BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita serta mencapai peran sosial pria dan wanita. Tujuan Bimbingan dan Konseling yang terkait dengan aspek pribadisosial individu salah satunya adalah memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan atau silaturahmi dengan sesama manusia (Syamsu Yusuf, 2006). Berkaitan dengan hubungan sosial, remaja harus menyesuaikan diri dengan orang di luar lingkungan keluarga, seperti kelompok teman sebaya. Kuatnya pengaruh kelompok sebaya terjadi karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman sebaya sebagai kelompok. Kelompok teman sebaya memiliki aturan tertentu yang harus dipatuhi oleh remaja sebagai anggota kelompoknya. Penyesuaian remaja terhadap norma dengan berperilaku sama dengan kelompok teman sebaya disebut konformitas (Monks, 2004). Sarwono (1999) menjabarkan konformitas sebagai bentuk perilaku sama dengan oranglain yang didorong oleh keinginan sendiri. Adanya konformitas dapat dilihat dari perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan saja (Kiesler & Kiesler dalam Sarwono, 1999). Perubahan perilaku remaja sebagai usaha untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok acuan baik ada maupun tidak ada tekanan secara langsung yang berupa suatu tuntutan tidak tertulis dari kelompok teman sebaya terhadap anggotanya, akan memiliki
pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang akan menyebabkan kesenjangan perilaku
pada remaja
anggota kelompok tersebut. Terjadinya kesenjangan perkembangan perilaku peserta didik tentunya sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU No.20 Tahun 2003, yang mencita-citakan sosok pribadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, memiliki pengetahuan dan keterampilan jasmani dan rohani, memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Untuk mencegah berkembangnya kesenjangan perilaku dan mencapai tujuan pendidikan nasional dibutuhkan suatu upaya mengembangkan dan memfasilitasi potensi peserta didik. Upaya ini merupakan bagian dari tanggung jawab bimbingan dan konseling disekolah diorientasikan pada upaya memfasilitasi perkembangan peserta didik yang meliputi aspek pribadi, sosial, karir dan belajar. Havighurst (dalam Hurlock, 1994) berpendapat bahwa kelompok teman sebaya adalah suatu kelompok yang terdiri dari remaja yang mempunyai usia, sifat, dan tingkah laku yang sama dan ciri-ciri utamanya adalah timbul persahabatan. Konsep konformitas seringkali digeneralisasikan untuk masa remaja karena dari banyak penelitian terungkap, salah satunya adalah penelitian Surya (1999) bahwa pada masa remaja konformitas terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan masa pertumbuhan lainnya. Hal tersebut dapat dimengerti mengingat pada masa remaja proses pemantapan diri sedang berlangsung sehingga remaja akan lebih rentan terhadap pengaruh perubahan dan tekanan yang ada di sekitarnya. Dasar utama dari konformitas adalah ketika individu melakukan aktivitas dimana terdapat dorongan yang kuat untuk melakukan sesuatu yang sama dengan
yang lainnya, walaupun tindakan tersebut merupakan cara-cara yang
menyimpang. Remaja yang mempunyai tingkat konformitas tinggi akan lebih banyak tergantung pada aturan dan norma yang berlaku dalam kelompoknya, sehingga remaja cenderung mengatribusikan setiap aktivitasnya sebagai usaha kelompok, bukan usahanya sendiri (Monks, dkk, 2004). Kondisi dimana remaja lebih banyak bergantung dengan aturan dan norma yang berlaku dalam kelompok, disebabkan oleh adanya motivasi remaja untuk menuruti ajakan dalam kelompoknya cukup tinggi, karena menganggap aturan kelompok adalah yang paling benar serta ditandai dengan berbagai usaha yang dilakukan remaja agar diterima dan diakui keberadaannya dalam kelompok. Kondisi emosional yang labil pada remaja juga turut mendorong individu untuk lebih mudah melakukan konformitas. Hurlock (1994) menjelaskan kebutuhan untuk diterima dalam kelompok sebaya menyebabkan remaja melakukan perubahan dalam sikap dan perilaku sesuai dengan perilaku anggota kelompok teman sebaya. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obat terlarang atau berperilaku agresif, maka remaja cenderung mengikutinya tanpa mempedulikan akibatnya bagi diri mereka sendiri. Hal tersebut tidak mengherankan, karena terkadang remaja begitu ingin diterima sehingga akan melakukan apapun sesuai penilaian dan persetujuan dari kelompok teman sebaya agar diterima dan diakui keberadaannya dalam kelompok. Konformitas adalah satu tuntutan yang tidak tertulis dari kelompok teman sebaya terhadap anggotanya namun memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada remaja-anggota kelompok tersebut (Zebua dan Nurdjayadi, 2001). Konformitas dapat berperan secara positif atau negatif pada seorang remaja, peran negatif biasanya berupa penggunaan bahasa yang hanya dimengerti oleh para anggota kelompoknya saja dan keluar dari norma yang baik, melakukan pencurian,
pengrusakan terhadap fasilitas umum, meminum minuman keras, merokok dan bermasalah dengan orang tua dan guru. Sebagai contoh, remaja yang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, dan ingin mengikuti kelompoknya. Di pihak lain, banyak konformitas remaja pada kelompoknya juga dapat berperan positif, seperti mengenakan pakaian yang sama untuk memberikan identitas tentang kelompoknya, remaja juga mempunyai keinginan yang besar untuk meluangkan waktu untuk bersama dengan kelompoknya, sehingga tidak jarang menimbulkan aktivitas yang juga bermanfaat bagi lingkungannya (Santrock, 1995). Pada saat memasuki masa remaja, hubungan seseorang dengan teman-teman sebayanya kemudian menjadi lebih penting (Burn, 1993). Remaja memiliki respon yang kuat serta perasaan positif terhadap orang lain seusianya (Sarwono, 2008). Bahkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
J.S. Volpe kepada remaja berusia 10-24 tahun
menunjukan bahwa perasaan positif remaja terhadap teman sebaya lebih besar daripada terhadap ayah atau ibu (Sarwono, 2008). Salah satu faktor penyebabnya adalah karena orang tua terkadang memberikan tuntutan tertentu yang berlebih kepada remaja (misalnya tuntutan berprestasi), sedangkan tuntutan tersebut tidak begitu terasa bahkan mungkin diabaikan dalam kelompok teman sebaya, sehingga merasa lebih nyaman dan bebas ketika berada dalam kelompok teman sebaya (Santrock, 2003). Kasus bullying yang sering dijumpai adalah kasus senioritas atau adanya intimidasi siswa yang lebih senior terhadap adik kelas baik fisik maupun secara nonfisik. Bullying merupakan perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja dan sadar oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap orang atau sekelompok orang yang lain dengan tujuan menyakiti (Sullivan, 2000).
Kasus bullying merupakan permasalahan yang sudah mendunia, tidak hanya menjadi permasalahan di Indonesia saja tetapi juga di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang. Hasil survei yang dilakukan oleh C. S Mott Children’s Hospital National diketahui bahwa bullying termasuk kedalam sepuluh masalah yang paling mengkhawatirkan pada anak (Davis, 2010). National Institute for Children and Human Development (NICHD) tahun 2001 memaparkan hasil surveinya bahwa lebih dari 16 persen murid sekolah di Amerika Serikat mengaku mengalami bullying oleh murid lain. Survei ini dilakukan pada 15.686 siswa kelas 6 hingga 10 di berbagai sekolah negeri maupun swasta di Amerika Serikat (Sejiwa, 2008). Di Indonesia sendiri sudah ada penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi UI, Yayasan Sejiwa, dan LSM Plan Indonesia pada tahun 2008. Penelitian ini melibatkan sekitar 1.233 orang siswa SD, SMP dan SMA di tiga kota besar di Indonesia yakni, Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan antar siswa di tingkat SMP secara berurutan terjadi di Yogyakarta (77,5%), Jakarta (61,1%) dan Surabaya (59,8%). Perilaku bullying memiliki dampak negatif di segala aspek kehidupan (fisik, psikologis maupun sosial) individu, khususnya remaja (Sejiwa, 2008). Sehingga hal tersebut akan terus mempengaruhi perkembangan mereka selanjutnya. Hal ini erat kaitannya dengan peran dan fungsi perawat dalam upaya pelayanan kesehatan utama (Primary Health Care) yang lebih berfokus pada preventif dan promotif tanpa meninggalkan peran kuratif dan rehabilitatif yaitu memberikan pendidikan untuk pengenalan dan pencegahan atau pengendalian masalah kesehatan (Gaffar, 1999). Keluarga yang menggunakan bullying sebagai cara untuk proses belajar anak akan membuat anak beranggapan bahwa bullying adalah perilaku yang wajar dan bisa
diterima dalam berinteraksi dengan orang lain dan dalam mendapatkan apa yang mereka inginkan (O’Connell, 2003). Berdasarkan informasi yang telah didapatkan, bahwa pada usia remaja terjadi adanya perubahan perilaku sebagai akibat dari tekanan kelompok. Ini terlihat dari kecenderungan remaja untuk selalu menyamakan perilakunya dengan kelompok. Maka hal tersebut akan memicu adanya perilaku bullying terhadap remaja lain yang tidak tergabung dalam kelompok tersebut. Dengan latar belakang masalah yang telah disebutkan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Konformitas Teman Sebaya dengan Perilaku Bullying di SMP Negeri 08 Salatiga kelas VIII. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka masalah yang timbul dapat dirumuskan sebagai berikut. Adakah hubungan yang signifikan antara konformitas teman sebaya dan perilaku bullying siswa KELAS VIII SMP NEGERI 08 SALATIGA. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui signifikansi hubungan antara konformitas teman sebaya dan perilaku bullying siswa KELAS VIII SMP NEGERI 08 SALATIGA. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis maupun praktis, yaitu : 1.4.1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini berupa sumbangan pemikiran dan informasi kepada perkembangan ilmu Bimbingan dan Konseling, khususnya bagi perkembangan psikologi sosial dan psikologi perkembangan, yang berhubungan
dengan konformitas kelompok teman sebaya dan perilaku bullying. Sehingga dapat membuka jalan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan hal tersebut. 1.4.2. Manfaat Praktis 1. Sekolah dan guru Dapat memberikan informasi pada pihak sekolah dan para guru tentang adanya perilaku bullying. Selain itu juga dapat mencegah terjadinya perilaku bullying di sekolah. 2. Orang tua Memberikan informasi mengenai pentingnya mengawasi perilaku anak baik di rumah maupun di sekolah, sehingga perilaku bullying dapat diminimalisasi. 3. Siswa SMP Negeri 08 Salatiga. Mengingatkan siswa, agar dapat menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan perilaku bullying, dan mampu memilah-milah peer group yang tepat.