BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang “Law is a command of the Lawgiver” (hukum adalah perintah dari penguasa),
dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Sistem hukum akan selalu berkembang dan berubah sesuai dengan kemajuan bangsa dan Negara, atau konstruksi politik Negara, sebagaimana diuraikan bahwa salah satu unsur yang penting dari konstruksi politik yang harus menjiwai sistem hukum adalah falsafah dasar Negara dan pandangan hidup bangsa 1. Dalam hal ini, hukum Indonesia erat kaitannya dengan politik, yang kemudian muncul tawar-menawar kekuatan politik di parlemen sangat kuat dominan memberi warna hukum. Dengan demikian sulit dihindari bahwa hukum memang produk politik, namun setelah menjadi hukum, maka politik harus tunduk kepada hukum. Indonesia adalah Negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Menurut prof, Zainuddin Ali, M.A 2, hukum adalah pelembagaan aturan. Ketika masyarakat menyadari bahwa kekuasaan setiap individu perlu dikontrol oleh hukum maka hak dan kewajiban tidak ditentukan oleh yang berkuasa, melainkan oleh yang diakui bersama sebagai suatu kebenaran. Adapun Politik adalah 1 2
Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta. hlm. 3 Zainuddin Ali, 2006, Sosiologi Hukum, Yayasan Mayarakat Indonesia Baru. Palu. hlm. 47
1
permainan kekuasaan. Dalam masyarakat yang tidak berhukum (hukum rimba), melarat dan berbudaya rendah pun, politik tetap ada. Di dalamnya terdapat segala cara untuk meningkatkan kekuasaan individu atau kelompok. Menurut prof. Subekti, Politik juga bisa di artikan segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. Pengertian politik hukum itu sendiri adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk
menghukumkan
sesuatu
(menjadikan
sesuatu
sebagai
Hukum).
Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya. Sedangkan menurut Sadjipto Rahardjo 3, Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat. Berbicara tentang relasi antara hukum dan politik adalah berbicara bagaimana hukum bekerja dalam sebuah situasi politik tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang berkembang dan nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan. Dengan demikian idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, maka hukum yang berjalan akan menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat.
3
Satjipto Rahardjo, 1983, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandunh, hlm. 36
2
Hukum sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa negara adalah sebuah produk dari kegiatan politik, yang dapat terbaca dari konteks dan kepentingan yang melahirkan hukum itu dan bagaimana hukum tersebut dijalankan 4. Berbeda dengan kaidah agama yang didasarkan pada ketaatan individu pada Tuhan atau kaidah kesusilaan dan kesopanan yang didasarkan pada suara hati atau dasar-dasar kepatutan dan kebiasaan, kaidah hukum dibuat untuk memberikan sangsi secara langsung yang didasarkan pada tindakan nyata atas apa yang disepakati/ditetapkan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan keputusan politik. Berdasarkan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip membangun supremasi hukum yang berkeadilan. Dalam konteks Indonesia, cita dan fakta yang berkaitan dengan penegakan keadilan masih belum dapat bertemu. Maraknya fenomena praktik politik dinasti menunjukan akar feodalisme dan tradisi monarki di tanah air yang belum banyak berubah. Saat ini, politik dinasti tengah menjadi tren diberbagai daerah di Indonesia. Praktik semacam ini harus segera dihentikan, bukan hanya bertentangan dengan semangat hakiki demokrasi,
4
Ibid., hlm 40
3
namun praktik politik dinasti berpotensi kuat menutup peluang masyarakat untuk menjadi pemimpin. Politik Dinasti telah ada dan telah berlangsung di Indonesia sejak Bung Karno berkuasa. Meskipun Politik Dinasti tidak melanggar peraturan berdemokrasi, dalam praktiknya Politik Dinasti menahan adanya mobilisasi sosial, sebab kekuasaan hanya diasosiasikan pada golongan masyarakat tertentu saja 5. Politik Dinasti adalah fenomena politik munculnya calon dari lingkungan keluarga kepala pemerintahan yang sedang berkuasa. Politik Dinasti yang dalam bahasa sederhana dapat diartikan sebagai sebuah rezim kekuasaan politik atau aktor politik yang dijalankan secara turn-temurun atau dilakukan oleh salah keluarga ataupun kerabat dekat. Rezim politik ini terbentuk dikarenakan concern yang sangat tinggi antara anggota keluarga terhadap perpolitikan dan biasanya orientasi Politik Dinasti ini adalah kekuasaan 6. Politik dinasti (dynasty politics) juga dapat diartikan sebagai praktik kekuasaan dimana anggota keluarga (sanak famili) diberi dan/atau mendapat posisi dalam struktur kekuasaan, jadi kekuasaan hanya terbagi kepada dan terdistribusi dikalangan kerabat, keluarga sedarah 7. Secara umum, Politik Dinasti adalah proses mengarahkan
regenerasi
kekuasaan
bagi
kepentingan
golongan
tertentu
(contohnya keluarga elite) untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di suatu Negara atau daerah. Politik Dinasti merupakan sebuah serangkaian strategi politik manusia yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan, agar kekuasaan tersebut tetap berada di 5
Kompas, T. L, 2004, Partai-partai Politik Indonesia, Ideologi dan Program. Kompas, Jakarta, hlm. 24 6 Ibid,. hlm. 27 7 Burhanuddin Muhtadi, 2013, Perang Bintang 2014 : Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan Pilpre, Noura Books (PT MizanPublika), Jakarta, hlm. 55
4
pihaknya dengan cara mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya. Terdapat pula pengertian positif dan negatif tentang politik dinasti. Negatif dan positif tersebut bergantung pada proses dan hasil (output) dari jabatan kekuasaan yang dipegang oleh jaringan Politik Dinasti bersangkutan. Kalau proses pemilihannya fair dan demokratis serta kepemimpinan yang dijalankannya mendatangkan kebaikan dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat maka politik dinasti dapat berarti positif. Akan tetapi, bisa berarti negatif jika yang terjadi sebaliknya. Selain itu, positif dan negatif arti politik dinasti juga ditentukan oleh realitas kondisi sosial masyarakat, sistem hukum dan penegakan hukum, dan pelembagaan politik bersangkutan. Politik dinasti yang terdapat pada masyarakat dengan tingkat pendidikan politik yang rendah, sistem hukum dan penegakan hukum yang lemah serta pelembagaan politik yang belum mantap, maka politik dinasti dapat berarti negative. Di zaman modern ini, politik dinasti itu sudah dikatakan basi. Apalagi di Indonesia yang menganut sistem demokrasi seharusnya sudah jauh-jauh ditinggalkan, karena prinsip demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kekuasaan ada di tangan rakyat. Rakyat memegang kendali melalui hak pilih yang dimilikinya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Jadi dinasti itu lawannya dari demokrasi. Namun di era demokrasi sekarang ini, dinasti juga masih tetap berlaku meskipun sudah ada partai politik ataupun pemilihan
5
langsung 8. Dinasti dewasa ini melalui partai politik, sehingga disebut sebagai politik dinasti. Politik dinasti itu bahasa lainnya adalah nepotisme. Para pejabat politik di negeri ini sedang memperaktekkan kebiasaan para raja terdahulu. Bisa dilihat bagaimana penguasa baik di pusat maupun daerah berlomba-lomba untuk mengangkat sanak keluarga, saudara, kerabat dan orang-orang dekat mereka untuk mengisi jabatan-jabatan di wilayah kekuasaannya. Kalau seperti ini apa bedanya demokrasi dengan oligarki, sama-sama dipegang oleh elite tertentu. Pemerintahan yang demokrasi ini tercermin didalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan merupakan Undang-Undang (UU) yang mengatur secara gamblang tentang Pemerintahan Daerah. Dengan dikeluarkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintah pusat memberikan kekuasaan yang sangat luas kepada daerah provinsi atau kabupaten/kota 9. Apalagi di tahun 2005 dilaksanakan pemilihan kepala daerah langsung, yang pertama kali dilaksanakan di Sulawesi Utara, pemilihan Gubernur Sulut 2005. Dengan adanya otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan keluasan kepada putra daerah untuk membangun daerahnya. Otonomi daerah, partisipasi masyarakat diharapkan lebih banyak dalam membantu pembangunan 10. Namun dalam prakteknya ternyata otonomi daerah ini bukan seperti itu. Malah otonomi daerah ini memberikan keluasan kepada elite untuk menguasai daerah. Baik itu sebagai pimpinan tertinggi (Gubernur/Wagub, Bupati/Wabup, dan Wali
8
Maddick, H, 2005, Democracy, Decentralisation, and Development (Terjemahan), BombayAsian Publishing House, Bandung, hlm. 67 9 Sanit, D. A., 1984. Sistem Politik Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta, hlm. 93 10 Maddick, H, Op. Cit., hlm 73
6
Kota/Wawali) ataupun hanya ditempatkan sebagai pimpinan SKPD. Bisa dikatakan politik dinasti sudah menjamur di daerah-daerah otonom. Sehingga bisa dikatakan politik dinasti ini sebagai cambuk bagi berlangsungnya otonomi daerah. Dimana otonomi daerah yang diberikan pusat bukannya untuk dirasakan oleh semua masyarakat, tetapi lebih kepada elite masyarakat. Politik dinasti bukan tidak baik bagi perkembangan pemerintahan Indonesia, namun akan menjadi sangat tidak baik apabila calon-calon yang dimandatkan untuk memimpin rakyat adalaha bukan calon yang kompeten pada bidangnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa yang seringkali banyak terjadi pada kehidupan masyarakat adalah munculnya calon pemimpin daerah yang bukan merupakan calon yang kompeten untuk memimpin daerah dan rakyatnya. Ringkasnya, mengenai sifat baik buruk politik dinasti pada dasarnya memang akan sangat bergantung pada pendasaran dan filsafat politik apa yang kita anut. Bagi mereka yang berpandangan ekstrem liberal yang menganggap bahwa inti dari politik adalah hak-hak individual, politik dinasti diperbolehkan, bahkan mesti dibela. Ini dipandang sebagai bagian dari hak individu. Terdapat beberapa alasan mengapa politik dinasti tidak dapat kita terima. Pertama, kata rakyat, demokrasi, dan kata politik sebagaimana ditulis konstitusi bahwa pada dasarnya merujuk pada hal yang sama, yakni kemaslahatan umum atau kepentingan orang banyak atau publik. Artinya, politik dalam paham ketatanegaraan kita secara prinsip harus bersumber dan sekaligus diarahkan ke tujuan kemaslahatan orang banyak. Politik dinasti berlawanan dengan paham di atas karena di dalamnya yang menjadi dasar sekaligus tujuan adalah kepentingan pribadi . Kedua, konsep demokrasi yang kita
7
terima mengedepankan legitimasi dan reproduksi kekuasaan yang melibatkan orang banyak. Artinya, sekali lagi mau ditegaskan bahwa politik selalu adalah urusan “yang umum” atau “yang publik”. Prinsip ini tidak dapat dirubah dengan manipulasi uang, media, dan eksploitasi budaya patronase yang masih kuat. Barangkali sama sekali tidak merusak prosedur demokrasi kita, tetapi secara prinsip merusak substansi politik dan demokrasi yang mengedepankan kemaslahatan dan akal budi umum. Untuk itu politik dinasti perlu dibatasi karena pertimbangan : Pertama, dinasti politik, terutama di daerah, hanya akan memperkokoh politik yang negatif. Bila jabatan-jabatan penting di lembaga eksekutif dan legislatif dikuasai oleh satu keluarga, maka mekanisme check and balances tidak akan efektif. Akibatnya, rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan diri dan keluarga. Kedua, dinasti politik mengarah pada terbentuknya kekuasaan yang absolut. Kekuasaan absolut yang rawan korupsi akan terbentuk, sebagaimana adagium politik terkenal dari Lord Acton: “Power tends to corrupt, and Absolute Power Tends to Corrupt Absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut akan cenderung korup secara absolut pula). Ketiga, dinasti politik pada masyarakat Indonesia yang pendidikan politiknya relatif kurang dan sistem hukum serta penegakan hukum (law enforcement) yang lemah, maka akan menyebabkan proses kontestasi politik menjadi tidak adil. Keluarga yang maju dalam kontestasi politik, seperti Pemilukada, akan dengan mudah memanfaatkan fasilitas pemerintah dan jaringan untuk memenangkan
8
pertarungan seraya menyingkirkan para kompetitornya. Apalagi, bila keluargapun turut berbisnis dalam tender-tender dalam proyek pemerintah di daerah bersangkutan, maka dapat dibayangkan dana-dana pemerintah dalam bentuk proyek mudah menjadi bancakan dengan aneka warna KKNnya. Dana pemerintah seolah milik uang keluarga. Keempat, dinasti politik dapat menutup peluang warga negara lainnya di luar keluarganya untuk menjadi pejabat publik. Tentu hal ini, bila terjadi, akan mengurangi kualitas demokrasi kita. Untuk itu memang perlu diatur agar jabatan kepala pemerintahan puncak, tidak dijabat secara terus menerus oleh satu keluarga inti secara berurutan. Kelima, pembatasan dinasti politik diarahkan untuk meningkatkan derajat kualitas demokrasi dengan cara memperluas kesempatan bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam jabatan-jabatan publik dan mereduksi penyalahgunaan jabatan incumbent dalam kontestasi Pemilu maupun Pemilukada. Politik dinasti yang berkembang di masyarakat dewasa ini bahkan sudah tidak hanya terjadi ditingkat Provinsi, namun juga menjalar ditingkat Kabupaten/Kota. Praktik politik dinasty ini terjadi di Kabupaten Jombang. Bupati Suyanto yang notabenenya adalah Bupati incumbent selama masa jabatannya (2 periode) meletakkan keluarga serta kerabatnya kedalam pemerintahan daerah yang dipimpinnya. Suyanto merangkul Ibu Subandriah sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah Jombang (adik kandung Bupati Suyanto). Kemudian mendudukkan Ibu Supracahyaningsih sebagai Kepala Dinas Badan Kepegawaian Daerah (BKD)
Kabupaten Jombang. Juga ibu Sadarestuwati sebagai Kepala
9
Dinas Pertanian Kabupaten Jombang. Serta adik bungsunya, Sumrambah, sebagai ketua DPP PDI-Perjuangan dan mencalobkan diri sebagai wakil kepala daerah periode 2013-2018. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 ayat (2) yang menegaskan bahwa “Pemerintahan daerah provisi, pemerintahan kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan dan tugas pembantuan”, kepala daerah (Bupati) memang berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan daerahnya, namun hal ini tidak berarti dapat menempatkan sanak saudaranya kedalam pemerintahan daerah yang dipimpinnya. Karena sejatinya seorang kepala daerah ataupun jabatan penting yang ada di daerah harus diisi oleh orang yang memang memiliki akuntaabilitas, kapabalitas dan integritas, bukan karena pertalian saudara antara elite politik dengan kelompoknya 11. Banyaknya “complaint” yang berkembang di masyarakat tentang tidak layaknya pelayanan yang diberikan oleh instansi-instansi setempat yang merupakan instansi tempat berkedudukannya saudara-saudara dari Bupati Suyanto. Fakta semacam ini semakin menguatkan perkembangan citra politik dinasti yang berkembang di Jombang tidak pada mestinya diberikan kepada orang-orang yang mempunyai kualitas dalam hal tersebut dan mengakibatkan kerugian pada masyrakat dan serta tidak memberikan jawaban atas demokrasi yang selama ini disebut-disebut “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”.
11
Maddick, H, Op. Cit., hlm 84
10
Fenomena ini jelas jauh dari cita-cita politik hukum yang bertujuan untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat. Adanya praktik politik dinasti di masyarakat, khususnya di tubuh pemerintahan Daerah Kabupaten Jombang ini selain menimbulkan ketidak adilan bagi masyarakat yang secara kualitas lebih berintegritas yang layak untuk menjabat atau menduduki suatu jabatan tertentu tapi harus “tertabrak” oleh calon-calon pejabat daerah yang telah disiapkan oleh Bupati Jombang sendiri, yang tak lain adalah saudara-saudara dari Bupati Suyanto. Fenomena ini juga akan menimbulkan keresahan bagi masyarakat yang butuh kepastian hukum agar tidak semakin menjamur praktik politik dinasti seperti yang sedang marak terjadi seperti saat ini. Dominasi dan cengkeraman dinasti politik di daerah, bagaimanapun, harus dibatasi. Siapa pun yang memiliki akumulasi kekuasaan luar biasa dan berbasis kekerabatan cenderung sulit mengendalikan moral hazard yang dimilikinya untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan. Mengingat permasalahan diatas, tepat jika Undang-Undang Pilkada yang baru saja disah-kan oleh pemerintah, mengusulkan adanya jeda pencalonan bagi keluarga dinasti politik, baik bersifat vertikal maupun horizontal. Pasal 70 menyebutkan bahwa warga negara Republik Indonesia yang dapat ditetapkan jadi calon bupati/wali kota adalah yang tidak punya ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur dan bupati/wali kota kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan. Ketentuan di atas jadi penting dimasukkan dalam Undang-Undang Pilkada yang baru mengingat potensi konflik kepentingan pejabat petahana terhadap calon
11
kepala daerah yang memiliki hubungan darah akan tak terhindarkan. Meski Pasal 93 Ayat (1) menyebutkan sejumlah larangan dalam kampanye adalah di mana calon kepala daerah tidak boleh melibatkan pejabat petahana hingga pegawai negeri, kepala desa dan perangkat desa, tetapi konflik kepentingan pasti sulit dihilangkan oleh pejabat yang anak, istri, adik, dan kakaknya jadi calon kepala daerah. Meskipun Pasal 94 Ayat (1) menegaskan, “pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye”, tetap saja fakta di lapangan menunjukkan sejumlah pejabat membuat sejumlah kebijakan politik yang menguntungkan calon kepala daerah yang menjadi kerabatnya. Meski Pasal 92 menyebutkan bahwa dalam kampanye dilarang menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah, dan hal ini merupakan tindak pidana dan dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 95 ayat (1), dalam pelaksanaannya tindakan penegakan hukum atas hal itu sangat lemah. Karena itu, Pasal 70 di atas jadi kunci utama mengantisipasi potensi penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas yang dimiliki pejabat bersangkutan. Gejala penguatan cengkeraman dinasti politik di sejumlah daerah, bagaimanapun, akan menggerus nilai-nilai demokratisasi di Indonesia. Tak semua menyadari bahaya yang mengancam di balik cengkeraman dinasti politik di setiap daerah. Sebaliknya, banyak di antara mereka yang telanjur nyaman dengan cengkeraman keluarga dinasti politik tertentu.
12
Dari uraian diatas maka peneliti ingin membahas lebih dalam lagi tentang praktik politik dinasti yang seharusnya tidak terjadi di era demokrasi ini ditinjau dari perspektif politik hukum yang dituangkan kedalam sebuah tesis yang berjudul “Praktik Politik Dinasti dalam Pemerintahan Kabupaten Jombang (Ditinjau dari Perspektif Politik Hukum)” B. Rumusan Masalah Berdasar latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa sajakah yang mendorong terjadinya praktik politk dinasti pada pemerintahan daerah Kabupaten Jombang? 2. Apa implikasi politik dinasti terhadap kebijakan pemerintah? 3. Bagaimanakah
praktik
politik
dinasti
pada
pemerintahan
daerah
Kabupaten Jombang ini ditinjau dalam perspektif politik hukum? C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Obyektif Penelitian ini secara obyektif bertujuan untuk menganalisis adanya praktik politik dinasti dengan kaitanya dalam perspektif politik hukum. Kemudian untuk menganalisis faktor pendorong terjadinya praktik politik dinasti dalam pemerintahan Kabupaten Jombang di era demokrasi saat ini, serta apakah implikasi dari adanya fenomena politik dinati ini terhadap kebijakan daerah. 2. Tujuan Subyektif
13
Penelitian ini secara subyektif dilaksanakan dalam rangka penyusunan tesis sebagai syarat akademis untuk memperoleh gelar Master Hukum (M.H.) pada Program Magister Ilmu Hukum, Klaster Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat
bagi
pengembangan
ilmu
pengetahuan,
dan
dapat
mengembangkan pengetahuan mengenai politik dinasti, khususnya yang terjadi di dalam pemerintahan Kabupaten Jombang yang ditinjau dari perspektif politik hukum. Dan juga dalam penelitian ini membahas tentang faktor-faktor
yang
mendorong
terjadinya
politik
dinasti
dalam
pemerintahan Indonesia, khususnya di Kabupaten Jombang. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para praktisi, akademisi dan regulator dalam rangka menjelaskan mengenai permasalahan praktik politik dinasti yang sedang marak terjadi ditinjau dari perspektif politik hukum. Serta dapat menjelaskan faktorfaktor pendorong terjadinya praktik politik dinasti beserta solusi untuk meminimalkan adanya praktik tersebut kembali. Sehingga diharapkan akan terwujud sebuah tujuan hukum yang selama ini dicita-citakan selama ini, serta mampu memberikan kepastian dan keadilan bagi masyarakat luas.
14
E. Keaslian Tulisan Berdasarkan penelusuran dan pengamatan peneliti lakukan di perpustakaan Fakultas Hukum UGM, peneliti belum menemukan tulisan yang secara khusus membahas masalah Praktik Politik Dinasti dalam Pemerintahan Kabupaten Jombang (Ditinjau dari Perspektif Politik Hukum). Dari sekian banyak hasil penelitian yang ada, peneliti hanya menemukan beberapa hasil penelitian yang dianggap memiliki substansi yang memiliki kemiripan dengan permasalahan yang dirumuskan peneliti tetapi berbeda dalam pengkajian masalahnya. 1.
Adapun skripsi karya Waode Sarantika, dengan judul “Politik Dinasti Keluarga Yasin Limpo dalam Penguatan Kekuasaan Syahrul Yasin Limpo (SYL)”. 12 Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini lebih menekankan pada analisis politik dinasti yang dilakukan oleh keluarga Yasin Limpo dalam rangka penguatan kekuasaan serta bentuk jaringan Yasin Limpo terhadap kekuasaan Syahrul Yasin Limpo tersebut. Skripsi ini membahas tentang politik dinasti yang dilakukan oleh keluarga Yasin Limpo. Begitu kuatnya sebuah jaringan keluarga Yasin Limpo sehingga mampumemberi pengaruh kekuasaan bagi Syahrul Yasin Limpo hingga sekarang sebagai Gubernur Sulawesi Selatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh figur Syahrul Yasin Limpo, dan untuk mengetahui strategi apa yang dipakai Syahrul Yasin Limpo dalam memenangkan Pilkada Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2007 serta untuk mengetahui peran partai koalisi dan tim sukses. Perbedaannya dengan tesis peneliti adalah subyek penelitian, fokus penelitian yang peneliti angkat dalam perspektif politik 12
Waode Sarantika, 2012, Politik Dinasti Keluarga Yasin Limpo dalam Penguatan Kekuasaan Yasin Limpo (YSL), Skripsi Sarjana Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya.
15
hukum, serta pembahasan tentang praktik politik beserta faktor-faktor pendorong terjadinya praktik politik dinasti di tubuh pemeritahan daerah Kabupaten Jombang. 2.
Problematika Politik Dinasti di Kerajaan Ratu Atut Provinsi Banten yang ditulis oleh Raizza Tressya dan Mirza Mahlevi. 13 Laporan hasil penelitian mengangkat
permasalahan
mengenai
faktor-faktor
pendorong
ini
terjadinya
problematika politik dinasti di Kerajaan Ratu Atut Provinsi Banten serta tindakan hukum yang tepat terhadap probematika politik dinasti. Pemberhentian sementara Djoko jadi titik awal kekuasaan Wakil Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah di Banten. Saat Pilkada Banten 2006, Atut mencalonkan diri sebagai gubernur Banten. Atut yang berpasangan dengan M Masduki memenangi Pilkada Banten. Keduanya menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten 2007-2012. Sejak menjadi orang nomor satu di Banten itulah, satu per satu anggota keluarga besar Atut masuk ke politik praktis. Diawali kemunculan Airin Rachmi Diany, adik ipar Atut, dalam Pilkada Kabupaten Tangerang 2008. Istri Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan (adik Atut) itu jadi calon wakil bupati mendampingi Jazuli Juwaini dari PKS. Namun, pasangan ini dikalahkan pasangan petahana, Ismet Iskandar-Rano Karno. Tahun yang sama, adik tiri Atut, Tubagus Haerul Jaman, maju sebagai calon wakil wali kota Serang berpasangan dengan Bunyamin (mantan Bupati Serang) dan menang. Kurang dari tiga tahun berkuasa, 1 Maret 2011, Bunyamin meninggal dunia. Jaman lalu diangkat menjadi Wali Kota Serang. Saat Pilkada Kota Serang 2013, ia kembali mencalonkan diri dan menang. 13
Raizza Tressya dan Mirza Mahlevi, 2013, Laporan Hasil Penelitian “Problematika Politik Dinasti di Kerajaan Ratu Atut Provinsi Banten”, Unit Penelitian dan Pengembangan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya.
16
Tahun 2010, adik Atut, Ratu Tatu Chasanah, mengikuti Pilkada Kabupaten Serang. Ia terpilih jadi Wakil Bupati Serang 2010-2015 mendampingi Taufik Nuriman. Airin yang gagal di Pilkada Kabupaten Tangerang coba peruntungan di Pilkada Kota Tangerang Selatan 2010. Airin yang berpasangan dengan Benyamin Davnie terpilih sebagai Wali Kota Tangerang Selatan 2011-2015. Ibu tiri Atut, Heryani, juga tak ketinggalan. Ia terpilih menjadi Wakil Bupati Pandeglang pada Pilkada 2011 mendampingi Erwan Kurtubi. Pada tahun yang sama, Atut kembali mencalonkan diri sebagai gubernur Banten didampingi Rano Karno. Untuk kedua kalinya, Atut terpilih sebagai Gubernur Banten. Tak hanya jabatan di pemerintahan, sejumlah jabatan di lembaga legislatif juga dirambah. Pada Pemilu 2009, suami Atut, Hikmat Tomet, terpilih sebagai anggota DPR. Anak pertama mereka, Andika Hazrumy, jadi anggota DPD perwakilan Banten. Adde Rosi Khairunnisa, menantu Atut (istri Andika), jadi anggota DPRD Kota Serang. Jabatan di sejumlah lembaga dan organisasi kemasyarakatan juga dikuasai. Keluarga Atut juga menguasai Partai Golkar. Hampir semua kerabat dekatnya yang menjadi pimpinan daerah diusung Partai Golkar. Begitu pula kerabat yang menjadi anggota lembaga legislatif, diusung partai berlambang beringin warisan Orde Baru. Laporan Hasil Penelitian ini memiliki kemiripan permasalahan dengan yang peneliti teliti, mengenai faktor-faktor pendorong terjadinya politik dinasti, namun pada subyek penelitian yang berbeda dan fokus penelitian yang berbeda. Laporan hasil penelitian ini lebih luas cakupan subyek penelitiannya, yaitu problematika politik dinasti di Indonesia secara meluas.
17