ Aُ i¯¯' َ ت ِ 5َ ِ&آ ْ ¯ ُ /ْ ا اx¯¯y ُ ,ِ 6ْ *َ w َ َو ْ+,ُ ْ |َ َ} ْ َأ Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita mushrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita mushrik, walaupun dia menarik hatimu”. (QS. alBaqarah: 221)48 Hanafîyah, Shâfi'îyah dan ulama lain, menyamakan wanita murtaddah dengan mushrikah. Maka tdak boleh bagi seorang muslim menikahinya, karena ia telah meninggalkan agama Islam.49 Namun dikalangan ulama terjadi pendapat tentang siapa mushrikah yang haram dinikahi. Menurut Ibn Jarîr al-Tabarî dan Muhammad ‘Abduh, bahwa mushrikah yang haram dinikahi adalah mushrikah bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya al-Qur’an tidak mengenal kitab suci dan menyembah berhala. Karena itu seorang muslim boleh menikahi 47
Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, 151. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 53. 49 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, 151. 48
25
mushrikah dari non Arab seperti wanita India, Cina dan Jepang yang diduga dahulunya memiliki kitab suci atau serupa dengan kitab suci, seperti pemeluk agama Budha, Hindu dan Konghucu.50 Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua mushrikah baik dari bangsa Arab maupun dari non Arab, selain ahl al-kitâb yakni Kristen dan Yahudi tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan Islam dan bukan pula Yahudi atau Nasrani tidak boleh dinikahi muslim, apapun agama atau kepercayaannya, seperti Budha, Hindu, Konghucu, Majusi dan yang lainnya, karena pemeluk agama selain Islam, Nasrani dan Yahudi termasuk mushrikah.51 Hikmah dilarangnya perkawinan antar orang Islam (laki-laki atau wanita) dengan orang bukan Islam (laki-laki atau wanita selain kitâbîyah), ialah bahwa antara orang Islam dengan orang selain Nasrani dan Yahudi terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada para Nabi, kitab suci, malaikat dan percaya pula pada hari kiamat. Sedangkan orang pada umumnya tidak percaya pada semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan khurafat dan irasional. Bahkan mereka
50 51
Ridâ, Tafsîr al-Manâr, 185. Zuhdi, Masail Fiqhiyah, 4.
26
selalu mengajak orang-orang yang telah beragama atau beriman untuk meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti ideologi mereka.52 2. Perkawinan muslimah dengan non muslim Para ulama telah sepakat bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang muslimah dengan pria non muslim. Baik calon suami itu mushrik atau ahl kitâb.53 Adapun alasan yang menjadi dasar hukum untuk larangan perkawinan antara muslimah dengan non muslim: a. Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10:
ْx/َك َو ٍ &ِ ْ > ْ1>ِّ ٌ&2ْ 8 َ ٌ1>ِ ْ> ٌl|ْ } َw َ ْا َوx6ُ >ِ ْAُ i' َ 1 َ 2ْ ِ& ِآ ْ ُ /ْ ااxُy,ِ 6ْ *ُ w َ َو... (٢٢١ :&اة7|/ )ا...ْ+,ُ |َ َ} ْ َا Artinya: “….Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu….” (QS. al-Baqarah: 221)54
(١٠ :@6y/ )ا... &ِ kِ َاx,َ /ْ ا+ِ ~ َ .ِ hِ اxُ,r ِ ْ *ُ w َ َو... Artinya: “Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir”. (QS. al-Mumtahanah: 10)55 Dari definisi surat al-Baqarah ayat 221 di atas, mengisyaratkan bahwa muslimah dilarang menikah dengan pria non muslim termasuk ahl 52
‘Alî Ahmad al-Jurjâwî, Hikmat al-Tashrî’ wa Falsafatuh, Vol. 1 (Beirut: Dâr al-Fikr,
1994), 23.
53
Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), 94. Depag, Al-Qur'an Dan Terjemahnya, 53-54. 55 Ibid., 924. 54
27
al-kitâb. Ayat ini hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan muslim dengan kitâbîyah dan sedikitpun tidak menyinggung sebaliknya.56 Hal senada juga dikemukakan oleh Hamka dalam Tafsir al-Azhar yang mengatakan bahwa Islam tidak membolehkan kalau muslimah bersuami ahl kitâb, sebab belum ada jaminan kebebasan yang luas dalam peraturan agamanya terhadap wanita sebagaimana dipunyai Islam.57 Menurut Muhammad ‘Ali al-Sâbûnî khitâb atau titah pada ayat di atas ditujukan kepada para wali untuk tidak menikahkan wanita muslimah yang menjadi tanggung jawabnya dengan orang mushrik. Yang dimaksud mushrik di sini adalah semua orang yang tidak beragama Islam, mencakup penyembah berhala, majusi, yahudi, nasrani dan orang murtad dari Islam.58 Hartono
Ahmad
Jaiz
berpendapat
bahwa
para
ulama
mengemukakan larangan muslimah dinikahi oleh kitâbî atau non muslim dengan cukup menyebutkan lafadz mushrik atau kâfir, karena maknanya sudah jelas bahwa kafir itu mencakup ahl kitâb dan mushrik. Di samping itu, tidak ada ayat atau hadits yang membolehkan lelaki kâfir baik ahl kitâb maupun atau mushrik yang boleh menikahi non muslimah setelah turunnya ayat 10 surat al-Mumtahanah, sehingga tidak ada kesamaan lagi 56
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1997), 197. 57 Hamka, Tafsir al-Azhar,Vol 2 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 195. 58 Muhammad ‘Alî al-Sâbûnî, Rawâ’i’ al-Bayân Tafsîr âyât al-Ahkâm min al-Qur’ân, Vol. I (Makkah: Dâr al-Kutub al-Islâmîyah, tt), 289.
28
walaupun hanya disebut kafir sudah langsung mencakup dari jenis ahl kitâb dan kâfir mushrik. Bahkan lafadz mushrik saja, para ulama sudah memasukkan seluruh komponen non muslim dalam hal lelaki mushrik dilarang dinikahkan dengan muslimah.59 b. Fi’il al-Sahâbah Diriwayatkan bahwa, Handalah bin Bisr menikahkan putrinya dengan anak laki-laki saudaranya yang beragama Nasrani. Kemudian Awf bin Qa’qa’ pergi menemui 'Umar Ibn al-Khattâb untuk melaporkan masalah ini. Kemudian 'Umar mengirim surat kepada Handalah jika ia memeluk agama Islam, maka ia menjadi istrinya dan jika ia tidak memeluk Islam maka keduanya dipisahkan dan akhirnya Handalah menikahkan putrinya dengan Awf bin Qa’qa’.60 c. Ijma’ Umat Islam dengan segenap para fuqahanya sepakat bahwa tidak boleh seorang muslimah menikah dengan seorang pria non muslim, baik orang mushrik, ahl kitâb maupun yang lainnya.61 Tidak diragukan lagi bahwa wanita muslimah haram dinikahi oleh lelaki non muslim secara mutlak, baik mereka itu Yahudi, Nasrani,
59
273.
60
Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004),
Abdul Aziz Halawi, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab, Terj. Zubair Suryadi Abdullah (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), 157. 61 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam. Terj. Muammal Hamidi (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), 252.
29
Majusi, Konghucu, Hindu, Budha, Sinto, Baha’i, Sikh, dukun, paranormal, penyembah jin dan setan atau kâfirîn lainnya. Hal ini juga sesuai dengan maslahah yang merupakan tujuan utama shâri’ dalam setiap penetapan hukumnya.62 Adapun hikmah dilarangnya perkawinan seorang wanita muslimah dengan non muslim termasuk ahl kitâb yaitu Yahudi dan Nasrani, karena dikhawatirkan wanita muslimah tersebut kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran agamanya, kemudian terseret kepada agama suaminya. Demikian pula anak-anaknya yang lahir dari perkawinannya dikhawatirkan pula mereka mengikuti agama ayahnya.63 Dalam hal ini fakta-fakta sejarah membuktikan bahwa tidak satu agama pun dan ideologi di muka bumi ini memberikan kebebasan beragama dan bersikap toleran terhadap agama dan kepercayaan lain seperti Islam. Hal ini juga dikuatkan oleh firman Allah surat al-Baqarah ayat 120 dan al-Nisâ’ ayat 141:
(١٢٠ :&ة7|/ )ا.ْ+ُ َ -'>ِ َ |ِ ' *َ i' َ رَى5َ~6' / اw َ ُد َوxُ2َ /ْ ا َ 6َ} iَ¿ْ&*َ 1َ/َو Artinya: “Dan tidak akan rela kaum Yahudi dan Nasrani kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka”. (QS. al-Baqarah: 120).64
(١٤١ :ء5r6/ )ا.¡ ً 2ْ |ِ َ 1 َ 2ْ 6ِ >ِ ُْ /ْ اiَ-} َ 1 َ Aْ &ِ kِ 5َ,-ْ /ِ ُ =ا َ .َ ْ Aَ ْ1/ََو 62
Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, 280. Al-Jurjâwî, Hikmat al-Tashrî wa Falsafatuh, 21. 64 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 32. 63
30
Artinya: “Allah tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai jalan bagi orang-orang mukmin”.(QS. al-Nisâ’: 141).65 3. Perkawinan muslim dengan kitâbîyah Banyak sekali perbedaan pandangan ulama tentang perkawinan muslim dengan kitâbîyah. Perbedaan pendapat itu disebabkan karena perbedaan pendapat tentang kedudukan kitâbîyah.66 Dapat disimpulkan bahwa menikahi wanita kitâbîyah (Yahudi dan Nasrani) dapat dibagi atas dua pendapat: a) Yang mengharamkan; b) Yang menghalalkan.67 a. Golongan yang mengharamkan Golongan ini berpendirian bahwa menikahi wanita kitâbîyah haram hukumnya. Yang terkemuka dari kalangan sahabat dalam golongan ini adalah Ibn ‘Umar. Menurutnya termasuk golongan syirik adalah mereka yang menuhankan Isa Ibn Maryam dan menuhankan ‘Uzer.68 Menurutnya, syirik ini adalah syirik yang paling besar.69 Pendapat ini menjadi pegangan syiah imamiyah.70 Adapun dalil yang dipegang oleh golongan ini adalah sebagai berikut: 1) Firman Allah surat al-Baqarah ayat 221: 65
Ibid., 146. Ahmad Sukarjo, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam Dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus, tt), 8. 67 Ibid., 9. 68 Ibn Kathîr, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, Vol. II (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1989), 22. 69 Sayyid Sâbiq. Fiqh al-Sunnah, Vol. 2 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), 90. 70 Ibn Qudâmah, Al-Mughmî, Vol. 7 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1984), 99. 66
31
(٢٢١ :&ة7|/)ا...1 ' >ِ ْAُ i' َ ت ِ 5َ ِ&آ ْ ُ /ْ ا اxُy,ِ 6ْ *َ w َ َو... Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita mushrik sebelum mereka beriman”.(QS. al-Baqarah: 221).71 2) Firman Allah surat al-Mumtahanah ayat 10:
(١٠ :@6y/ )ا... &ِ kِ َاx,َ /ْ ا+ِ ~ َ .ِ hِ اxُ,r ِ ْ *ُ w َ َو... Artinya:
“Dan
janganlah
(perkawinan)
kamu
dengan
tetap
berpegang
pada
perempuan-perempuan
tali
kafir”.
(QS. al-Mumtahanah: 10)72 Kedua ayat ini jelas melarang kita menikahi perempuanperempuan kafir. Ahl kitâb termasuk golongan orang kafir mushrik, karena Yahudi menuhankan ‘Uzer dan orang Nasrani menuhankan Isa Ibn Maryam. Dimana dosa syirik tidak diampuni oleh Allah SWT, jika mereka tidak bertaubat kepada Allah SWT sebelum meninggal. Adapun surat al-Mâ’idah ayat 5 yang menjadi pegangan para ulama menghalalkan nikah dengan wanita kitâbîyah, menurut golongan ini, ayat tersebut telah dinaskh dengan ayat lebih umum yakni surat al-Baqarah ayat 221.73 Golongan ini juga berpendapat bahwa surat al-Mâ’idah ayat 5, hendaknya diihtimalkan kepada perempuan ahl kitâb yang telah masuk Islam atau diihtimalkan kepada 71
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 53. Ibid., 924. 73 Ibn Rushd, Bidâyat al-Mujtahid wa nihâyat al-Muqtasid, Vol 2 (Beirut: Dâr ibn ‘Assâsah, 2005), 36. 72
32
pengertian bahwa kebolehan menikahi kitâbîyah adalah pada masa (keadaan) perempuan-perempuan Islam sedikit jumlahnya.74 'Ata' juga sependapat bahwa perkawinan muslim dengan kitâbîyah diharamkan. Ia menyatakan, bahwa mengawini kitâbîyah adalah rukhsah, karena pada saat itu wanita muslimah sangat sedikit. Sedangkan pada saat sekarang wanita muslimah telah banyak, oleh karenanya mengawini kitâbîyah tidak diperlukan lagi dan otomatis hilanglah rukhsah untuk mengawininya.75 b. Golongan yang menghalalkan Golongan ini berpendirian bahwa menikahi kitâbîyah halal hukumnya. Termasuk dalam golongan ini jumhur ulama. Pendirian golongan ini berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
1) Firman Allah SWT, dalam surat al-Mâ’idah ayat 5:
ْ1>ِ ب َ 5َ,ِ /ْ ْا اx*ُ ْ ُاو1 َ Aْ )ِ /' ا1 َ >ِ ¹ ُ 6َ ~ َ y ْ ُ/ْ وَا¹ ِ 6َ >ِ ُْ /ْ ا1 َ >ِ ¹ ُ 6َ ~ َ y ْ ُ /ْ وَا... ْ¨ ِ)ي ِ ' >ُ w َ َو1 َ 2ْ y ِ kِ 5َr>ُ &َ 2ْ b َ 1 َ 2ْ 6ِ ~ ِ y ْ >ُ 1 ' ْ َر ُهx3 ُ ُا1 ' ْ ُهxُ ُ 2ْ *َ ْ ِاذَا َا+,ُ -ِ|ْ _َ (٥ :ةlz5/)ا...ن ٍ َاl8 ْ َا Artinya: “(Dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orangorang yang diberi Al kitâb sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, 74 75
Sukarjo, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, 11. Kathîr, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, 22.
33
tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik”. (QS. al-Mâ’idah: 5) 76 Menurut jumhur ulama ayat di atas mentakhsis surat alBaqarah ayat 221: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita mushrik sebelum mereka beriman”. Wanita kitâbîyah boleh dinikahi, sekalipun berkeyakinan bahwa ‘Isa adalah tuhan atau meyakini kebenaran Trinitas. Hal terakhir ini syirik yang nyata, tetapi karena mereka mempunyai kitab Sawawi maka boleh menikahinya.77 Ibn Hazm juga sependapat dengan jumhur ulama. Menurutnya berdasarkan dzahir ayat di atas halal menikahi kitâbîyah, baik kitâbîyah dzimmîyah maupun Harbîyah. Lafadz al-Mushrikîn tidak mencakup ahl kitâb. Kehalalan nikah dengan kitâbîyah adalah takhsîs (kekhususan) atau istithnâ’ (pengecualian) dari larangan nikah dengan mushrikah pada umumnya.78 2) Fi’il al-Sahâbah Sejarah telah menunjukkan bahwa beberapa sahabat Nabi pernah menikahi wanita kitâbîyah. Di antaranya yaitu ‘Uthmân Ibn ‘Affân yang menikah dengan Nâ’ilah binti al-Farâfisah al-Kalbîyah dan Hudhayfah yang menikah dengan wanita Yahudi.79 76
Depag Al-Qur’an dan Terjemahnya, 158. Abd. al-Rahman al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madhâhib al-Ârba’ah, Vol. 4 (Beirut: Dâr Fikr, 1995), 76. 78 Ibn Hazm, al-Muhalla, Vol. 9 (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 445. 79 Abî Zakariyyâ Muhy al-Dîn bin Saraf al-Nawawî, Al-Majmû', Vol. 17 (Beirut: Dâr al-Fikr, 2000), 396. 77
34
Para ulama’ berdasarkan ayat al-Qur’an dan fi’il al-Sahâbah telah sepakat bahwa perkawinan muslim dengan kitâbîyah diperbolehkan. Akan tetapi hukum mubâh perkawinan tersebut menjadi persoalan karena kemubâhan itu tidak mutlaq, tetapi muqayyad.80 Hanafiyah berpendapat, menikahi kitâbîyah yang berada di Dâr alHarbî merupakan pembuka pintu fitnah. Mendahulukan nikah dengan mereka adalah makrûh tahrîm, karena membawa kepada mafâsid. Nikah dengan kitâbîyah dhimmîyah yang tunduk kepada undang-undang Islam adalah makrûh tanzîh. Di kalangan Malikiyah ada dua pendapat. Pertama, nikah dengan kitâbîyah makrûh mutlaq, baik dhimmîyah maupun harbîyah, makruh kepada Harbîyah lebih besar. Kedua, tidak makrûh mutlaq, karena ayat telah membolehkan secara mutlak. Dikatakan bahwa madzab Maliki dibina di atas dasar shadd al-dharî'ah (menutup jalan kemadharatan). Kalau mafâsid itu dikhawatirkan terjadi, maka mendahulukan nikah dengan kitâbîyah adalah haram.81 Menurut Shâfi'îyah perkawinan antara muslim dengan kitâbîyah dimakruhkan secara mutlak, baik dhimmîyah maupun harbîyah. Akan
80 81
Al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madhâhib al-Ârba’ah, 77-78. Ibid.,
35
tetapi bila harbîyah, kemakruhannya lebih kuat. Sedangkan menurut Hanâbilah, hukumnya khilâf al-awlâ.82 Menjawab pertanyaan tentang menikahi Nasrani dan Yahudi, Ibn Taymîyah menjawab, nikah dengan kitâbîyah boleh berdasar ayat 5 surat al-Mâ’idah. Ini pendapat jumhur salaf dan khalaf dari imam-imam madzab empat. Selain itu, menurutnya kitâbîyah tidak termasuk mushrikah.83 Di antara golongan yang memandang halal menikahi wanita kitâbîyah, ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wanita kitâbîyah adalah yang telah membayar jizyah atas dasar bahwa ahl kitâb yang tidak membayar jizyah tetap berlaku kepadanya hukum perang.84 Menurut qawl mu’tamad dalam madzab Shâfi’î, kitâbîyah yang halal dinikahi oleh orang muslim ialah wanita yang menganut agama Nasrani atau Yahudi sebagai agama keturunan dari orang-orang (nenek moyang mereka) yang menganut agama tersebut semenjak masa sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul (yakni sebelum al-Qur’an diturunkan).85 Tegasnya orang yang baru menganut agama Yahudi atau Nasrani sesudah al-Qur’an diturunkan, tidaklah dianggap ahl kitâb, karena terdapat perkataan min qablikum (dari sebelum kamu) dalam surat al82
Wahbah Al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, vol.7 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), 154. Ibn Taymîyah, Al-Fatâwâ al-Kubra, Vol. 1 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), 173. 84 Ahmad Sukarjo, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, 10. 85 Abdul Mutaal Muhammad Al-Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 23. 83
36
Mâ’idah ayat 5. Perkataan min qablikum tersebut menjadi qayyid bagi ahl kitâb yang dimaksud. Jalan madzab Shâfi’î mengajui ahl kitâb karena bukan agamanya, karena menghormati asal keturunannya. Yang mengharamkan dan menghalalkan nikah dengan kitâbîyah mempunyai pandangan yang sama bahwa kedudukan suami adalah pemegang pimpinan dan kendali dalam keluarganya. Ia adalah teladan dalam pembinaan akhlak Islam. Ia harus mampu membina dan menunjukkan keluhuran agama Islam dalam lingkungan keluarga, khususnya kepada istrinya yang berbeda agama. Apabila laki-laki muslim lemah dan tidak dapat memegang kedudukan tersebut, sebaliknya ia bisa terpengaruh oleh kitâbîyah, maka nikah dengan kitâbîyah itu dilarang.86 Menurut Sayyid Sâbiq, nikah dengan wanita kitâbîyah meskipun j'â’iz tetapi makrûh, karena suami tidak terjamin untuk tidak terkena fitnah agama istrinya. Makrûhnya itu lebih kuat lagi bila kitâbîyah harbîyah.87 Ali al-Sâbûnî menjelaskan, “Ayat jelas menghalalkan nikah dengan kitâbîyah”. Ayat ini menjadi dalil yang kuat bagi pendapat jumhur ulama. Namun, jika dikhawatirkan suami dan anak-anaknya terkena pengaruh agama istri yang kitâbîyah, maka menurutnya pernikahan tersebut jelas diharamkan.88
86
Sukarjo, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, 12. Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, 91. 88 Al-Sâbûnî, Rawâ’i’ al-Bayân, 537. 87
37
Yusuf Qordhawi berpendapat, kebolehan nikah dengan kitâbîyah tidak mutlak tetapi terikat dengan ikatan-ikatan (quyûd) yang wajib diperhatikan: 1) Harus dapat dipercaya keadaannya sebagai wanita ahli kitâb, yakni beriman kepada agama Samawi yang asli seperti Yahudi dan Nasrani. Artinya, secara garis besar dia beriman kepada Allah, Rasul dan kepada hari akhir, bukan orang atheis atau murtad dari agamanya dan bukan pula orang beriman kepada suatu agama yang tidak mempunyai hubungan dengan samawi sebagaimana yang sudah terkenal. 2) Wanita tersebut adalah yang menjaga kehormatannya karena Allah tidak memperbolehkan kawin dengan sembarang wanita ahli kitâb. Tidak boleh lelaki musyrik kawin dengan wanita yang menyerahkan kendalinya kepada sembarang lelaki. Bahkan wanita yang hendak dikawini wajib yang lurus, bersih dan jauh dari kesamaran (shubhah). 3) Wanita tersebut bukan dari kalangan muslim yang memusuhi dan memerangi umat Islam. Berdasarkan pertimbangan ini maka pada zaman sekarang sebaiknya tidak boleh seorang muslim mengawini wanita Yahudi, selama peperangan antara kita muslimin dengan Israel masih berlangsung. 4) Dibalik perkawinan dengan wanita-wanita ahl al-kitâb tidak terdapat fitnah atau mudarat yang diperkirakan pasti terjadi atau diduga kuat
38
akan terjadi sebab penggunaan yang mubah-mubah itu semuanya terikat (disyaratkan tidak ada madarat).89 Selanjutnya Yusuf Qardhawi mengingatkan banyaknya madharat yang mungkin terjadi karena perkawinan dengan wanita kitâbîyah: 1) Menjadi berkembang kebiasaan kawin dengan wanita non-muslimah sedangkan
wanita-wanita
muslimah
yang
lebih
layak
kawin
terkesampingkan. 2) Suami dan anak-anaknya mungkin oleh agama istrinya. Bila ini terjadi maka fitnah benar-benar menjadi kenyataan. 3) Perkawinan dengan non-muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami istri dan pendidikan anak-anak. Lebih-lebih jika lakilaki muslim dan kitâbîyah berbeda tanah air, bahasa, kebudayaan dan tradisi.90 Ia menegaskan adanya rukhsah kawin dengan kitâbîyah itu harus diimbangi dengan dua keharusan. Pertama, wanita kitâbîyah tersebut benar-benar beragama Samawi. Kedua, istri kitâbîyah itu harus berada di bawah naungan dan pengaruh suami muslim yang teguh berpegang pada ajaran Islam, berada di lingkungan kekuasaan
89
Yusuf Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Terj. As’ad Yasin, Jilid I (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 587-592. 90 Ibid., 592-595.
39
masyarakat Islam yang berpegang teguh pada syari’at Islam. Istri tidak boleh mempengaruhi ajaran agama suami dan anak-anak mereka.91 Jadi apa yang dikhawatirkan perihal keselamatan agama sangat masuk akal apabila dalam sebuah keluarga terdapat dua ajaran yang berbeda. Untuk itulah ulama fiqih menyepakati adanya kufu atau kesebandingan dalam satu perkawinan. Kesebandingan yang paling fundamental adalah hal agama, agar nilai-nilai perkawinan dapat terjaga. Hubungan keluargapun berjalan harmonis, sakinah, mawaddah rahmah, saling menjaga dan menjauhkan konflik yang ditimbulkan karena tradisi yang berbeda.
B. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam di Indonesia 1. Perkawinan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Setelah kita mengetahui
bagaimana wacana fiqh Islam dalam
perkawinan beda agama ini, para ulama pada dasarnya telah ijma’. Seorang wanita muslimah dilarang menikah dengan pria non muslim. Sedangkan seorang pria muslim dilarang menikah dengan wanita non muslim yang
91
Ibid., 596-597.
40
mushrik dan para ulama berbeda pendapat ketika mereka menetapkan hukum perkawinan dengan kitâbîyah. Adanya perbedaan hukum dalam masalah ini akan berimplikasi pada timbulnya putusan yang berbeda pada kasus yang sama di peradilan, karena hakimnya mempunyai paham hukum yang berbeda, hal ini akan menimbulkan suatu ketidak pastian hukum. Untuk keluar dari problem tersebut para pakar hukum Islam di Indonesia telah berupaya menyatukan pendapat yang mereka kumpulkan dalam Kompilasi Hukum Islam dengan berbagai metode dalam menyatukan pendapat itu, yaitu: 1. Wawancara dengan berbagai ulama dari semua golongan. 2. Kajian berbagai kitab yang dilakukan di IAIN seluruh Indonesia. 3. Studi banding ke negara-negara Islam. 4. Diadakan berbagai loka karya.92 Usaha tersebut telah menghasilkan keputusan yang disebut Kompilasi Hukum Islam yang kemudian ditetapkan dengan Inpres No. 1/1991, di antara Pasalnya tersebut terdapat suatu rumusan yang menetapkan perkawinan seorang pria Islam dilrang melangsungkan perkawinan dengan wanita yang tidak beragama Islam (pasal 40 huruf c). dan menetapkan bahwa wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
92
Abdul Halim Barkatullah, Hukum Islam Menjawab tantangan zaman yang terus berkembang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 155.
41
beragama Islam (pasal 44).93 Dengan demikian, Kompilasi Hukum Islam khususnya dalam Pasal tersebut telah menghilangkan wacana perbedaan pendapat dalam masalah tersebut sekaligus akan dapat menjaga aqidah agamanya serta mewujudkan kemaslahatan umat. Adapun posisi pemerintah (Inpres) untuk menghilangkan perbedaan dan menjaga kemaslahatan ini adalah merupakan hak yang melekat padanya sehingga mempunyai kewenangan karena berdasarkan kaidah fiqh yang menyatakan” “Tindakan
Imam
terhadap
rakyat
ini
harus
berkaitan
dengan
kemaslahatan”.94 Adapun larangan perkawinan beda agama ini adalah semata-mata untuk
menjaga
keutuhan
kebahagiaan
rumah
tangga
dan
aqidah
keberagamannya. Hal ini sebagaimana qaidah fiqh yang menyebutkan: “Sesuatu yang diharamkan karena saddu dzariah dapat dibolehkan karena ada maslahat yang lebih kuat”.95 Dengan beberapa uraian qaidah fiqh di atas, maka presiden selaku kepala negara adalah dibenarkan jika menetapkan sesuatu yang tadinya menjadi polemik di masyarakat dengan mengambil salah satu pendapat karena adanya alasan kemaslahatan umat.
123.
93
Abdurrahman, Kompilasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Akaemika Pressindo), 2004), 122-
94
Abdul Mudjib, Al-Qawa’idul Fiqhiyyah (Yogyakara: Nur Cahaya, 1980), 51. Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Setia, 1990), 256.
95
42
Kompilasi tersebut akan lebih kuat lagi jika ditingkatkan menjadi sebuah undang-undang sehingga semua pihak akan terkait dengan hukum positif tersebut. Semoga secepatnya terealisir.96 2. Perkawinan Beda Agama Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) MUI DKI Jakarta juga memfatwakan tentang hukum perkawinan antara pemeluk agama Islam (muslim) dengan pemeluk agama lain (non muslim), sebagai berikut: a. Bahwa perkawinan seorang pemeluk agama Islam laki-laki (muslim) dengan perempuan mushrikah (mengakui banyak Tuhan) atau perkawinan seorang pemeluk agama Islam perempuan (muslimah) dengan laki-laki mushrik adalah haram dan tidak sah. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 221. b. Wanita muslimah, haram dan tidak sah secara mutlak menikah dengan laki-laki kafir, baik mushrik, ahl kitâb (Yahudi atau Nasrani) maupun yang lain. Karena pada umumnya, posisi wanita (istri) sangat tergantung kepada suami. Jika dipaksakan, maka pernikahannya batal dan tidak sah. Jika mereka melakukan hubungan suami-istri, maka hukumnya haram. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Mumtahanah ayat 10. c. Dalam keadaan tertentu, seorang pria muslim diperbolehkan menikah dengan wanita ahl kitâb (Yahudi atau Nasrani) dengan syarat-syarat yang
96
Barkatullah, Hukum Islam, 156.
43
sangat ketat. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Mâ’idah ayat 5.97 Diantara syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pria muslim yang akan menikah dengan wanita ahl kitâb (Yahudi dan Nasrani) adalah sebagai berikut: 1) Pernikahan tersebut harus dilakukan berdasarkan syari’at Islam dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun pernikahan yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqh. Seperti adanya calon suami, calon istri, wali dan dua orang saksi yang beragama Islam dan bersifat adil, serta ijab qabul. Di samping itu, harus dicatat pada Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika pernikahan dilakukan di gereja di hadapan pastur yang memberkatinya atau hanya dicatat di Kantor Catatan Sipil, maka pernikahannya tidak sah.98 2) Calon suami berkeyakinan, bahwa dia tidak akan terpengaruh oleh agama istri, sehingga dia tidak akan murtad atau berpindah ke agama istri.
Karena
agama
Islam
mewajibkan
umatnya
untuk
mempertahankan agama Islam hingga akhir hayat. Sebagaimana difirmankan dalam surat Ali-‘Imrân ayat 102.
97
Hamdan Rasyid, Fiqih Indonesia, Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003), 171. 98 Ibid.,
44
)ال.ن َ ْxُ -ِr ْ ¯ > ْ+ُ ¯ nَ َوأw ' ِإ1 ' *ُ ْx¯ ُ *َ w َ َوmِ ¯ *ِ 5َ7*ُ à ' ¯ َ َ ا اx¯¯7ُ *' ا اx¯¯6ُ >َ ءَا1 َ Aْ )ِ ¯ /' ا5َ¯ Aَأ5َA (١٠٢ :}&ان Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekalikali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali-‘Imrân, 3: 102).99 3) Calon suami (pria muslim) benar-benar yakin bahwa dia akan mampu memenuhi kewajibannya sebagai seorang ayah yang beragama Islam, termasuk dalam mendidik anak-anaknya sesuai dengan ajaran Islam, sehingga mereka akan tumbuh dan berkembang menjadi muslim dan muslimah yang taat. Karena agama Islam mewajibkan kepada umatnya untuk mendidik anak-anaknya sehingga mereka menjadi muslimin dan muslimat yang taat dan akhirnya selamat serta terlindung dari siksa api neraka. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Tahrîm ayat 6:
(٦ :+A&y/ )ا.ن َ ْx-َُ .ْ *َ ْ+ُ 6ْ ُآ5َ> ن َ ْ َ¶و ْ *ُ 5َn' ْ َم ِإx2َ /ْ َ ِ)رُوا ا.ْ *َ w َ َآ َ&ُوا1 َ Aْ )ِ /' ا5َA َأ5َA Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (QS. al-Tahrîm, 66: 6).100 4) Calon suami (pria muslim) benar-benar yakin bahwa dia akan mampu memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami, termasuk dalam menggauli istri dengan baik (mu’âsharah bi al-ma’rûf), sehingga istri mempunyai kesan positif terhadap ajaran-ajaran agama Islam yang 99
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 92. Ibid., 951.
100
45
tercermin dari sikap dan perilaku suami, yang akhirnya diharapkan istri dengan kesadaran sendiri, tanpa paksaan siapapun bersedia memeluk agama Islam.101 d. Jika pria muslim yang hendak menikah dengan wanita ahl kitâb (Yahudi atau Nasrani) tidak mampu memenuhi syarat-syarat di atas, maka haram baginya menikahi wanita non muslim, apalagi jika mafsadah (bahaya)-nya jelas-jelas lebih besar dari pada manfaatnya. e. Sehubungan dengan fatwa ini, Komisi Fatwa MUI propinsi DKI Jakarta menyerukan kepada para pemuda muslim dan muslimah agar tidak berpacaran apalagi menikah dengan orang-orang non muslim. Demikian juga para orang tua yang beriman harus mengawasi dan membimbing anak-anaknya agara mereka tidak berpacaran apalagi menikah dengan orang-orang non muslim, karena hal-hal sebagai berikut: 1) Pernikahan seorang muslim atau muslimah dengan orang-orang non muslim adalah dilarang oleh syar’at Islam. 2) Pernikahan bagi umat Islam bukanlah sekedar suatu ikatan lahiriah antara seorang pria dengan wanita guna memenuhi kebutuhan biologis, tetapi merupakan sunnah Rasulullah SAW, suatu perbuatan suci dan luhur yang bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan dan mencapai ketenangan (sakinah). Oleh karena itu pernikahan harus dilaksanakan menurut petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya. 101
Rasyid, Fiqih Indonesia, Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual, 172-174.
46
3) Untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang sakinah dan berbahagia secara hakiki, Allah SWT telah menetapkan syarat adanya persamaan
keyakinan
memungkinkan
agama
mereka
antara
mengatur
calon
suami
kehidupan
istri
dan
yang
mendidik
keturunannya berdasarkan petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya. 4) Keluarga
merupakan
tempat
pendidikan
yang
utama
bagi
pembentukan dan keimanan anak-anak.102 f. Apabila ada seorang pria non muslim menyatakan ingin masuk Islam karena hendak mengawini seorang wanita muslimah, maka hendaknya wali wanita tersebut membuat suatu perjanjian kawin yang menyatakan, bahwa jika suami murtad dari agama Islam atau kembali ke agama asalnya, maka perkawinan mereka menjadi batal dan mereka harus dipisahkan karena suami menjadi murtad.103 Syarat atau perjanjian seperti ini dibenarkan oleh ajaran Islam, berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari sahabat Uqbah ibn ‘Umar, sebagai berikut:
ن ' ل ِإ َ 5¯َ_ mُ ¯'n َأ+َ -'¯َ َوmِ ¯ْ2-َ} َ ُ اi'-¯َ° ِ لا ِ ْx¯ُْ َر1¯َ} &ٍ >ِ 5¯َ} 1 ِ hْ @َ َ|7ْ } ُ ْ1} َ ( داودxh روا» أ.ج َ ْ ُ ُ&و/ْ اmِ hِ ْ+ُ -ْ -َy ْ َ ْ ا5َ> mِ hِ ْاxk' xَ *َ ْط َأن ِ ْ ُ&و / اÃ ' َ َأ
102 103
Ibid., 175-178. Ibid., 179-180.
47
Artinya: “Sesungguhnya perjanjian yang paling harus dihormati adalah perjanjian yang menghalal-kan kesucian seorang wanita (perjanjian kawin)”.104
104
Abî Dawûd, Sunan Abî Dawûd, vol. 2 (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 244.
48
BAB III B. PENDAPAT MAHMÛD SHALTÛT TENTANG C. PERKAWINAN BEDA AGAMA D.
A. Biografi Mahmûd Shaltût 1. Riwayat Hidup Mahmûd Shaltût adalah seorang pemikir dan sarjana muslim yang ahli di bidang syariat Islam dan mempunyai reputasi di dunia Islam. Lahir pada tanggal 23 april 1993 M di desa Maniyah Bani Manshur distrik itai al-Bairut, karisidenan Bukhairah.105 Beliau berasal dari keluarga petani yang taat beragama. Ayahnya seorang petani yang memiliki karisma di desanya. Sesuai dengan tradisi masyarakat Islam di Mesir pada saat itu, pendidikan Shaltût diawali dengan belajar membaca al-Qur’an. Ia berhasil menghafalkannya pada tahun 1906 M, saat itu berusia 13 tahun. Kemudian ia memasuki lembaga pendidikan agama di al-Ma’had al-Dînî106 di Iskandariyah. Dalam masa pendidikannya di al-Ma’had al-Dînî , ia tergolong siswa yang paling cerdas dan menonjol, hal itu terbukti atas prestasi yang dicapainya setiap kenaikan kelas yang selalu meraih nomor satu.
105
Depag RI, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: tp, tt), 679. Al-Ma’had al-Dînî didirikan pada tahun 1903, yang saat itu dibawah administrasi Universitas al-Azhar dan merupakan afiliasi dari al-Azhar. Lembaga perguruan ini telah memasukkan kurikulum ilmu-ilmu pengetahuan umum (al-‘Ulûm al-Hadithah) guna memberikan wawasan yang lebih luas kepada para siswanya, hal ini kelak sangat berpengaruh terhadap pandangan dan ide pemikiran Shaltût. 106
49
Keadaan sosial ekonomi orang tua Shaltût yang cukup mampu, juga mempunyai peranan yang berarti dalam membekali putranya untuk menyelesaikan studinya sejak ia mulai belajar di al-Ma’had al-Dînî di Iskandariyah sampai menyelesaikan studinya di Universitas al- Azhar pada tahun 1918 M dengan meraih predikat Shahâdah al-'Âlimîyah alNizâmîyah,107 suatu penghargaan tertinggi dari al-Azhar atas prestasi yang dicapainya selama studi.108 Pada tahun 1919, Shaltût mengajar di almamaternya. Bersamaan itu pula terjadi gerakan revolusi rakyat Mesir melawan kolonial Inggris. Beliau ikut berjuang melalui ketajaman pena dan kepiawaian lisannya. Dari almamaternya Shaltût lalu pindah ke al-Azhar. Selain serbagai pengajar, di institusi pendidikan tertua di dunia ini, ia menjabat beberapa jabatan penting, mulai dari penilik pada sekolah- sekolah agama, wakil dekan Fakultas Syariah, pengawas umum kantor lembaga penelitian dan kebudayaan Islam al-Azhar, Wakil Syaikh Al-Azhar, sampai akhirnya pada tanggal 13 oktober 1958 M di angkat menjadi Syaikh al-Azhar (pimpinan tertinggi al-Azhar).109 Gelar Doctor Honaris Causa pernah juga diperolehnya dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijogo
107
Shahâdah al-'Âlimîyah al-Nizâmîyah adalah sertifikat tertinggi yang diberikan kepada lulusan al-Azhar. Shaltût menerima shahadah ini setelah ia menyelesaikan studinya di al-Azhar selama 12 tahun. 108 Abd. Salam Arif, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam antara Fakta dan Realita (Yogyakarta: Lesfi, 2003), 202. 109 Heri sucipta, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qordhawi (Bandung: PT Mizan Publika, 2003), 246.
50
Yogyakarta pada tahun 1961 M, di samping dari negerinya sendiri.110 Mahmûd Shaltût selalu menggeluti dunianya dengan aktifitas keaagamaan, ilmu pengetahuan, kemasyarakatan dan juga perjuangan politik. Tidak mengherankan ketika masih muda, dia sudah dikenal dan dianggap sebagai seorang ahli fiqih besar, pembaharu masyarakat, penulis yang hebat, seorang khâtib yang hebat dengan menyampaikan bahasa yang mudah dipahami, argumentasi yang rasional dan pemikiran yang bijak. Hal ini dibuktikan ketika pada tahun 1937, Shaltût diutus mengikuti muktamar internasiobnal di Lahay Belanda tentang Al-Qanûn al-Daulî Al-Muqâron (perbandingan hukum internasional). Dalam muktamar itu, ia sempat mempresentasikan pemikirannya tentang relevansi syariah Islam yang mampu berdinamika dengan perkembangan zaman.111 Sepulang perhelatan akbar ini ia mengajak untuk membentuk Majelis Pembelaan Islam Internasional guna membendung gerakan musuh-musuh Islam, membersihkannya dari khurafat dan bid’ah serta menjadikan majlis ini sebagai pusat referensi kajian Islam. Tahun 1941, ia menyampaikan sebuah risalah tentang "Al-Mas'ûlîiyah al-Madanîyah wa al-Jinâ'îyah fi al-Sharî'ah al-Islâmîyah" (Pertanggung jawaban Sipil dan Pidana dalam Syariat Islam). Tesis-tesisnya dalam risalah ini mendapat sambutan baik sehingga secara aklamasi Shaltût diangkat
110 111
Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), 341. Heri Sucipta, Ensiklopedi Tokoh Islam, 246.
51
menjadi anggota termuda Majlis Ulama-ulama Besar. 112 Sebagai seorang ulama dan pemikir, Shaltût memiliki pemikiran yang sangat relevan untuk perkembanagan kehidupan umat pada zamannya. Disamping memiliki pandangan yang luas dalam hukum Islam, dia juga seorang ahli tafsir yang melaksanakan penafsiran langsung pada al-qur’an dengan mengumpulkan ayat-ayat tentang suatu masalah, lalu ayat itu ditafsirkan sebagai jawaban terhadap suatu masalah. Sehingga dia dipandang salah seorang pelopor metode tafsîr maudû’î (tafsir tematis) yaitu metodologi penafsiran yang memfokuskan pembahasannya pada masalah-masalah tertentu (tematik).113 Sistematikanya, mufassir dalam menulis kitab tidak dimulai dari surat al-Fâtihah sampai surat al-Nâs, melainkan memilih satu tema untuk kemudian menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan tema tersebut, baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema yang dimaksud. Misalnya, soal makna Islam dalam al-Qur’an. Mufassir menghimpun semua ayat yang berisikan kata Islam dan segala derivasinya, lalu ditafsirkan. Contohnya kitab al-Mar’ah fî al-Qur'an karya Abbas Mahmûd al-'Aqad metode tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya dalam menangkap pesan al-qur’an untuk menjawab problema manusia abad modern.114 112
Muhammad Sa’id Mursi, ‘udhmau al-Islâm, ter. Khoirul Amru Harapah (Jakarta: Pustaka al-Kaustar, 2007), 391. 113 Abd, al-hayyi al-Farmawi, Al-Bidâyah Fî Tafsîr al-Maudû'î (Maktabah: al-Maufuzah, 1976), 40-41. 114 Ensiklopedi Islam, 343.
52
Mahmûd Shaltût selalu berusaha memberantas kekakuan atau kebekuan (jumud dalam berfikir) dan kefanatikan madzhab yang membawa perpecahan di kalangan umat Islam. Dia memberantas faham bahwa pintu ijtihad telah ditutup. Dia menganjurkan umat Islam terutama ulama agar mengadakan ijtihad langsung pada al-Qur’an, karena menurutnya ada ayat alQur’an yang menunjukkan hukum secara tidak tegas (zannî al-dalâlah), sehingga dapat ditafsirkan dalam beberapa tafsiran. Oleh karena itu kesempatan melakukan ijtihad terbuka seluas-luasnya.115 Bagaimanapun, Mahmûd Shaltût, dengan gagasan-gagasannya telah mengajarkan kita bagaimana memahami Islam secara kâffah dan diamalkan dengan mudah, bukan berangkat dari pemaksaan, tetapi berangkat dari semangat kemanusiaan, ketuhanan, dan semangat ketaataatan pengabdian sebagai khalifah Tuhan. Sikap keberagaman manusia baginya harus dimanifestasikan dan terpolakan dalam bentuk yang dinamis, fleksibel dan dewasa, sehingga Islam sebagai rahmah lî al-'Alamîn sâlih likulli zamân wa makân benar-benar mewarnai dalam semua tatanan kehidupan manusia. Pengabdian panjang itu berakhir pada tahun 1963, ketika Sang Khalik memanggilnya untuk selamanya.116
115 116
Ibid. Heri Sucipta, Ensiklopedi Tokoh Islam, 249-250.
53
2. Karya-karyanya a. Tafsîr al-Qur'ân al-Karîm. b. Al-Fatâwâ. c. Al-Islâm 'Aqîdah wa Sharî'ah. d. Min Taujîhat al-Islâm. e. Al-Mas'ulîyah al-Madanîyah wa al-Jinâ'îyah Fî al-Sharî'ah al-Islâmîyah. f. Muqâranah al-Madhâhib Fî al-Fiqh. g. Manhaj al-Qur'ân Fî Binâ' al-Mujtama'. h. Fiqh al-Qur'ân Wa al-Sunnah. i. Tanzîm al-Nasl. j. Al-Qur'ân Wa al-Mar'ah. k. Tanzîm al-'Alâqah al-Daulîyah Fî al-Islâm. l. Al-Qur'ân Wa al-Qitâl. m. Al-Islâm Wa al-Wujûd al-Duwalî al-Muslimîn. n. Al-Islâm Wa al-Takâful al-Ijtimâ'i. o. Ilâ al-Qur'ân al-Karîm.117 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemikirannya Pergolakan, pergulatan dan perubahan yang terjadi di mesir saat Shaltût hidup, sangat berpengaruh pula pada dirinya. Apalagi ia sangat dekat dengan pengaruh perubahan itu, bahkan terlibat didalamnya yaitu saat ia 117
Ensiklopedi Islam,343.
54
hidup di kota, walaupun ia dilahirkan di pedesaan,. Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa Shaltût dilahirkan di desa, dan pada umumnya penduduk desa di Mesir pada saat itu adalah kaum petani. Orang tua Shaltût juga seorang petani yang tergolong mampu sehingga dapat mengirimkan putranya untuk melanjutkan studinya di Al-Ma’had al-Dînî Iskandariyah. Suasana pedesaan dimana Shaltût tumbuh dan dibesarkan kental dengan nilai-nilai religius, oleh karenanya dalam usia belia Shaltût belajar al-Qur’an dan ia telah hafal keseluruhan pada usia 13 tahun. Komunitas pedesaan yang religius berikut
alam
lingkungannya
yang
damai
telah
pula
membentuk
kepribadiannya menjadi seorang yang kuat memegang prinsip serta tenang dalam menghadapi persoalan dan kritis. Hal itu terbukti saat pemikirannya mendapat reaksi dan kritik tajam, ia tetap teguh dan besikap tawadhu’.118 Kemudian tatkala Shaltût melanjutkan studi di Iskandariyah, di sini ia mendapatkan suasana pendidikan yang pernah ia peroleh di desanya. AlMa’had al-Dînî Iskandariyah saat itu telah memasukkan ilmu pengetahuan umum (al-‘Ulûm al-Hadîthah) dalam kurikulumnya, serta mendorong kebebasan berfikir siswanya. Benih-benih pendidikan yang ditanamkam di AlMa’had al-Dînî Iskandariyah ini ternyata tertanam subur dalam jiwa Shaltût, terutama penghargaan terhadap kebebasan berfikir. Pada kenyataanya sejak didirikan pada tahun 1903 Al-Ma’had al-Dînî Iskandariyah telah menerapkan 118
Arief, pembaruan Pemikiran Hukum Islam, 221.
55
ide pendidikan Muhammad Abduh, yaitu memasukkan ilmu-ilmu umum dan menghargai kebebesan berfikir. Pada masa hidup Shaltût, Mesir pada saat itu sedang mengalami perubahan sosial yang begitu cepat. Kedatangan bangsa Eropa dengan kemajuaan teknologinya membuka cakrawala berfikir masyarakat Mesir, tidak terkecuali terhadap cara pandang dan berfikirnya Shaltût. Interaksi hubungan antara mesir dan bangsa Eropa begitu intens, sehingga menimbulkan perubahan-perubahan dalam masyarakat.119 Sejak Napoleon Bonaparte menjejakkan kakinya di Mesir dalam ekspedisinya tahun 1798, saat itu pula dimulai lembaran baru perkembangan budaya di Negeri Piramida ini. Napoleon melakukan ekspedisi di Mesir bukan saja untuk kepentingan militer, tetapi juga membawa misi ilmiah dan kebudayaan. Ternyata misi ilmiah dan kebudayaan ini lebih behasil dibandingkan misi militernya, karena tentara Perancis kalah melawan gabungan tentara Turki di bawah pimpinan Muhammad Ali Pasya, dan Perancis keluar dari Mesir tahun 1801.120 Berhasilnya misi kebudayaan Napoleon di Mesir terlihat dengan tergugahnya kesadaran di lingkungan terpelajar atas ketinggalan mereka dari Barat (Perancis) dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kesadaran atas ketinggalan itu, kemudian
119
Arif, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam, 220-221. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan ( Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 34-35. 120
56
diupayakan penuh semangat dengan mengirimkan kaum terpelajar dan kaum cendekiawan Mesir untuk melanjutkan studi di Perancis. Interaksi Mesir dengan budaya Barat terus berkelanjutan dari generasai ke generasi. Interaksi yang intens tersebut melahirkan nilai-nilai baru yang tumbuh di masyarakat. Nilai-nilai baru itu tentu saja menimbulkan kejutan budaya yang mengakibatkan tumbuhnya reaksi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Di tengah-tengah pergulatan nilai-nilai budaya lama dan nilai-nilai budaya baru itu, Shaltût tumbuh dan berkembang seirama dengan perkembangannya sosial budaya baru itu sendiri. Tentu pemikiran hukum Shaltût tidak lepas dari latar belakang faktor sosial budaya tersebut. Interaksi sosial budaya Eropa (Perancis dan Inggris) dengan Masyarakat Mesir yang begitu intens, berakibat merubah cara pandang dan cara berfikir masyarakat ,Mesir. Bahkan berakibat pula merubah struktur sosial masyarakat yang telah ada. Berubahnya cara pandang dan berubahnya struktur masyarakat Mesir, berpengaruh juga terhadap pemikiran hukum Shaltût. Kenyataan ini dapat dilihat dalam fatwanya yang melarang perkawiana muslim dengan non muslimah (kitâbîyah).121 Meskipun dalam nas membolehkan perkawinan tersebut. Karena dikhawatirkan pria (suami) beserta anaknya akan terpengaruh oleh budaya dan agama isterinya. Fatwa Shaltût tersebut paling tidak dipengaruhi oleh timbulnya budaya baru di 121
Mahmûd Shaltût, al-Fatâwâ (Qâhirah: Dâr al-Qalam, tt), 279-280.
57
kalangan masyarakat Mesir yang saat itu kaum pria cenderung melakukan perkawinan dengan kitâbîyah darai kalangan bangsa Eropa (Perancis). Latar belakang kehidupan Shaltût dari tempat di mana ia dilahirkan, pendidikannya dan jaringan pergaulannya yang luas telah membentuk pola berfikir dan mewarnai alur pemikirannya. Sementara itu pergolakan politik dan bertiupnya angin pembaruan sebelum Shaltût lahir, ternyata memberi pula pengaruh yang signifikan tehadap pemikirannya. Perubahan yang terjadi di Mesir yang telah menyentuh perilaku sosial masyarakatnya, struktur dan pola budayanya akibat interaksi yang begitu intens dengan budaya Eropa, pada akhirnya juga memberikan nuansa baru bagi pemikiran Shaltût. Ditambah juga pergaulannya yang begitu luas dan interaksinya dengan kawan-kawan sejawadnya yang berpendidikan Eropa, itu semua menambah wawasan baru dalam pemikirannya. Yang kemudian menjadikan dirinya sangat kuat berorientasi pada pemikiran pembaharuan dalam ijtihadnya.122
B. Biografi al-Fatâwâ 1. Latar Belakang Penyusunan Kitab al-Fatâwâ Karya ini merupakan himpunan dari fatwa-fatwa Shaltût tentang berbagai problema hukum Islam yang diajukan kepadanya. Fatwa-fatwa ini merupakan kepeduliannya terhadap problematika hukum yang terjadi di
122
Arif, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam, 223-224.
58
Mesir, akibat perkembangan teknologi dan peradaban barat yang masuk ke Mesir. Seperti masalah yang dibahas dalam skripsi ini, yakni perkawinan beda agama. Shaltût melarang perkawinan muslim dengan kitâbîyah, meskipun dalam nas membolehkannya. Hal itu disebabkan karena dikhawatirkan suami dan anaknya terpengaruh budaya dan agama isterinya. Fatwa Shaltût tersebut paling tidak dipengaruhi oleh timbulnya budaya baru di kalangan masyarakat Mesir yang saat itu kaum pria cenderung melakukan perkawinan dengan kitâbîyah dari kalangan bangsa Eropa (Perancis). Menurut Shaltût, fatwa mempunyai indikasi besar terhadap kemajuan peradaban manusia, baik berhubungan dengan mu’amalah, adat dan kebudayaan maupun hukum-hukum yang sesuai dengan syari’at Islam. Hal tersebut, semuanya mempunyaitujuan yang jelas agar manusia bisa mempelajari dan mendapatkan kemajuan dengan mudah. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah yang berbunyi:
.1 ِ Aْ lِّ / اiِk mُ 7ِّ َ Aُ &ًأ2ْ 8 َ َ اlِ Aْ &ِ Aُ ْ1>َ Dalam fatwa ini, Shaltût dengan gigih mendasarkan landasan jawabannya berlandaskan nas-nas al-Qur’an dan hadith. Dengan demikian ia sedapat mungkin menghindari terjebak dalam perbedaan madhab dan melakukan ijtihad sendiri. Karena memang tugas ulama’ adalah untuk menyampaikan misi risalah Islamnya.
59
Masyarakat hendaknya merespon terhadap kitab al-Fatâwâ ini dan juga
majelis-majelis
iffa’
dengan
berbagai
pengajuan
pertanyaan.
Sebagaimana sabda Rasulullah:
m-} i-} ¹,rA ان+/5.-/ w وm-3 i-} ¹,rA ه= ان5-/ Ç|6A w “Tidak seyogyanya bagi orang bodoh diam atas kebodohannya dan bagi orang yang berilmu diam atas ilmunya”. Dan pepatah yang mengatakan:
.لr/ ا5y2*5> 1z¶ا8 +-./ا “Ilmu bagaikan gudang dan kuncinya adalah pertanyaan”.123 2. Sistematika Pembahasan Kitab al-Fatâwâ a. Aqidah dan perkara-perkara ghaib Dalam bab ini dijelaskan mengenai masalah-masalah ruh, jin, manusia, qada’ dan qadr, khawâriq, al-‘âdât dan pengangkatan nabi Isa. b. Ibadah Dalam bab ini dijelaskan mengenai masalah-masalah: thaharah, shalat, puasa, zakat dan haji. c. Adat dan Bid’ah Dalam bab ini dijelaskan mengenai masalah-masalah: nisf alsha’bân, mauludan, ziyarah qubur dan mendoakan mayit.
123
Shaltût, al-Fatâwâ, 15-16.
60
d. Sumpah, Nadhar dan Kafarah Dalam bab ini dijelaskan mengenai masalah-masalah: sumpah, nadhar, kafarah dan faedah-faedahnya bagi masyarakat. e. Keluarga dan Perkara Perdata Dalam bab ini dijelaskan mengenai masalah-masalah: khitbah (peminangan), nikah mut’ah, muhallil dan nikah dengan kitâbiyah, thalaq dan waris. f. Mu’amalah Dalam bab ini dijelaskan mengenai masalah-masalah, gadai, shirkah, bank dan saham. g. Makanan, Minuman dan Hiasan Dalam bab ini dijelaskan mengenai masalah-masalah khamr, rokok dan mengecat rambut. h. Kemasyarakatan Dalam bab ini dijelaskan mengenai masalah-masalah: judi, hubungan kemasyarakatan, pandangan tentang kemajuan, musik dan nyanyian serta pembunuhan.
C. Pendapat dan Argumentasi Mahmûd Shaltût Tentang Perkawinan Beda Agama Pada bab sebelumnya telah dijelaska bahwa perkawinan beda agama dalam Islam dibagi tiga yaitu, perkawian muslimah dengan non muslim, muslim
61
dengan musyrik dan muslim dengan kitâbîyah. Dari ketiga pembagian tersebut mempunyai konsekwensi sendiri-sendiri. 1. Perkawinan muslim dengan mushrikah Mahmud Shaltût berpendapat, bahwa perkawinan ini diharamkan. Hal ini berdasarkan fatwanya dalam kitab al-Fatâwâ yang berbunyi:
+-r/= اyA w و,=È5h 53&آ@ أن زوا-/ @|r6/5h i>&A ¡مÉوا .124@23ة زو52 5.> i6|ـA أن “Islam berpandangan bahwa menikahi musyrikah adalah batal, dan tidak halal bagi seorang muslim membangun rumah tangga dengannya”. Mahmûd Shaltût dan para ulama berpendapat seperti itu berdasarkan pada firman Allah surat al-Baqarah (2) ayat 221 sebagai berikut:
ْx/َ ِ& َآ ِ@ 'و ْ > ْ1>ِّ ٌ&2ْ 8 َ ٌة5َ6>ِ ْ> @ٌ >َ w َ َ و1 ' >ِ ْAُ i' َ ت ِ 5َ ِ&آ ْ ُ /ْ ْااxy ُ ,ِ 6ْ *َ w َ َو ْ1>ِّ ٌ&2ْ 8 َ ٌ1>ِ ْ> ٌl|ْ .َ /َْا َوx6ُ >ِ ْAُ i' َ 1 َ 2ْ ِ& ِآ ْ ُ /ْ اxُy,ِ 6ْ *َ w َ ْ َو+,ُ ْ |ْ َ} ْ َا @ِ 6' َ /ْ اiَ/ْا ِاx} ُ ْlAَ ُ ِر وَا5'6/ اiَ/ن ِا َ ْx} ُ ْlAَ َ ِ /َْ اُو+,ُ |َ َ} ْ ْ َاx/َك 'و ٍ &ِ ْ > َ ْ َ َ) 'آ ُ&وAَ ْ+ُ -'.َ /َ س ِ 5'6-ِ/ mِ ِ A ا1 ُ 2ِّ |َ Aُ َوmِ nِ ْذ5ِhِ َ ْ ِ َ& ِة/ْ وَا (٢٢١ :&ة7|/ )ا.ن Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
124
Ibid., 277.
62
mereka mengambil pelajaran”.(QS. al-Baqarah: 221)125 2. Perkawinan muslimah dengan non muslim Mengenai perkawinan muslimah dengan non muslim, Shaltût mengharamkannya. Pendapat ini telah disepakati para ulama dari
masa
Rasulullah SAW sampai sekarang. Hal ini dapat dipahami dari Fatwanya dalam kitab Al-Fatâwâ :
6/@ وا2.¸7/&>@ اy/ ا,@-r> @3¶و/ وا+-r> &2b ¶وج/ن اx,A أن لx&/ اl} 1> @>½ ا52-} ¹.3 أi/م ا5,½ ا1> x وه,ت5|/ا 126
. ه)ا56>xA i/إ
“Bahwasannya perkawinan antara suami non muslim dengan muslimah diharamkan secara qath’i, hukum tersebut telah disepakati para ulama mulai dari zaman Rasul sampai sekarang”. Shaltût melarang perkawinan tersebut berdasarkan ayat al-Qur'an surat al-Mumtahanah (60) ayat 10 yang berbunyi:
+ُ -َ} ْ َا ُا1 ' ْ ُهx6ُ y ِ َ >ْ 5َk ت ٍ َ&ا3 ِ 5َ >ُ ت ِ 56َ >ِ ُْ /ْ ا+ُ َ َء ُآ3 ْ ِاذَاx6ُ >َ َا1 َ Aْ )ِ /'5َA َA = ِ 1 ' ُهw َ ِر5',ُ /ْ اiَ/ ِا1 ' ْ ُهx.ُ 3 ِ ْ&*َ ¡ َ kَ ت ٍ 56َ >ِ ْ>ُ 1 ' ْ ُهxُ ُ ْ -ِ} َ ْن5ِkَ 1 ' ِ nِ 5َAْ 5ِhِ 1 ' ْ ُهxy ُ ,ِ 6ْ *َ ْْ َان+,ُ 2ْ -َ} َ ح َ 5َ63 ُw َ ْا َوx7ُ َ nْ ْ >' َا+ْ ُهx*ُ َوَا1 ' ُ /َ ن َ ْx-y ِ Aَ ْ+ ُهw َ ْ َو+ُ /' (١٠ :@6y/)ا...&ِ kِ َاx,َ /ْ ا+ِ ~ َ .ِ hِ ْاx,ُ r ِ ْ *ُ w َ َو1 ' ْ َر ُهx3 ُ ُا1 ' ْ ُهxُ ُ 2ْ *َ ِاذَ َا Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang 125 126
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 53-54. Shaltût, Al-Fatâwâ, 276.
63
keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir”. (QS. alMumtahanah ayat 10)127 3. Perkawinan muslim dengan kitâbîyah Sedangkan mengenai perkawinan muslim dengan kitâbîyah, Shaltût tidak memperbolehkannya. Perkawinan ini secara redaksi dan dhahirnya ayat diperbolehkan, sebagaimana surat al-Mâ'idah (5) ayat 5 yang berbunyi:
ْ1>ِ ب َ 5َ,ِ /ْ ْااx*ُ ْ ُاو1 َ Aْ )ِ /' ا1 َ >ِ ت ُ 56َ ~ َ y ْ ُ /ْ ت وَا ٍ 56َ >ِ ُْ /ْ ا1 َ >ِ ت ُ 56َ ~ َ y ْ ُ /ْ وَا... ٍْ¨ ِ)ي ِ '>ُ w َ َو1 َ 2ْ y ِ kِ 5َr>ُ &َ 2ْ b َ 1 َ 2ْ 6ِ ~ ِ y ْ >ُ 1 ' ْ َر ُهx3 ُ ُا1 ' ْ ُهxُ ُ 2ْ *َ ْ ِاذَا ا+,ُ -ِ|ْ _َ (٥ :ةlz5/)ا...ن ٍ اlَ 8 ْ َا Artinya:
“Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan. Diantara wanita-wanita yang beriman dan wanitawanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik……”. (QS. al-Mâ'idah: 5).128
Walaupun secara redaksional dari dhohirnya ayat, laki-laki muslim diperbolehkan kitâbîyah, namun Shaltût dalam fatwanya menyatakan sebagai berikut:
&Ëo/ ا1} 5nx° ,ih5,/5h @ أن *¶وج-r/ اi-} &مl_ ن ا5إذا آ 1} ); إذا+-r/&ى أن اA ¡مÉن اk ,52-} @>اx_ و53ن زو5¸-rh »&> أl2/57h i7/ وأ,i>x7/ اm.¿ +,yh ، ا½&ةik i.2|¸/>&آ¶» ا 127 128
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 924. Ibid., 158.
64
129
.@2h5,/5h ¶وج/ ا1> m.6> Í3 و،@-r/& ا2b m3ى زوlA 12h
“Jika Allah telah melarang kepada wanita muslimah kawin dengan laki-laki kitâbîyah, karena menjaga (kekhawatiran) pengaruh kekuasaan dan dominasi suaminya terhadapnya, maka Islam juga memandang, bahwa sesungguhnya jika seorang muslim itu telah bergeser dari posisinya yang semestinya dalam keluarga (sebagai pemimpin), dan menyerahkan urusannyakepada isterinya yang non Islam itu, sehingga ia hanya membebek saja, sudah seharusnya ia dilarang mengawini kitâbîyah itu”. Fatwa Shaltût ini besifat kondisional dan kasuistis, yang berarti manakala kondisi seorang laki-laki itu tidak memenuhi kriteria negatif sebagaimana yang diungkapkannya, maka tidak mengapa seorang laki-laki muslim mengawini kitâbîyah. Hal ini sebagaimana penyataannya sebagai berikut:
@23x/ن وا5¸-r/ اÍ5°&أة و/ اi-} @>اx7/ اÍ5° =3&/أن ا &2h ¶وجA أنm/ Ï2h أl_ و,@2>¡É¡ق ا8½ اi-} ا½&تik @|y/ ر= ا1> لx@ رh5`h ¶وج/ ا/ن ذx,2/ ,@2h5,/@ ا-r/ا 1r 1> i7-* و,ةx3 1> ¡مÐ/ 5ورهl° ik 5> ¶ول2k ,@/½وا 130 .5/ +-r/ ا53@ زو->5.> “Bagi suami muslim yang memiliki kemampuan membina anak-anaknya dan keluarganya secara Islami, maka diperbolehkan baginya mengawini kitâbîyah. Dengan harapan perkawinannya itu akan dapat mendekatkan hati isterinya tehadap nilai-nilai Islam yang selanjutnya akan timbul simpatinya terhadap Islam, karena keutamaan dan kebaikan ajaran Islam”. Fatwa Shaltût melarang mengawini kitâbîyah, karena kecenderungan yang amat sangat dari laki-laki muslim Mesir saat itu yang mengawini kitâbîyah. Menurutnya, suami-suami muslim yang kawin dengan kitâbîyah
129 130
Shaltût, al-Fatâwâ, 279-280. Ibid., 278-279.
65
itu, telah terpengaruh oleh budaya dan adat istiadat isterinya, sehingga anakanaknya dididik oleh isterinya menurur agamanya dan adat-istiadatnya.131 Dengan demikian suami tersebut telah membiarkan anak-anaknya dan keluarganya terlepas dari ajaran Islam, akibat dari pengaruh isterinya yang begitu dominan, sehingga dikhawatirkan keturunannya beralih akidah agamanya. Dengan demikian alasan Shaltût melarang perkawinan antara laki-laki muslim dengan kitâbîyah itu sangat mendasar. Apalagi jika diingat, Shaltût sangat memperhatikan keberadaan rumah tangga muslim sebagai penyangga terhadap keberadaan masyarakat Islam.yang diumpamakan olehnya sebagai susunan batu bata yang menopang bedirinya sebuah bangunan. Jika susunan batu bata itu kokoh dan kuat, maka akan kokoh dan kuat pula keberadaan sebuah bangunan. Begitu pula sebaliknya bangunan itu akan runtuh, jika batu bata yang menyangganya itu rapuh dan tidak kuat.132 Tujuan perkawiana secara eksplisit disebutkan dalam al-Qur’an ialah mencari ketenangan, dan ketenangan itu diperoleh jika terdapat kesamaan emosional, termasuk dalam kategori ini adalah kesamaan agama antara suami dan isteri. Perkawiana dalam persepsi Islam bukan sekedar mencari penyaluran seksual belaka. Tetapi merupakan embrio menuju terwujudnya masyarakat yang saleh. Atas dasar hakikat dari tujuan perkawinan itu, perkawinan dengan non muslimah
131 132
Ibid, 279. Mahmûd Shaltût, Al-Islâm Aqîdah wa Sharî’ah (Kairo: Dâr al-Shurûq, 1987), 141-142.
66
atau non mulim tidak hanya akan menimbulkan kesenjangan emosional spiritual dari kedua belah pihak suami isteri, akan tetapi pada gilirannya juga akan mereduksi nilai-nilai agama yang mereka yakini. Menurut pengamatan Shaltût laki-laki muslim yang menikah dengan kitâbîyah itu, mereka merasa memiliki kebanggaan dan merasa memiliki stratifikasi sosial yang lebih dibanding dengan yang lain.133 Dengan demikian larangan Shaltût mengawini kitâbîyah bagi laki-laki muslim mengandung maslahah dan menghindari mafsadah. Adapun metode ijtihad yang digunakan Shaltût dalam fatwanya melarang laki-laki muslim dengan kitâbîyah adalah sadd al-Dharî'ah
134
. Shaltût melarang perkawinan muslim dengan kitâbîyah
karena perkawinan ini mengandung mafsadah (kerusakan), bahkan mafsadah itu pasti akan terjadi. Oleh karenanya perkawinan itu harus dicegah. Jalan untuk mencegah datangnya mafsadah ialah melarang perkawianan itu, walaupun nas sendiri tidak melarangnya. Usaha-usaha yang dilakukan oleh para isteri kitâbîyah dalam 133
Shaltût, al-Fâtawâ, 279. Sadd al-Dharî'ah terdiri dari dua kata yaitu l¯ artinya menutup dan @¯.A)ر/ اmenurut alSyatibi @¯.A)ر/ اialah perbuatan yang mengandung kemaslahatan bisa menjadi perantara menuju ke arah mafsadah ) lihat al-Syatibi, al-Muwâfaqât, Vol. 6 (Makkah:Tp, tt), 199.. Sedangkan menurut Ibn Taymîyah mengartikan al-Dharî'ah sebagai perbuatan yang pada lahirnya mubah, tetapi menjadi perantara kepada perbuatan yang dilarang. Lihat Ibn Taimiyah, al-Fatâwâ al-Kubrâ, Vol 3 (Beirut: dâr al-Ma'rîfah, tt), 256. Ibn Qoyyim al-Jauzîyah berpendapat bahwa pengertian al-Dharî'ah tidak saja diartikan kepada sesuatu yang dilarang, tapi mempunyai pemahaman juga kepada sesuatu yang dianjurkan. Dengan demikian menurut Ibn al-Qoyyim pengertian al-Dharî'ah mempunyai dua konotasi, yaitu yang dilarang dinamakan Sad al-Dharî'ah sedangkan yang dianjurkan dinamakan Fath al-Dharî'ah. Lihat Ibn Qoyyim al-Jauzîyah, 'I'lâm al-Muwâqi'în, Vol. 3 ( Beirur: Dâr al-Jayl, 1973), 147. Dengan demikian Sadd al-Dharî'ah ialah menutup jalan ke arah tujuan yang dapat mendatangkan kerusakan atau menjurus ke arah sesuatu yang dilarang. Lihat Abd. Al-Wahâb Khâlaf, 'Ilm Usûl alFiqh (Kairo: Dâr al-Qalam, 1978), 86-87. 134
67
menanamkan nilai-nilai budaya, pendidikan dan perilaku kepada anakanaknya itu, jelas merupakan usaha untuk mengalihkan aqidah yang diyakini oleh ayah kandung mereka, kearah
aqidah yang bertentangan, yaitu
menjadikan mereka sebagai orang-orang non Islam. Apalagi secara pisikologis seorang ibu itu lebih dekat dengan anaknya, pada sisi yang lain seorang ibu juga menjadi pusat kisaran pengaruh pada anak-anaknya. Karena itu pengaruh ibu itu bertambah kuat, manakala ia memberi contoh secara nyata terhadap suatu persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Kekhawatiran berpindahnya agama dari kalangan anak-anak keturunan laki-laki muslim hasil perkawinan dengan kitâbîyah menjadi nyata, bilamana seorang ibu yang kitâbîyah itu secara aktif membawa anak-anaknya ke tempat ibadahnya. Dengan demikian apa yang dicontohkan seorang ibu yang kitâbîyah terhadap anak-anaknya itu akan sangat membekas dalam benak anak-anaknya dalam kehidupan mereka. Persoalan tersebut tentu saja telah menyentuh hal pokok yang ada dalam al- maslahah al-khamsah, yaitu menjaga agama supaya seseorang tidak bergeser ke agama lain. Sedangkan lima hal pokok yang harus dijaga setiap muslim yaitu; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda.135 Lima hal itu sangat primer dalam kehidupan. Dan setiap muslim wajib menjaganya. Dengan demikian fatwa Shaltût mengenai larangan lakilaki nmuslim mengawini kitâbîyah, sesungguhnya sesuai pula dengan al135
Abdul Wâhab Khâlaf, 'Ilm usûl al-Fiqh (Kairo: Dâr al-Qolâm, 1978), 2001.
68
maslahah al-Khamsah.
69
BAB IV ANALISA TERHADAP PEMIKIRAN MAHMÛD SHALTÛT TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA
A. Analisa Terhadap Pendapat dan Argumentasi Mahmûd Shaltût tentang Perkawinan Beda Agama 1. Perkawinan muslim dengan mushrikah Jumhur ulama berpendapat bahwa perkawinan ini diharamkan. Adapun argumen atau dasar yang digunakan jumhur ulama dalam menetapkan hukum ini adalah zahirnya surat al-Baqarah ayat 221. Jumhur ulama tidak ada khilafiyah mengenai hukum perkawinan ini, tetapi berbeda pendapat tentang kriteria orang mushrikah. Menurut Ibn Kathîr yang dimaksud mushrikah di sini adalah penyembah berhala, dan dikhususkan (dikeluarkan dari pengertian mushrikah) adalah kitâbîyah.136 al-Shafî’î menegaskan bahwa yang dimaksud mushrikah adalah mushrikah tanah Arab yang menyembah berhala.137 Menurut Muhammad ‘Abdûh, mushrikah yang dilarang dinikahi adalah mushrikah di lingkungan tanah Arab saja. Pendapat ini beliau kutip dari pendapat Ibn Jarîr al-Tabarî. Konsekuensi dari pendapat ini adalah bahwa semua agama di luar tanah Arab seperti Majusi, Hindu, 136 137
Ibn Kathîr, Tafsîr Ibn Kathîr Vol, 1 (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1989), 258. Al-Shâfi’î, Al-Umm, Vol. 5 (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, 2002), 8.
70
Budha dan Tao serta agama-agama tradisional orang Jepang dikelompokkan ke dalam agama Samawi hingga saat ini. Pendapat ini didasarkan pada pandangan al-Qur’an tentang sejarah manusia. Dinyatakan bahwa kepada tiap umat telah diutus seorang Rasul yang diberikan kitab, karenanya mereka itu adalah Samawi.138 Pendapat ekstrim mengenai hal ini adalah pendapatnya Abdullah Ibn 'Umar yang menyatakan Nasrani adalah mushrik terbesar.139 Mahmûd Shaltût dalam kitabnya "al-Fatâwâ", menyebutkan bahwa perkawinan ini juga diharamkan. Argumentasi atau dasar yang digunakan adalah nass al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 221. Jadi, penulis dapat menyimpulkan bahwa pendapat dan argumentasi jumhur ulama dengan Mahmûd Shaltût tentang perkawinan mulim dengan mushrikah adalah sama. Sedangkan mengenai kriteria mushrikah, Shaltût dalam kitabnya al-Fatâwâ tidak menyebutkan, apakah mushrikah bangsa Arab saja yang haram dinikahi. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa mushrikah yang haram dinikahi dalam pandangan Mahmud Shaltût adalah seluruh mushrikah baik dari bangsa Arab atau yang lainnya. 2. Perkawinan nuslimah dengan non muslim Jumhur ulama berpendapat bahwa perkawinan ini juga diharamkan. Argumen atau dasar yang digunakan dalam menetapkan hukum ini adalah tiga hal, yaitu: Pertama, zahirnya nass al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 221 dan al-
138 139
Muhammad ‘Abduh, Tafsîr al-Mannar, Vol. 2 (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 135. Ibn Kathîr, Tafsîr Ibn Kathîr, 135.
71
Mumtahanah ayat 10. Kedua, Fi'l al-sahâbat dan ketiga, ijma' para ulama. Sedangkan menurut Mahmûd Shaltût dalam kitab al-Fatâwâ, perkawinan jenis ini diharamkan karena ijma' ulama sejak masa rasulullah SAW. Jadi penulis dapat menyimpulkan bahwa pendapat dan argumentasi jumhur ulama dan Mahmûd Shaltût dalam kitab al-Fatâwâ mengenai perkawinan ini adalah sama. Hanya saja dalam kitab al-Fatâwâ tidak disebutkan secara mendetail tentang argumentasi larangan perkawinan tersebut. 3. Perkawinan muslim dengan kitâbîyah Sedangkan mengenai perkawinan muslim dengan kitâbiyah para ulama terjadi perbedaan pendapat, ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkan. Perbedaan tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan pendapat dan metode dalam memahami nass yang sama. Adapun pendapat yang membolehkan adalah golongan jumhur ulama. Pendapat mereka berdasarkan nass al-Qur’an surat al-Mâ'idah ayat 5 dan sejarah telah menunjukkan bahwa beberapa sahabat Nabi pernah menikahi kitâbîyah. Halalnya menikahi kitâbiyah telah jelas ditunjuk oleh nass dan sejarah yang telah menunjukkan bahwa beberapa sahabat Nabi SAW telah mengawini kitâbîyah. Namun para ulama terjadi khilafiyah mengenai kehalalan ini, apakah harus secara mutlak atau ada batasan-batasannya. Hanafiyah berpendapat, menikahi kitâbîyah yang berada di Dâr alHarbî merupakan pembuka pintu fitnah. Mendahulukan nikah dengan mereka
72
adalah makrûh tahrîm, karena membawa kepada mafâsid. Nikah dengan kitâbîyah dhimmîyah yang tunduk kepada undang-undang Islam adalah makrûh tanzîh. Di kalangan Malikiyah ada dua pendapat. Pertama, nikah dengan kitâbîyah makrûh mutlaq, baik dhimmîyah maupun harbîyah, makruh kepada Harbîyah lebih besar. Kedua, tidak makrûh mutlaq, karena ayat telah membolehkan secara mutlak. Dikatakan bahwa madhab Maliki dibina di atas dasar sadd al-dharî'ah (menutup jalan kemadharatan). Kalau mafâsid itu dikhawatirkan terjadi, maka mendahulukan nikah dengan kitâbîyah adalah haram.140 Menurut Shâfi'îyah perkawinan antara muslim dengan kitâbîyah dimakruhkan secara mutlak, baik dhimmîyah maupun harbîyah. Sedangkan menurut Hanâbilah, hukumnya khilâf al-awlâ.141 Ibn Khattab menghimbau laki-laki muslim untuk tidak mengawini kitâbîyah, karena kekhawatirannya terhadap laki-laki muslim lebih memilih kitâbîyah dari pada wanita muslimah, sehingga menimbulkan kesenjangan dan fitnah di kalangan wanita muslimah. Sedangkan yang mengharamkan perkawinan ini adalah Abdullah Ibn 'Umar. Ia melarang mengawini kitâbîyah dari kalangan Nasrani dan Yahudi
140
Abdurrahman al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh 'Alâ al-Madhâhib al-Arba'ah, Vol. 7 (Beirut: Dâr alFikr, 1990), 76. 141 Wahbah Al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa adillatuh, vol. 7 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), 154.
73
karena Menurutnya termasuk
golongan
syirik adalah mereka yang
menuhankan 'Isa Ibn Maryam dan menuhankan ‘Uzer.142 Menurutnya, syirik ini adalah syirik yang paling besar.143. Menurut ‘Ata’ mengawini kitâbîyah adalah rukhsah, karena saat turunnya surat al-Mâ'idah ayat 5 wanita muslimah sangat sedikit. Sedangkan sekarang wanita muslimah telah banyak. Oleh karenanya mengawini kitâbîyah tidak diperlukan lagi dan otomatis hilanglah rukhsah untuk mengawininya.144 Menurut Sayyid Sâbiq, nikah dengan wanita kitâbîyah meskipun jâiz tetapi makrûh, karena suami tidak terjamin untuk tidak terkena fitnah agama istrinya. Makrûhnya itu lebih kuat lagi bila kitâbîyah harbîyah.145 ‘Ali al-Sâbûnî menjelaskan, Ayat jelas menghalalkan nikah dengan kitâbîyah. Dan pendapat ini menjadi dalil yang kuat bagi pendapat jumhur ulama,. Namun jika dikhawatirkan suami dan anak-anaknya terkena pengaruh agama istri yang kitâbîyah, maka menurutnya pernikahan tersebut jelas diharamkan.146 Sedangkan menurut Mahmûd Shaltût, perkawinan muslim dengan kitâbîyah tidak diperbolehkan. Fatwanya melarang mengawini wanita kitâbîyah karena kecenderungan yang amat sangat dari laki-laki muslim Mesir
142
Ibn Kathîr, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, Vol. II (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1989), 22. Sayyid Sâbiq. Fiqh al-Sunnah, Vol. 2 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), 90. 144 Kathîr, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, 22 145 Sâbiq. Fiqh al-Sunnah, 91. 146 146 Muhammad ‘Alî al-Sâbûnî, Rawâ’i’ al-Bayân Tafsîr âyât al-Ahkâm min al-Qur’ân, Vol. I (Makkah: Dâr al-Kutub al-Islâmîyah, tt), 537. 143
74
saat itu mengawini kitâbîyah. Menurutnya, suami-suami muslim yang kawin dengan kitâbîyah itu, telah terpengaruh oleh budaya dan adat istiadat istrinya, sehingga anak-anaknya dididik oleh istrinya menurut agamanya dan istiadatnya.147 Dengan demikian alasan Shaltût melarang perkawinan antara laki-laki muslim dengan kitâbîyah itu sangat mendasar. Apalagi jika diingat, Shaltût sangat memperhatikan keberadaan rumah tangga muslim sebagai penyangga terhadap keberadaan masyarakat Islam.yang diumpamakan olehnya sebagai susunan batu bata yang menopang bedirinya sebuah bangunan. Jika susunan batu bata itu kokoh dan kuat, maka akan kokoh dan kuat pula keberadaan sebuah bangunan. Begitu pula sebaliknya bangunan itu akan runtuh, jika batu bata yang menyangganya itu rapuh dan tidak kuat.148 Tujuan perkawiana secara eksplisit disebutkan dalam al-Qur’an ialah mencari ketenangan, dan ketenangan itu diperoleh jika terdapat kesamaan emosional, termasuk dalam kategori ini adalah kesamaan agama antara suami dan isteri. Perkawiana dalam persepsi Islam bukan sekedar mencari penyaluran seksual belaka. Tetapi merupakan embrio menuju terwujudnya masyarakat yang saleh. Atas dasar hakikat dari tujuan perkawinan itu, perkawinan dengan non muslimah atau non mulim tidak hanya akan menimbulkan kesenjangan emosional spiritual dari kedua belah pihak suami isteri, akan tetapi pada gilirannya juga
147 148
Mahmûd Shaltût, al-Fatâwâ (Qâhirah: Dar al-Qalam, tt), 279. Mahmûd Shaltût, Al-Islâm Aqîdah wa Sharî’ah (Kairo: Dâr al-Shurûq, 1987), 141-142.
75
akan mereduksi nilai-nilai agama yang mereka yakini.
Menurut pengamatan Shaltût laki-laki muslim yang menikah dengan kitâbîyah itu, mereka merasa memiliki kebanggaan dan merasa memiliki stratifikasi sosial yang lebih dibanding dengan yang lain.149 Dengan demikian larangan Shaltût mengawini kitâbîyah bagi laki-laki muslim mengandung maslahah dan menghindari mafsadah. Adapun metode ijtihad yang digunakan Shaltût dalam fatwanya melarang laki-laki muslim dengan kitâbîyah adalah sadd al-Dharî'ah. Shaltût melarang perkawinan muslim dengan kitâbîyah karena perkawinan ini mengandung mafsadah (kerusakan), bahkan mafsadah itu pasti akan terjadi. Oleh karenanya perkawinan itu harus dicegah. Jalan untuk mencegah datangnya mafsadah ialah melarang perkawianan itu, walaupun nas sendiri tidak melarangnya. Berbicara mengenai mafsadah (kerusakan), al-Shatibî menguraikan kuantitas mafsadah menjadi empat; Pertama, suatu mafsadah itu benar-benar akan terjadi secara pasti. Kedua, mafsadah itu keberadaannya jarang terjadi atau adakalanya bisa terjadi. Ketiga, mafsadah itu diperkirakan mungkin bisa terjadi. Keempat, keberadaan mafsadah dan maslahah terjadi hampir berimbang dengan kuantitas mafsadahnya sedikit lebih banyak.150 Dengan menggunakan teori al-Shatibî mengenai kuantitas terjadinya suatu mafsadah
149 150
Shaltût, al-Fâtawâ, 279. Al-Shatîbî, al-Muwâfaqât, Vol. 2 (Makkah:Tp, tt), 357-361.
76
dapatlah dikemukakan, bahwa perkawianan antara laki-laki muslim dengan kitâbîyah di Mesir saat itu, jelas akan mendatangkan mafsadah secara pasti. Hal itu terlihat dari pernyataan Shaltût, bahwa anak-anak dari perkawinan itu dididik dengan cara pendidikan non Islam dan bahkan isteri-isteri dari kalangan kitâbîyah itu membawa putra-putrinya pergi ke gereja. Sedangkan para suami dari kalangan muslim itu membiarkan dan menyerahkan urusan keluarga dan pendidikan anaknya kepada isterinya yang kitâbîyah. Usaha-usaha yang dilakukan oleh para isteri kitâbîyah dalam menanamkan nilai-nilai budaya, pendidikan dan perilaku kepada anakanaknya itu, jelas merupakan usaha untuk mengalihkan aqidah yang diyakini oleh ayah kandung mereka, kearah
aqidah yang bertentangan, yaitu
menjadikan mereka sebagai orang-orang non Islam. Apalagi secara pisikologis seorang ibu itu lebih dekat dengan anaknya, pada sisi yang lain seorang ibu juga menjadi pusat kisaran pengaruh pada anak-anaknya. Karena itu pengaruh ibu itu bertambah kuat, manakala ia memberi contoh secara nyata terhadap suatu persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Kekhawatiran berpindahnya agama dari kalangan anak-anak keturunan laki-laki muslim hasil perkawinan dengan kitâbîyah menjadi nyata, bilamana seorang ibu yang kitâbîyah itu secara aktif membawa anak-anaknya ke tempat ibadahnya. Dengan demikian apa yang dicontohkan seorang ibu yang kitâbîyah terhadap anak-anaknya itu akan sangat membekas dalam benak anak-anaknya dalam
77
kehidupan mereka. Persoalan tersebut tentu saja telah menyentuh hal pokok yang ada dalam al- maslahah al-khamsah, yaitu menjaga agama supaya seseorang tidak bergeser ke agama lain. Sedangkan lima hal pokok yang harus dijaga setiap muslim yaitu; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda.151 Lima hal itu sangat primer dalam kehidupan. Dan setiap muslim wajib menjaganya. Dengan demikian fatwa Shaltût mengenai larangan lakilaki nmuslim mengawini kitâbîyah, sesungguhnya sesuai pula dengan almaslahah al-Khamsah. Kalau kita cermati, pendapat Shaltût yang melarang perkawinan dengan dan pendapat para ulama yang membolehkan kawin dengannya mempunyai pandangan yang sama, bahwa kedudukan suami adalah pemegang pimpinan dan kendali dalam keluarganya. Ia adalah teladan dalam pembinaan akhlak Islam. Ia harus mampu membina dan menunjukkan keluhuran agama Islam dalam lingkungan keluarga. Khususnya kepada istrinya yang berbeda agama. Apabila laki-laki muslim lemah dan tidak dapat memegang kedudukan tersebut, sebaliknya ia bisa terpengaruh oleh kitâbîyah, maka nikah dengan kitâbîyah itu dilarang. Dari uraian di atas, penulis sangat setuju dengan pendapat dari argumen Mahmûd Shaltût yang melarang perkawinan dengan kitâbiyah. Karena, dalam rangka ikhtiyât (hati-hati) dan juga menegakkan maqâsid al-
151
Abdul Wâhab Khâlaf, 'Ilm usûl al-Fiqh (Kairo: Dâr al-Qolâm, 1978), 2001.
78
Shari’ah yang diantaranya hifz al-dîn (menjaga agama) dan hifz al-nasab (menjaga keturunan), maka menghindari madarah atau mafsadah dalam hal ini adalah lebih utama dari pada menciptakan kemaslahatan yang belum menjadi suatu kemestian. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh:
Ï ِ /ِ5َ~َ /ْ اÍ ِ -ْ 3 َ iَ-} َ ٌمl' 7َ >ُ lِ ِ 5ََ /ْ َدرْ ُء ا “Menolak kerusakan harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan”152 Selain itu penulis juga setuju dengan cara penetapan hukum perkawinan laki-laki muslim dengan kitâbîyah yang melihat setting historis dari pada masyarakat Mesir pada saat itu. Karena kondisi kemasyarakatan terus berkembang, maka hukum yang penetapannya terkait dengan perkembangan kehidupan masyarakat harus dinamis, sehingga tujuan hukum dapat tercapai. Perubahan hukum karena perubahan masyarakat bukan dimaksudkan agar hukum mengikuti apa yang terjadi, tetapi agar hukum dapat mengatur dan membatasi masyarakat. Agar masyarakat tidak keluar dari koridor yang diajarkan Allah dan agar hukum tersebut dapat melindungi masyarakat dari kerusakan. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah fiqh:
.الx½@ وا6,>½@ وا6>& ا½ز2h م5,½& ا2* “Perubahan hukum itu berdasarkan perubahan zaman, tempat dan keadaan”.153
152
Imam Musbikin, Qawaidul Fiqhiyah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 74.
79
Walau pada dasarnya menikahi kitâbîyah dibolehkan, namun ketika zaman telah berubah dan kerugian mengancam kehidupan umat Islam, Mahmûd
Shaltût
melarang
laki-laki
muslim
menikahi
kitâbîyah.
Dibolehkannya mengawini kitâbîyah adalah dengan harapan mereka dapat ditarik masuk Islam. Namun kenyataannya pada masa Mahmûd Shaltût tujuan itu tidak tercapai lagi, bahkan menimbulkan dampak negatif lainnya, yaitu ada kecenderungan yang besar dari laki-laki muslim menikahi kitâbîyah. Selain itu, dikhawatirkan anak keturunan mereka mengikuti ibunya yang kitâbîyah.
B. Analisa Terhadap Relevansi Pendapat dan Argumentasi Mahmûd Shaltût tentang Perkawinan Beda Agama dengan Hukum Islam di Indonesia Kata "relevansi" berasal dari kata "relevan". Dalam kamus besar Indonesia, kata "relevan" artinya kait-mengait, bersangkut paut atau berguna secara langsung.154 Penggunaan kata relevan di sini dimaksudkan untuk mencapai sangkut paut dan berguna langsung serta kaitannya pemikiran Shaltût dengan hukum Islam di Indonesia tentang perkawinan beda agama. Timbulnya penemuan baru akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, berakibat pula menggeser cara pandang dan membentuk pola alur berpikir yang membawa konsekwensi dan membentuk norma dalam kehidupan
153
Muchlis Utsman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 145. 154 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 1995), 934.
80
masyarakat. Maka tidak semestinya kemajuan iptek dan peradaban manusia itu dihadapkan secara konfrontatif dengan nass, tapi harus dicari pemecahannya secara ijtihad. sementara itu nass telah berakhir dan persoalan-persoalan baru senantiasa muncul kesinambungan, maka untuk memecahkannya dipelukan ijtihad. Ijtihad itu di sesuaikan pula dengan maslahah yang timbul. dalam hal ini Shaltût mengatakan:
l3 و56 ه1>ص و5¨;½@ وا6,>½@ وا6>& ا½ز2A m2k @y-~/ اp-¨* 155
.د53wا
''perbedaan suatu maslahaah dalam suatu produk hukum itu tergantung pada perubahan zaman, tempat, individu dan dari sini timbulnya suatu ijtihad''. Pendapatnya tersebut dikuatkan pula dengan pernyataanya yang lain sebagai berikut: 156
@-~-/ 5.|* &2A د53wا
''Bahwa ijtihad itu berubah sesuai dengan maslahah yang ada''. Telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa Mahmûd Shaltût melarang peerkawinan beda agama dalam segala bentuknya, termasuk perkawinan muslim dengan kitâbîyah. Ia melarang perkawinan ini karena sangat mengkhawatirkan anak keturunan dari keluarga yang dibina dalam perkawinan ini berpaling dari ajaran Islam. Jika hal itu dibiarkan maka tidak mustahil generasi yang akan
155 156
Shaltût, Al-Islâm Aqîdah wa Sharî’ah), 496. Ibid.,
81
datang dari kalangan keluarga yang semula muslim, akan berpindah menjadi generasi yang tidak tahu ajaran Islam dan bahkan berpindah agama menjadi orang non muslim. Dengan demikian larangan Shaltût tersebut mengandung maslahah dan menghindari mafsadah. Maslahah yang dikemukakan Shaltût itu bukan saja sebagai pertimbangan ijtihad dalam pengembangan pemikiran hukum Islam, namun juga relevan sebagai ruang lingkup masâlih al-ibâd
yang menjadi tujuan disyariatkannya
ajaran agama. Terutama dalam menatap perkembangan peradaban manusia dan kemajuan teknologi yang selalu mengalami inovasi. Berkaitan dengan itu, ia merumuskan kaidah
;¯¯¯&ع ا+`¯¯¯k @y-~¯¯¯/ اl¯¯¯3( اذا وManakala kemaslahatan itu
terwujud, itulah syariat Allah).157 Perkawinan beda agama di Indonesia telah terjadi jauh sebelum adanya larangan yang tegas dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan ketetapan Majlis Ulama Indonesia (MUI). Bahkan ketika pasangan beda agama mengalami kendala pencatatan di tanah air, ada kecenderungan mereka melakukan perkawinan di luar negeri. Pada dasarnya semua agama di Indonesia menolak perkawinan beda agama. Semua agama menghendaki perkawinan harus seiman (satu agama). Perkawinan beda agama kalaulah diperkenankan oleh agama tertentu sangat
157
Ibid.,
82
terbatas. Hanya sebagai pengecualian yang diberikan dengan persyaratanpersyaratan tertentu. Islam mengajarkan umatnya agar hidup dalam hidayah Allah, jauh dari kesesatan karena godaan setan, jin maupun manusia. Untuk itulah maka seorang muslim dilarang menikahi dengan wanita mushrikah. Allah juga melarang wanita Islam nikah dengan orang kafir atau mushrik. Dalam Islam satu-satunya kemungkinan adalah perkawinan pria muslim dengan kitâbîyah. Kehalalan menikahi wanita kitâbîyah ini menjadi masalah khilafiyah. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud kitâbîyah adalah wanita Yahudi dan Nasrani. Di Indonesia secara formal hanya ada penganut Nasrani (Katholik dan Kristen), penganut Yahudi secara formal belum dikenal di Indonesia. Walaupun demikian, banyaknya orang Indonesia yang berkiprah di luar negeri lebih memungkinkan terjadinya persentuhan bahkan perkawinan antara seorang muslim Indonesia dengan wanita penganut Yahudi. Sebelum menganalisa lebih jauh, kami akan menjelaskan gambaran tentang ahl kitâb yang hidup pada masa Rasulullah SAW, mengingat tenggang waktu antara zaman rasul dengan saat ini sangat jauh, sehingga kemungkinan terjadinya perubahan yang signifikan dalam agama Nasrani sangat dimungkinkan. Apalagi tempat tanah Arab dengan bumi Indonesia juga amat jauh, sehingga kemungkinan terjadinya perbedaan kendati dalam waktu yang bersamaan juga dimungkinkan.
83
Sebagaimana diketahui bahwa agama Nasrani pernah mengalami perubahan besar dalam doktrin teologinya dengan adanya dogma trinitas yang unsur penting dari ajarannya adalah percaya pada tiga oknum. Untuk mendapat jawaban apakah dogma trinitas itu merubah status keahli kitâban, kaum Nasrani, sehingga mereka tidak boleh lagi dinikahi. Informasi mengenai kondisi umat Nasrani di zaman dan dalam lingkungan Rasulullah SAW karenanya sangat kita perlukan. Kendati jangka waktu antara tumbuh berkembangnya ajaran trinitas dengan diturunkannya ayat 5 surat al-Mâ'idah berjalan sekitar 3 abad, belum pasti lingkungan tanah Arab penganut agama Nasraninya telah menganut paham trinitas. Sebab masih ada beberapa faktor yang memungkinkan suatu paham tidak bisa diterima dan tersebar sedemikian rupa. Diakui bahwa jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW telah lenyap sifat-sifat kesucian dan kesederhanaan dari ajaran Nasrani, sehingga agama ini telah menjadi penyembah berhala dan alMasih. Perubahan dari ajaran asli bukan saja terjadi pada penganut agama Nasrani, tetapi umat Yahudi pun telah pula mengalami perubahan kitab mereka dengan mengingkari kerasulan Muhammad SAW. Dapat diketahui bahwa ternyata dogma Trinitas suda ada dan dianut umat Nasrani di sekitar Rasulullah SAW. Begitu pula umat Yahudi sudah mengalami penyimpangan dari ajaran aslinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keadaan umat Nasrani dan Yahudi yang oleh ayat 5 surat al-Mâ'idah disebut ahl kitâb, tidaklah berbeda dengan yang hidup dewasa ini, sebab penyelewengan
84
terjadi sejak sebelum Rasulullah diutus dan terjadi pula di sekitar lingkungan Rasulullah SAW. Walau kondisi wanita kitâbîyah sekarang dengan masa Rasulullah tidak berbeda. Selain itu nass juga telah membolehkan namun Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) melarang perkawinan beda agama, termasuk wanita kitâbîyah. Dasar pertimbangannya adalah bahwa kerusakan (mafsadah) akibat perkawinan beda agama lebih besar dari pada kebaikan (maslahah). Kerusakan yang ditimbulkannya disebabkan lemahnya iman kaum muslimin ketika menghadapi godaan dan tekanan dari wanita non muslim, sebelum dan selama berumah tangga. Kerusakan (mafsadah) yang akan ditimbulkan, bukan perorangan pasangan dan keluarga yang bersangkutan saja, tetapi yang lebih penting adalah bagi umat Islam Indonesia secara keseluruhan. Ada 5 hal yang harus dipelajari oleh hukum Islam. Karenanya setiap penetapan hukum harus mengacu kepada 5 hal tersebut, yaitu: memelihara agama (keyakinan), memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta. Kelima hal itu penyebutannya terpisah tetapi dalam realisasinya tidak dapat dipisahkan. Kewajiban memelihara agama, bukan saja untuk diri pribadi yang bersangkutan, tetapi juga ada kewajiban memelihara agama keluarga, bahkan memelihara akidah masyarakat umum atau umat manusia. Di sinilah muncul kewajiban mendidik keluarga terutama anak agar menjadi pemeluk agama yang baik. Perintah agama untuk tidak membiarkan kemungkaran ada di hadapan kita merupakan upaya memelihara agama bagi
85
kehidupan masyarakat. Begitu pula upaya memelihara jiwa dan akal. Tidak terbatas pada diri sendiri tetapi juga orang lain terutama keturunan yang menjadi tanggung jawab langsung seseorang. Kewajiban memelihara harta bukan saja agar harta terpelihara dari gangguan orang lain, tetapi juga jangan sampai mengganggu orang lain. Bahkan dalam mengelola harta harus dalam kerangka menjaga agama, memelihara jiwa dan juga memelihara keturunan agar mereka tidak termakan harta yang dilarang agama. Itulah tujuan hukum Islam, itu pula rahmat dan maslahah atau kebaikan yang harus diwujudkan. Maqâsid Sharî'ah bukan sebagai cita hukum Islam semata, tetapi sesuatu yang harus direalisasikan baik dalam norma maupun aplikasi setiap individu muslim. Setiap hal yang membahayakan kepada agama dan kehidupan beragama, membahayakan jiwa dan akal manusia, membahayakan generasi penerus kita dan membahayakan
harta,
harus
dicegah.
Pencegahan
dari
hal-hal
yang
membahayakan harus menjadi prioritas dari pada mengambil keuntungan, apabila pilihan itu ada dalam satu kesempatan. Pertimbangan baik buruk, untung dan rugi yang berkenaan dengan kehidupan sosial amat terkait dengan kondisi dan situasi serta waktu terjadinya suatu peristiwa. Suatu peristiwa mungkin saja positif dan kondusif pada masyarakat tertentu, tetapi membahayakan pada masyarakat lainnya. Suatu keadaan bisa saja menguntungkan pada keadaan tertentu, tetapi merugikan pada keadaan yang lain. Oleh karenanya penetapan hukum yang didasarkan pada kemaslahatan menjadi sangat terbuka terhadap perbedaan dan perubahan.
86
Perbedaan terjadi karena situasi dan kondisi yang berbeda disebabkan karena waktu maupun tempat. Tidak mengherankan karenanya bila perkawinan beda agama antara laki-laki muslim dengan perempuan kitâbîyah dilarang di Indonesia, tetapi dibolehkan di luar Indonesia. Apa yang dilakukan Majlis Ulama Indonesia dan apa yang disepakati pada saat perumusan Kompilasi Hukum Islam telah memenuhi syarat berijtihad berdasarkan maslahah, karena maslahah yang diambil merupakan maslahah negatif (menghindari kerusakan atau dâr al-Mafâsid) yang dibenarkan secara metodologi usul fiqh. Menurut Al-Ghazalî bahwa “suatu maslahah harus sejalan dengan tujuan shara’, walaupun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, sebab tujuan manusia itu tidak selamanya didasarkan pada kehendak shara’. Oleh karena itu, yang menjadi patokan dalam menentukan maslahah adalah kehendak dan tujuan shara’ bukan kehendak dan tujuan manusia. Dilihat dari aspek tujuan shara’ ini, maka antara yang dituju oleh ayat 5 surat al-Mâidah dengan apa yang ditentukan pasal 40 huruf C Kompilasi Hukum Islam dan ketetapan Majlis Ulama Indonesia (MUI) sejalan, walau secara harfiah dapat dinilai bertentangan. Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan, bahwa larangan perkawinan muslim dengan kitâbîyah yang ditetapkan oleh Majlis Ulama (MUI) Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menggunakan metode istimbat hukum maslahah. Sedangkan metode yang digunakan Shaikh Mahmûd Shaltût adalah sadd al-dharî’ah. Walaupun metode yang digunakan berbeda akan tetapi semuanya bermuara pada kaidah:
87
.Ï ِ /ِ5َ~َ /ْ اÍ ِ -ْ 3 َ iَ-} َ ٌمl' 7َ >ُ lِ ِ 5ََ /ْ َدرْأُا “Menolak kerusakan harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan”
88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan secara mendalam mengenai pemikiran Mahmûd Shaltût tentang perkawinan beda agama dalam kitab al-Fatâwâ, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Mahmûd Shaltût berpendapat bahwa perkawinan beda agama dalam segala bentuknya tidak diperbolehkan. Adapun dasar dan metode istimbat hukum Mahmûd Shaltût dalam menetapkan larangan perkawinan muslim dengan mushrikah dan perkawinan muslimah dengan non muslim adalah zâhirnya nass, yaitu surat al-Baqarah (2): 221 dan surat al-Mumtahanah (60): 10. Sedangkan mengenai perkawinan muslim dengan kitâbiyah, walaupun dalam surat al-Mâ'idah (5): 5 diperbolehkan, akan tetapi menurutnya perkawinan tersebut mengandung mafsadah sehingga dilarang. Adapun metode ijtihad yang digunakan dalam menetapkan hukum ini adalah sadd al-dharî'ah. 2. Pendapat dan argumentasi Mahmûd Shaltût dalam fatwanya mengenai perkawinan beda agama sangat relevan pada zaman sekarang, khususnya di Indonesia. Bukti kerelevanan pendapatnya adalah ketetapan Kompilasi
89
Hukum Islam (KHI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga melarang perkawinan beda agama dalam segala bentuknya.
B. Saran-Saran Sesuai dengan tema yang dibahas dalam skripsi ini, penulis ingin memberikan saran yang berkaitan dengan perkawinan beda agama yakni: 1. Kepada seluruh kaum muslimin, penulis menyarankan supaya ajaran Islam tetap dijadikan dasar untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan maupun perkara-perkara yang menyangkut agama. Pertimbangan lain jangan sampai mengalahkan pertimbangan agama dan hendaknya berpendirian bahwa nikah dengan non Islam adalah haram dalam rangka mencegah mafsadah. Selain itu alangkah baiknya setiap muslim tidak terlalu mudah memberikan "fatwa" halal atau haram dalam suatu perkara jika belum mempelajari masalahnya secara mendalam serta mengetahui dasar-dasarnya. 2. Kepada pemerintah, penulis menyarankan agar tegas menetapkan bahwa perkawinan beda agama dilarang, semisal yang dilakukan di catatan sipil. Sejalan dengan itu, pengadilan negeri jangan mengabulkan permohonan orang-orang yang berbeda agama terutama dari orang Islam untuk menikah. 3. Seseorang harus melepaskan diri dari fanatisme terhadap pendapatnya sendiri, sebab orang yang tidak dapat melepaskan dirinya dari fanatisme akan senantiasa mempertahankan pendapatnya sekalipun tahu pendapatnya salah dan lemah argumentasinya. Betatapapun terdapat perbedaan tentang persoalan
90
keagamaan, namun pada akhirnya kita dapat mentadabburi salah satu ayat dalam al-Qur'an yakni surat al-Taubah ayat 8-11, yang mana bisa menjadi pegangan dalam memberi gambaran siapa sebenarnya saudara-saudara seagama Islam itu.
91
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. Tafsîr al-Mannâr, Vol. 2. Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Abdul Mutaal Muhammad. Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1988. Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 2004. Al-Farmawi, Abd. al-Hayyi. Al-Bidâyah Fî Tafsîr al-Maudû'î. Maktabah: alMaufuzah, 1976. Al-Jauzîyah, Ibn Qoyyim. 'I'lâm al-Muwaqi'în, Vol. 3. Beirut: Dâr al-Jayl, 1973. Al-Jazîrî, Abd. al-Rahman. Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Madhâhib al-Ârba’ah, Vol. 4. Beirut: Dâr Fikr, 1995. Al-Jurjâwî, ‘Alî Ahmad. Hikmat al-Tashrî wa Falsafatuh, Vol. I. Beirut: Dâr al-Fikr, 1994. Al-Nawawî, Abî Zakariyyâ Muhy al-Dîn bin Saraf. Al-Majmû', Vol. 17. Beirut: Dâr al-Fikr, 2000. Al-Sâbûnî, Muhammad ‘Alî Rawâ’i’ al-Bayân Tafsîr âyât al-Ahkâm min al-Qur’ân, Vol. I. Makkah: Dâr al-Kutub al-Islâmîyah, tt. Al-Shâfi’î. Al-Umm, Vol. 5. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002. Al-Shatîbî. al-Muwâfaqât, Vol. 2. Makkah:Tp, tt. Al-Zuhaylî, Wahbah. al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, Vol. VII. Beirut: Dâr alFikr,1989. Aminuddin, Slamet Abidin. Fiqih Munakahat I. Bandung: Pustaka Setia, 1999. Arief, Abd. Salam. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta Dan Realita. Yogyakarta: Lesfi, 2003.
92
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta,2000. Asymuni, A. Yasin Keistimewaan, Fungsi dan Keindahan dalam Perkawinan. Kediri: Pon. Pes Hidayah al-Thullab, tt. Barkatullah, Abdul Halim. Hukum Islam Menjawab tantangan zaman yang terus berkembang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006,. Dawûd, Abî. Sunan Abî Dawûd, Vol. 2. Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Depag RI. Al-Qur'an Dan Terjemahnya. Semarang: CV. Asy-Sifa’, 1992. Depag RI, Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: tp, tt. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1995. Ensiklopedi Islam, Vol. 2. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993. Fakhr al-Dîn, Muhammad al-Râzî. Tafsîr al-Fakhr al-Râzî, Vol 2. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995. Hadi, Sutrisno. Metodologi Riserch 1. Yogyakarta: Gajah Mada, 1980. Halawi, Abdul Aziz. Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab. Terj. Zubeir Suryadi Abdullah. Surabaya: Risalah Gusti, 1999. Hamka. Tafsir al-Azhar,Vol 2. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983. Hazm, Ibn. al-Muhalla, Vol. 9. Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Jaiz, Hartono Ahmad. Menangkal Bahaya JIL dan FLA. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004. Karsayuda, M. Perkawinan Beda Agama. Yogyakarta: Total Media, 2006. Kathîr, Ibn. Tafsîr Ibn Kathîr Vol, 1. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1989. Khâlaf, Abd. Al-Wahâb. 'Ilm Usûl al-Fiqh. Kairo: Dâr al-Qalam, 1978. Khalid, Syaikh Hasan. Menikah dengan Non Muslim, terj. Zainal Abidin Syamsuddin. Jakarta: Pustaka al-Shofwa, 2004.
93
Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Surasin, 1996. Mudjib, Abdul. Al-Qawa’idul Fiqhiyyah. Yogyakara: Nur Cahaya, 1980. Mursi, Muhammad Sa’id. ‘udhmau al-Islâm, ter. Khoirul Amru Harapah. Jakarta: Pustaka al-Kaustar, 2007. Musbikin, Imam. Qawaidul Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Mustofa, Adib Bisri Terjemah Shahih Muslim. Semarang: CV. Asy-Sifa’ 1992. Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Nazir, Muh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998. Qardawi, Yusuf. Fatwa-Fatwa Kontemporer, Terj. As’ad Yasin, Jilid I. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. . Halal dan Haram Dalam Islam. Terj. Muammal Hamidi. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993. Qudâmah, Ibn. Al-Mughnî, Vol. 7. Beirut: Dâr al-Fikr, 1984. Rasyid, Hamdan. Fiqih Indonesia, Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual. Jakarta: AlMawardi Prima, 2003. Ridâ, Rashîd. Tafsîr al-Manâr, Vol. 6. Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Rushd, Ibn. Bidâyat al-Mujtahid wa nihâyat al-Muqtasid, Vol 2. Beirut: Dâr ibn ‘Assâsah, 2005. Sâbiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Vol. 2. Beirut: Dâr al-Fikr, 1992. . Fiqih Sunnah, Jilid 6. Terj. Kamaluddin A. Marzuki. Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980. Shaltût, Mahmûd. Al-Islâm Aqîdah wa Sharî’ah. Kairo: Dâr al-Qalam, 1966. . Al-Fatâwâ. Kairo: Dâr al-Qalam, tt. Shihab, Quraish. Al-Misbah, Vol. 1. Jakarta: Lentera Hati, 2000. . Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1997.
94
Sucipta, Heri. Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qordhawi. Bandung: PT Mizan Publika, 2003. Sukarjo, Ahmad. Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam Dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, tt. . Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, tt. Syafei, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Setia, 1990. Taymîyah, Ibn. Al-Fatâwâ al-Kubra, Vol. 1. Beirut: Dâr al-Fikr, 1993. Thayib, Anshari. Struktur Rumah Tangga Muslim. Yogyakarta: Risalah Gusti, tt. Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Surabaya: Arikola, tt. Utsman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Jakarta: CV. Haji Masagung, 1991.