BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kompleks Kawasan Wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo di Kabupaten Kediri merupakan tempat ziarah yang potensial mendatangkan banyak pengunjung. Dalam hari-hari tertentu pada kawasan ini bahkan mengalami lonjakan tingkat kunjungan, seperti saat Tahun Baru Jawa atau Bulan Suro karena penyelenggaraan upacara ritual yang telah menjadi tradisi masyarakat desa Menang. Keunikan tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung yang datang dari beragam latar belakang masyarakat dan daerah di Indonesia, tidak jarang pula wisatawan asing turut menyaksikan prosesi upacara tersebut. Hal ini tentu membuat perubahan pada sektor ekonomi masyarakat sekitar lokasi, namun hal tersebut tidak serta merta membuat kesejahteraan masyarakat setempat meningkat. Masyarakat desa Menang yang mayoritas bermata pencaharian pada sektor pertanian seperti tidak mendapatkan manfaat dari keberadaan kawasan wisata. Hal lain yang menganggu adalah tidak tertatanya pengelolaan pengunjung, seperti pos retribusi yang tidak jelas, pengolaan parkir kendaraan yang tidak terkoordinasi serta pelayanan juru kunci atau juru pelihara yang terkesan seadanya. Keadaan yang lebih menganggu adalah saat terjadi lonjakan pengunjung pada malam sebelum prosesi ritual, setiap tahun akan terlihat pengunjung yang bermalam di sepanjang jalan menuju lokasi yang menyebabkan
1
menurunnya persepsi wisatawan terhadap kualitas kawasan wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo. Perda Kabupaten Kediri No. 16 tahun 2011 Tentang Retribusi Tempat Rekreasi Dan Olahraga merupakan regulasi yang mengatur pedoman pengelolaan kawasan wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo. Perda ini memuat aturanaturan mengenai retribusi dari pemanfaatan kawasan Petilasan Sri Aji Joyoboyo sebagai obyek wisata. Beberapa hal terkait regulasi pengelolaan, tarif retribusi, izin usaha, aturan-aturan mengenai pelaksanaan usaha serta sanksi atas pelanggaran yang dilakukan. Peranan Perda di atas sebagai regulasi dalam pelaksanaan pengelolaan Kawasan Wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo diharapkan dapat menjadi arahan yang secara komprehensif mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi, namun pada kenyataannya Perda yang ada belum mampu mengurai masalah yang terjadi sehingga tinjauan ulang terhadap perda yang ada sangat perlu untuk dilakukan. Beberapa penjelasan diatas memunculkan hipotesis bahwa terdapat kesalahan dalam pengelolaan Kawasan Wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo. Mengingat pengelolaan kawasan tersebut sudah berlangsung lama namun belum mencapai target yang diharapkan oleh pengelola kawasan maka Penulis berpendapat perlu dilakukan evaluasi terhadap pengelolaan yang telah ada. Terutama untuk menghasilkan rekomendasi yang tepat dalam kebijakan pengelolaan di masa yang akan datang.
2
Berawal dari latar belakang yang terjadi maka menarik sekali untuk dilakukan penelitian pengelolaan kompleks Kawasan Wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo, dengan topik evaluasi pengelolaan untuk mengetahui rekomendasi yang tepat dalam kebijakan pengelolaan kawasan ini.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam usulan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana evaluasi terhadap kebijakan pengelolaan Kawasan Wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo ? 2. Apakah rekomendasi terhadap kebijakan pengelolaan Kawasan Wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo ?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan pengelolaan Kawasan Wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo selama ini 2. Untuk mengetahui rekomendasi terhadap kebijakan pengelolaan kawasan Kawasan Wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo.
3
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Praktis a. Sebagai saran bagi pengelola dan stakeholders terkait pengelolaan Kawasan Wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo sehingga dapat dijadikan pertimbangan rencana kebijakan pengelolaan destinasi. b. Sumber informasi data sekunder untuk aspek penelitian yang sama. 2. Manfaat Teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah dalam penelitian Ilmu Pariwisata di Indonesia mengingat kajiannya yang masih terbatas.
1.5 Batasan Penelitian Penelitian ini dibatasi pada kondisi tertentu, antara lain : 1. Pengelola menjadi subyek utama dalam penelitian ini, adapun wawancara dengan pengunjung hanya sebagai elemen untuk memperkuat analisis data. 2. Pengelola yang dimaksud adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten
Kediri,
Pemerintah
Hondodento.
4
desa
Menang,
dan
Yayasan
3. Obyek yang diteliti adalah Kawasan Wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo Petilasan dengan fokus utama penelitian Loka Mukso dan Sendang Tirtokamandanu yang terkait dengan Perda yang berlaku. 4. Perda yang dimaksud adalah Perda Kabupaten Kediri No. 16 Tahun 2011.
1.6 Tinjauan Pustaka Untuk menghindari kesamaan penulisan dan plagiasi maka dalam tinjauan pustaka ini dicantumkan beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan lokus fokus, metode penelitian yang relevan, diantaranya ; Riwayat penelitian mengenai Kompleks Kawasan Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo yang berhasil ditemukan berjumlah tiga penelitian, antara lain : BAPPEDA Kabupaten Kediri & Puspar UGM (2003) membuat “Penyusunan DED dan Master Plan Pengembangan Wisata Sri Aji Joyoboyo”. Dalam penelitian ini dikaji seluruh aspek-aspek pengembangan fisik maupun non fisik untuk merumuskan landasan dasar perencanaan dan pengembangan kawasan. Studi kelayakan kawasan juga dilakukan untuk memperkuat analisis. Pada akhirnya penelitian ini menghasilkan strategi-strategi yang relevan untuk master plan pengembangan kawasan. Wahdati (2004) meneliti tentang “Nilai – Nilai Keislaman Pada Tradisi Suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri”. Penelitian ini berusaha menghubungkan nilai-nilai Islam dalam ritual
5
Suro di Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo. Melalui pendekatan metode deskriptif yaitu menjabarkan secara runtut tahapan prosesi pada Upacara Satu Suro. Hasil penelitian ini terdapat kaitan antara nilai – nilai keislaman dalam ritual tersebut, yaitu pada doa yang diucapkan oleh sesepuh dalam rangkaian prosesi ritual. Purnaning (2011) meneliti tentang “Nilai-nilai Moral dalam Legenda Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo di Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri”. Dalam penelitian ini dibahas nilai-nilai moral. Dalam kajian karya sastra nilai moral tersebut meliputi: nilai moral yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri atau nilai moral individu,
nilai moral yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia lain atau nilai moral sosial, dan nilai moral yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Sementara riwayat penelitian untuk tema wisata ziarah yang relevan dan berhasil di temukan : Salam (1998) meneliti tentang “Ziarah Budaya (Pendekatan Kebudayaan atau Etnografi)”. Pendekatan ini menggambarkan keterjadian unsur-unsur satu sama lain dalam satu kesatuan secara integratif, berfungsi, beroperasi dan bergerak dalam kesatuan sistem budaya. Sasaran yang dituju adalah masyarakat dan kebudayaannya. Tujuan dan manfaat penelitiannya adalah mendeskripsikan tradisi dan tata cara ziarah makam raja-raja mataram di Imogiri dalam kaitannya dengan persepsi pengunjung khususnya kalangan peziarah muslim menurut latar belakang pemahaman yang dimiliki pengembangan studi sosial, keagamaan islam.
6
Aziz (2004) meneliti “Kekeramatan Makam (Study Kepercayaan Masyarakat
terhadap
Kekeramatan
Makam-makam
Kuno
di
Lombok.
(Pendekatan kualitatif dan pendekatan Antropologis)”. Penelitian ini berusaha memotret apa adanya tentang dimensi-dimensi kepercayaan, keyakinan, ritual dan tradisi yang telah berlangsung lama dan di ikuti banyak orang. Fokus penelitian ini yaitu Makam Loang Balok Bintaro dan Batu layar, semuanya menunjukkan kekuatan dahsyat dalam perspektif masyarakat. Subyek penelitian adalah para peziarah di ketiga Makam tersebut, para tokoh agama dan masyarakat. Kesimpulan berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap kekeramatan makam tidaklah bersifat tunggal. Banyak motivasi dan tujuan yang diinginkan oleh masing-masing peziarah sesuai dengan niatan yang paling dalam. Pada makam kuno di Lombok pada kenyataannya masyarakat masih percaya akan tradisi, keyakinan dan ritual pada masa lalu. Nugroho (2007) meneliti tentang “Ziarah Wali Wisata Spiritual Sepanjang Masa”. Dalam penelitian ini membahas tentang ziarah dalam pandangan islam, ziarah sebagai konsep trans ilahi dan tradisi ziarah terhadap peninggalan para wali serta objek-objek wisata spiritual yang selalu ramai dikunjungi orang yang berdatangan untuk berziarah karena ziarah itu sudah menjadi fitrah manusia bahwa dirinya senantiasa mendambakan keselamatan dan kebahagiaan serta pengakuan diri di sisi Tuhan sehingga agama menjadi identitas diri untuk mencari Tuhan. Kholidah (2008) meneliti tentang “Management Obyek dan Wisata Ziarah (Studi Kasus di Kasepuhan Makam Sunan Kalijaga Kelurahan Kadilangu
7
Kecamatan Demak Kabupaten Demak”. Penelitian ini membahas penerapan fungsi manajemen yang ada pada makam Sunan Kalijaga kelurahan Kadilangu Demak kabupaten Demak, meskipun belum diterapkan fungsi managemen untuk pengembangan makam, akan tetapi pihak pengembangan selalu berusaha agar bias lebih baik lagi dalam pengembangan Makam Sunan Kalijaga di Kadilangu Demak, yaitu dengan menerapkan fungsi-fungsi manajemen dengan sempurna, selain memiliki nilai religi Makam Sunan Kalijaga di Kadilangu Demak juga memiliki nilai Historis, dari tahun ke tahun jumlah pengunjung atau wisatawan mengalami peningkatan wisatawan dalam negeri maupun wisatawan dari mancanegara. Riwayat penelitian untuk tema pengelolaan yang berhasil di temukan : Nugroho (2006) meneliti tentang “Model Pengelolaan Kawasan Wisata Budaya Terunyan : Kajian Melalui Perspektif Cultural Resource Management”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengevaluasi pengelolaan kawasan Terunyan yang berlangsung saat ini. Hasil penelitian yaitu berupa perumusan model pengelolaan kawasan wisata budaya Terunyan yang diharapkan dapat berwawasan pelestarian dan asas manfaat bagi masyarakat lokal. Oktarina (2002) meneliti tentang “Model Manajemen Pelestarian Kawasan Wisata Kota Tua: Studi Kasus Kawasan Wisata Benteng Marlborough Kota Bengkulu”. Tujuan penelitian adalah untuk melihat bagaimanakah model manajemen kawasan wisata Benteng Marlborough kota Bengkulu. Hasil penelitian diketahui bahwa manajemen pelestarian kawasan wisata Benteng Marlborough yang berlangsung selama ini tidak bersifat terpadu. Sehingga
8
diperlukan suatu model manajemen pelestarian dengan pendekatan kemitraan kolaboratif. Riwayat penelitian untuk tema evaluasi kebijakan yang berhasil di temukan : Sjafruddin (2002) meneliti tentang “Evaluasi Partisipatif Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Pengembangan Kawasan Obyek Wisata Pampang Kota Samarinda”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui evaluasi partisipatif masyarakat terhadap pengembangan kawasan obyek wisata budaya Pampang dan lebih jauh untuk mengetahui tindakan yang dilakukan masyarakat terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat pengembangan kawasan obyek wisata budaya Pampang. Hasil penelitian diketahui bahwa terdapat perubahan fisik ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan di dalam kawasan Pampang. Yulian (2002) meneliti tentang “Evaluasi Sarana dan Prasarana Dalam Pengembangan Pariwisata Pulau Weh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Tujuan penelitian untuk mengevaluasi sarana dan prasarana dalam pengembangan pariwisata di Pulau Weh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dimana Pulau Weh memiliki potensi kepariwisataan yang mempunyai daya tarik besar bagi wisatawan baik mancanegara maupun nusantara namun masih terindikasi kurang berkembang. Hasil penelitian ditemukan bahwa sarana dan prasarana pariwisata di Pulau Weh dimana Supply (Penawaran) tidak dapat memenuhi Demand (Permintaan) Setyastuti (2005) meneliti tentang “Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Candi-Candi di Kawasan Prambanan : Analisis Berdasarkan Pendekatan
9
Pengembangan Pariwisata Yang Berkelanjutan”. Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan alternative model pengelolaan yang sesuai dengan prinsip keberlanjutan. Hasil penelitian diketahui bahwa sangat diperlukan regulasi yang secara komperehensif mampu mengatur pengelolaan candi-candi di kawasan Prambanan dan sekitarnya ini di dalam satu management (one gate policy) berdasarkan prinsip –prinsip pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan (yaitu prinsip konservasi, sosial budaya dan partisipasi masyarakat, ekonomi, edukasi, kualitas wisata, ekologi, dan fisik). Dari uraian diatas belum ada peneliti lain yang melakukan penelitian terkait lokus dan fokus serupa dengan penulis. Sehingga orisinalitas penelitian ini bisa dipertanggungjawabkan.
1.7 Landasan Teori 1.7.1 Wisata Ziarah Pada awalnya, pariwisata mendapat julukan "aristocratic tourism" dalam arti hanya orang ningrat kaya saja dan memiliki status tinggi. pariwisata dimaksudkan untuk beristirahat dan berekreasi (rest and recreation) yang hanya dinikmati oleh segelintir aristokrat (Spilane, 1987:17). Sehingga pariwisata merupakan sebuah kegiatan yang mempunyai kesan sebagai hal yang mewah dan mahal, namun perkembangan reformasi industri serta terjadinya peningkatan pada pendapatan masyarakat maka kegiatan berwisata mulai dapat menjangkau semua kalangan serta digemari secara luas. Pariwisata masih merupakan suatu aktivitas relatif baru bagi banyak
10
daerah di Indonesia. Pengembangan pariwisata akan menjadi fenomena besar. Di dunia termasuk Indonesia, pariwisata merupakan industri ekspor terbesar, sehingga dengan demikian perhatian yang lebih besar diarahkan pada sektor pariwisata. Wisata adalah perjalanan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam waktu sementara. 1 Destha (2005) secara definitif mencoba menjelaskan bahwa pariwisata merupakan rangkaian atas sejumlah fenomena menyangkut hubungan menyeluruh yang muncul dari perjalanan dan persinggahan tersebut hanya bersifat sementara dan tidak dengan usaha mencari pendapatan secara permanen. dalam hal ini dimensi tempat dan waktu menjadi batasan. Lebih jauh, bahwa dimensi tempat menunjukan wisatawan melakukan perjalanan wisata menuju suatu tempat di luar rutinitasnya. Sedang dimensi waktu menunjukkan bahwa wisatawan tidak tinggal pada suatu daerah dalam jangka waktu yang lama. Seiring dengan meningkatnya kompleksitas kehidupan dan pola pikir, manusia tidak hanya membutuhkan sesuatu yang sifatnya sesaat atau sebatas aktivitas. Mereka cenderung mencari sesuatu yang lebih dalam yang dapat memberikan kepuasan dan ketenangan batin. Wisata agama (religi) atau yang lebih dikenal sebagai pilgrimage tourism bukanlah hal baru dalam industri pariwisata. Tren pariwisata internasional telah mengindikasikan semakin berkembangnya jenis wisata psikis-spiritual (psychic-
1
Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan
11
spiritual travel), yaitu munculnya kelompok-kelompok wisatawan yang berminat terhadap pengayaan mental dan spiritual (Vukonic, 1996). Salah satu jenis wisata semacam ini adalah wisata religi atau wisata ziarah. Kecenderungan melakukan perjalanan ziarah (pilgrim tourism) semakin berkembang sehingga perlu mendapat perhatian khusus dalam dunia pariwisata. Inskeep (1991) menyebut wisata ziarah dengan istilah wisata religius (religious tourism), yaitu perjalanan/wisata dengan maksud berziarah ke suatu tempat yang suci untuk keperluan religius, seperti perjalanan haji ke Mekah, kunjungan ke Vatikan di Roma, dan sebagainya. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wisata ziarah adalah perjalanan yang dilakukan secara sukarela yang bersifat sementara, dengan cara mengunjungi tempat-tempat suci atau keramat untuk berdoa atau dengan motivasi mendapatkan pengalaman, pendalaman, dan penghayatan nilainilai religi atau spiritual. Oleh sebab itu, sudah selayaknya wisata ziarah tidak hanya dipandang sebagai aktivitas yang bersifat kaku yang mengacu pada agama atau kepercayaan tertentu, tetapi merupakan aktivitas yang peruntukannya tidak terbatas atau dengan kata lain dapat dilakukan oleh siapa pun tanpa memandang agama atau kepercayaan tertentu dan bersifat praktis.
12
1.7.2 Manajemen Pengelolaan Kata pengelolaan berasal dari kata kerja mengelola dan merupakan terjemahan dari bahasa Italia yaitu menegiare yaitu yang artinya menangani alatalat, berasal dari bahasa latin manus yang artinya tangan. Dalam bahasa Prancis terdapat kata mesnagement yang kemudian menjadi management. Menurut kamus besar bahasa Indonesia pengelolaan berasal dari kata kelola yang berarti mengendalikan, mengurus dan menyelenggarakan. Manajemen berasal dari bahasa Inggris yaitu to manage yang memiliki kesamaan dengan kata to hand yang berarti “mengurus”, to control “memeriksa”, to guide “memimpin atau membimbing”, jadi apabila dilihat dari asal katanya manajemen berarti pengurusan, pengendalian, memimpin atau membimbing. Manajemen adalah suatu proses yang diterapkan oleh individu atau kelompok dalam upaya-upaya koordinasi untuk mencapai suatu tujuan. Dalam skala aktivitas manajemen dapat diartikan
sebagai
aktivitas mengatur,
menertibkan dan berpikir yang dilakukan oleh seseorang, sehingga mampu mengemukakan, menata, merapikan segala sesuatu yang ada di sekitarnya sesuai dengan prinsip-prinsip serta menjadikan hidup lebih selaras, serasi dengan yang lainnya. Upaya mengefektifkan pengelolaan dan pengembangan di lingkungan internal maupun eksternal yang ada termasuk di dalamnya kecenderungan terhadap pariwisata dalam konteks global (Suryono, 2005: 1). Dari dua penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa manajemen merupakan aktivitas yang mencakup perencanaan adalah proses penentuan tujuan dan pedoman pelaksanaan dengan memilih yang terbaik dari alternatif-alternatif yang ada.
13
Pengorganisasian adalah suatu proses penentuan, pengelompokan dan pengaturan bermacam-macam aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Pengarahan adalah mengarahkan semua bawahan, agar mau bekerja sama dan bekerja efektif untuk mencapai tujuan serta pengendalian dan pengawasan adalah proses pengaturan berbagai faktor dalam suatu perusahaan agar sesuai dengan ketetapan-ketetapan dalam rencana (Hasibuan, 2004: 41). Pengelolaan merupakan implementasi dari perencanaan organisasi. Dalam konteks pengelolaan manajemen disini lebih diarahkan pada keberadaan organisasi salah satu ciri utama organisasi yaitu adanya sekelompok orang yang mengabungkan diri dengan suatu ikatan norma, peraturan, ketentuan dan kebijakan, ciri kedua adanya hubungan timbal balik dengan maksud untuk mencapai sasaran dan tujuan, Sedangkan ciri yang ketiga diarahkan pada satu titik tertentu yaitu tujuan yang direalisasikan. .Munir (2006) menjelaskan pengelolaan sebagai suatu proses harus memperhatikan beberapa hal: Pertama struktur harus mencerminkan tujuan dan rencana kegiatan, Kedua harus mencerminkan wewenang tersedia bagi pengelola, Ketiga harus memperhatikan lingkungan sekitar baik dari faktor internal maupun eksternal. Faktor internal yang dimaksudkan disini berasal dari Pemerintah Kabupaten Kediri , Pemerintah Desa Menang dan Yayasan Hondodento sebagai pengelola Kawasan Wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo , sedangkan faktor eksternal berasal dari masyarakat non pengelola yang tinggal di sekitar kawasan dan stakeholders lain yang mungkin terkait.
14
1.7.3 Prinsip Pengelolaan Wisata Ziarah Menurut Suryono (2005: 11) dalam pengelolaan wisata ziarah atau wisata religi, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan : 1. Aspek Partisipasi Masyarakat Perlu pembentukan forum rembug masyarakat setempat untuk membahas pengembangan daya tarik wisata religi tematis keagamaan atau ziarah secara tepat dengan memperhatikan potensi kekayaan budaya lokal yang ada. 2. Aspek Perencanaan Perlu perlengkapan berupa pembuatan induk pengembangan (master plan) RTBL (Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan) dan dibahas secara lintas sektoral. Beberapa hal termasuk pula persyaratan - persyaratan teknis untuk pendirian suatu bangunan (building code) 3. Aspek Koordinasi Pengelolaan Perlu dikembangkan pula Collaborative Management antara instansiinstansi yang berkepentingan (lintas sektor) dengan maksud untuk tetap menjaga kelestarian sejarah dan budaya yang ada. Salah satu cara untuk memadukan pengelolaan antar intansi atau stakeholders terkait adalah dengan membuat kesamaan konsep berpikir. Konsepsi Sapta Pesona adalah dasar pemikiran pariwisata yang relevan digunakan sebagai instrumen pengelolaan pariwisata. Dalam Sapta Pesona terdapat unsur : Aman, Tertib, Bersih, Sejuk, Indah, Ramah Tamah, Kenangan Adapun pola-pola lintas sektor yang harus dikembangkan untuk
15
pengelolaan daya tarik wisata religi adalah dengan semangat 4 M: 1. Mutual Respect (saling menghormati) 2. Mutual Trust (saling percaya) 3. Mutual Responsibility (saling bertanggungjawab) 4. Mutual Benefit (saling memperoleh manfaat) 1.7.4 Kebijakan Dari segi bahasa, Kebijakan berasal dari bahasa Yunani yaitu Polis kemudian terserap menjadi bahasa latin Plitea yang berarti negara dan akhirnya dalam bahasa Inggris Policy yang diartikan sebagai sesuatu yang yang berkenaan dengan pengendalian masalah - masalah politik atau administrasi pemerintahan. Asal kata Policy sama dengan kata lain Police and Politics (Dunn,2000). Istilah Policy (kebijakan) sering kali penggunaanya saling dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals), program, keputusan, undang – undang dan ketentuan - ketentuan. Menurut Islamy (1991), pada dasarnya kebijakan publik memiliki implikasi sebagai berikut : 1. Bahwa kebijakan publik itu bentuk awalnya adalah merupakan penetapan tindakan - tindakan pemerintah 2. Bahwa kebijakan publik tidak cukup hanya dinyatakan dalam bentuk teks
-
teks
formal,
namun
juga
harus
dilaksanakan
atau
dimplementasikan secara nyata 3. Bahwa kebijakan publik tersebut pada hakikatnya harus memilih tujuan - tujuan dan dampak - dampak, baik jangka panjang maupun
16
jangka pendek yang telah dipikirkan secara matang terlebih dahulu 4. Bahwa kebijakan publik tersebut pada akhirnya diperuntukan bagi pemenuhan kepentingan masyarakat. Terdapat beberapa model kebijakan yang dapat digunakan dalam penelitian tentang kebijakan. Bailey (1989) membagi kebijakan menjadi empat model, yaitu : 1. Model Deskriptif adalah model yang dipakai untuk menjelaskan dan atau meramalkan sebab akibat pilihan kebijakan dengan cara memonitor suatu kebijakan. 2. Model Normatif adalah model kebijakan yang menjelaskan atau meramalkan serta memberi rekomendasi dalam mencapai suatu nilai, contohnya model cost benefit atau rate of return. 3. Model Verbal adalah model kebijakan yang direpresentasikan dalam bentuk verbal, dalam model ini seorang analisis memakai judgment yang bersifat penalaran yang menghasilkan argumen kebijakan yang bersifat persuasif. 4. Model Simbolik adalah model penggunaan simbol matematik untuk melukiskan hubungan antara variabel kunci yang merupakan ciri permasalahan. Dalam penelitian ini Penulis menggunakan model kebijakan deskriptif. Proses Analisis Kebijakan Dunn menjelaskan analisis kebijakan adalah aktivitas intelektual dan praktis yang ditunjukkan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan
17
mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan dalam proses kebijakan (Nugroho D., 2007:7). Definisi analisis kebijakan dari Walter William adalah sebuah cara penyintesisan informasi termasuk hasil-hasil penelitian, untuk menghasilkan format keputusan kebijakan (yang ditentukan dari sejumlah alternatif pilihan) dan menentukan informasi yang relevan dengan kebijakan (Nugroho D., 2007:36). Sedangkan menurut Thomas R. Dye, analisis kebijakan adalah apa sesungguhnya yang dilakukan pemerintah-pemerintah, kenapa mereka melakukannya, dan apa yang menyebabkan capaian hasilnya berbeda-beda (Wahab, 2011:4). Suatu kebijakan esensinya akan mencerminkan dan menggambarkan strategi, prioritas, tujuan, sasaran, dan hasil (outcome) yang diharapkan. Agar kebijakan berfungsi efektif, diperlukan instrumen atau alat kebijakan (policy tools). Jadi, instrumen kebijakan adalah seperangkat langkah atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk merealisasikan kebijakan yang ditetapkan. Setiap instrumen kebijakan biasanya melibatkan (mengandung) setidaknya 3 (tiga) aspek, yaitu: 1) piranti hukum menyangkut aspek legal/hukum yang mendukungnya (melandasinya); 2) tatanan kelembagaan berkaitan dengan tatanan lembaga (organisasi) yang terlibat, fungsi/peran dan pengorganisasian (struktur dan hubungan atau interaksi antar aktor); 3) mekanisme operasional berkaitan dengan pola, cara/metode dan prosedur serta proses pelaksanaan dalam implementasi praktis (Taufik, 2005: 44). Dengan adanya analisis kebijakan tersebut, dalam penelitian ini menggunakan instrumen kebijakan yaitu: piranti hukum, tatanan kelembagaan, dan mekanisme operasional.
18
Menurut Dunn (2000), proses pembuatan kebijakan yang divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian atau evaluasi kebijakan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini : Gambar 1.1 Kedekatan Prosedur Analisis Kebijakan Dengan Tipe-Tipe Pembuatan Kebijakan.
Perumusan Masalah
Penyusunan Agenda
Peramalan
Formulasi Kebijakan
Rekomendasi
Adopsi Kebijakan
Monitoring
Implementasi Kebijakan
Penilaian Kebijakan
Evaluasi Evaluasi
: Tahap Pembuatan Kebijakan : Prosedur Analisis Kebijakan
(Sumber : Dunn : 2000)
19
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa : 1. Tahap Perumusan Masalah, memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi – asumsi yang mendasari definisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda. 2. Tahap Peramalan, pada tahap ini disediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu. Ini dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. 3. Tahap Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang di masa akan datang telah di estimasikan melalui peramalan. Hal ini membantu pengambil kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. 4. Tahap Monitoring (Pemantauan), menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang akibat dari implementasi kebijakan yang diambil sebelumnya. 5. Tahap Evaluasi, membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar – benar dihasilkan. Hal ini membantu pengambil kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah yang telah terselesaikan tetapi juga menyumbang klarifikasi dan kritik terhadap nilai – nilai yang
20
mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah.
1.7.5 Evaluasi Wirawan
(2011:7)
mendefinisikan
evaluasi
sebagai
riset
untuk
mengumpulkan, menganalisis dan menyajikan informasi yang bermanfaat mengenai objek evaluasi, menilainya dengan membandingkannya dengan indikator evaluasi dan hasilnya dipergunakan untuk mengambil keputusan mengenai objek evaluasi. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah gabungan antara metode evaluasi formal dan evaluasi keputusan teoristis yang dikemukakan oleh Dunn (1194:407). 1. Metode Evaluasi Formal Merupakan pendekatan dengan menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi-informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil - hasil kebijakan dalam mengevaluasi hasil tersebut didasarkan atas dasar tujuan yang sudah diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi utama dari evaluasi formal adalah bahwa tujuan dan target yang diumumkan adalah merupakan ukuran yang tepat manfaat atau nilai kebijakan program. Metode ini bertujuan untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai variasi-variasi hasil kebijakan dan dampak yang dapat dilacak dari masukan proses kebijakan. evaluasi formal menggunakan undang-undang,
21
dokumen-dokumen dan wawancara dengan pembuat kebijakan, dan administrator untuk mengidentifikasi, mendefinisikan, dan menspesifikasikan tujuan dan target kebijakan. kelayakan dari tujuan dan target yang diumumkan secara formal tersebut tidak ditanyakan. dalam evaluasi formal tipe-tipe evaluatif yang paling sering digunakan adalah efektifitas dan efisiensi. 2. Metode Evaluasi Keputusan Teoritis Metode ini menggunakan model analisis deskriptif untuk menghasilkan informasi-informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid mengenai hasilhasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh pelbagai macam pelaku kebijakan. Evaluasi keputusan teoritis berusaha memunculkan dan membuat eksplisit tujuan dan target dari pelaku kebijakan baik yang tersembunyi maupun dinyatakan. Dalam hal ini berarti bahwa tujuan dan target dari para para pembuat kebijakan dan administrator merupakan salah satu sumber nilai, karena semua pihak yang mempunyai andil dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan dilibatkan dalam merumuskan tujuan dan target dimana kinerja nantinya akan diukur.
1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Cara Penelitian Kegiatan penelitian dimulai dalam beberapa tahapan : 1. Melihat isu atau permasalahan yang ada 2. Melakukan pengamatan
22
3. Melakukan tinjauan pada riwayat pengelolaan kawasan, meliputi kegiatan perencanaan dan pelaksanaanya untuk mengetahui proses pembentukan pengelolaan yang berlangsung saat ini serta melihat inti permasalahan dalam pengelolaan melalui telaah sumber-sumber pustaka yang telah ada, seperti artikel dan buku (Nugroho,2006). 1.8.1.1 Wilayah Penelitian Penelitian ini dilakukan di desa Menang, kecamatan Pagu kabupaten Kediri namun terkait dengan pengelolaan kawasan wisata maka daerah pengamatan tidak terbatas pada daerah desa Menang saja, melainkan mencangkup pula pengamatan di wilayah sekitarnya. Menang tidak bisa dipisahkan dengan kawasan lain yang ada disekitarnya. 1.8.1.2 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan : 1. Observasi Dalam menggunakan metode ini dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap unsur - unsur yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala pada obyek penelitian.
23
Observasi yang dilakukan dalam ini adalah observasi partisipan,antara lain ; 1. Melakukan diskusi informal dengan masyarakat dalam melihat pengelolaan kawasan selama ini. Masyarakat diminta mengungkapkan pikiran dan perasaan mengenai permasalahan yang dihadapi 2. Melakukan pemetaan terhadap permasalahan - permasalahan tersebut. Dengan melakukan kegiatan-kegiatan di atas maka diperoleh gambaran sejauh mana masyarakat paham mengenai permasalahannya, bagaimana cara mengatasinya serta apa hambatan-hambatannya. Hasil dari kegiatan diatas memberikan gambaran kepada penulis mengenai kesesuaian kegiatan pengelolaan di kawasan tersebut dengan masyarakat dan juga pemahaman pola pikir dan pengetahuan masyarakat dalam mengahadapi permasalahan sebagai pijakan untuk merumuskan prinsip kemudian alur penelitian. 2. Wawancara Dalam penelitian ini motode wawancara yang digunakan adalah wawancara secara mendalam (in-depth-interview). Pemilihan narasumber melalui teknik bola salju. Kegiatan wawancara dilakukan dengan cara menanyakan langsung terhadap narasumber yang dianggap mengetahui sejarah pengelolaan kawasan, antara lain pejabat dari instansi DISBUDPAR kabupaten Kediri,
24
perangkat desa Menang, pengurus yayasan Hondodento kabupaten Kediri serta juri kunci petilasan dan sendang. 3. Metode Dokumentasi Metode dokumentasi adalah peneliti mencari dan mendapatkan data-data primer melalui data-data dari prasasti-prasasti atau naskah- naskah kearsipan (baik dalam bentuk barang cetakan maupun rekaman) data gambar atau foto atau blue print dan lain sebagainya (Supardi, 2005: 138). Dalam penelitian ini metode dokumentasi yang digunakan adalah data gambar atau foto dan rekaman wawancara. Data gambar digunakan untuk menjelaskan obyek yang diteliti secara komprehensif sedangkan rekaman wawancara dilakukan untuk mempermudah pengambilan data – data penting ketikan melakukan wawancara terhadap informan. 1.8.2 Teknik Analisis Data Pada analisis data kualitatif terjadi kecenderungan penggunaan pendekatan logika induktif, di mana silogisme dibangun berdasarkan pada hal - hal khusus atau pendekatan di lapangan dan bermuara pada kesimpulan – kesimpulan umum. Hal ini disebabkan dasar kajian kualitatif umumnya berakar pada pendekatan fenomenologis yang digunakan untuk mengurai persoalan subjek manusia yang umumnya tidat taat asas, berubah – ubah, memiliki emosi, dan sebagainya (Bungin, 2011).
25
Model tahapan analisis induktif adalah sebagai berikut : 1. Melakukan pengamatan terhadap
fenomena sosial, melakukan
identifikasi, revisi – revisi dan pengecekan ulang terhadap data yang ada 2. Melakukan kategorisasi terhadap informasi yang diperoleh 3. Menelusuri dan menjelaskan kategorisasi 4. Menjelaskan hubungan – hubungan kategorisasi 5. Menarik kesimpulan – kesimpulan umum. Dalam penelitian ini digunakan strategi analisis data kualitatif-verifikatif, yaitu merupakan sebuah upaya analisis induktif terhadap data penelitian yang dilakukan pada seluruh proses penelitian yang dilakukan. Format strategi analisis ini adalah mengkontruksi format penelitian dan strategi untuk lebih awal memperoleh data sebanyak – banyaknya di lapangan, dengan mengesampingkan peran teori. Walaupun demikian, teori tetap menjadi sesuatu yang penting dalam format ini.
26
Gambar 1.2 Model Strategi Analisis Data Kualitatif-Verifikatif.
Data
Kesimpulan Kategorisasi
Data
Kesimpulan Ciri-Ciri Umum Data
Klasifikasi Data
Dalil Hukum
Data
Teori
(Sumber : Bungin :2011)
1.8.3 Teknik Keabsahan Data Peneliti menggunakan triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data. Dimana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moleong, 2004:330). Triangulasi metode dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda (Nasution, 2003:115) yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Selain digunakan untuk mengecek kebenaran data, triangulasi juga dilakukan untuk memperkaya data dan menyelidiki validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi bersifat reflektif. Dalam penelitian ini model triangulasi yang digunakan adalah triangulasi data dan metode.
27
1.8.4 Skema Pemikiran Penelitian Secara sederhana proses penelitian digambarkan dalam skema sebagai berikut : Gambar 1.3 Skema Proses Penelitian Isu Permasalahan
Penentuan permasalahan , tujuan, dan kerangka pemikiran penelitian
Pengumpulan Data Kondisi dan riwayat pengelolaan kawasan berdasarkan Perda
Kondisi dan riwayat pengelolaan kawasan berdasarkan pengelola
Analisis kebijakan pengelolaan kawasan Evaluasi terhadap kebijakan pengelolaan kawasan Analisis berdasarkan prinsip pengelolaan wisata ziarah
Rekomendasi terhadap pengelolaan kawasan
28
1.9 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi merupakan hal yang sangat penting karena mempunyai fungsi untuk menjelaskan garis-garis besar masing-masing bab agar saling berkaitan dan berurutan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekeliruan dalam penyusunannya sehingga terhindar dari kesalahan ketika penyajian pembahasan masalah. Skripsi ini akan terdiri dari empat bab ; Bab Pertama, berupa pendahuluan berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi Bab Kedua, berupa gambaran umum obyek penelitian berisi gambaran umum kabupaten Kediri, gambaran umum Kawasan Wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo, gambaran umum pengelolaan Kawasan Wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo Bab Ketiga, berupa pembahasan dan analisis berisi implementansi, implikasi serta evaluasi kebijakan pengelolaan Kawasan Wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo, evaluasi pengelolaan kawasan wisata Kawasan Wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo, analisis implementasi kebijakan pengelolaan Kawasan Wisata Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo Melalui Prinsip Pengelolaan Wisata Ziarah dan rekomendasi pengelolaan kawasan.
29
Bab Keempat, berupa saran dan kesimpulan Selain itu, terdapat pula lampiran meliputi daftar gambar, daftar tabel dan daftar referensi.
30