BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pulau Jawa yang terdiri dari beberapa provinsi, tentu memiliki konsekuensi tersendiri akan lahirnya suatu kebudayaan yang memiliki karakteristik yang unik dan khas. Hal ini lebih dikarenakan bahwa Pulau Jawa sebagai salah satu pulau dengan kebudayaan lokal yang mana memiliki pengaruh penting bagi masyarakat Jawa karena mayoritas masyarakat Jawa memeluk agama Islam dengan demikian hubungan nilainilai Islam dengan kebudayaan Jawa menjadi menarik karena keberadaan Islam. Budaya Jawa merupakan salah satu dari beragam macam budaya yang berkembang di Indonesia yang kemudian dianggap layak dan menarik untuk dijadikan sebagai suatu tema cerita dalam film. Budaya Jawa dianggap sebagai salah satu contoh budaya yang menarik untuk di audio visualkan yang kemudian dikembangkan dalam narasi cerita dengan tema romantika, drama, persahabatan, horor, petualangan atau action tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya Jawa yang ada. Contoh film yang sudah diangkat kelayar lebar yang memadukan nilai budaya jawa seperti film horor Kuntilanak (2006), Sang Penari (2011), dan yang difilmkan dengan apik memadukan nilai-nilai islam dengan budaya adalah film Sang Pencerah (2010).
1
Perkembangan film di Indonesia saat ini begitu pesat dengan menawarkan alur cerita yang semakin beragam pula. Budaya menjadi suatu topik tersendiri yang kemudian diangkat oleh para sineas di Indonesia untuk kemudian dikembangkan dalam alur cerita yang menarik. Terlebih lagi di Indonesia memiliki beragam karakteristik budaya yang menarik dan secara apik diaudiovisualkan dalam bentuk film yang kemudian menjadi suatu suguhan cerita yang patut untuk dinikmati oleh pecinta film. Tanggapan yang positif terhadap film dengan tema dan berlatar budaya ternyata tidak hanya berkembang dan menjadi garapan besar bagi sineas di Indonesia saja melainkan sudah merambah ke Hollywood. Film Hollywood terbaru besutan sutradara Conor Allyn yang dirilis tanggal 18 April 2013, Java Heat merupakan film yang menjadikan budaya terutama budaya Jawa sebagai tema cerita. Java Heat disinyalir akan menjadi film action dengan unsur budaya yang menarik dan patut untuk dinikmati pecinta film di Indonesia pada khususnya dan diseluruh dunia pada umumnya. Film terbaru yang berjudul Java Heat merupakan film hasil kerjasama antara sineas Indonesia dengan Amerika yang lokasi syutingnya berada di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Imbas dari digarapan film Hollywood di dua benua ini tidak hanya terletak pada pemainnya yang juga berasal dari Indonesia seperti Ario Bayu, Atiqah Hasiholan, Rio Dewanto, Tio Pakusadewo, Frans Tumbuan, dan Rudy Wowor dan yang berasal dari tanah Hollywood sendiri seperti Mickey Rourke, Kellan Lutz, 2
Mike Luccock, Mike Duncan, Brent Duke tetapi juga berimbas pada terasimilasinya budaya Jawa yang menjadi salah satu unsur cerita dalam cerita ini dengan budaya Barat yang cenderung liberal dan non responsibilites. Film ini menceritakan setelah peristiwa bom bunuh diri di Yogyakarta yang menewaskan putri Sultana (Atiqah Hasiholan), Letnan Hashim (Ario Bayu) ditunjuk untuk mencari pelaku dari peristiwa tersebut yang mengarah ke jaringan teroris. Jake (Kellan Lutz) dicurigai oleh Hashim karena dia adalah orang terakhir yang bertemu dan berkomunikasi dengan Sultana. Walau sempat diinterogasi, Jake tetap dicurigai oleh Hashim dan Anton (Rio Dewanto) yang merasa dirinya mengetahui pelaku dari peristiwa tragis tersebut. Jake yang sebenarnya adalah mantan anggota Marinir Amerika Serikat, mencoba untuk memburu buronan bernama Malik (Mickey Rourke) yang diketahui sedang berada di wilayah Yogyakarta. Namun perburuannya tersebut tidaklah mudah karena ia dicurigai oleh kepolisian Yogyakarta di bawah pimpinan Letnan Hashim. Perlahan namun pasti, kecurigaan Hashim terhadap Jake mulai sirna ketika ia diselamatkan olehnya dari berondongan senjata anggota teroris Achmed (Mike Muliardo). Melihat Jake yang sering bersama dengan Hashim, membuat Malik dan Achmed akhirnya bertindak lebih keras dengan cara melibatkan kehidupan pribadi Letnan Hashim. Sejak saat itulah Hashim dan Jake
3
harus berkerjasama dengan baik untuk menangkap Malik, serta mencari tahu apa motifnya melakukan teror di Yogyakarta (www.21cineplex.com diakses pada tanggal 20 Juni 2013). Hidup bermasyarakat memiliki budaya yang berbeda. Seringkali manusia lupa bahwa hidup di wilayah yang memiliki ragam budaya yang tidaklah sama. Sehingga membuat cara pandang terhadap budaya lain seringkali salah atau hanya berdasarkan persepsi yang di dengar dari orang lain. Hal inilah yang sering menghambat dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Penghambat komunikasi yang terjadi menyebabkan timbulnya suatu persepsi atau anggapan yang salah yang kemudian lebih banyak menjurus pada hal-hal yang bersifat negatif. Persepsi atau citra yang disematkan kepada suatu hal tertentu lebih dikenal dengan stereotip. Stereotip yang kemudian menciptakan suatu persepsi yang bersifat negatif disebut juga dengan stereotip negatif. Contoh stereotip yang bersifat negatif adalah ketika kita berbicara dengan orang-orang Barat, kita sering kali menundukkan kepala dan pandangan, sementara mereka memandang mata kita. Mereka menyangka, orang-orang yang tidak memandang lawan bicara sebagai orang-orang yang rendah diri, tidak jujur atau menyembunyikan sesuatu, padahal bagi kita menundukkan kepala dan pandangan pada waktu berbicara apalagi dengan orang yang lebih tua atau orang yang memiliki kedudukan dianggap sebagai suatu tanda penghormatan kepada orang tersebut.
4
Film Java Heat yang menjadikan budaya Jawa sebagai latar dari cerita terdapat berbagai macam stereotip yang kemudian muncul karena adanya hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya Jawa. Tentu saja stereotip tersebut muncul karena adanya suatu perbenturan kebudayaan yang terdapat dalam film Java Heat dimana dalam film ini budaya Barat juga tampil menjadi bagian dari cerita. Fenomena budaya yang terjadi tersebut kemudian di analisis dari perspektif semiotik merupakan sistem tanda yang berkaitan satusama lain yang bersifat konvensional untuk memperoleh makna yang terkandung didalamnya. Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia, yangmana tanda-tanda tersebut haruslah dimaknakan (Hoed, 2008:3). Semiotika digunakan dalam film untuk menganalisis apakah dalam film Java Heat sudah memiliki unsur-unsur atau nilai-nilai budaya Jawa dalam alurnya. Unsur-unsur tersebut dapat diketahui dari tanda-tanda yang dimunculkan dalam setiap adegan dalam film Java Heat. Ada empat hal yang mesti diperhatikan dalam semiotik, yaitu jenis tanda (ikon dan lambang), jenis sistem tanda (bahasa, musik atau gerakan tubuh), jenis teks dan jenis konteks atau situasi yang mempengaruhi makna tanda (kondisi psikologis, sosial, historis dan kultural).Kacamata semiotik memungkinkan orang mengidentifikasi lebih terang gejala budaya dan sosial lewat tanda-tanda kehidupan yang menyertainya. Sementara “tanda” itu dipahami sebagai bentuk yang tercitrakan dalam kognisi manusia dan makna yang dipahami manusia (Hoed, 2008:22 ). 5
Pada hakekatnya Kebudayaan Jawa adalah keseluruhan cara hidup, cara berpikir dan pandangan hidup orang Jawa. Secara filosofis, dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui sifat dan karakter orang Jawa. Satu aspek budaya Jawa yang potensial adalah toleransinya yang amat besar terhadap hal-hal yang berbeda serta sifatnya yang sejuk yang dilandasi oleh rasa asih ing sesami. Rasa asih ing sesami ini yang kemudian diperlukan dalam mengembangkan kebudayaan (Sujamto, 1997:39). Kedatangan bangsa sekaligus budaya Barat ke Indonesia (Jawa) telah banyak mengubah situasi sosial dan budaya di dalam masyarakat Jawa, sehingga masyarakat Jawa mengenal budaya Barat sebagai budaya yang modern. Kolonialis Barat memandang bangsa Timur sebagai bangsa yang perlu untuk dididik menjadi bangsa yang mengerti akan keadilan dan kedisiplinan. Menurut Said (1996: 51), masyarakat Timur adalah masyarakat yang irasional dan kekanak-kanakan, yang berbeda dengan masyarakat Barat yang rasional, berbudi luhur, dan dewasa. Dalam pandangan Barat, bangsa Barat merupakan ras yang lebih unggul daripada bangsa Timur (Said, 1996: 9).Kemudian (Said, 1996: 7) menyebabkan ketetapan Barat menjalin hubungan dengan Timur tidak terlepas dari hubungan kekuatan, dominasi, dan hubungan secara hegemoni yang kompleks (Suratno, 2013: 189). Keragaman budaya dalam film Java Heat menjadi perhatian tersendiri bagi sutradara, dimana dalam film ini menyisipkan banyak hal menarik dalam beberapa dialog dan adegan, mulai dari nasi goreng khas 6
Indonesia yang enak namun penuh lemak trans, burung langka cendrawasih, sindiran bahwa orang barat lebih banyak ngomong dari pada mendengar, stereotip pemikiran orang barat mengenai keragaman agama dan Islam di Indonesia, dan bagaimana orang Indonesia memanggil "Mas" satu sama lain. Film Java Heat seakan menjadi perwujudan kolaborasi apik antara budaya Barat dan Timur yang mencoba memberikan sudut pandang berbeda tentang Indonesia. Sang sutradara Conor Allyn ingin memberikan gambaran kepada industri Hollywood kalau Islam di Indonesia tidak seperti yang mereka pikirkan, lewat film inilah ia mencoba memberikan fakta-fakta menarik tentang kebudayaan Jawa yang lembut dan keharmonisan antara umat beragama. Hal itu diketahui telah dirasakan langsung oleh Conor yang sudah berpengalaman menggarap film trilogi Merah Putih dan sudah tinggal di Indonesia sekitar 4 tahun (www.21cineplex.com diakses pada tanggal 20 Juni 2013). Hal yang menarik lainnya bagi peneliti dalam film ini, yaitu mengenai budaya, antara budaya Jawa (Indonesia) dan budaya Barat (Amerika). Dimana seorang sutradara terlihat ingin memadukan antara keduanya. Namun justru di dalamnya, budaya Jawa tidak begitu terlihat dan kebanyakan justru budaya barat dominan. Ada scene dimana bersetting tempat agak kumuh seperti gang kecil, tapi ada sebuah diskotik yang begitu mewah, di dalamnya terdapat jual beli wanita. Itu sama sekali tidak menggambarkan budaya Jawa. Kemudian pemeran Sultan yang diperankan oleh Rudy Wowor dan Putri Kraton yang diperankan oleh 7
Atiqah Hasiholan sama sekali tidak terlihat seperti orang Jawa. Lalu ada adegan dimana Tio Pakusadewo yang ceritanya seorang bangsawan Jawa mencabut keris, terlihat keris dicabut memakai tangan kiri dengan posisi yang tidak pas. Juga mengenai posisi keris, posisi keris disandang didepan itu sangat tidak biasa. Dalam Budaya Jawa, menempatkan keris di depan adalah saat perang. Budaya Jawa menjadi menarik untuk diteliti oleh peneliti, karena Budaya Jawa merupakan salah satu budaya yang memiliki tingkat akulturasi yang cukup tinggi dengan budaya asing. Dalam Film ini banyak ditemui adegan-adegan dan setting tempat diletakkan pada situasi yang tidak semestinya ada dalam Budaya Jawa. Inilah yang kemudian menjadi titik sentral yang menarik perhatian peneliti untuk meneliti lebih dalam mengenai bagaimana seharusnya Budaya Jawa diinterpretasikan dalam film agar nilai-nilai Budaya Jawa tetap utuh dan tidak terakulturasi dengan budaya lain. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah yaitu “Bagaimana stereotip budaya Jawa dalam film Hollywood?” C. Tujuan Penelitian Terkait dengan rumusan masalah yang sudah ditetapkan diatas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :
8
1.
Untuk mengetahui bagaimana stereotip budaya Jawa dalam film Hollywood.
2.
Untuk mengetahui stereotip yang terkandung dalam budaya Jawa pada film Hollywood.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Sebagai manifestasi atau penerapan teori yang telah diperoleh selama penulis mengikuti kuliah khususnya yang menyangkut tentang teori stereotip, semiotika dan filmologi. 2. Manfaat Praktis Dengan penelitian ini diharapkan bisa menjadi kerangka acuan studi pada berbagai studi film yang selama ini telah melembaga baik secara formal maupun non formal. Selain itu, diharapkan pula dapat menambah bahan pelengkap wawasan tentang sisi dunia perfilman yang selama ini hanya berkisar pada sisi teknis (proses pembuatan) dan bisnis (mengejar keuntungan) semata. E. Kerangka Teori 1. Stereotip Hidup
bermasyarakat
seringkali
manusia
bertemu
dan
berinteraksi dengan manusia lain yang mana memiliki latar belakang serta budaya yang berbeda. Interaksi tersebut kadang bisa di terima
9
dan sebaliknya tidak dapat di terima. Penerimaan interaksi tersebut bisa disebabkan karena adanya kecocokan dengan latar belakang maupun budaya yang cenderung sama. Sedangkan penolakan terhadap interaksi tersebut dapat ditimbulkan karena adanya latar belakang yang berbeda serta budaya yang bertolak belakang. Persamaan maupun perbedaan latar belakang dan budaya tersebut
seringkali
diartikan
sebagai
suatu
indikasi
adanya
penggambaran tentang orang atau sekelompok orang itu sendiri. Manusia memiliki persepsi dan citra atau anggapan yang kemudian di sematkan kepada orang atau sekelompok orang tersebut. Persepsi dan citra atau anggapan tersebut seringkali dikenal sebagai stereotip. Stereotip adalah citra yang dimiliki sekelompok orang tentang sekelompok orang lainnya. Berbicara dengan seorang politisi, kebebasan mengungkapkan apa-apa yang sudah terhambat sedikit, takut salah omong, kecuali stereotip jabatan, seperti polisi, tentara, guru, sopir truk, wartawan, seniman, ada juga stereotip bangsa dan suku bangsa. Biasanya, dibutuhkan perkenalan yang lebih akrab untuk dapat berkomunikasi dengan orang sebagai pribadi sebagaimana adanya sebagai perorangan, bukan dalam stereotip (Lunandi, 1991:49). Stereotip dapat pula disebut sebagai suatu keyakinan bahwa semua anggota kelompok sosial tertentu memiliki karakteristik atau traits yang sama. Stereotip adalah kerangka berpikir kognitif yang sangat mempengaruhi pemrosesan informasi sosial yang datang (Baron& Parke, 2002:230). Menurut Judd dan Ryan, stereotip merupakan kerangka berpikir kognitifyang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu yang mungkin dimilikioleh
10
orang yang menjadi anggota kelompok-kelompok ini. Dengan kata lain, stereotip menyatakan bahwa setiap orang yang menjadi anggota kelompok sosial tertentu memiliki trait-trait tertentu, setidaknya pada derajat tertentu. Ketika sebuah stereotip di aktifkan, trait-trait inilah yang terpikirkan (Baron& Parke, 2002:230). Berdasarkan pada pengertian stereotip tersebut dapat diartikan pula bahwa stereotip terjadi karena adanya komunikasi atau pertukaran budaya satu dengan budaya lain. Hasil pertemuan lintas budaya tersebut kemudian bisa bersifat positif dan bersifat negatif. Bersifat positif apabila setiap pertemuan menyediakan kemungkinan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran budaya. Sedangkan sisi negatifnya, pertemuan itu bisa memperteguh stereotip-stereotip budaya yang negatif dan bisa menimbulkan pengalaman gegar budaya (Mulyana, 2009:184). Stereotip bersifat negatif ini juga dianggap sebagai suatu ejekan. Menurut Mayor Polak, stereotip juga merupakan gambarangambaran atau angan-angan atau tanggapan terhadap individu kelompok yang dikenai prasangka. Individu yang stereotip terhadap suatu golongan maka sikap stereotip ini sukar berubah. Meskipun dikemudian hari apa yang menjadi stereotip tersebut berbeda dengan kenyataan (Ahmadi, 1999:223). Pendapat serupa juga dijelaskan oleh Rakhmat (1999 : 92), dimana stereotip dapat juga menjelaskan terjadinya primacy effect dan
11
halo effect.Primacy effect secara sederhana menunjukkan bahwa kesan pertama amat menentukan kesan-kesan selanjutnya, karena kesan tersebutlah yang kemudian menentukan kategori kita terhadap seseorang. Begitu pula halo effect, personal stimuli yang sudah kita senangi telah mempunyai kategori tertentu yang positif, dan pada kategori tersebut sudah disimpan semua hal-hal yang bersifat baik. Menurut psikologi kognitif, pengalaman-pengalaman baru akan dimasukkan pada “laci” memori kategori berdasarkan kesamannya dengan pengalaman masa lalu. Semua sifat yang ada pada kategori pengalaman tersebut akan dibenturkan dengan pengalaman baru. Dengan cara inilah orang memperoleh informasi tambahan dengan segera, sehingga membantu dalam mengambil keputusan yang cepat atau dalam meramalkan suatu peristiwa (Rakhmat, 1999:92). Sebagai contoh, ketika berjumpa dengan orang asing yang dikategorikan sebagai orang Barat maka akan muncul kesan bahwa orang asing tersebut merupakan orang yang tepat waktu, berbicara terus terang memiliki keterampilan teknologi yang baik. Kesan tersebut tentu saja muncul karena sebelumnya sudah tersimpan dalam memori bagaimana kategori dan sifat dari orang Barat. Stereotip-stereotip juga dapat kita temukan dalam lingkup nasional. Di negara kita misalnya terdapat stereotip-stereotip antarsuku. Tidak jarang kita mendengar bahwa orang Sunda suka basabasi, lelakinya tukang kawin, wanitanya pesolek, orang Padang pelit,
12
orang Jawa penganut aliran kepercayaan, orang Batak kasar dan sebagainya. Stereotip dalam komunikasi antarmanusia pada umumnya akan menghambat keefektifan komunikasi, bahkan pada gilirannya akan menghambat integritas manusia yang sudah pasti harus dilakukannya lewat komunikasi, baik komunikasi verbal ataupun komunikasi bermedia (massa). Dengan demikian, keberadaan stereotip-stereotip antarsuku di negara kita pun dapat pula menghambat integrasi sukusuku bangsa tersebut (Mulyana, 2009:236). Parahnya lagi stereotip dapat kemudian menimbulkan self fulfiling prophecy. Apa yang kita persepsi sangat dipengaruhi oleh apa yang kita harapkan. Bila kita mengharapkan orang-orang lain untuk berperilaku tertentu, kita dapat mengkomunikasikan pengharapan kita kepada mereka dengan cara-cara yang subtil, dan karena itu akan menambah kemungkinan bahwa mereka pun akan berperilaku sebagaimana kita harapkan (Mulyana, 2009:237). Walaupun lebih cenderung negatif, stereotip kadangkala memiliki derajat kebenaran yang cukup tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali. Mendasarkan pada stereotip bisa menyesatkan. Lagi pula stereotip biasanya muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh orang/kelompok lain. Apabila mengenal dan menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka stereotip tehadap orang/kelompok
itu
biasanya
akan
menghilang.
Hal
tersebut
13
dikarenakan stereotip mempengaruhi apa yang di rasakan dan di ingat berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain. Stereotip juga membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan pada anggota kelompok lain. Individu cenderung untuk begitu saja menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagai tipikal sama.
Selain
itu,
stereotip
juga
dapat
menimbulkan
pengkambinghitaman. Stereotip dapat membuat informasi yang diterima tidak akurat. Pada umumnya, stereotip bersifat negatif. Stereotip tidak berbahaya sejauh hanya disimpan dalam pemikiran saja, namun akan bahaya bila diaktifkan dalam hubungan manusia. Stereotip dapat menghambat atau mengganggu komunikasi itu sendiri. Konteks komunikasi lintas budaya dalam melakukan persepsi stereotip terhadap orang padang menyatakan bahwa orang padang itu pelit. Lewat stereotip itu, memperlakukan semua orang padang sebagai orang yang pelit tanpa memandang pribadi atau keunikan masingmasing individu. Orang padang yang di perlakukan sebagai orang yang pelit mungkin akan tersinggung dan memungkinkan munculnya konflik. Atau misal stereotip terhadap orang batak bahwa mereka itu kasar. Dengan adanya persepsi itu, yang tidak suka terhadap orang yang kasar selalu berusaha menghindari komunikasi dengan orang batak sehingga komunikasi dengan orang batak tidak dapat berlangsung lancar dan efektif.
14
Stereotip kemudian menjadi acuan bagi peneliti karena dalam film Java Heat sutradara mencoba untuk memadukan antara budaya barat dengan budaya Jawa. Padahal, budaya Barat (Amerika) dengan budaya Jawa (Indonesia) merupakan dua hal yang berbeda. Dalam penelitian ini stereotip digunakan untuk mengidentifikasi hal-hal yang menjadi dasar pemikiran tentang budaya Jawa menurut perspektif budaya Barat dalam film Java Heat. 2. Nilai-nilai Kebudayaan Jawa Budaya tidak pernah lepas dari identitas suatu bangsa. Bisa jadi budaya menjadi suatu paramater bagi perkembangan gaya hidup dan kebiasaan bagi suatu golongan tertentu dalam lingkup golongan budaya. Budaya menjadi suatu ciri khas yang kemudian akan membedakan antar golongan satu dengan golongan yang lainnya. Keragamaan budaya ada karena perbedaan tersebut kemudian menjadi suatu identitas yang sulit dipisahkan dan ditemukan dalam kebudayaan lainnya. Budaya merupakan suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, obyek-obyek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok (Mulyana, 2009 : 18).
15
Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya (Mulyana, 2009:18). Sedangkan menurut beberapa ahli (Suseno, 1984:11-21), kebudayaan itu mempunyai beberapa unsur atau aspek yaitu :
1. Mitos dan religi Sebagaian besar masyarakat Jawa dianggap sebagai Jawa Kejawen. Kebanyakan dari masyarakat Jawa tidak menjalankan kewajibankewajiban agama islam, mereka tidak berpikir untuk mengatur hidup mereka menurut aturan-aturan Al-Quran. Dasar pandangan mereka adalah pendapat bahwa tatanan alam dan masyarakat sudah ditentukan dalam segala seginya. Keagamaan orang Jawa Kejawen selanjutnya ditentukan oleh kepercayaan pada berbagai macam roh yang tak kelihatan, yang menimbulkan kecelakaan dan penyakit apabila mereka dibuat marah atau kita kurang hari-hati. Orang bisa melindungi diri dengan sekali-kali memberi sesajen yang terdiri dari nasi dan makanan lain, daun-daun bunga dan kemenyan, dan dengan meminta bantuan dukun.
16
2. Bahasa Semula di Jawa dipergunakan empat bahasa yang berbeda. Bahasa Melayu untuk penduduk asli Jakarta, bahasa Sunda untuk penduduk Jawa Barat, bahasa Madura untuk penduduk Jawa Timur bagian utara dan timur, dan bahasa Jawa. Bahasa Jawa dalam arti yang sebenarnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Yang disebut orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya itu.
3. Seni Kesenian masyarakat Jawa dipengaruhi oleh tatanan atau golongan sosial masyarakat. Selain itu perkembangan seni juga dipengaruhi dari penyebaran agama Islam di Jawa. Secara umum kesenian Jawa yang memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam antara lain, wayang, lagu-lagu islam, seni batik, seni tari, gamelan dan seni kaligrafi. Adapun pusat kesenian Jawa terletak di Yogyakarta dan Surakarta.
4. Sejarah Sejarah di Jawa ditandai dengan munculnya Kerajaan-kerajaan di Jawa baik Kerajaan Hindu, Kerajaan Budha, maupun Kerajaan Islam. Masing-masing zaman kerajaan tersebut memiliki corak dan ragam
tersendiri
yang
kemudian
membentuk
kepribadian
kebudayaan maupun keagamaan bagi masyarakat Jawa. Jadi
17
sejarah Jawa dapat digambarkan dari nilai-nilai historis kerajaan maupun masyarakatnya dan nilai-nilai geografisnya. 5. Ilmu Pengetahuan Ilmu pengetahuan di Jawa dipengaruhi oleh tingkatan status sosial yang terdapat di Jawa. Selain itu ilmu pengetahuan yang terdapat di Jawa masih dilandasi dengan unsur religius dan cenderung non barat. Orang Jawa dapat dibedakan menjadi tiga golongan sosial :
a. Wong cilik (Orang kecil) yang terdiri dari sebagian besar masa petani dan mereka yang berpendapatan rendah dikota. Umumya orang kecil ini memiliki tingkat pendidikan yang rendah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. b. Kaum priyayi termasuk diantaranya kaum pegawai dan orangorang intelektual. Kaum ini umumnya memiliki perhatian yang tinggi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. c. Kaum ningrat, merupakan kaum yang memiliki prestise yang cukup tinggi, namun secara gaya hidup dan pandangan dunia kaum ini tidak begitu berbeda dari kaum priyayi yang memiliki perhatian tinggi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. 6. Sistem mata pencaharian hidup Sistem mata pencaharian hidup orang Jawa juga ditentukan dari status sosial masyarakat mereka. Kebanyakan orang Jawa yang dalam status sosial merupakan wong cilik hidup sebagai petani atau buruh
tani.
Sebagian
besar Pulau Jawa bersifat
agraris,
penduduknya masih hidup di desa-desa. Selain itu bagi kaum priyayi mereka bekerja sebagai pegawai maupun guru. 7. Sistem teknologi dan peralatan. Sistem teknologi dan peralatan orang Jawa masih dikatakan belum canggih. Kebanyakan orang Jawa masih menggunaka teknologi yang bersifat tradisional. Hal itu disebabkan karena belum adanya 18
teknologi yang berkembang dalam masyarakat Jawa. Sebagai contoh dalam hal bercocok tanam, masyarakat Jawa lebih mengandalkan tenaga manusia dan tenaga ternak untuk melakukan kegiatan pertanian. Sebagai suatu identitas dalam masyarakat suatu bangsa tentunya budaya menjadi suatu hal yang sangat erat dengan masyarakat dan tidak dapat dipisahkan dalam kelompok masyarakat tersebut. Keterikatan masyarakat dengan budaya menjadi suatu representatif dari nilai-nilai budaya yang kemudian berkembang dalam masyarakat. Budaya Jawa tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat Jawa yang bersumber dari budaya keraton atau kerajaan Yogyakarta Hadiningrat maupun Surakarta Hadiningrat. Dapat dikatakan bahwa Yogya dan Surakarta mewakili masyarakat Jawa dengan memiliki sikap dan ciri-ciri tersendiri. Ciri tersebut menunjukkan sikap masyarakat Jawa adalah lamban dalam arti orang Jawa tidak menyukai serba tergesa-gesa dalam melaksanakan pekerjaan (Bratawijaya, 1997:75). Selain itu masyarakat Jawa juga cenderung melakukan pekerjaan dengan aturan atau ketentuan yang berlaku yang lebih dikenal dengan istilah alon-alon waton kelakon. Konsep alon-alon waton kelakon merupakan sikap masyarakat Jawa yang mengutamakan
19
keselarasan, keserasian, dan keharmonisan seperti bunyi gending yang diiringi dengan instrumen gamelan Jawa (Bratawijaya, 1997:75). Budaya Jawa menjadi salah satu jawaban dari berkembangnya nilai-nilai kebudayaan Jawa yang merupakan hasil dari suatu dinamika dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya sifat-sifat (hal-hal) yang kemudian menjadi penting atau berguna yang terkandung dalam Kebudayaan Jawa. Budaya Jawa telah mengakar beratus-ratus tahun dan telah mendarah daging bagi masyarakat Jawa. Sikap masyarakat Jawa memiliki identitas tersendiri yang dilandasi dengan nasihat-nasihat dari nenek moyang sampai turun temurun (Bratawijaya, 1997:75). Kebudayaan Jawa termasuk salah satu kebudayaan daerah yang sangat intensif berinteraksi dengan kebudayaan besar dunia, baik yang berasal dari dunia “Barat” maupun dari dunia “Timur”. Salah satu kekuatan dari kebudayaan Jawa ini adalah kemampuannya untuk menyerap dan mengintegrasikan semua pengaruh yang datang itu, dengan unsur-unsur “autochton” dari dirinya sendiri. Dari setiap unsur yang datang tersebut, kaum intelektual tradisional Jawa mampu mengambil
unsur-unsur
yang
diperlakukannya
dan
menjawakannya(Sujamto, 1997 : 40). Oleh karena budaya memberi identitas kepada sekelompok orang bagaimana kita dapat mengidentifikasi aspek-aspek budaya yang
20
menjadikan sekelompok orang yang sangat berbeda. Salah satu caranya adalah dengan menelaah kelompok dan aspek-aspeknya. Budaya Jawa menarik untuk diteliti karena budaya Jawa merupakan salah satu budaya yang memiliki tingkat akulturasi tinggi. Dalam film Java Heat, budaya Jawa digunakan sebagai latar belakang cerita dengan memadukan budaya Barat. Akan tetapi kolaborasi antara budaya Barat dengan budaya Jawa tidak ditampilkan secara apik. Karena nilai-nilai kebudayaan Jawa yang sebenarnya memiliki nilai penting yang tidak dapat dihilangkan tidak dimunculkan dalam Film Java Heat. 3. Film sebagai Alat Mengembangkan Kebudayaan Perkembangan teknologi yang semakin maju, menjadikan setiap orang akan dengan mudah mendapatkan sebuah informasi dari manapun dan kapanpun. Siapapun akan dengan mudah mendapatkan pengetahuan, hiburan dan pendidikan melalui media. Dan saat ini salah satu media yang digunakan dalam mendapatkan informasi baik berupa hiburan maupun pendidkan adalah media film. Film adalah salah satu media massa yang ampuh, bukan hanya untuk hiburan tapi juga untuk pendidikan (Effendy, 1986:220). Film juga dapat dikatakan sebagai bentuk kehidupan sosial karena film mencoba mengangkat suatu fenomena dalam kehidupan sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi
21
kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum ( Mc Quail, 1996:13). Menurut Wisnoe Wardhana, film tergolong seni visual auditif motorik yang kekinian. Film yang kekinian cenderung sebagai pemuja kebebasan perkembangan yang kreatif. Film diharapkan dapat memiliki kemampuan untuk mengemban tugas transformasi nilai-nilai budaya tradisional. Dan ini perlu rambu-rambu pelaksana, pengujian dan pengkajian agar tdak terjadi penyimpangan. Suatu tantangan jaman yang hanya dapat dijalankan dengan baik lewat landasan kebaktian dan entusiasme partisipasi pembangunan dunia baru, sesuai falsafah bangsa dan negara pancasila. Pertunjukan film adalah pertunjukan yang sangat komunikatif dan efektif dalam menyampaikan pesan-pesan. Sebagai puncak seni budaya masa kini menyandang nilainilai sifat universal yang dalam kesempurnaan garapan dapat memancarkan getaran nilai sakralitas(Soedarsono, 1986:117). Menurut Wisnoe Wardhana, nilai budaya tradisional tercermin pada nilai-nilai seni budaya tradisional, yang merupakan totalitas kesenian masa lalu. Nilai budaya tersebut sudah mantap membudaya dan memasyarakat, sebagai kristalisasi nilai-nilai keindahan dan keluhuran serta kegunaan, yang telah berlaku sepanjang kurun waktu lama terlampaui, teruji dan terkaji lewat penalaran konvergen dengan pengarahan keahlian menyeluruh (mumpuni) yang merupakan konsep pendidikannya
menuju
prestasi
nilai
puncak
sakralitas
yang
manifestasinya terwakili oleh seni peran (Soedarsono, 1986:118). Menurut Wisnoe Wardhana, melandas atas dasar data-data kekayaan seni budaya tradisional beserta tantangannya masa kini dengan memperhitungkan pula kemampuan kesanggupan dan daya transformasi perfilman studi ini dapatlah kiranya mengemukakan teori mengenai
faktor-faktor
yang
berpengaruh
langsung
terhadap
22
transformasi nilai-nilai budaya tradisional lewat film (Soedarsono, 1986:142-143) : 1. Sikap meliputi entusiasme dedikasi kemantapan dan keberanian melaksanakan transformasi 2. Kejelian menemukan nilai-nilai penting 3. Pembiayaan yang konsekuen 4. Fasilitas yang memadai mengenai penggunaan bangunan-bangunan bersejarah dan lain-lain 5. Pemain-pemain watak yang tepat bagi keperananan 6. Crew film yang tampil dan menyenangi misinya 7. Momentum yang sesuai dengan iklan pemikiran dan situasi 8. Dukungan politik yang membawakan kecocokan 9. Selera dan tingkat apresiasi penonton 10. Sutradara yang ulung dan ulut. Film pendidikan,
selain
digunakan
sebagai
media
hiburan,
media
juga menjadi salah satu alat untuk mengembangkan
kebudayaan. Saat ini film menjadi semakin populer karena film digunakan untuk mengembangkan budaya. Proses mengembangkan kebudayaan dengan menggunakan media film dianggap sebagai suatu media yang paling tepat sasaran karena saat ini film tidak lagi sebagai pelengkap kebutuhan manusia saja tetapi film seakan-akan menjadi kebutuhan yang bersifat primer untuk manusia. Karena pada hakikatnya film merupakan media penyampaian pesan baik yang berupa pengetahuan maupun yang bersifat hiburan.
23
4. Postkolonialisme Dalam Masyarakat Jawa Indonesia sebagai negara yang merupakan bekas jajahan dari bangsa Barat atau Eropa yaitu Bangsa Belanda tentu memiliki sejarah dan cerita tentang masa penjajahan selama dijajah kurang lebih 350 tahun. Lamanya waktu penjajahan Bangsa Barat terhadap Indonesia khususnya masyarakat Jawa kemudian memunculkan interaksi yang tidak setara. Interaksi yang tidak setara tersebut digambarkan oleh adanya startifikasi sosial dimana bangsa Indonesia berada pada posisi inferior di hadapan bangsa penjajah dan bangsa Barat berada pada status sosial penguasa. Said (1996:3) mengatakan bahwa masyarakat Barat memandang masyarakat Timur sebagai sosok the orient. Sementara itu, masyarakat Barat memandang dirinya sebagai sosok the Occident. Dengan kata lain, masyarakat Barat ada di posisi superior sedangkan masyarakat Timur di posisi inferior. Sementara Faruk (1998:2) menyatakan bahwa penjajah menempatkan diri sebagai subjek dengan arogansi dan superioritasnya di hadapan masyarakat pribumi. Orientalisme berasal dari kata orient yang merupakan bahasa Perancis yang secara harfiah bermakna : Timur dan secara geografis bermakna : dunia belahan Timur dan secara etnologis bermakna : bangsa-bangsa di Timur (Sou’yb, 1985 : 1).
24
Orientalisme disini merupakan suatu paham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur serta lingkungannya. Pada waktu penjajahan Belanda, terjadi perubahan cara pandang penguasa kolonial dalam penetapan status sosial pada masyarakat jajahan. Pada tahun 1850, pemerintah Belanda menetapkan stratifikasi sosial penduduk Hindia Belanda berdasarkan politik, ekonomi, dan sosial secara berjenjang. Yaitu (a) bangsa Belanda dan Indonesia, (b) bangs Timur Asing, misalnya bangsa Cina dan Arab, dan (c) masyarakat pribumi. Eksistensi penentuan status stratifikasi tersebut tercermin dalam karya-karya sastra Hindia Belanda, yakni karya sastra berbahasa Belanda yang ditulis oleh orang Belanda, Indonesia, maupun pribumi yang berbicara tentang masyarakat jajahan (Suratno, 2013:2). Kebudayaan startifikasi Jawa tradisional yang terbentuk adalah kebudayaan feodal, seperti pengagungan dan orientasi terhadap status sosial dan simbolisasi golongan priyayi pada rakyat kecil. Dalam sistem stratifikasi kolonialisme, masyarakat pribumi memiliki posisi lebih rendah, baik dibandingkan dengan orang-orang Belanda (orang Eropa) maupun bangsa Timur asing. Dalam kaitan ini, sudah barang tentu terjadi idealisasi pada kelompok berstatus sosial bawah (pribumi) terhadap golongan yang berstatus sosial yang lebih tinggi yang muncul karena lahirnya penetapan status sosial baru sebagai akibat dari kebijakan Belanda.
25
Menurut Said, penjajahan Belanda (Barat) terhadap Indonesia (Timur) tidak hanya terjadi dalam bidang material (ekonomi dan politik), melainkan juga berupa penjajahan budaya yang tampak dalam representasi dan pendefinisian Timur sebagai “yang lain” dari Barat. Hubungan itu merupakan bentuk orientalisme yang merupakan gaya Barat dalam mendominasi, memahami, menata dan menguasai Timur (Suratno, 2013:11). Secara praktis postkolonialisme berada dalam dua tataran, yakni (Suratno, 2013:11-12) : a. Upaya untuk menjelaskan postkolonialisme yang melekat pada teksteks tertentu. b. Upaya guna menyingkap dan membongkar (dekonstruksi) kekuasaan kolonialisme yang teraktualisasi dalam wacana sastra. Cara pandang tersebut, antara lain, diimplementasikan dalam bentuk wacana sastra sebagai teks estetik sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa wacana sastra pada masa kolonialisme selalu dikonstruksi oleh ideologi. Orientasi
pada
seni
pertunjukan
Barat
telah
muncul
setidaknya, pada tahun 1920-an. Waktu itu pribumi telah memiliki kebiasaan menonton bioskop atau film (dalam bahasa Jawa disebutnya gambar idup atau gambar hidup, gambar sorot atau layar sorot, bioskop atau film. Pertunjukan Barat lainnya yang diminati oleh pribumi adalah komidi maupun sirkus yang sering diadakan pada acara pasar malam. Biasanya dalam penyelenggaraan pasar malam, selain ditampilkan
26
pertunjukan modern juga ditampilkan beberapa kesenian Jawa tradisional (Kartodirjo dkk, 1987:109). Kolonialisme tidak jarang menampakkan diri sebagai kekuatan yang mengubah kebudayaan secara drastis. Penjajahan dan penundukan suatu
wilayah
tertentu
tidak
hanya
pengambil
alihan
atau
mempropagandakan sistem ekonomi, pemerintahan, wilayah, sosial tetapi juga budayanya. Propaganda yang disebarkan oleh selama kolonialisme tercermin dari adanya politik etis yang salah satu strateginya bersifat asosiatif. Dalam hal ini Belanda berusaha untuk menghilangkan jurang pemisah antara bangsa penjajah (Barat) dan bangsa yang dijajah (Indonesia) dengan cara melenyapkan kebudayaan bangsa yang dijajah dan menggantinya dengan kebudayaan bangsa penjajah. Pasca
kolonialisme
Bangsa
Barat
terhadap
Indonesia
khususnya masyarakat Jawa kemudian lebih dikenal postkolonialisme kemudian melahirkan akulturasi budaya yang lebih banyak dipengaruhi oleh budaya Barat sebagai imbas dari lamanya kolonialisme yang terjadi di Indonesia. Penelitian ini kemudian ingin mengetahui bagaimana imbas akulturasi budaya Barat yang terjadi dalam film Java Heat.
27
F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika.Menurut Hamad, semiotika untuk studi media massa tidak hanya terbatas sebagai kerangka teori, namun sekaligus juga bisa sebagai metode analisis (Sobur, 2001 : 114). Metodologi penelitian yang digunakan dalam analisis semiotika interpretatif, analisis semiotika bersifat kualitatif (Sobur, 2001 : 147). Dihubungkan dengan pemecahan suatu masalah baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis, jelaslah penelitian kualitatif bersifat induktif
karena
tidak
dimulai
dari
hipotesis-hipotesis
sebagai
generalisasi untuk diuji kebenarannya melalui pengumpulan data yang bersifat khusus. Penelitian kualitatif dimulai dengan mengumpulkan informasi-informasi dalam situasi sewajarnya yang dirumuskan menjadi suatu generalisasi yang dapat diterima oleh akal sehat (common sense) manusia. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes yang akan dilakukan dengan mendasarkan pada model yang dikemukakan dimana dalam hal ini berbagai tanda dan dari hal tersebut dapat diketahui mana yang merupakan penanda (signifier) dan petanda (signified). Dalam penerapannya metode semiotika ini menghendaki pengamatan secara menyeluruh dari semua adegan yang mengandung nilai-nilai budaya Jawa.
28
2. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah film Java Heat. Film ini adalah film hollywood yang diproduksi di Indonesia khususnya di daerah Jawa dan berlatarkan budaya Jawa. Kemudian yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana budaya Jawa di gambarkan dan bagaimana stereotip budaya Jawa dalam film ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data yang relevan dengan tujuan penelitian, maka penulis menggunakan beberapa teknik dalam mengumpulkan data. Secara rinci dalam mengumpulkan data digunakan beberapa teknik : a. Dokumentasi Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan observasi, meneliti dan menganalisis melalui film kemudian dikaji sehingga nantinya akan membantu untuk mengetahui mengenai stereotip budaya Jawa dalam film Hollywood. b. Studi Pustaka Untuk
memperoleh
data-data
yang
dibutuhkan
dan
dikumpulkan dengan studi pustaka guna mengkaji beberapa pokok permasalahan dari obyek yang diteliti. Fungsi dari literatur yang berupa buku-buku, majalah, jurnal dan lain-lain adalah untuk mendapatkan teori-teori pendukung lebih lanjut.
29
4. Teknik Analisis Data Kegiatan teknik analisis data ini meliputi menggunakan data, menilai data atau menganalisis data dan kemudian menafsirkan data serta diakhiri dengan menarik kesimpulan dari hasil penelitian mengenai tanda-tanda yang ada dalam film Java Heat. Analisis data digunakan sebagai suatu proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Film sebagai alat yang utama untuk mengkaji objek penelitian, dilakukan dengan cara menonton film, mengobservasi atau mengamati, meneliti dan menganalisis tanda-tanda yang terdapat dalam film tersebut. Menurut Syaom Barliana (2013:3),
Semiotika adalah ilmu
yang mempelajari struktur, jenis, tipologi,serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat.Semiotika mempelajari relasi
diantara
komponen-komponen
komponen-komponen
tersebut
dengan
tanda,
sertarelasi
antar
masyarakatpenggunanya.
Semiotika, yang berasal dari bahasa Yunani, semion yangberarti tanda (sign),bermula dari kajian tentang bahasa, dan kemudianberkembang menjadi kajian kebudayaan. Sedangkan menurut Barthes semiotika pada
dasarnya
hendak
mempelajari
bagaimana
kemanusiaan
memaknai hal-hal (Indiwan, 2011:138). Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah adeganadegan, juga dialog-dialog dalam film Java Heat yang terkait dengan
30
kebudayaan Jawa. Makna dari tanda-tanda baik yang bersifat verbal maupun nonverbal merupakan hal yang kemudian akan dianalisis. Penelitian ini adalah penelitian teks dengan menggunakan teknik analisis semiotika model Roland Barthes dengan menggunakan konsep denotasi, konotasi dan mitos sebagai analisisnya. Dengan mengartikan isi teks dan gambar, maka dapat menginterpretasikan pesan-pesan yang terkandung dalam film, kemudian ditunjang dengan gambar scene yang akan ditunjukan denotasi, konotasi dan mitosnya. Pada konsep Roland Barthes, tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sistem signifikasi dalam semiotika Barthes, dapat dijelaskan sebagai berikut: Tabel. 1 Sistem Signifikasi Semiotika Dua Tahap Roland Barthes 1.Signifier 2.Signified (penanda) (petanda) 3. Denotative sign (tanda denotatif) 1. Connotative signifier (penanda 4. Connotative konotatif) (petanda konotatif)
Signfied
2. Connotative sign (tanda konotatif) (Sumber : Sobur, 2003 : 69) Peta Barthes diatas memperlihatkan bahwa tanda denotatif (3) terdiri dari atas penanda (1) dan penanda (2). Hanya saja, pada saat bersamaan tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dapat dikatakan, hal tersebut merupakan unsur material.
31
Pembacaan teks ini oleh Barthes dinamakan deskripsi struktur (structural description). Deskripsi tersebut untuk membongkar teks yang kelihatan natural, padahal teks tersebut abriter (diada-adakan). Termasuk dalam penelitian ini, teks film Java Heat akan coba ditelaah dengan structural description model Roland Barthes tersebut. Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified (content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Menurut Barthes ini merupakan denotasi yaitu makna yang paling nyata dari tanda (sign). Signifikasi tahap kedua disebut juga konotasi. Konotasi merupakan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai kebudayaannya. Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah obyek
sedangkan
konotasi
adalah
cara
bagaimana
menggambarkannya. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat berangkat menjadi Mitologi yang
32
memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan budaya (Indiawan, 2013:22). Semiotika adalah salah satu bagian dari bentuk analisis isi kualitatif yang dipakai untuk mengetahui dan menganalisis apa yang justru tidak terlihat atau dengan kata lain penelitian kualitatif justru ingin melihat isi komunikasi yang tersirat. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda, petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguisitis. Berdasarkan
teori
semiotika
diatas,
selanjutnya
obyek
penelitian ini akan dianalisis secara tekstual, yaitu dengan mengamati tanda-tanda yang terdapat pada film Java Heat. Obyek penelitian yang kemudian diamati dilihat dari segi naratif (dialog) dan segi visual (gambar). Dari segi naratif digambarkan dengan dialog para pemain, sedangkan dari segi visual digambarkan dengan shot size dan angle kamera yang terdapat dalam film Java Heat. Untuk menganalisis hal yang pertama kali dilakukan adalah dengan melihat film secara keseluruhan dan memahami tanda-tanda yang dipakai untuk melihat nilai-nilai budaya Jawa. Tanda tersebut dapat dilihat dari dialognya, simbol-simbol dan setting adegannya.
33
Namun terkadang, dalam menganalisis juga memerlukan perbandingan. Yaitu dengan menggunakan konsep oposisi biner, sebuah sistem dari dua kategori yang berelasi, yang dalam bentuknya yang paling murni, membentuk keuniversalan (Fiske, 1990:161). Contoh dari oposisi ini sebenarnya juga ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti baik dan buruk, miskin dan kaya, modern dan tradisional. Oposisi itu tidak selalu jelas atau tidak selalu terbukti, namun kenyataannya memang ada. Terkadang hal ini tidak disadari akan kemunculannya, namun jika dilakukan penyisihan terhadap artiarti tersembunyi tersebut, maka arti dari teks akan ditemukan (Berger, 2010:229). Sebenarnya cukup nyata seberapa besar peranan oposisi ini (dan beberapa yang lain) dalam sejarah dan kebudayaan. Hal seperti inilah yang diharapkan, sebab seperti kata saussure, “dalam bahasa hanya ada perbedaan-perbedaan”. Suatu arti muncul dari hubunganhubungan, dan hubungan yang sangat penting adalah dari sifat oposisi (Berger, 2010:231). Tahap analisis selanjutnya film akan dianalisis sesuai dengan potongan-potongan gambar atau framenya dengan melihat shot size dan angle yang dianggap sebagai tanda terhadap nilai-nilai kebudayaan Jawa.
34
Dibawah ini terdapat daftar yang memuat hal penting tentang pengambilan gambar, yang berfungsi sebagai penanda dan apa yang bisa ditandai pada setiap pengambilan gambar sebagai berikut : Tabel. 2 Ukuran Shot (Shot Size) , Definisi beserta Petandanya (makna) Penanda (Camera Shot) Extreme Closeup (ECU)
Close-up (CU)
Definisi
Petanda (Artinya)
Sedekat mungkin dengan obyek (misalnya hanya mengambil bagian dari wajah) Wajah keseluruhan sebagai obyek
Medium Shot (MU)
Setengah badan
Long Shot (LS)
Setting dan karakter
Full Shot (FS)
Seluruh badan obyek
Kedekatan hubungan dengan cerita dan atau pesan film Keintiman, tetapi tidak sangat dekat bisa juga menandakan bahwa obyek sebagai inti cerita Hubungan personal antar tokoh dan menggambarkan kompromi yang baik Konteks, skop dan jarak publik Hubungan sosial
Sumber : Arthur Asa Berger, 1983, Media Analysis Techniques, London : Sage Publication, hal.38 Dalam
melakukan
analisis
kerja
kamera
dan
teknik
penyuntingan juga menentukan makna yang timbul dalam suatu gambar, adapun penjelasannya sebagai berikut :
35
Tabel. 3 Teknik Pengkonotasian Berdasarkan Kerja Kamera dan Teknik Penyuntingan Penanda Pan Down Pan Up Dolly In Fade In Fade Out Cut Wipe
Definisi Kamera mengarah ke bawah Kamera mengarah ke atas Kamera bergerak ke dalam Gambar kelihatan pada layar kososng Gambar di layar menjadi hilang Pindah dari gambar satu ke yang lain Gambar terhapus dari layar
Petanda Kekuasaan, kewenangan Kelemahan, pengecilan Observasi, fokus Permulaan Penutupan Bersambung, menarik “penentuan”, kesimpulan
Sumber: Arthur Asa Berger, (1999, hlm.33-34) Semiotika
menjadi
teori
umum
tentang
kebudayaan.Komunikasi dan signifikasi ternyata lebih gamblang bila dilhat dari dari sudut pandang semiotik.Dalam hal ini hipotesis yang moderat pun perlu dikemukakan yakni bahwa setiap aspek kebudayaan menjadi sebuah unit semantik (Sujiman, 1996:51). Di dalam kebudayaan, setiap entitas dapat menjadi gejala semiotik.Hukum-hukumsignifikasi
adalah
hukum-hukum
kebudayaan.Kebudayaan ini lah yang kemudian dapat dikaji dengan sempurna secara semiotik (Sujiman, 1996:52). Dalam penulisan ini analisis data yang dipakai adalah analisis semiotika. Analisis semiotika digunakan untuk mengetahui isi, makna
36
yang terkandung dalam bentuk verbal dan non verbal. Semiotika diterapkan pada tanda-tanda simbol-simbol, lambang yang tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda ini hanya mengemban arti dalam kaitannya dalam audiencenya. Tanda-tanda yang muncul kemudian dihubungkan dengan adegan-adegan yang terdapat dalam film Java Heat melalui analisis semiotika untuk mengetahui unsurunsur kebudayaan yang terdapat dalam film Java Heat. Kemudian akan memilih scene dan membaginya ke dalam shot-shotberdasarkan visual yang menunjukkan tanda-tanda budaya Jawa, menganalisa scene-scene menggunakan signifikasi Roland Barthes dengan konsep pemaknaan denotasi, konotasi dan mitos, setelah mendapatkan hasil per scene selanjutnya akan coba diuraikan berdasarkan mitos dan ideologi, yang terakhir adalah membuat kesimpulan yang diambil dari data yang telah diteliti antara scene, mitos dan ideologi. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa bab yang disertai dengan sub bab.Adapun bab-bab yang akan dibahas penulis antara lain : BAB I Pendahuluan. Bab ini menjelaskan mengenai, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II Gambaran Umum Obyek Penelitian. Bab ini menjelaskan tentang tinjauan pustaka terkait penelitian-penelitian terdahulu yang
37
berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti. Selain itu bab ini juga menjelaskan tentang perkembangan film di Indonesia. Dalam sub bab lain di jelaskan tentang gambaran umum mengenai film Java Heat. Bab ini diakhiri dengan penjelasan mengenai postkolonialisme dalam film Hollywood. BAB III Pembahasan. Bab ini menjelaskan tentang stereotip budaya Jawa dalam Film Hollywood yang dianalisis melalui pendekatan semiotika dalam film Java Heat. Dalam bab ini akan dijelaskan stereotip budaya Jawa dengan menggunakan metode analisis data yaitu semiotika model Roland Barthes. Identifikasi film Java Heat dilakukan dengan proses signifikasi tahap pertama melalui lambang-lambang dalam film tersebut.
Identifikasi
makna
denotasi
berdasarkan
pada
dialog,
pengambilan gambar dan kerja kamera. Dalam signifikasi tahap kedua, petanda-petanda yang diperoleh dalam proses sebelumnya diidentifikasi untuk memperoleh makna konotasinya. Dan yang terakhir menjelaskan mitosnya. BAB IV Penutup. Bab terakhir ini berisi tentang kesimpulan, saran dan kritik dari hasil penelitian dan analisis terkait dengan stereotip budaya Jawa dalam Film Hollywood analisis semiotika pada film Java Heat.
38