BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kesepian merupakan fenomena universal bagi peradaban manusia. Setiap individu di muka bumi ini mengalami kesepian pada saat-saat tertentu dalam kehidupannya. Kesepian adalah hal yang wajar dan biasa ditemui pada setiap individu, namun sebagian individu masih memandang kesepian sebagai hal yang negatif karena perasaan menderita yang diakibatkannya (Killen, 1998). Bagi sebagian individu lainnya, kesepian juga dipandang sebagai hal yang memalukan untuk diakui. Hal ini disebabkan oleh stigma yang diberikan oleh masyarakat pada individu yang kesepian sebagai individu yang gagal dan tidak memenuhi standar tertentu untuk diterima dalam suatu kelompok sosial (Rokach, 2004). Menurut Maslow (dalam Schultz, 2005), cinta atau kasih sayang adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, individu memerlukan suatu hubungan akrab dengan individu lain yang didalamnya terdapat kesempatan yang sama besarnya dalam memberi dan menerima cinta. Kegagalan dalam mewujudkan hal tersebut akan menyebabkan kesepian. Peplau & Perlman (1981) menyebutkan bahwa pengalaman kesepian dapat dipersepsi secara berbedabeda oleh setiap individu, namun kesepian akan selalu berkaitan dengan hubungan sosial individu dengan individu lain. Moustakas (1972 dalam Rokach, 2004) membagi kesepian menjadi dua jenis berdasarkan sifatnya yaitu existential loneliness yang bersifat positif dan loneliness anxiety yang bersifat negatif. Existential loneliness adalah keadaan dimana individu sendirian, namun tidak merasa kesepian. Keadaan sendirian tersebut justru dimanfaatkan individu untuk mempersiapkan diri agar dapat membangun hubungan 1
2
yang positif dengan orang lain kelak. Sebaliknya, loneliness anxiety adalah keadaan dimana individu sendirian dan takut kesepian sehingga ia mengusahakan segala cara untuk dapat sesegera mungkin menjalin hubungan dengan orang lain hanya agar terhindar dari kesepian. Kesepian yang bersifat negatif merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan bagi individu yang mengalaminya karena mereka meyakini bahwa keberadaan orang lain adalah sumber perasaan bahagia dan berharga yang mereka rasakan. Killen (1998) menyebutkan bahwa individu kesepian seringkali merasa tersingkirkan, tidak berguna, dan tidak punya tujuan hidup sehingga cenderung enggan
untuk
melakukan
kegiatan
yang
produktif
ketika
sendirian.
Ketidakmampuan dalam membangun hubungan sosial yang diharapkannya dengan orang lain juga dapat membuat individu menolak, tidak mempedulikan, dan bahkan menyerang individu lain yang membuat dirinya tertekan (Santrock, 2003). Individu kesepian seringkali merasa bosan dan hampa yang akhirnya memotivasi mereka untuk mengisi kekosongan yang dirasakan dengan cara apapun, termasuk dengan cara-cara negatif yang merusak diri seperti substance abuse (narkotik, alkohol, dan rokok), workaholic, pola makan yang buruk, dan usaha bunuh diri (Killen, 1998; Lopata, 1969; Qualter, dkk., 2013; Rokach, 2004). Individu yang kesepian juga tak jarang menunjukkan gejala fisik maupun psikis individu depresi seperti gangguan makan dan tidur, sakit kepala, mual, kekebalan tubuh yang menurun, perasaan sedih dan berkecil hati, hilangnya motivasi dan gairah hidup, serta kecenderungan berlebihan untuk mengecam diri sendiri (Adam, dkk., 2011; Burns, 1988; Peplau, 1985). Kesepian dan dampak negatif yang mengikutinya memang tidak pandang bulu dan dapat dialami oleh setiap jenjang usia, namun penelitian menemukan
3
bahwa prevalensi kesepian yang paling tinggi dijumpai pada individu yang berada pada kelompok umur remaja akhir (Cutrona, 1982 dalam Santrock, 2003; McWhirter, 1997 dalam Pamukcu & Meydan, 2010). Survei yang dilakukan oleh Mental Health Foundation di Inggris Raya (UK) menemukan bahwa 36 persen individu yang berada pada rentang usia 18-34 mengaku kesepian (Griffin, 2010). Hasil survei yang dilakukan oleh New Zealand General Social Survey di Selandia Baru juga menemukan bahwa 18 persen remaja akhir dan dewasa awal lebih mengalami kesepian dibanding kelompok umur lainnya (Statistics New Zealand, 2013). Menurut Fuhrmann (1990 dalam Eliasa, 2012), kesepian merupakan salah satu alasan mengapa remaja berperilaku menyimpang. Hal tersebut sejalan dengan penemuan Brennan & Auslander (1979, dalam Peplau & Perlman, 1981) yang menyatakan bahwa kesepian pada remaja seringkali menjadi penyebab bagi nilainilai ujian yang buruk, drop-out dari sekolah, melarikan diri dari rumah, dan kenakalan remaja lainnya seperti mencuri, berjudi, dan vandalisme. Penelitian yang dilakukan oleh Vanhalst, Goossens, Luyckx, Scholte, & Engels (2012) juga menemukan bahwa remaja akhir yang kesepian cenderung memiliki tingkat agreeableness yang rendah, emosi yang labil, harga diri yang rendah, tingkat depresi yang tinggi, kecemasan, dan fobia sosial. Salah satu faktor yang mempengaruhi kesepian adalah dukungan sosial, terutama persepsi terhadap dukungan sosial (Pamukcu & Meydan, 2010; Salimi & Bozorgpour, 2012). Cobb (1976) menyebutkan bahwa dukungan sosial adalah informasi yang meyakinkan individu bahwa dirinya dipedulikan, dikasihi, dihargai, dan dianggap sebagai anggota dari suatu kelompok sosial. Dukungan sosial memiliki banyak manfaat bagi kesejahteraan individu, baik psikis maupun fisik.
4
Para ahli menyatakan bahwa manfaat dukungan sosial dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu, health-compensating dan health-sustaining (Lakey & Cohen, 2000; Shumaker & Brownell, 1984). Dukungan
sosial
sebagai
health-compensating
dapat
meminimalkan
gangguan psikis dan fisik individu yang berada dalam situasi yang menekan dengan menyediakan strategi koping yang berguna untuk mengatasi situasi tersebut (Shumaker & Brownell, 1984). Sebaliknya, dukungan sosial sebagai healthsustaining dapat mempertahankan kesehatan psikis maupun fisik individu dan dengan demikian menjamin kesejahteraan individu ketika ia berada dalam situasi yang menekan sekalipun (Lakey & Cohen, 2000). Remaja akhir merupakan masa transisi yang tidak mudah dilalui dan terkadang dapat menyebabkan individu merasa tertekan. Pada masa transisi ini, individu mengalami perubahan drastis pada lingkungan sosialnya. Remaja akhir umumnya telah menyelesaikan pendidikan mereka di SMA atau sederajat dan melanjutkan studi mereka atau memilih bekerja (Monks, Knoers, & Haditono, 2006). Mereka umumnya tidak dapat membawa popularitas dan posisi sosial mereka di bangku sekolah dulu ke lingkungan yang baru sehingga mereka harus membentuk hubungan sosial yang baru pula (Santrock, 2003). Remaja akhir umumnya juga mulai tinggal terpisah dari orangtua dan anggota keluarga lainnya dan mulai belajar untuk hidup mandiri tanpa bantuan orangtua lagi (McKinney & Milone, 2012). Tantangan dan kesulitan yang dialami pada masa transisi tahap akhir menuju masa dewasa tersebut tersebut membuat individu mengharapkan hubungan yang positif dengan orang terdekat mereka, khususnya orangtua (Medora & Woodward, 1986). Menurut Lestari (2012), orangtua merupakan agen dukungan sosial yang
5
terpenting bagi anak, khususnya remaja akhir. Hal ini disebabkan orangtua adalah agen yang pertama dan utama dalam mengarahkan anggota keluarganya pada kesejahteraan, baik fisik maupun psikis. Namun, banyak ditemukan fakta bahwa keluarga tak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi anggotanya. Maraknya perselingkuhan, perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga serta berbagai persoalan lainnya menyebabkan terjadinya disharmoni antar anggota keluarga (Kristiani, 2007). Gunarsa (1999) juga menyebutkan bahwa tidak semua orangtua mampu memahami dan memperlakukan remaja secara bijaksana. Beberapa orangtua terlalu kaku dan mengekang remaja, sementara yang lainnya justru kurang tegas dan terlalu lemah dalam menegakkan disiplin. Sebaliknya, tidak semua remaja mampu dan mau mengemukakan permasalahannya dengan orangtua sehingga antara orangtua dan remaja tidak terjalin hubungan yang dekat, saling mendukung, dan harmonis. Hal tersebut tentu berdampak negatif bagi kesejahteraan remaja. Sebut saja kasus remaja laki-laki berinisial CK (17) yang memilih mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di kamarnya. Diketahui bahwa sebelum meninggal, CK sering mengeluh pada sahabat dan adik kandungnya bahwa ia merasa kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari ayahnya yang menikah lagi. Ditambah pula CK juga sempat diputuskan oleh pacarnya. Diduga CK nekat bunuh diri karena rendah diri dan merasa tidak ada yang menyayangi dan menerima dirinya
(http://www.tempo.co/read/news/2013/10/09/064520554/Kurang-Kasih-
Sayang-Remaja-Nekat-Gantung-Diri). Kasus serupa juga dialami oleh mahasiswa berinisial MFP (22) yang bunuh diri dengan cara lompat dari lantai lima Mal ITC, Depok. Dari informasi yang
6
diperoleh dari pihak keluarga, diketahui bahwa besarnya tekanan orangtua agar mengikuti dan menyelesaikan jurusan kuliah yang tidak diminati membuat MFP depresi. Ditambah pula, MFP merasa kesulitan karena persoalan kuliah yang tidak bisa diatasi olehnya dan beban permasalahan yang tidak dapat ia bagi dengan siapapun,
termasuk
orangtua
dan
anggota
keluarga
lainnya
(www.indopos.co.id/2014/03/mahasiswa-unas-bunuh-diri-karena-depresi.html). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada salah satu mahasiswi Fakultas Psikologi UGM angkatan 2010, diketahui bahwa ia mengalami kesepian ketika ia mengerjakan skripsi. Proses pengerjaan skripsi yang tak kunjung usai membuat ia merasa tidak nyaman bertemu dengan siapapun, sehingga ia memilih untuk menarik diri secara sosial. Ia merasa kesepian dan mengharapkan dukungan emosional dari orangtuanya. Namun, ternyata orangtuanya justru semakin membuatnya tertekan karena terus membanding-bandingkan dirinya dengan anak teman orangtuanya yang sudah lulus. Ia pun akhirnya membatasi komunikasi dengan orangtuanya juga. Hal tersebut membuat ia merasa sendirian di tengahtengah kesulitan yang ia hadapi. Ia mengakui bahwa saat itu ia juga mengalami gejala-gejala fisik dan psikis depresi seperti gangguan makan dan tidur, kehilangan motivasi dan gairah hidup, serta kecenderungan berlebihan untuk mengecam dan menyalahkan diri sendiri. Keadaan sendirian yang ia alami membuat ia putus asa karena seakan-akan tidak ada yang dapat menolong dirinya, termasuk orangtuanya (Wawancara personal, 10 Mei 2015). Menurut Peplau (1985), telah banyak penelitian yang menemukan hubungan antara depresi dan kesepian. Tidak jarang individu yang kesepian juga menunjukkan gejala-gejala yang sama dengan individu yang depresi. Namun, hal tersebut bukan berarti individu yang kesepian pasti mengalami depresi dan
7
sebaliknya, individu yang depresi pasti mengalami kesepian. Bragg (1970 dalam Peplau, 1985) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan antara individu kesepian yang disertai depresi dan yang tidak disertai depresi. Individu kesepian yang disertai depresi (depressed lonely) cenderung merasa tidak puas terhadap seluruh aspek kehidupan, termasuk terhadap hubungan sosial yang dimiliki. Sebaliknya, individu kesepian yang tidak disertai depresi (nondepressed lonely) hanya merasa tidak puas terhadap hubungan sosial yang dimilikinya saja. Orangtua sebagai bagian dari keluarga inti merupakan individu dewasa yang paling dekat dengan remaja akhir dan salah satu sumber dukungan sosial yang memiliki banyak manfaat bagi kesejahteraan, baik fisik maupun psikis. Para ahli menemukan bahwa dukungan sosial orangtua yang memadai berhubungan dengan tingkat depresi yang rendah pada remaja akhir (Needham, 2008; Piko, Luszczynska, & Fitzpatrick, 2012) dan kepuasan remaja akhir terhadap diri mereka dan seluruh aspek kehidupan (Young, Miller, Norton, & Hill, 1995). Dengan demikian, dukungan sosial orangtua dapat menghindarkan remaja akhir dari risiko kesepian yang disertai depresi (depressed lonely) lewat peningkatan harga diri dan kepuasan terhadap diri dan kehidupan mereka. Dukungan sosial orangtua bukan hanya berhubungan dengan kesepian yang disertai depresi (depressed lonely), namun juga berhubungan dengan kesepian yang tidak disertai depresi (nondepressed lonely). Penelitian yang dilakukan oleh Mounts, Valentiner, Anderson, & Boswell (2006) juga menemukan bahwa dukungan sosial orangtua berupa pemberian nasehat dan strategi pertemanan yang efektif dapat menurunkan risiko kesepian pada remaja akhir yang baru memasuki dunia perkuliahan melalui peningkatan kualitas pertemanan dengan teman sebaya mereka di lingkungan baru. Selain itu, persepsi remaja akhir terhadap dukungan
8
emosional orangtua juga dapat menurunkan tingkat kesepian yang mereka alami ketika tinggal berjauhan dengan orang tua dan mulai belajar untuk hidup mandiri tanpa bantuan orangtua lagi di lingkungan yang baru (Pace & Zapulla, 2013; Thornburg, 1982). Dukungan sosial orangtua juga dapat menghindarkan remaja akhir dari faktor risiko kesepian yaitu self-depreciation yang ditandai oleh evaluasi diri yang negatif dan harga diri yang rendah (Peplau, Miceli, & Morasch, 1982). Hal tersebut disebabkan oleh pemberian dukungan sosial orangtua yang dapat menguatkan evaluasi diri yang positif pada remaja akhir (Gecas, 1971) dan meningkatkan harga diri remaja akhir (Boudreault-Bouchard, Dion, Hains, Vandermeerschen, Laberge, & Perron, 2013). Berdasarkan keterkaitan antara dukungan sosial orangtua dan kesepian pada remaja akhir, peneliti mencoba mengangkat permasalahan yang umum dialami oleh remaja akhir yaitu kesepian. Masa transisi yang dialami remaja akhir adalah masa yang tidak mudah dilalui dan penuh perjuangan. Kesepian terjadi ketika remaja akhir tidak dapat mewujudkan hubungan yang diharapkan, termasuk memperoleh dukungan sosial yang dibutuhkannya dari orangtua di tengah-tengah kesulitan dan tantangan yang mereka hadapi.
B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial orangtua dengan kesepian pada remaja akhir.
9
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Manambah khasanah pengetahuan bagi perkembangan ilmu Psikologi, bidang Psikologi Sosial, Psikologi Keluarga dan Psikologi Perkembangan Remaja, yaitu mengenai dukungan sosial orangtua dan kesepian pada remaja akhir. 2. Manfaat Praktis Memberi informasi bagi setiap pihak yang berkepentingan mengenai hubungan antara dukungan sosial dan kesepian.