BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan lingkungan merupakan permasalahan yang bersifat global sekaligus aktual.
Dikatakan bersifat global karena efek yang ditimbulkan akibat
kerusakan
lingkungan menjadi keprihatinan bersama seluruh manusia, melampaui batas-batas wilayah suatu daerah maupun negara. Dampak negatif pengrusakan hutan akibat penggundulan maupun pembakaran hutan tidak hanya dirasakan secara langsung oleh masyarakat lokal yang berada di dalam maupun sekitar kawasan hutan, melainkan dapat meluas ke skala nasional, regional bahkan internasional. Asap beracun akibat pembakaran hutan dapat menggagu pernapasan maupun penglihatan warga yang tinggal di kawasan maupun sekitar hutan. Hak warga untuk mendapat udara segar, bersih dan sehat semakin sulit diperoleh. Secara ekonomi pembakaran hutan di Indonesia mengakibatkan kerugian yang besar. Lucca Taconi mengkalkulasi kerugian akibat pembakaran hutan : Dampak kebakaran hutan pada tahun 1997/1998 menimbulkan degradasi dan deforestasi menelan biaya sekitar 1, 62 -2,7 Miliar dolar. Biaya akibat pencemaran kabut asap siktar 674-799 juta dolar; biaya ini kemungkinan lebih tinggi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia.Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon menunjukkan bahwa kemungkinan biayanya mencapai 2, 8 Milliar Dolar (Taconi,2003:V). Pembakaran hutan seringkali diikuti dengan pengalihfungsian hutan menjadi ladang ataupun lahan pertanian yang hasilnya terkadang hanya dinikmati oleh sekelompok orang tertentu. Ketidakadilan terjadi karena masyarakat banyak yang menanggung resiko tidak memperoleh kompensasi setelah terjadi alih fungsi lahan. Pengrusakan hutan bukan sekedar bencana kemanusiaan, tetapi sekaligus bencana bagi kehidupan alam semesta. Dampak negatif pengrusakan hutan tidak hanya dirasakan oleh manusia, tetapi juga binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Merusak hutan bukan 1
sekedar menghilangkan sejumlah pepohonan, melainkan merupakan ancaman serius bagi keselamatan ekosistem. Keanekaragaman hayati
akan menyusut secara drastis bersama
dengan musnahnya pepohonan. Penyusutan keanekaragaman hayati menurut hasil penelitian Ngakan dkk dapat membuat masyarakat adat yang hidupnya bergantung pada sumber daya hutan menjadi semakin menderita. Studi kasus di dusun Pompli Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan menemukan ketergantungan masyarakat terhadap hasil sumber hayati hutan berupa berupa kayu, rotan, udang, ikan, sayuran dan obat-obatan tinggi (Ngakan, dkk, 2006:8). Pihak yang menjadi kurban akibat penyusutan keanekaragaman hanyati bukan hanya manusia, karena keanekaragaman hayati hutan memiliki multi-fungsi bagi kelestarian ekosistem. Hutan merupakan penyangga kelestarian ekosistem berfungsi sebagai sarana penyedia sumber air dan kebutuhan nyata penduduk, penyedia tanaman obat, sumber penyedia genetik, regulasi iklim, pencegah bencana alam, dan
penjaga keseimbangan
ekosistem. Gangguan terhadap salah satu unsur yang terdapat dalam sebuah sistem dapat merusak kinerja seluruh sistem yang ada. Moralitas lingkungan hendaknya tidak hanya memikirkan dampak negatif perbuatan manusia terhadap sesama, tetapi juga bagi keseluruhan ekosistem. Permasalahan lingkungan juga bersifat aktual hal ini dapat dilihat dari aktivitas pengrusakan hutan yang terjadi pada saat ini benar-benar ada, masih terus berlangsung bahkan cenderung mengalami peningkatan secara kwantitatif maupun kwalitatif. Negara Indonesia yang sebelumnya sangat kaya akan sumber daya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya mengalami ancaman pengrusakan hutan serius. Forest Watch Indonesia (2000) mengatakan, hutan di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia, meskipun luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di
2
permukaan bumi namun sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Kekayaan hayati ini meliputi 11 persen spesies tumbuhan di dunia, 10 persen spesies mamalia dan 16 persen spesies burung di dunia. Hutan tropis merupakan ekosistem daratan terkaya di bumi ini (Yuda, 2009:11-12). Komunitas internasional mengakui Indonesia termasuk salah satu diantara 7 negara yang memiliki megabiodiversitas. Kekayaan sumber daya hutan di Indonesia tidak dapat terjaga kelestariannya, karena aktivitas pengrusakan hutan terus mengalami peningkatan hampir di seluruh propinsi. Sejumlah laporan menyebutkan sekitar 1,6 juta sampai 2,4 juta ha hutan di Indonesia hilang setiap tahunnya atau setara dengan luas enam kali lapangan bola setiap menitnya. Sebelum tahun 1987, laju degradasi hutan dan lahan tercatat sebesar 900.000 ha per tahun. Pada periode 10 tahun berikutnya, tahun 1987 sampai tahun 1997, laju degradasi hutan dan lahan meningkat menjadi 1,6 juta ha per tahun. Pada periode tahun 1997 sampai tahun 2000, angka ini secara drastis meningkat menjadi 3,8 juta ha per tahun (BAPLAN-JICA, 2003:1). Penelitian yang dilakukan Forest Watch Indonesia (2009) menemukan dalam kurun waktu 60 tahun luas hutan Indonesia berkurang dari 162 juta ha menjadi hanya 88, 17 juta ha atau mengalami penyusutan sekitar 46,3 persen. Kecenderungan pengrusakan hutan masih terus berlangsung di Indonesia. Dinamika laju deforestasi digambarkan sebagi berikut:
3
Kalangan pemerhati lingkungan memprediksikan dalam 5-10 tahun mendatang apabila kondisi semacam itu berlangsung secara terus menerus maka hutan di Indonesia bakal punah. Sebagian masyarakat Indonesia ada yang memiliki harapan dengan pergantian orde baru ke orde reformasi akan membawa perubahan tata kehidupan pemerintahan menuju ke kondisi yang lebih baik. Era reformasi yang diharapkan dapat menjadi jembatan emas menuju pemerintahan baru yang lebih berpihak terhadap kelestarian lingkungan ternyata 4
masih berjalan dengan setengah hati. Kebijakan di sektor kehutanan masih lebih banyak berpihak pada kepentingan penguasa dan pemilik modal, dibandingkan pada kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Fenomena kekurang berpihakan pemerintah terhadap kelestarian hutan dan kesejahteraan rakyat terutama kaum perempuan dapat dilihat dari produk hukum yang dihasilkan. Kebijakan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008 yang berisi tentang
jenis tarif atas penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari
penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi perempuan maupun rakyat kecil yang hidupnya bergantung pada hutan. PP No. 2 / 2008 memungkinkan perusahaan tambang semakin leluasa mengubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar hanya dengan membayar sewa Rp. 1, 8 juta hingga Rp. 3 juta perhektarnya. Para pengusaha dapat menyewa hutan lindung untuk kepentingan bisnis hanya dengan mengeluarkan uang Rp. 120 sampai 300 permeter persegi per tahun. Kebijakan pemerintah yang semula bertujuan baik untuk menggerakan sektor bisnis, namun karena dilakukan dengan cara menghargai rendah terhadap potensi sumber daya hutan memunculkan dampak negatif terhadap kelestarian hutan serta merugikan perempuan. Perempuan yang tinggal disekitar kawasan hutan akan mengalami pembatasan akses dan kontrol dalam pengelolaan sumberdaya hutan ketika industri ekstraktif diberi peluang untuk menguasai dan mengeksploitasi hutan. Perempuan tidak dapat lagi memungut hasil hutan seperti rotan, kayu bahkan
berbagai
tanaman
obat
yang
penting
bagi
keberlanjutan
hidup
beliti.wordpress.com/2008/03/10/ solidaritas –perempuan-desak-cabut-pp-no2-2008).
5
(http//
Perubahan kebijakan politik tanpa diikuti dengan perubahan mentalitas aparatur ternyata tidak membawa perubahan signifikan terhadap kehidupan masyarakat maupun lingkungan. Kebijakan otonomi daerah di era reformasi
yang diharapkan dapat lebih
mensejahterakan masyarakat sampai ke wilayah terpencil dan memberi keleluasaan bagi daerah untuk menjaga kelestarian sumber daya alam dalam implementasinya ternyata tidak lebih baik dari sistem sentralistik, karena seringkali disalahartikan. Otonomi daerah tidak membuat lingkungan semakin bertambah asri dan lestari melainkan justru dijadikan kesempatan bagi para pejabat daerah berlomba-lomba mengeksploitasi sumber daya alam untuk meningkatkan pendapatan daerah. Perubahan kebijakan ternyata tidak diikuti dengan pengambilan langkah-langkah strategis pengembangan kesadaran moral aparatur pemerintah yang berpihak terhadap kelesetarian lingkungan dan nasib perempuan. Otonomi daerah tidak berjalan secara beriringan dengan peningkatan kesadaran moral masyarakat di tingkat lokal dalam mengembangkan relasi yang harmoni dengan lingkungan dan berkomitmen adil terhadap sesama. Pemerintah daerah seakan-akan menjadi raja-raja kecil yang merasa berhak memanfaatkan hasil hutan di wilayahnya secara besar-besaran, sehingga kurang memikirkan kelestarian hutan, merugikan sesama maupun nasib generasi mendatang. Di era desentralisasi pemerintah daerah terkadang mengambil kebijakan mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan . Aksi pembiaran pengrusakan hutan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun aparat daerah yang berlangsung secara sistematis dan terus menerus dapat mengakibatkan kerugian besar bagi generasi mendatang maupun kelestarian lingkungan. Pengrusakan hutan yang semakin marak terjadi dibeberapa daerah semakin menggerus peradaban dan kemanusiaan sekaligus merusak jaring-jaring keutuhan ekosistem.
6
Menurut Shiva dan
Warren perempuan yang tinggal di negara-negara berkembang merupakan pihak yang paling banyak dirugikan dari adanya pengrusakan hutan sebab ketergantungan perempuan terhadap sumber daya
alam sangat kuat. Kaum perempuan semakin bertambah miskin karena
kehilangan sumber penghasilan dan penghidupannya (Warren,1996:IX –XX, Shiva , 1997:7). Perempuan semakin sulit mengatur keuangan untuk mensejahterakan anggota keluarga. Shiva dan Warren
berpendapat akar masalah yang menjadi penyebab krisis
lingkungan dan penindasan perempuan adalah sistem kapitalisme-patriarkhi. Kapitalismepatriarkhi cenderung bersikap ekploitatif terhadap alam dan kurang peduli terhadap nasib perempuan. Kapitalisme-patriarkhi tidak hanya merusak alam tetapi sekaligus merampas hak-hak perempuan. Kedua filsof ekofeminis tersebut mengembangkan pemikiran kritis terhadap pola pemikiran kapitalisme-patriarkhi yang menjadi akar penyebab utama penindasan terhadap alam dan perempuan (Shiva, 1997:52-53; Warren, 1996:21-23). Keduanya
berusaha mendekonstruksikan
pemikiran kapitalisme-patriarkhi
kemudian
berusaha merumuskan visi baru pengembangan etika lingkungan yang lebih berpihak pada kelestarian lingkungan dan berkeadilan gender. Kritik terhadap sistem kapitalisme patriarkhi dan usaha untuk merumuskan konsep keadilan gender yang berwawasan ekologis merupakan permasalahan fundamental yang menarik untuk diteliti secara mendalam. Shiva adalah filsuf ekofeminis yang lahir di India pada tanggal 5 November 1952, sedangkan Warren lahir di Amerika Serikat pada tanggal 10 September 1947. Penekanan pemikiran etika ekofeminis kedua filsof tersebut berbeda. Shiva lebih banyak memberi analisis dari perspektif ekologi, sedangkan Warren lebih banyak memberi perhatian pada perspektif feminis; pemikiran Shiva yang berasal dari India lebih banyak mengungkap
7
pengalaman dari sisi kurban yang menderita akibat penindasan sistem kapitalisme patriarkhi, Warren filsof yang berasal dari Amerika lebih banyak mengkritisi terhadap kerangka konseptual patriarkhi masyarakat Barat yang sering dituduh menjadi akar sekaligus alat penindasan. Visi ekologi dan perjuangan pembelaan keadilan gender yang ditawarkan Shiva dan Warren menarik untuk diteliti, diungkap, digali, dikritisi secara kelebihan maupun kekurangannya,
serta diimplementasikan secara
lebih mendalam sisi kontekstual dalam
kehidupan masyarakat desa Beji kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul. Desa Beji menarik dijadikan studi kasus mengkontekstualisasikan pemikiran Shiva dan Warren karena disatu sisi ada kesamaan visi disisi lain memiliki kekhasan. Figur pemimpin dan kultur masyarakat menjadikan filosofi yang dikembangkan berbeda dengan yang lain. Desa Beji sejak tahun 2003 -2013 dipimpin oleh seorang kepala desa
berjenis
kelamin perempuan bernama Sulastri. Berkat kemampuan bekerjasama dengan warga dan tokoh tokoh masyarakat, desa Beji pernah memperoleh berbagai penghargaan di bidang pelestarian lingkungan. Ketrampilan mengembangkan jaring-jaring kerjasama sebagai salah satu ciri khas pola pikir ekofeminis (Primavesi, 1991:7-14) mengantar pemangku hutan adat Wonosadi
bernama Sudiyo memperoleh 6 kali penghargaan Keanekaragaman Hayati
(Kehati Award) kategori Prakarsa Lestari, tahun 2000 mendapat penghargaan Kalpataru dan terakhir pada tanggal 17 Agustus 2009 memperoleh penghargaan dari presiden Susilo Bambang Yudoyono di Istana Negara (Sartini, 2009: 23). Visi kepemimpinan ekofeminis dalam menjaga kelestarian hutan Wonosadi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa Beji menarik untuk diteliti secara mendalam.
8
Warga desa Beji mampu mengembangkan relasi sinergi antara kepentingan ekonomi, budaya dan ekologi. Budaya dijadikan landasan untuk mengembangkan relasi yang lebih bermartabat dengan sesama maupun dengan alam. Ritual sadranan hutan Wonosadi dilaksanakan secara rutin setiap tahun sebagai sarana perekat kohesi sosial sekaligus mengingatkan kembali akan nilai kesucian alam. Penempatan ekspresi budaya dijadikan strategi untuk mengetuk hati supaya warga lebih peduli terhadap sesama dan alam menarik untuk diungkap secara lebih mendalam. Warga desa Beji tidak mempergunakan kemiskinan sebagai alasan pembenar untuk merusak hutan Wonosadi. Dilihat dari sisi ekonomi, tingkat penghasilan penduduk desa Beji rata-rata masuk dalam kategori miskin karena hanya sebesar Rp 722.000,00 per bulan (Ganasari, 2011:XV), meskipun demikian kesadaran melestarikan hutan Wonosadi sangat tinggi. Integritas moral untuk tetap setia melestarikan hutan ditengah tuntutan kebutuhan ekonomi yang tinggi merupakan kebiasaan hidup langka yang jarang dijumpai ditempat lain.Asumsi para kapitalis kemiskinan merupakan faktor utama penyebab pengrusakan hutan tidak berlaku dalam kehidupan masyarakat desa Beji. Filosofi yang melatarbelakangi masyarakat desa Beji sehingga mampu mengendalikan diri terhadap godaan pola pikir kapitalisme untuk mengekploitasi hutan Wonosadi demi memenuhi kepentingan ekonomi menarik untuk diungkap secara lebih mendalam. Ide-ide besar yang bernilai luhur terkadang dapat muncul dari proses pembelajaran kehidupan masyarakat kecil. Masyarakat desa seringkali memiliki kearifan dalam menjaga relasi harmoni dengan sesama maupun dengan alam
yang dipertahankan secara turun
temurun. Pola pikir, cara pandang, sikap maupun perilaku masyarakat desa Beji yang arif pada saat berelasi dengan sesama maupun dengan hutan dapat menjadi sumber pengetahuan
9
yang berharga bagi pengembangan etika lingkungan maupun kebijakan pengelolaan lingkungan di Indonesia. B. Rumusan Masalah 1. Kerusakan lingkungan dan penindasan terhadap perempuan tidak dapat dihentikan tanpa ada upaya untuk meninggalkan sistem kapitalisme-patriarkhi, menciptakan pola relasi yang lebih berkeadilan serta mengembangkan etika kepedulian. Dekonstruksi terhadap pola pikir, cara pandang maupun praktek kapitalisme-patriarkhi yang didukung oleh pengembangan sikap moral peduli merupakan sarana untuk mewujudkan keadilan gender dan kelestarian hutan. Bagaimana kritik Warren dan Shiva terhadap sistem kapitalismepatriarkhi, pengembangan pola relasi yang lebih berkeadilan, serta konsep etika kepedulian yang ditawarkan untuk mengatasi krisis lingkungan ? 2. Prinsip-prinsip etis apa saja yang perlu dikembangkan oleh Shiva, Warren, maupun masyarakat desa Beji dalam upaya membangun relasi antara manusia dengan sesama maupun dengan alam supaya dapat mewujudkan keadilan gender dan kelestarian hutan? 3. Apakah kelemahan dan kelebihan
pemikiran ekofeminis Shiva, Warren, maupun
masyarakat desa Beji dalam memandang relasi antara manusia dengan sesama maupun dengan alam? 4. Seberapa jauh pemikiran etika ekofemenis Shiva, Warren maupun masyarakat desa Beji dapat mengembangan visi baru bagi pengembangan etika lingkungan di Indonesia? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Mengeksplisitkan, mensistematisasikan , dan komprehensif
merumuskan secara lebih jelas
kritik Shiva dan Warren terhadap
sistem kapitalisme patriarkhi,
pengembangan konsep keadilan maupun etika kepedulian. 10
b. Mengevaluasi secara kritis kekuatan dan kelemahan pandangan etika ekofeminis Shiva, Warren maupun masyarakat desa Beji. c. Mengimplementasikan dan mengkontekstualisasikan pemikiran etika kepedulian, konsep keadilan dan kritik
Shiva dan Warren terhadap sistem kapitalisme patriarkhi
dengan kondisi yang terjadi di masyarakat desa Beji kecamatan Ngawen kabupaten Gunung Kidul dalam melestarikan hutan Wonosadi d. Hasil
analisis
komparatif
pandangan
ekofeminis
Shiva dan Warren setelah
diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat desa Beji diharapkan dapat menemukan visi, inspirasi dan interpretasi baru bagi pengembangan etika ekofeminisme di Indonesia. 2. Manfaat Hasil Penelitian a. Pemikiran di bidang etika lingkungan yang berkembang di masyarakat selama ini lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran etika hasil konstruksi rasional laki-laki. Cara pandang perempuan dalam menyelesaikan persoalan etika diharapkan dapat memberi manfaat untuk memperkaya sekaligus mengimbangi dominasi cara pandang etika hasil konstruksi pemikiran laki-laki. b. Pemahaman yang lebih jelas terhadap permasalahan ekofeminisme ditambah wawasan luas tentang prinsip-prinsip etis relasi antara manusia dengan lingkungannya dari perpektif pemikiran ekofeminis Shiva dan Warren bermanfaat untuk mengembangkan sekaligus memperkaya pengetahuan di bidang etika lingkungan. Shiva dan Warren banyak membahas permasalahan etika yang terjadi di masyarakat. Berbagai persoalan moral aktual yang berdampak negatif terhadap nasib perempuan dan alam dianalisis secara kritis, rasional dan mendalam sampai menemukan akar permasalahan. Etika
11
sebagai ilmu kritis menjadi semakin mampu berpartisipasi aktif memberikan pertimbangan terhadap masalah hidup dan kehidupan yang lebih manusiawi. c. Manfaat bagi kepentingan masyarakat, melalui pemahaman yang benar tentang relasi antara manusia dengan lingkungan diharapkan dapat menggugah kesadaran moral masyarakat sehingga dapat berperilaku secara benar sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki dan memiliki rasa hormat terhadap alam maupun sesama. d. Manfaat bagi kepentingan negara, kesepakatan-kesepakatan etis yang ditawarkan oleh Shiva dan Warren dapat membantu memberikan sumber bahan dan sumber nilai bagi pemerintah pada saat hendak merumuskan berbagai kebijakan di bidang lingkungan yang lebih berwawasan ekologis dan berkeadilan gender. Pertimbangan etis yang ditawarkan pemikiran ekofeminis diharapkan dapat menjadi rambu-rambu penyusunan suatu kebijakan yang lebih manusiawi. D. Keaslian Penelitian Penelitian ini mempunyai keaslian dalam artian sepanjang pengamatan peneliti belum ada penelitian kefilsafatan yang secara khusus berusaha merekonstruksikan pemikiran etika ekofeminis Shiva dan Warren secara mendalam kemudian diimplementasikan dalam pengembangan etika lingkungan di Indonesia dengan mengambil studi kasus masyarakat desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul. Kajian pemikiran Ekofeminisme terkait dengan pemikiran Warren maupun Shiva sudah terselib dalam beberapa pustaka sebagai berikut: Tabel 1. Penelitian ekofeminis terdahulu Penulis
Judul
Ahmad Sururi (2007)
Ekofeminisme Lingkungan
Media Publikasi & Skripsi Hidup Fakultas
12
Hasil temuan
Sarjana Kajian
Pemikiran
Ushuludin Vandana Shiva yang
dalam
Pandangan UIN Sunan Kalijaga
Vandana Shiva
masih bersifat umum, sehingga masih perlu didalami lagi
Cahaya
Sarjana Kajian
Khaeron Konsep Ekofeminisme Skripsi
(2009)
Vandana
transformasi
dan Fakultas Tarbiyah UIN kesadaran ekofeminis
Shiva
me Shiva
kedalam
Pengembangan
pendidikan
agama
Paradigma Pendidikan
Islam
pada Sunan Kalijaga
Implikasinya
Agama Islam Inklusif Rosemarie
Putnam Ekofeminisme
Feminist Gagasan
Buku
Tong (2006)
Pengantar Shiva & Warren masih
Thought Paling
Pemikiran
Komprehensif bersifat umum, perlu
Kepada Arus Utama didalami lagi Pemikiran Feminis Charlene
Spretnak Sumbangan Kritis dan Buku Agama, Filsafat Penjelasan
(2003)
Eko- & Lingkungan
Kontruktif
tetang
ekofeminisme
masih
bersifat
Feminisme
umum,
sehingga masih perlu didalami lagi Keraf (2006)
Ekofeminisme
Buku Lingkungan
Rita Lestari (2009)
Citra
Wanita
Karya
dalam Tesis S2 : UGM
Sastra
Etika Uraian Umum tentang teori Ekofeminisme Ilmu Satra Teori
Ekofeminis
digunakan
untuk
Tinjauan kritik sastra
landasan menganalisis
ekofeminis
karya sastra cerpen
terhadap
kumpulan
cerpen
Jiwaku Adalah Wanita karya Azimah Rahayu Ahmad Sururi (2010)
Pemikiran Ekofeminis Tesis S2 Ilmu Filsafat Inventarisasi Perspektif UGM
Dalam Etika
Lingkungan:
Relevansinya
Bagi
pemetaan
13
beberapa
pemikiran ekofeminis, pemikiran Warren dan Shiva
Pelestarian
&
masih
perlu
Lingkungan
Di
didalami
Indonesia
Para ilmuwan maupun filsof sudah berusaha membahas pemikiran ekofeminisme, namun uraian khusus membahas dimensi etis relasi antara manusia dengan sesama dan dengan hutan dari perspektif pemikiran ekofeminis Shiva dan Warren masih sangat singkat dan lebih banyak memberi pemahaman
bersifat umum. Kritiknya terhadap sistem
kapitalisme-patriarkhi serta pengembangan konsep keadilan gender yang berwawasan ekologis
masih perlu diteliti secara lebih rinci, mendalam dan holistik supaya dapat
menyentuh dimensi integralitas, radikalitas dan komprehensivitas. Penelitian yang membahas kearifan lokal masyarakat desa Beji dalam melestarikan hutan Wonosadi sudah pernah dilakukan oleh beberapa ilmuwan maupun filsof sebagai berikut : Tebel 2. Penelitian hutan Wonosadi terdahulu Nama/th
Judul
Metode
Sumintarsih
Kearifan
(2005)
Masyarakat
Tradisional Penelitian
Dalam
Pedesaan dengan Pemeliharaan melakukan
Lingkungan
Temuan lapangan Hasil
kajian
cara deskriptif observasi antropologi
Alam partisipatif
Kabupaten Gunung Kidul
tentang
kearifan
lokal
masyarakat desa Beji
DIY Bernadus
Kajian
Wibowo
tentang Sosial Forestry di pustaka dan lapangan pemberdayaan
suliantoro
kabupaten Gunung Kidul
dan
ekofeminisme Kombinasi penelitian Hasil
Caritas
kajian
dengan menggunakan perempuan Analisis Juristik-Etis
Woro (2006)
adanya
dengan kebijakan
social forestry
Bernadus
Potensi
Kearifan
Lokal Kombinasi penelitian Hasil kajian hukum
Wibowo
Masyarakat Adat Desa Beji pustaka dan lapangan adat tentang kearifan 14
suliantoro dan
Caritas Gunung
Woro (2008)
Ngawen dengan menggunakan lokal
Kecamatan
Dalam metode Survei
Kidul
masyarakat
desa Beji
Melestarikan Hutan Adat Wonosadi
Sartini
Kearifan Ekologis Sebagai Kombinasi penelitian Hasil kajian filsafat
(2009)
Implementasi
Pandangan pustaka dan lapangan lingkungan
Organistik Holistik (Studi dengan menggunakan pada kasus
Masyarakat
Adat
Wonosadi
hutan analisis hermenutika Ngawen
fokus filsafat
organisme Whitehead
Gunung Kidul Bernadus
Konsep
Ekofeminisme Riset partisipatoris di Hasil
Wibowo
dalam Tradisi Budaya Jawa desa Beji
Pendahuluan konsep
Suliantoro
Sebagai dasar Pengelolaan
ekofeminisme
(2010)
Hutan Lestari
Umum
Agus
Model Pengelolaan Hutan Kombinasi penelitian Hasil kajian berupa
Sudaryanto,
Wonosadi
Hisyam
Kecamatan
Makmuri
Kabupaten Gunung Kidul
Desa
Kajian
Beji pustaka dan lapangan model
pengelolaan
Ngawen dengan menggunakan hutan Wonosadi dari
(2010)
Analisis
yuridis- sisi hukum adat
empiris
Ahsan
Kearifan
Lingkungan Wawancara mendalam Hasil
Nurhadi
Dalam
(2011)
Pengelolaan
Perencanaan
Kajian
dan dan observasi partisipa sosiologis Hutan tif
belakang
Wonosadi di Desa Beji
munculnya
Kecamatan
kesadaran
Ngawen,
Kabupaten Gunung Kidul
melastraikan
latar historis
hutan
Wonosadi. Dian Octatry Kajian Pelestarian Hutan metode Ganasari
Wonosadi dengan Pendekat kebijakan
(2011)
an
Analytical
Process
Hierarcy Hierarchy (AHP)
analisis Hasil
ilmu
Analytical kehutanan
tentang
Process pembagian
tugas
dalam hal pelestarian hutan
15
kajian
secara
bertingkat
antara
masyarakat, pemerintah dan dinas kehutanan Al
Ajiiz Peran
(2012)
Serta
Terhadap
Masyarakat Metode Survei
Hasil kajian peran
Konservasi
serta
masyarakat
Sumber Daya Alam Hutan
yang bersifat umum
Adat Wonosadi Di Dusun
tanpa
Duren Kecamatan Ngawen
ekofeminis
analisis
Kabupaten Gunung Kidul Dwi Herniti Analisis (2012)
Sekuestrasi plot bersarang (Nested Hutan
Karbondioksida Dengan
(CO
Di
Wonosadi
Desa
Kecamatan
2) Plot)/ Releve Methode membantu
Pendekatan
Biomassa
Wonosadi
pemerintah
Hutan
mengurangi dampak
Beji
pencemaran
Ngawen
Kabupaten Gunung Kidul
lingkungan
dan
pemanasan
global
akibat dari adanya karbondiosida
(CO
2) Penelitian terdahulu
belum ada yang
menggunakan kerangka pemikiran tokoh
ekofeminis Shiva maupun Warren secara mendalam untuk mengungkap kearifan lokal masyarakat desa Beji dalam melestarikan hutan Wonosadi, sehingga kajian etika lingkungan masih diperlukan . E. Tinjauan Pustaka Terminologi ekofeminisme pertama kali dilontarkan pada tahun 1974 oleh filsuf feminis yang berasal dari perancis bernama Francois d’ Eaubonne dalam bukunya yang berjudul
Le Feminisme ou La Mort. Melalui bukunya ini, Francoise d’ Eaubonne
16
menggugah kesadaran manusia, khususnya kaum perempuan, akan potensi perempuan untuk melakukan sebuah revolusi ekologis menyelamatkan lingkungan hidup (Keraf, 2006:124). Ekofeminisme merupakan gerakan feminis yang melakukan protes terhadap segala bentuk aktivitas yang merusak lingkungan. Ekofeminisme menurut Shiva merupakan gerakan yang diidentifikasikan dengan kaum perempuan yang memiliki tugas khusus yang harus dilakukan dalam masa-masa menyakitkan akibat kerusakan alam (Shiva dan Mies, 2005:15). Pemahaman tentang tugas khusus perempuan untuk memulihkan dan melestarikan lingkungan menjadi perdebatan kefilsafatan. Kedekatan perempuan dengan tindakan pelestarian alam memunculkan persepsi hanya perempuan yang memimiliki tugas melestarikan alam. Permasalahan menarik untuk didalami lebih lanjut adalah tentang relasi antara manusia dengan alam. Ynestra King ekofeminisme
terdapat
pemikiran yang
perempuan dengan alam (hutan),
memiliki pandangan
dari perpektif
berusaha memisahkan relasi eklusif antara
ada yang berusaha menegaskan kembali pentingnya
hubungan antara perempuan dengan alam, adapula yang memanfaatkan sebagian posisi strategis perempuan untuk menciptakan jenis kebudayaan dan politik yang berbeda (Tong, 2006:368). Tong memasukkan pemikiran Warren dalam aliran yang mendukung penghilangan penekanan hubungan alam dengan perempuan; Shiva lebih banyak menekankan kehidupan perempuan yang lebih dekat dengan alam dapat menjadi alternatif model untuk melestarikan lingkungan (Tong, 2006:384-392). Pemaparan Tong masih bersifat umum, perlu dikritisi dan diperdalam lebih lebih lanjut dasar-dasar filosofis yang melatar belakangi pemikirannya. Melekatkan kedekatan perempuan dengan alam sebagai bawaan kodrati perempuan dapat disalah gunakan untuk ”menyajung” sekaligus ”menindas” perempuan (Arivia, 2006:382).
17
Shiva dan Warren hendak mengembangkan sistem etika yang memiliki visi antropologi berkeadilan gender serta berkepeduli besar terhadap kelestarian lingkungan. Pemikiran etika lingkungannya lebih dari sekedar teori dan gerakan etika mendobrak etika antroposentrisme yang mengutamakan manusia dari pada alam, melainkan sekaligus melawan model pendekatan androsentrisme yaitu teori etika yang berpusat pada laki-laki. Dominasi laki-laki terhadap alam dan perempuan dipandang sebagai penyebab utama terjadinya krisis ekologi. Dominasi menjadi awal mula terjadinya tindak ekploitasi. Krisis ekologi sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang dan perilaku androsentris
yang
berparadigma mengutamakan dominasi, manipulasi dan eksploitasi terhadap alam. Pemahaman secara mendalam terhadap kerangka konseptual yang melatarbelakangi cara pandang androsentrisme diperlukan untuk mengungkap akar permasalah krisis lingkungan. Warren memiliki pandangan tentang kerangka konseptual androsentrisme yang menindas memiliki tiga ciri utama :a) berpikir tentang “nilai-secara-hirarkhi” yang menempatkan nilai dan status yang lebih tinggi pada pihak yang dianggap lebih tinggi; b) dualisme nilai yang melakukan penilaian moral dalam kerangka dualistis (laki-laki dilawankan dengan perempuan, manusia dilawankan dengan alam) dengan cara memberi nilai lebih tinggi terhadap pihak satu sambil merendahkan pihak lain; c) logika dominasi yaitu struktur dan cara berpikir cenderung membenarkan dominasi dan subordinasi ( Keraf, 2006:130). Tiga ciri utama tersebut di atas diperparah dengan penggunaan bahasa sehari-hari yang menyimbolkan perempuan diidentikan dengan binatang ataupun unsur-unsur alam. Bahasa terkadang dijadikan instrumen untuk membenarkan dan melanggengkan dominasi penindasan. Pendekatan androsentrisme cenderung merugikan perempuan dan merusak
18
lingkungan karena perempuan telah ”dinaturalisasi” (natural = alamiah) dan alam telah ”difeminisasi”. Menurut pandangan Warren
perempuan ”dinaturalisasi” ketika mereka
disimbolkan dengan menggunakan acuan binatang, misalnya : ”ayam”, ”sapi”, ”ular”. Demikian pula alam ”difeminisasi” ketika ”ia menjadi objek” yang diperkosa, dikuasai, ditaklukkan ,dikendalikan, dipenetrasi, dikalahkan, dieksploitasi oleh laki-laki. Laki-laki adalah tuan dari alam maka seluruh isi alam berada didalam kendalinya (Tong, 2006:360). Pandangan Keraf dan Tong terkait dengan kerangka konseptual sistem kapitalisme patriarkhi yang dapat mengakibatkan terjadinya penindasan terhadap alam dan perempuan perlu diungkap secara lebih mendalam asumsi-asumsi yang mendasar dan dasar argumentasi rasionalistasnya.Kapitalisme-patriarkhi dapat bertahan lama karena didukung oleh argumentasi ilmiah dan logika pembenaran yang masuk akal (Warren, 2000:48-51; Shiva,1997: 20, 30-38). Penelitian ini hendak menunjukkan ketidakmemadaian sistem kapitalisme-patriarkhi pada saat hendak dijadikan parameter bagi pengembangan etika sosial maupun etika lingkungan. Warren dan Shiva berusaha mengkritisi fenomena kerusakan lingkungan disebabkan oleh dominasi perebutan dan penyebaran kekuasaan yang
tidak seimbang. Perebutan
dominasi kekuasaan berlangsung disegala aspek kehidupan manusia baik itu lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, dijalan maupun di negara. Ketidakadilan terjadi dalam ranah keluarga, masyarakat, maupun negara karena perbedaan selalu ditafsirkan dan dimaknai berdasarkan pola pikir kelompok dominan yang berkuasa ( Connell, 1987:119134). Logika dominasi kekuasaan dapat menimbulkan kerusakan alam dan kerugian besar bagi perempuan. Pemikiran ekofeminisme berusaha menggugah kesadaran manusia untuk
19
melakukan revolusi ekologis guna menyelamatkan lingkungan dan mewujudkan keadilan sosial berkesataraan gender. Perjuangan mewujudkan lingkungan lestari serta tata kehidupan yang lebih adil tidak mudah, karena paradigma androsentrisme mengakar dan mendapat legitimasi dalam suatu kebudayaan. Para filsof kebudayaan berusaha mencari akar penyebab munculnya persepsi yang menilai rendah terhadap derajar perempuan menemukan jawaban yang paling masuk akal yang menyangkut kealamian (nature) perempuan. Alasan yang mendasari argumentasi tersebut berasal dari anggapan bahwa setiap kebudayaan mengenali dan membuat perbedaan antara lingkungan kemasyarakatan (human society) dan dunia alami (natural world). Kebudayaan (culture) berusaha untuk mengontrol dan mengalahkan alam (nature) untuk tujuannya sendiri. Untuk itu , kebudayaan dianggap superior terhadap dunia alami. Dialektika antara dunia alami dengan dunia kebudayaan berlangsung dalam situasi perebuatan dominasi, sehingga terjadi proses subordinasi yang berakhir dengan ketidak adilan gender. Kait mengkait antara alam dengan budaya, seringkali dipakai untuk menerangkan hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Perempuan seringkali diasosiasikan secara simbolik dengan alam sementara laki-laki dengan budaya. Karena budaya mencoba untuk mengontrol dan mengalahkan alam, maka merupakan hal yang “alami” bagi perempuan yang mempunyai ikatan kuat dengan alam , untuk dikontrol laki-laki. Secara garis besar, pendapat tersebut diperjelas melalui dua argumentasi. Pertama, psikologi perempuan dan fungsi reproduktif yang dimilikinya menempatkannya lebih dekat dengan alam. Sedangkan lakilaki, harus mencari wacana budaya untuk berkreasi. Laki-laki lebih diasosiasikan secara langsung dengan budaya dan kekuatan kreasi budaya. Dengan kata lain perempuan berkreasi
20
secara alami melalui dirinya sendiri, sedangkan laki-laki berkreasi melalui saluran dan alat budaya yang ada. Kedua, fungsi sosial perempuan dilihat lebih dekat kepada alam karena keterlibatan mereka pada fungsi reproduksi telah membatasi gerak mereka untuk terlibat atau berpartisipasi pada beberapa fungsi sosial yang dekat dengan alam seperti memasak, mengasuh anak dan lain-lain (domestic domain). Berbeda dengan laki-laki yang aktif dalam public domain dilingkungan sosial mereka.Laki-laki untuk itu diidentikan dengan masyarakat dan interest publik (Moeljarto,1997:372-373). Pembahasan yang dilakukan oleh Sonny Keraf, Rose Marie Tong, Brooks, Connel maupun Moeljarto memberikan gambaran umum tentang budaya patriarkhi dapat menyebar ke berbagai aspek kehidupan yang pada akhirnya merugikan nasib perempuan dan alam. Pembahasan terkait dengan budaya kapitalisme-patriarkhi secara lebih mendalam dan menyeluruh masih diperlukan untuk mengembangkan landasan etika ekofeminis yang kokoh. Penelitian ini akan mendalami lebih lanjut dengan memfokuskan pada upaya untuk mendekontruksikan budaya kapitalisme-patriarkhi yang merupakan akar dari penyebab krisis lingkungan maupun ketidakadilan gender dari perspektif pemikiran tokoh ekofeminisme Shiva dan Warren. Widiantoro dalam karya ilmiah yang berjudul “Reaksi Kaum Feminis Ketika Bumi Luka Parah ” menjelaskan ekofeminisme mengkritik model pendekatan androsentrisme yang cenderung merusak lingkungan dan menawarkan paradigma holisme, saling ketergantungan
dan kesederajatan (egalitarian) ( Widiantoro,1990: 33-34). Pembahasan
yang dilakukan oleh Widiantoro belum mengkaji secara lebih mendalam seandainya terjadi konflik kepentingan antara manusia untuk memanfaatkan alam
dengan upaya untuk
melestarikannya. Dilema moral antara kepentingan manusia dengan usaha menjaga
21
kelestaraian lingkungan sering terjadi dalam kehidupan. Manusia agar dapat bertahan hidup melakukan aktivitas dengan memanfaatkan segala sesuatu yang tersedia di alam, disisi yang lain alam memiliki hak untuk diperlakukan secara baik. Penyelesaian secara bijaksana dalam menghadapi dilema moral tersebut perlu diungkap secara lebih mendalam dari pemikiran ekofeminis Shiva, Warren, dan kearifan lokal masyarakat desa Beji. Selain itu penelitian ini berusaha mencari visi baru prinsip etis khas yang dipromosikan oleh tokoh ekofeminis Shiva , Warren maupun
kehidupan masyarakat desa Beji dalam melestarikan hutan
Wonosadi. Perjuangan moral untuk melestarikan lingkungan yang dilakukan oleh ekofeminisme sesungguhnya sudah dipraktekkan oleh masyarakat adat di berbagai penjuru dunia termasuk pada masyarakat desa Beji yang tinggal di sekitar hutan. Etika lingkungan secara implisit telah menjadi bagian dari kebudayaan asli masyarakat yang diwariskan secara turun temurun. Penelitian yang telah dilakukan oleh Murdiati dan Suliantoro tentang “Potensi Kearifan Lokal Masyarakat Adat Desa Beji Kecamatan Ngawen Gunung Kidul Dalam Melestarikan Hutan Adat Wonosadi” (2008) yang memfokuskan kajian hukum adat maupun penelitian Sumintarsih tentang “Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan Dalam Pemeliharaan Lingkungan Alam Kabupaten Gunung Kidul DIY” (2005) yang memfokuskan kajian antropologi memberikan gambaran tentang berbagai kearifan lokal yang terdapat dalam kesenian Rinding Gumbeng, Reog maupun upacara tradisional Sadranan dan Bersih Desa memberi kontribusi bagi kelestarian lingkungan. Pesan moralsosial
yang ada dibalik aktivitas kultural tersebut
dipaparkan secara empirik, namun
demikian aspek etika terutama yang berperspektif ekofeminisme dalam kaitannya dengan upaya melestarikan hutan masih perlu dianalisis secara lebih rinci, sistematis dan mendalam
22
Kajian etika berusaha mengambil sikap kritis terhadap berbagai tradisi yang hidup di masyarakat. Tradisi bukanlah obyek yang mati, yang sekali tercipta berlaku selamanya. Tradisi harus selalu direnungkan kembali, disesuaikan dengan tuntutan perkembangan jaman. Masyarakat sebagai ahli waris kebudayaan harus selalu berani mengadakan perubahan-perubahan terhadap tradisi, membenahi satu atau beberapa bagian yang dirasa tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat dewasa ini (Mardimin,1994:13). Tradisi yang konstruktif dan berkeadilan perlu dipertahankan, sebaliknya yang bersifat destruktif dan diskriminatif harus ditinggalkan. Perjuangan mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat maupun lingkungan merupakan prioritas utama yang menjadi agenda mendesak oleh para filsof ekofeminis. Kajian etika hendaknya tidak hanya berhenti pada pemaparan peraturan-peraturan ataupun petuah-petuah kaku yang dianggap baik oleh masyarakat, diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi dengan menggunakan logika deduktif; melainkan juga harus mengambil sikap kritis guna membongkar selubung ideologis yang berpotensi merugikan kepentingan perempuan maupun lingkungan. Etika hendaknya terlibat secara
aktif
membantu memecahkan persoalan konkrit di masyarakat dengan cara memberikan berbagai alternatif pilihan yang lebih berorientasi pada nilai kemanusiaan (Peursen, 1976:193). Kebijakan negara kadang ada yang berpihak pada kelompok kapitalis kadang adapula yang berpihak pada kelestarian ekologis. Negara dalam merumuskan kebijakan maupun membuat aturan hukum kadang tidak responsif gender sehingga merugikan kepentingan perempuan dan alam (Kinnon, 1987:135). Kebijakan pengelolaan hutan oleh negara yang cenderung
bersifat sentralistik menurut pandangan Shiva dapat terjebak pada budaya
patriarkhi yang memarginalisasikan alam dan peran perempuan. Bangsa Indonesia dapat
23
belajar dari pemikiran Shiva, Warren dan kearifan lokal masyarakat desa Beji kebijakan pengelolaan hutan yang mengesampingkan prinsip feminim dapat berdampak negatif merugikan alam dan perempuan. Rekonstruksi pemikiran etika ekofeminis Shiva, Warren dan pemikiran masyarakat desa Beji perlu dilakukan untuk dapat dijadikan sumber bahan dan sumber nilai bagi pengambilan kebijakan supaya lebih berkeadilan gender dan peduli terhadap kelestarian lingkungan. F. Landasan Teori Dalam disertasi ini, peneliti memandang permasalahan
hutan sebagai persoalan
moral. Hutan merupakan sumber daya alam yang keberadaanya dibutuhkan oleh berbagai makhluk, oleh karena
itu
memberikan manfaat bagi
perlu dikelola
secara lebih manusiawi supaya hasilnya
sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya makhluk yang
tinggal didalam maupun diluar hutan. Banyak makhluk yang menggantungkan hidup pada hutan sehingga kepentingannya perlu mendapat perhatian. Ketegangan pada saat berelasi seringkali terjadi ketika tuntutan kepentinganya dijadikan
prioritas utama yang harus
diakomodasi, didahulukan dan dipenuhi. Kepentingan manusia terkadang berbenturan dengan kepentingan non-manusia, kepentingan laki-laki berbenturan dengan kepentingan perempuan, kepentingan ekonomi berbenturan dengan kepentingan ekologi yang kesemuanya
seringkali tidak dapat secara mudah didamaikan. Proses pengambilan
keputusan seringkali tidak dapat diambil secara cepat dan tepat, karena setiap alternatif pilihan yang tersedia pemenuhan
kepentingan
membawa konsekuensi negatif bagi aspek lain. Pemutlakan tertuju pada
satu aspek atau makhluk tertentu berpotensi
memunculkan rasa ketidakadilan terhadap yang lain. Dibutuhkan landasan teori etika yang komprehensif untuk memecahkan dilema moral dalam pengelolaan dan pemanfaatan
24
sumberdaya hutan agar keputusan yang diambil
memberikan rasa keadilan pada semua
pihak. Pendekatan etika secara komprehensif pada hakikatnya menyoroti empat segi perilaku moral yaitu si pelaku, perbuatan, situasi dan kondisi, dan konsekuensi (Bertens, 2003:65). Pembahasan dari sisi si pelaku menggunakan landasan teori etika keutamaan, pembahasan tentang perbuatan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban menggunakan landasan teori deontologi, pembahasan tentang situasi dan kondisi menggunakan analisis studi kasus berlandaskan teori etika interaksi, dan pembahasan konsekuensi dari perbuatan manusia menggunakan landasan teori etika teleologis yang berkeadilan pada semua pihak. Landasan teori etika keutamaan, deontologi, interaksi dan teleologi diperdalam lebih lanjut dengan menggunakan analisis kajian gender. Landasan teori etika keutamaan dipergunakan dengan pertimbangan kerusakan hutan lebih banyak disebabkan oleh sikap manusia yang seringkali mengabaikan keutamaan hidup sebagai manusia. Keutamaan moral merupakan orientasi dasar manusia dalam membangun relasi yang harmoni dengan sesama maupun dengan lingkungan. Manusia sebagai pelaku moral (subjek moral) mampu
menyadari, merasakan
dan melakukan perbuatan yang
dipandang baik secara moral. Tuntutan moral agar bersikap dan bertindak adil hanya dapat ditujukan pada manusia, karena hanya manusialah satu-satunya makhluk yang memiliki kekuatan kejiwaan berupa akal,rasa dan karsa. Kekuatan kejiwaan yang dimiliki manusia mampu dipergunakan sebagai instrumen untuk mentransendensikan perbuatan kearah yang lebih bermakna sehingga tindakannya tidak sekedar diperbudak oleh dorongan instingtual semata. Manusia sebagai makhluk moral dapat semakin meluhurkan diri, sesama dan lingkungannya. Semakin manusia membuka diri berbuat adil terhadap lingkungan sekitar
25
nilai keluhurannya semakin terpancar, sebaliknya semakin berbuat semena-mena semakin kelihatan hina. Etika lingkungan ekofeminisme berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bersikap adil terhadap semua makhluk dalam memecahkan berbagai dilema moral yang terjadi di masyarakat. Masyarakat dalam memecahkan persoalan moral membutuhkan sistem nilai untuk dijadikan pedoman normatif. Teori etika keutamaan bermanfaat untuk
mengungkap
keutamaan-keutamaan moral yang harus diperhatikan dan dijunjung tinggi pada saat menghadapi persoalan lingkungan yang semakin kompleks. Keutamaan moral bukan diukur dari kedudukan, jabatan, kekayaan maupun status sosial tetapi dari keluhuran tindakan manusia sebagai pribadi. Keutamaan merupakan sifat karakter luhur yang ditampilkan oleh seseorang maupun sekelompok masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari (Rachels,
2004:311). Teori etika keutamaan dipergunakan untuk mengungkap prinsip-prinsip etis pandangan Shiva, Warren maupun cara pandang masyarakat desa Beji dalam membangun relasi dengan sesama manusia maupun dengan hutan. Prinsip-prinsip etis yang hendak diungkap tidak sekedar menurunkan secara deduktif ajaran moral yang berlaku umum, melainkan digali dari kearifan lokal masyarakat maupun hasil perenungan mendalam kedua filsof tersebut. Pada saat merekonstruksi prinsip-prinsip etika lingkungan porsi nilai-nilai feminimitas lebih banyak digali, diungkap, dan dipromosikan. Prinsip-prinsip etis yang ditemukan menjadi pedoman umum, rambu-rambu , petunjuk arah sekaligus instrumen untuk mengevaluasi maupun membuat rencana kegiatan dalam mengembangkan relasi dengan sesama maupun dengan hutan supaya bernilai baik secara moral. Prinsip etis yang diekplorasi merupakan hasil kristalisasi nilai-nilai yang diyakini dan dijunjujung tinggi
26
masyarakat desa Beji maupun pemikiran kedua filsof ekofeminis yang dipercayai dapat mengantar kearah kehidupan lebih baik. Teori etika deontologi dipergunakan untuk membahas
tentang kewajiban dan
tanggungjawab yang dikeluarkan oleh institusi maupun kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun . Peraturan tentang kewajiban dan tanggung jawab tidak diterima secara pasif sebagai produk jadi yang bersifat final, tetapi perlu direfleksikan secara mendalam. Sistem nilai, norma maupun produk kebijakan dievaluasi menggunakan parameter keadilan gender berdasarkan indikator kesetaraan akses, partisipasi, kontrol dan perolehan manfaat
antara
laki-laki dengan perempuan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Berbagai kebijakan maupun praktek kehidupan masyarakat yang diterima secara turun temurun perlu dicermati dan dikritisi karena terkadang substansinya bersifat bias gender dan kurang berpihak pada kelestarian lingkungan. Etika ekofeminis banyak membahas persoalan praxis yang terjadi di masyarakat. Teori etika interaksi relevan dipergunakan sebagai landasan pada saat mempertimbangkan situasi dan kondisi
pada saat perbuatan moral dijalankan. Penilaian moral akan lebih
bijaksana apabila menyimak circumstances perbuatan, artinya situasi dan kondisi khusus yang mewarnai suatu perbuatan dipertimbangkan. Circumstances merupakan istilah berasal dari bahasa latin circumtantiae yang artinya faktor-faktor spesifik yang menandai suatu situasi tertentu. Perbedaan latar belakang situasi dan kondisi dapat mengakibatkan bobot baik-buruk suatu perbuatan ditambahkan atau sebaliknya dikurangi (Bertens, 2003:30-35). Penerapan parameter kesetaraan dan keadilan gender perlu memperhatikan permasalahan secara kontekstual dan situasional, bukan berdasarkan penghitungan matematis kemudian diuniversalkan (Kementrian Pemberdayaan Perempuan, 2003:38).
27
yang
Pertimbangan kontekstual diperlukan pada saat melakukan analisis kasus moral yang terjadi di masyarakat desa Beji. Pendekatan etika menggunakan model analisis studi kasus dapat memperkaya pengembangan bidang etika terapan. Kajian etika menggunakan model studi kasus bermanfaat
untuk menjembatani kesenjangan sekaligus membangun
dialog antara teori moral dengan praktek supaya tidak jatuh pada pandangan moral ekstrim yaitu teori relativisme moral atau absolutisme moral (Bertens, 2003:35). Kearifan lokal yang dihidupi oleh masyarakat desa Beji dalam melastarikan hutan Wonosadi
perlu
diungkap serta didialogkan dengan pemikiran teoritis Shiva maupun Warren. Konstruksi etika ekofeminis yang dikembangkan Shiva maupun Warren pada hakikatnya merupakan hasil abstraksi dari pemikiran kedua tokoh tersebut pada saat memecahkan persoalan konkrit yang terjadi dilingkungannya, sehingga perlu dikontekstualkan dengan sistuasi dan kondisi aktual dan faktual yang ada di masyarakat desa Beji. Kasus-kasus moral yang terjadi di masyarakat merupakan peristiwa yang bersifat khusus, konkrit dan spesifik sehingga perlu didialogkan dengan pandangan teoritis pemikiran para filsof. Dialog antara teori dengan praktek moral dapat memperkaya wawasan bagi kedua belah pihak. Konstruksi teoritis pemikiran filsof semakin kokoh dengan adanya bukti praktek moral yang dihidupi masyarakat, dan kearifan lokal menjadi semakin sistematis sehingga memudahkan masyarakat mencari arah dalam menghadapi persoalan hidup yang semakin kompleks karena mendapat pencerahan dari pemikiran para filsof. Studi kasus membuat etika semakin berkembang secara dinamis. Kajian etika tidak hanya berhenti pada kegiatan menganalisis kumpulan peraturan, sistem nilai, sistem norma yang bersifat abstrak, teoritis, kaku, beku dan permanen diperpustakaan; melainkan secara kritis terlibat secara aktif membantu memecahkan persoalan konkrit yang ada di masyarakat. Etika tidak lagi
28
memberi isyarat-isyarat umum seperti tukang pidato, melainkan langsung melibatkan diri dalam peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan konkrit (Peursen, 1985:193).Gagasan etika lingkungan ekofeminisme diharapkan dapat membantu menerobos jalan buntu yang dirasakan oleh para ilmuwan maupun praktisi lingkungan, dengan cara menawarkan alternatif-alternatif pilihan yang lebih berorientasi pada penghormatan nilai-nilai kemanusiaan seutuhnya dan kelestarian lingkungan seluruhnya. Etika merupakan studi tentang tingkah laku manusia yang dilakukan secara sadar dilihat dari sisi baik-buruk. Setiap aktivitas tingkah laku manusia pasti akan menghasilkan konsekuensi. Teori etika teleologis yang berkepedulian tinggi terhadap nilai-nilai keadilan bagi semua pihak dipergunakan sebagai landasan teori pada saat membahasan konsekuensi moral dari aktivitas perilaku manusia. Teori etika teleologi dibangun atas asumsi manusia merupakan makhluk bermoral sehingga memiliki kesadaran dan kemampuan mengarahkan hati, pikiran dan tindakan pada sasaran tertentu yang lebih bermutu. Pikir, kehendak dan tindakan tidak dibiarkan berkelana liar tanpa arah, melainkan tertuju pada sasaran tertentu yang lebih bermakna. Manusia sebagai makhluk bermoral menyadari perbuatan yang dijalankan dapat menimbukan dampak positip maupun negatif terhadap dirinya sendiri maupun pihak lain, oleh sebab itu senantiasa perlu mempertimbangkan secara rasional, dilandasi hati nurani yang jernih, serta sedapat mungkin diarahkan
untuk kebaikan dan
kesejahteraan semua mahkluk. Konsekuensi dari suatu perbuatan
menjadi salah satu
parameter moralitas tindakan manusia, maka perlu dipertimbangkan secara menyeluruh. Perbuatan yang pada hasil akhirnya menimbukan kenikmatan, kebahagian dan kesejahteraan bagi sebanyak-banyak makhluk dikategorikan sebagai perbuatan yang baik secara moral, sebaliknya perbuatan yang membawa konsekuensi memunculkan penderitaan, kesusahan
29
dan kerugian terhadap banyak makhluk dikategorikan sebagai perbuatan yang kurang atau tidak bermoral. Teori etika teleologis yang berkepedulian pada semua pihak cakupannya lebih luas dibandingkan dengan pandangan Jeremy Bentham. Jeremy Bentham mengembangkan teori etika teleologi dengan menggunakan prinsip utilitas. Parameter kebaikan moral dapat dilihat dari hasil akhirnya memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan sebanyak banyaknya bagi subjek moral (The greatest happiness of the greatest number). Kelemahan mendasar
teori utilitarian Bentham terkadang untuk
sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya
mewujudkan kebahagiaan yang
bagi semua pihak dapat dilakukan dengan
mengorbankan atau mengesampingkan hak-hak dari sebagian kecil makhluk yang ada. Nilai-nilai manusia sebagai person maupun makhluk non-manusia terkadang dapat diabaikan demi mewujudkan tujuan akhir berupa kebaikan dan kebahagian banyak pihak. Kelemahan landasan teori etika teleologi yang mendasarkan pada prinsip utilitas dilengkapi dengan teori etika deontologi Immanuel Kant yang membahas tentang nilai intrinsik. Kant memandang manusia merupakan makhluk yang bernilai pada dirinya sendiri, sehingga tidak dapat dilenyapkan, dipersaldokan atau sekedar dijadikan instrument bagi yang lain. Perempuan maupun laki-laki merupakan makhluk yang bernilai bagi dirinya sendiri sehingga tidak dapat hanya digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan yang lain. Gagasan nilai intrinsik Kant dielaborasi dan diperluas jangkauannya kesemua makhluk oleh tokoh ekologi dalam (deep ecology) Arne Naess. Arne Naes memiliki pandangan manusia maupun semua makhluk yang ada di bumi memiliki nilai bagi dirinya sendiri, terlepas memiliki kegunaan atau tidak bagi kehidupan manusia (Keraf, 2006:84).
30
Gagasan penghormatan terhadap nilai intrinsik masih diperdalam lagi dengan menggunakan pendekatan gender. Kritik ekofeminis terhadap “ekologi dalam” bersifat buta gender. Laki-laki dan perempuan memang sama- sama memiliki nilai intrinsik, tetapi mereka memiliki konstruksi tubuh, kebutuhan stretegis, tugas, dan fungsi berbeda sehingga memperlakukan secara sama dapat berakhir dengan ketidakadilan. Menyamaratakan perlakuan ke semua makhluk merupakan gagasan utopis. Adil tidak selalu harus diwujudkan dalam bentuk memperlakukan secara sama ke semua makhluk. Teori keadilan distributif berlaku prinsip memperlakukan secara sama untuk hal yang sama dan memperlakukan secara tidak sama untuk hal yang berbeda. Ketidakadilan terjadi pada saat hal yang sama diperlakukan secara tidak sama atau hal yang tidak sama diperlakukan secara sama. Kerusakan lingkungan seringkali membawa konsekuensi penderitaan berbeda antara laki-laki dengan perempuan, sehingga langkah menyamaratakan begitu saja dapat mendegradasikan prinsip keadilan. Ekofeminisme transformatif berusaha melakukan kajian secara lebih ekplisit konsekuensi negatif yang dirasakan perempuan maupun alam karena praktek penindasan yang dilakukan oleh sistem patriarkhi sudah berlangsung lama, dilakukan secara masif dan kurang mendapat porsi perhatian serius pada saat melakukan proses identifikasi dalam mengungkap permasalah dibidang etika di era modern. Suara pihak yang menjadi kurban ketidakadilan lebih banyak didengar dibandingkan dengan mereka yang diuntungkan oleh kebijakan. Ekofeminisme transformatif berusaha menggali, mengindentifikasi, mendengarkan, memahami persoalan etis yang dirasakan oleh kaum perempuan yang hidup dalam dimensi ruang dan
waktu tertentu. Perspektif
feminis digunakan sebagai instrumen untuk
melakukan perubahan terhadap struktur penindasan yang menimpa perempuan dan alam
31
menuju terwujudnya keadilan sosial dan ekologis. Ekofeminisme transformatif berusaha membongkar berbagai selubung ketidakadilan yang berdampak fisik, psikis maupun kutural merugikan alam maupun perempuan. Berbagai ketidakadilan gender baik merupakan produk personal maupun kebijakan struktural dicoba untuk digugat eksistensinya. Transformasi yang diharapkan tidak hanya menyangkut aspek mentalitas personal tetapi juga struktur kebijakan yang diberlakukan dalam penyelenggaraan negara. Transformasi pada hakikatnya merupakan proses perubahan yang terarah dan terencana. Perubahan sosial tanpa dilandasi dengan norma-norma yang kuat akan menuju ke arah nihilisme yaitu perubahan demi perubahan yang tidak jelas arah dan tujuannya. Proses transformasi sosial diarahkan untuk menuju tata kelola masyarakat yang lebih adil dan lebih mensejahterakan bagi kehidupan manusia maupun kehidupan alam semesta. Perubahan sosial diarahkan untuk mempertinggi peradaban manusia dengan indikasi manusia semakin berperikemanusiaan dan semakin peduli terhadap sesamanya (Sosrodihardjo, 1986:80-81). Arah akhir yang hendak dituju oleh gerakan maupun pemikiran ekofeminisme transformatif adalah mewujudkan keadilan gender sekaligus peduli terhadap kelestarian lingkungan. Konsep keadilan gender pada waktu menganalisis visi ekofeminis masyarakat desa Beji lebih banyak menggunakan pemikiran Shiva dan Warren tidak mempergunakan parameter kesetaraan dan keadilan gender seperti yang termuat dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional berdasarkan pertimbangan komprehensivitas. Konsep kesetaraan menurut Inpres No. 9 Tahun 2000 diartikan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati
32
hasil pembangunan tersebut. Keadilan gender menurut Inpres No. 9 Tahun 2000 diartikan sebagai proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. Konsep keadilan gender yang ditawarkan oleh Shiva dan Warren lebih komprehensif karena tidak sematamata menekankan pada prinsip persamaan tetapi juga prinsip pembedaan, tidak hanya mempertimbangkan kepentingan generasi sekarang tetapi juga generasi masa lampau maupun masa mendatang, tidak hanya mempertimbangkan dimensi rasionalitas tetapi juga mempertimbangkan perasaan para kurban ketidakadilan.
33
Secara skematis perpaduan landasan teori dapat digambarkan sebagai berikut:
E t i k a
Ekofeminis
Ekofeminisme
Etika Interaksi
E t i k a
Etika Teleologi Etika keutamaan E t i k a
E t t k a
Ekofeminis
Etika Deontologi
Ekofeminis
Mengidentifikasi , menginventarisasi & membebaskan penindasan alam & perempuan
G. Metode Penelitian 1.Objek Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan cara memadukan antara penelitian kepustakaan dengan penelitian lapangan. Objek material penelitian adalah pemikiran filosofis dari Shiva, Warren serta masyarakat desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul tentang pengelola maupun pemanfaatan hutan yang berkeadilan gender dan berwawasan ekologis. Sudut pandang (objek formal) yang dipergunakan untuk melakukan penelitian melihat dari sisi etika ekofeminis.
34
2. Sumber data a. Data kepustakaan a.1. Data kepustakaan primer. Data kepustakaan primer yang diteliti berupa hasil pemikiran Shiva yang sudah terbukukan adalah sebagai berikut: Vandana Shiva, 1988, Staying Allive Women, Ecology and Survival in India, KALI FOR WOMEN N 84 Panchila Park, New Delhi. Vandana Shiva dan J. Bandyopadhyay, 1993, “Penilaian Teknologi Oleh Rakyat Riset” dalam buku Riset Partisipatoris Riset Pembebasan, Gramedia kerjasama dengan Yayasan Kartika Sarana, Jakarta. Vandana Shiva, 1994, Bioteknologi dan Lingkungan dalam Perspektif Hubungan Utara-Selatan, PT. Gramedia Pustaka Utama Bekerjasama dengan KONPHALINDO, Jakarta. Vandana Shiva 1997, Bebas dari Pembangunan Perempuan , Ekologi dan Perjuangan Hidup di India, Yayasan Obor bekerjasama dengan KONPHALINDO, Jakarta. Vandana Shiva dan Maria Mies, 2005, Ecofeminisme: Perspektif Gerakan Perempaun dan Lingkungan , IRE Press, Yogyakarta. Vandana Shiva, 2005;
Earth Democracy; Justice, Sustainability, and Peace,
South End Press, Data kepustakaan primer hasil pemikiran Warren yang termuat dalam buku: Karen J. Warren, 1994,
Toward An Ecofeminist Peace Politics , dalam buku
Ecological Feminism, Diedit Karen J. Warren, New York: Routledge, Karen J. Warren, 1996, The Power And The Promise Of Ecological Feminism, dalam buku Ecological Feminist Philosophies, diedit Karen J. Warren, Indiana University Press, Amerika.
35
Karen J. Warren, 2000, Ecofeminist Philosophy, A Western Perspective on What It Is and Why It Matters, Rowman & Little field Publisher. Inc. Lanham, Boulder, New York, Oxford. Sumber data primer tersebut dicermati, diteliti dan dianalisis secara mendalam terutama yang memiliki keterkaitan dengan bidang etika lingkungan dan persoalan gender. a.2. Data sekunder penelitian kepustakaan Data kepustakaan sekunder berupa literatur filsafat moral, filsafat hukum, kebudayaan maupun kajian gender yang ada kaitan dengan topik penelitian b.Data lapangan Penelitian lapangan dilakukan dengan cara mengamati secara konsisten dan mendalam terhadap fenomena budaya aktivitas masyarakat dusun Duren pada saat berelasi dengan lingkungan fisik maupun dengan lingkungan sosial. Proses pengamatan dilakukan
dengan cara melihat sekaligus terlibat dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari masyarakat dusun Duren. Peneliti juga melakukan wawancara secara mendalam ke pemangku adat Sadiyo dan Kusno, Kepala desa Sularti (20032013) , Sekretaris PKK dusun Duren Sri hartini, Ketua PKK dusun Duren Ngatini, LSM
“Satu Nama” FF. Sri Purwani devisi People Environment Program (PEP)
tentang prinsip-prinsip etis dalam mengembangkan relasi yang harmoni dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, berusaha mengungkap berbagai potensi konflik yang berdampak merusak kelestarian hutan dan merugikan kepentingan masyarakat terutama kaum perempuan. Ethos masyarakat dusun Duren yang berhubungan dengan upaya pelestarian hutan Wonosadi terkait dengan peran gender diungkap secara mendalam.
36
Data yang dikumpulkan bukan sekedar data sosiologis, psikologis, maupun antropologis;
melainkan berusaha mengungkap pandangan hidup yang mendasari
kehidupan masyarakat desa Beji dalam melestarikan hutan Wonosadi. Pandangan etis yang paling hakiki dan
mendasar tentang kehidupan masyarakat
dalam
mengembangkan relasi dengan sesama, hutan maupun Tuhan diteliti secara mendalam. 3. Lokasi Penelitian Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara menelusuri sumber literatur primer maupun sekunder dari buku-buku, journal, internet yang terkait dengan topik disertasi. Lokasi pustaka yang dikunjungi Filsafat UGM, PSW UGM, Seminari Tinggi Kentungan, STF Driyarkara dan Universitas Indonesia. Pertimbangan lokasi tersebut dipilih karena kajian literatur filsafat dan feminisme lengkap dan mendalam. Lokasi penelitian lapangan dipusatkan di desa Beji Kecamatan Ngawen Gunung Kidul. Kegiatan penelitian lebih banyak dipusatkan di Dusun Duren dengan pertimbangan: 1. Dusun Duren merupakan wilayah yang paling dekat dengan hutan Wonosadi sehingga dampak positif maupun negatif
yang muncul dengan
adanya hutan
mereka yang paling banyak merasakan. Aspirasi masyarakat yang berpotensi paling banyak dirugikan akibat kerusakan hutan menarik untuk diungkap secara lebih mendalam. 2. Secara formal kepala desa Beji mempercayakan pengelolaan dan pelestaraian hutan Wonosadi pada warga desa Duren sehingga memiliki tanggungjawab moral yang lebih besar untuk dapat terus melestarikan hutan Wonosadi.
37
3. Warga dusun Duren memiliki kecerdasan tinggi mengelola potensi konflik antara ekonomi dengan ekologi pada saat memanfaatkan sumber daya hutan kedalam sistem yang adil dan mensejahterakan kepentingan berbagai pihak. Kearifan lokal mengelola konflik kedalam sistem yang mensejahtarakan menarik untuk diteliti secara mendalam. 4. Masyarakat dusun Duren sebagian besar kaum laki-laki pergi merantau bekerja keluar daerah, sehingga ketergantungan perempuan terhadap alam untuk dapat bertahan hidup sangat kuat. Hal ini menarik menjadi fokus dalam penentuan lokasi dengan mempertimbangkan ditengah himpitan ekonomi yang berat perempuan disekitar hutan Wonosadi masih memiliki komitmen tinggi untuk melestarikan Hutan. Lokasi penelitian lapangan di dusun duren bukan merupakan tempat yang asing bagi peneliti. Peneliti pernah melakukan riset pendahuluan tentang kehidupan masyarakat desa Beji dalam kaitannya
dengan pengelolaan hutan yaitu: “Kajian ekofeminisme
tentang Social Forestry di kabupaten Gunung Kidul (2006), “Potensi Kearifan Lokal Masyarakat Adat Desa Beji Kecamatan Ngawen Gunung Kidul Dalam Melestarikan Hutan Adat Wonosadi” (2008), “Konsep Ekofeminisme dalam Tradisi Budaya Jawa Sebagai dasar Pengelolaan Hutan Lestari” (2010). Kegiatan riset terdahulu masih bersifat sangat umum perlu pendalaman lebih lanjut namun sangat membatu pada saat melakukan pencarian data lapangan untuk keperluan disertasi, karena peneliti memiliki wawasan awal tentang kehidupan masyarakat dan antara peneliti dengan warga desa sudah sedikit saling kenal.
38
4. Langkah-langkah Penelitian Tahap pertama melakukan penelitian kepustakaan tentang konsep etika ekofeminis yang dikemukakan
oleh Shiva dan Warren. Teknik pengumpulan data penelitian
kepustakaan dilakukan dengan melakukan studi dokumen terkait dengan pemikiran etika lingkungan yang berperspektif gender dari pemikiran kedua tokoh tersebut. Peneliti mengumpulkan buku-buku maupun karya tulis utama dari kedua tokoh untuk kemudian dilakukan pengkajian secara mendalam. Hasil penelitian dari ilmuwan maupun filsof terdahulu tentang pemikiran Shiva dan Warren diinventarisasi, divalidasi dan dikritisi. Selain itu juga dikumpulkan buku-buku, jurnal, ensiklopedia, laporan penelitian, data internet atau sumber literature lain yang terkait dengan topik yang diteliti dijadikan sumber data sekunder. Data yang berhasil terkumpul kemudian disistematisasikan. Sumber data penelitian kepustakaan dipergunakan untuk membangun kerangka pikir dan membantu mempertajam analisis pada saat mengadakan penelitian lapangan supaya lebih terfokus dan mendalam. Setelah selesai melakukan penelitian kepustakaan dilanjutkan dengan melakukan penelitian lapangan. Peneliti lapangan tidak sekedar mengkonfirmasi maupun mengimplementasikan pemikiran Shiva dan Warren dengan praktek yang terjadi di desa Beji tetapi,
sekaligus berusaha menemukan kekhasan visi ekofeminis
yang
dikembangkan masyarakat. Data lapangan dikumpulkan dengan cara melakukan observasi partisipatif (participant observation) dalam bentuk kegiatan live in
mulai
tanggal 10 Agustus 2010 - 27 Agustus 2010 dan 5 -7 Mei 2014. Peneliti berusaha memahami seluruh aktivitas kehidupan masyarakat dusun Duren khususnya yang berkaitan dengan tema penelitian. Peneliti tinggal bersama dengan masyarakat,
39
melakukan pengamatan secara mendalam serta melakukan wawancara mendalam ke para informan. Subyek penelitian dipilih secara purposif dengan mempertimbangkan keluasan dan kedalaman pengetahuan yang dimiliki terkait dengan hutan Wonosadi serta kedekatan lokasi tempat tinggal dengan keberadaan hutan Wonosadi. Informan yang memiliki pengetahuan luas dan mendalam diwawancari untuk melengkapi sekaligus mempertajam hasil pengamatan terhadap kehidupan masyarakat. Pertimbangan warga yang tinggal berdekatan dengan hutan Wonosadi dijadikan informan kunci karena mereka merupakan pihak yang paling banyak merasakan secara langsung akibat positip maupun negatif dari keberadaan hutan Wonosadi. Tokoh-tokoh masyarakat adat, Kepala desa, pengurus PKK, petugas Jagawana, LSM ”Satu Nama” yang pernah melakukan pendampingan masyarakat di desa Beji juga diwawancarai secara mendalam supaya data yang diperoleh bersifat komprehensif. Wawancara dilakukan dengan memakai jenis wawancara tak terstruktur dan wawancara menggunakan petunjuk umum wawancara (Moleong, 1989: 151 –152). Wawancara tak terstruktur dipilih supaya peneliti dapat lebih leluasa menjelajahi, mengekplorasi, mendiskripsikan dan
menginterpretasikan berbagai aspek dari
permasalahan yang diungkap. Fokus wawancara ditujukan untuk mengungkap cara pandang masyarakat desa Beji terhadap sesama (laki-laki terhadap perempuan ataupun sebaliknya) maupun terhadap alam, mengungkap cara pandang masyarakat desa Beji pada wakatu memaknai konsep keadilan dan kepedulian dalam berelasi dengan sesama maupun dengan alam, mengungkap visi masyarakat desa Beji dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup sekaligus tetap menjaga kelestarian lingkungan,
40
mempelajari kasus kasus yang terjadi di masyarakat desa Beji terutama yang berkaitan dengan pengelolaan hutan Wonosadi yang terkait dengan persoalan gender beserta dengan strategi dalam menyelesaikan persoalan, mengungkap prinsip-prinsip etis yang dijadikan pegangan oleh masyarakat desa pada saat berelasi dengan sesama maupun dengan alam. Proses wawancara dilakukan dengan cara berdialog dengan para informan dalam suasana yang rilek. Suasana
nyaman dan saling percaya dibangun supaya
informan dapat leluasa menyampaikan pengalaman, perasaan maupun pengetahuan yang dimiliki. Pada saat mengumpulkan data lapangan juga dikumpulkan berbagai laporan tertulis / dokumen berupa data monografi desa, kesepakatan bersama warga desa dalam pengelolaan hutan, CD upacara adat sadranan, buku, artikel, peraturan perundangundangan, dan berbagai penelitian ilmiah sebelumnya yang relevan dengan topik penelitian. Data temuan penelitian lapangan dan kepustakaan disusun dalam kerangka pemikiran dan penulisan yang logis dan sistematis. 5. Analisis Hasil Langkah-langkah dalam menganalisis data: pertama, reduksi data yaitu data yang diperoleh dirangkum, dipilih dan difokuskan pada hal-hal yang pokok; dicari substansi dan pola-polanya; diseleksi dan direduksi esensi makna serta difokuskan yang terkait dengan topik penelitian. Kedua , klasifikasi data yaitu mengelompokan data berdasarkan ciri khas objek formal peneltian. Ketiga, display data yaitu mengorganisir data tersebut dalam suatu peta sesuai dengan objek formal dan tujuan peneliti. Keempat, melakukan penafsiran atau interpretasi terhadap sumber data yang ada(Kaelan, 2005:69-70).
41
Analisis data mempergunakan pendekatan kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan cara menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, logis, komprehensif dan rinci sesuai dengan pokok bahasan yang ditentukan sehingga memudahkan pada saat melakukan interpretasi dan mengambil kesimpulan. Unsur-unsur metode filsafat yang digunakan untuk menganalisis data kepustakaan pemikiran filosofis Shiva dan Warren: 1. Deskripsi Peneliti berusaha memaparkan dan menguaraikan keseluruhan
pemikiran etika
lingkungan dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan dari Shiva maupun Warren secara teratur. 2. Interpretasi Pemikiran Etika lingkungan ekofeminis Shiva dan Warren diselami dan ditafsirkan secara tepat untuk menemukan arti dan nuansanya yang khas. 3. Komparasi Membandingkan pandangan etika Lingkungan Shiva dengan Warren tentang relasi antara manusia dengan sesama maupun dengan alam baik dari sisi kesamaan maupun perbedaannya. 4. Holistika Pemikiran etika lingkungan Shiva dengan Warren dilihat dalam keseluruhan visinya mengenai hubungan manusia dengan sesama, hutan maupun dengan Tuhan nya (kepercayaannya terhadap yang transendental) ( Bakker dan Zubair, 1990:63-65). Hasil analisis filosofis pemikiran Shiva dan Warren diimplementasikan dan dikontekstualisasikan dalam kerangka pengembangan etika lingkungan di Indonesia
42
dengan mengambil studi kasus pengelolaan hutan Wonosadi di desa Beji Kecamatan Ngawen kabupaten Gunung Kidul. Unsur –unsur metode filsafat yang dipergunakan untuk menganalisis data lapangan adalah: 1. Hermeneutika Metode hermeneutika dilakukan dengan cara menafsirkan kedalam konsepsi filosofis yang paling dalam tentang dimensi etis yang mewarnai kehidupan Warga desa Beji dalam pengelolaan hutan Wonosadi. Semua unsur aktivitas budaya masyarakat dilihat dalam rangka keseluruhan sistem filsafat yang menyangkut hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesamanya, dengan hutan maupun dengan Tuhannya. Cakrawala pengamatan yang total dan lengkap ini akan memberikan makna yang difinitif tetang konsep etika lingkungan ekofeminis warga desa Beji dalam pengelolaan hutan. Cara kerja metode hermeneutika menggunakan model hermeneutika Ricoeur yang berawal dari pemaknaan simbol-simbol yang bersifat literal. Bertolak dari pemaknaan simbol literal kemudian dilanjutkan dengan refleksi – fenomenologis dengan cara melihat secara kritis dan mendasar tentang fenomena filsafat hidup masyarakat pemiliki simbol. Berikut
ini
bagan
yang
menggambarkan
langkah-langkah
hermenutika (Kaelan, 2005:84) : Peneliti
Fenomena Sosial budaya
Simbol-Simbol
43
Gejala -Gejala
metode
Interpretasi
Pemaknaan Makna Literal
Pemaknaan Simbol Pada Tahap Refleksi Fenomenologis
Pemaknaan Simbol Pada Tahap Eksistensial
2. Heuristika Metode heuristika digunakan untuk menelaah keseluruhan data dari sudut arti dan makna yang ada dibalik praktek hidup masyarakat desa Beji pada saat menjalin relasi sesama manusia maupun dengan hutan; kemudian direfleksikan dalam kerangka pemikiran dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dari perspektif ekofeminisme. Melalui refleksi metodis kefilsafatan ini diharapkan dapat menemukan visi baru tentang konsep pengelolaan hutan yang lestari
( Baker,
Zubair, 1990:94 –96). H. Sistematika Penulisan Bab I : merupakan bagian pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang, perumusan masalah, manfaat penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistemaka penulisan .
44
Bab II
: mambahas pandangan etika ekofeminis Shiva dimulai dengan
mendeskripsikan riwayat hidup, karya-karya ilmiah, corak pemikiran ekofeminis, kritik terhadap kapitalisme patriarkhi, konsep hubungan antara alam dengan perempuan,
konsep etika kepedulian, arah rekonstruksi pemikiran ekofeminis
menuju keadilan sosial berwawasan ekologis, dan prinsip-prinsip etis etika ekofeminisnya. Bab III. membahas tentang pandangan etika ekofeminis Warren dimulai dengan mengungkap riwayat hidup dan karya-karyanya, corak pemikiran, kritik terhadap kerangka kerja konseptual patriarkhi, konsep etika kepedulian yang sensitif, konsep keadilan sosial inklusif, hubungan antara perempuan dengan alam dan
prinsip-
prinsip etis etika ekofeminisnya. Bab IV. Mengkomparasikan antara pandangan etika ekofeminis Shiva dengan J. Warren dimulai dengan memaparkan kesamaan dan perbedaan, kelebihan dan kekurangan, dan kontribusi pemikiran yang dihasilkan bagi pengembangan etika lingkungan di Indonesia . Bab V. Pemikiran Shiva dan Warren dipergunakan untuk menganalisis dan merumuskan visi ekofeminisme masyarakat desa Beji dalam melestarikan hutan Wonosadi. Diawali dengan pemaparan profil kondisi lingkungan sosial dan lingkungan fisik desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul meliputi kondisi lingkungan sosial, ekonomi, budaya, demografi , geografis desa Beji beserta sejarah hutan Wonosadi untuk digunakan sebagai data awal melakukan kegiatan refleksi kefilsafatan. Kegiatan refleksi kefilsafatan dilakukan dalam bentuk mengungkap visi ekofeminis masyarakat desa Beji pada saat melakukan gerakan
45
menghutankan kembali Wonosadi, kearifan perempuan perempuan desa Beji dalam pengelolaan hutan, konflik dalam pemanfaatan sumber daya hutan Wonosadi, mengungkap prinsip hormat terhadap kehidupan sebagai fondasi pengembangan etika ekofeminis masyarakat desa Beji, Ekofeminis spiritual sebagai penopang kelestarian hutan Wonosadi, visi ekofeminis yang terdapat dibalik pengembangan tata ruang, visi
keadilan
ekologis
masyarakat
pengembangan hutan Wonosadi.
desa
Beji,
prinsip-prinsip
etis
dalam
Refleksi filsosofis diakhiri dengan melakukan
evaluasi kritis dan konstruktif terhadap kelemahan,
kelebihan,
kedepan arah pengembangan etika ekofeminis warga desa Beji. Bab VI Penutup berisikan kesimpulan dan saran.
46
serta proyeksi