BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, perkembangan dibidang kesehatan semakin maju pesat, ini terbukti dengan adanya banyak praktik kesehatan yang dilakukan oleh dokter dan tenaga medis ataupun pengobatan tradisional dan tidak dipungkiri banyaknya praktik kesehatan yang tanpa izin dari pemerintah yang bermunculan semakin pesat. Praktik tukang gigi salah satu praktik kesehatan yang dibidang kesehatan gigi yang belum lama ini memiliki pengakuan sebagai pengobatan tradisional dari pemerintah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 40/PUU-X/2012 tentang pekerjaan tukang gigi dan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) No. 39 tahun 2014 tentang “Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi” dalam melakukan suatu praktik, namun bahwa praktik tukang gigi ini lebih dipilih oleh masyarakat dibandingkan dengan praktik dokter gigi yang memerlukan biaya yang lebih mahal meskipun praktik tukang gigi ini hanya dikatagorikan sebagai pengobatan tradisional yang tentu tidak memiliki keahlian seperti dokter. Sesuai dengan data Persatuan Tukang Gigi Indonesia (PTGI), sudah digelutinya profesi tukang gigi sedikitnya 75 ribu orang di
1
2
seluruh Indonesia,1 hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak dan diminatinya profesi tukang gigi di Indonesia. Menurut sejarahnya, profesi tukang gigi di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak zaman Belanda. Tukang gigi (tandmesster), yang kala itu dikenal dengan sebutan dukun gigi sudah menguasi pasar. Praktik tukang gigi ini sudah ada, tapi sangat terbatas dan hanya melayani orang Eropa yang tinggal di Surabaya. Terbatasnya jumlah dokter gigi saat itu, kemudian penguasa Colonial Belanda terdorong untuk mendirikan lembaga pendidikan kedokteran gigi STOVIT (Scohool Tot Opleiding Van Indische Tandarsten) di Surabaya, Jawa Timur, tahun 19282 Namun jika tukang gigi ini dilihat dari sisi profesionalisme dibidang medis sangat jauh tidak selengkap dokter dan tenaga medis untuk melakukan praktik kesehatan yang khususnya dibidang kesehatan gigi yang mengakibatkan banyaknya terjadi kelalaian dalam melakukan pekerjaanya yang dilakukan oleh tukang gigi tersebut yang menimbulkan korban bagi masyarakat. Kemungkinan akan terjadinya kelalaian yang dilakukan oleh tukang gigi sangat besar karena tukang gigi sendiri tidak dibekali keahlian seperti dokter gigi pada umumnya, karena tukang gigi masuk dalam ranah pengobatan tradisional yang diakui oleh pemerintah.
1“
Ribuan Tukang Gigi Terancam Nganggur”, Sumber: http://bisnis.news.viva.co.id, diakses pada tanggal 11 Februari 2015 2 . “Inilah Sejarah Tukang Gigi di Indonesia”, Sumber: http://www.beritasatu.com, diakses pada tanggal 11 Februari 2015.
3
Pada tahun 1989 terdapat Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) tentang tukang gigi No. 339/MENKES/PER/V/1989 namun pada tahun 2011 Peraturan Menteri Kesehatan ini dicabut dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1871/MENKES/PER/IX/2011 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan No. 339/MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi, karena dirasakan bahwa jasa tukang gigi sudah melanggar kewenangan yang diberikan oleh Menteri Kesehatan
dalam
bentuk
Peraturan
Menteri
Kesehatan
(PERMENKES)
No.339/MENKES/PER/V/1989 sehingga tukang gigi tidak dapat dikatakan sebagai tenaga kesehatan, dokter dan sebagainya namun pada tahun 2014 berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 40/PUU-X/2012 tentang pekerjaan tukang gigi, tukang gigi ini diakui dan dimasukkan kedalam kelompok pengobatan tradisional dan pekerjaan tukang gigi ini juga telah diakui berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) No. 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi namun dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) No. 39 Tahun 2014
tersebut tidak ada pengaturan
mengenai pemidanaan terhadap tukang gigi dalam melakukan pembuatan dan pasang gigi dan melakukan kegiatan yang melebihi yang tercantum dalam Permenkes tersebut, namun praktik tukang gigi ini banyak dikenal dengan praktik ahli gigi, yang tentu memiliki perbedaan arti bahasa antara tukang gigi dan ahli gigi. Ahli gigi yang melakukan praktik tidak memiliki izin praktik karena tidak termasuk kedalam tukang gigi.
4
Jika dilihat dalam persfektif hukum pidana positif yang berhubungan dengan pengaturan mengenai tukang gigi atau pengobatan tradisional seperti: UndangUndang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) tentang Pengobatan Tradisional dan sebagainya belum terlihat adanya pengaturan mengenai pemidanaan terhadap tukang gigi yang melakukan kelalaian dalam melakukan praktik yang pada dasarnya mewajibkan adanya pertanggung jawaban bagi tukang gigi, namun secara umum tentang kelalaian sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 359, 360, 361 namun hal tersebut hanya diatur secara umum saja, untuk pengobatan tradisional hal tersebut belum diatur baik dalam peraturan perundang-undangan ataupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena seharusnya kelalaian yang dilakukan tukang gigi yang termasuk menjalankan pengobatan tradisional harus adanya pengaturan secara khusus. Berdasarkan hal tersebut ketika seseorang tukang gigi melakukan kelalaian dalam pekerjaannya maka dalam meminta pertanggungjawaban terhadap tukang gigi atau dalam hal ini pengobatan tradisional pada dasarnya dapat dilakukan berdasarkan pasal 359, 360, 361 KUHP tentang menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan namun hal tersebut hanya bersifat umum saja sehingga dalam hal ini diperlukannya suatu pengaturan secara lebih khusus bagi tukang gigi karena tidak dipungkiri kelalaian tersebut sangat rentan terjadi karena tukang gigi melaukan suatu praktik
5
tanpa SOP yang memang benar sudah diatur dalam suatu perundang-undnagan atauapun sejenisnya. Adanya kekosongan norma dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang tentu merupakan suatu aturan yang lebih khusus (lex specialis) tersebut tidak bisa dibiarkan berlangsung secara terus menerus tanpa adanya upaya-upaya hukum yang menjadi dasar dalam penjatuhan hukum atau dasar hukum yang mengatur akan suatu perbuatan tersebut.
Berdasarkan konsep di atas, mengenai adanya kekosongan norma hukum yang terjadi dalam lex specialis maka perlu dikaji. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis
untuk
mengangakat
Usulan
Penelitian
dengan
judul
“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI TUKANG GIGI KARENA KELALAIAN DALAM MELAKUKAN PEKERJAANNYA DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA dan UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bagi tukang gigi yang melakukan kelalaian dalam pekerjaannya ditinjau dari hukum positif Indonesia? 1.2.2 Bagaimanakah kajian terhadap tukang gigi yang melakukan kelalaian dalam pekerjannya dalam persepektif pembaharuan hukum pidana?
6
1.3 Ruang lingkup masalah Dalam setiap karya ilmiah diperlukan adanya suatu ketegasan untuk menghindari pembahasan yang terlalu meluas dan menyimpang dari pokok permasalahan, maka ruang lingkup permasalahan penulis batasi dengan rumusan masalah pertama akan membahas mengenai pertanggungjawaban pidana oleh tukang gigi dalam melakukan kelalaian dalam pekerjaannya ditinjau dari hukum postif di Indonesia dan akan membahas kajian mengenai pertanggungjawaban pidana bagi tukang gigi yang melakukan kelalaian dalam pekerjaannya dalam persfektif pembaharuan hukum pidana. 1.4 Orisinalitas 1. Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan dalam mencari orisinalitas ditemukan bahwa tedapat penelitian yang sejenis yang penulis dapatkan dari media Internet dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yaitu: penelitan dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Praktek Tukang Gigi Tanpa Izin di Kota Denpasar dengan mengangkat dua rumusan masalah yaitu: 1.Bagaimanakah Kewenangan Pemerintah Kota Denpasar dalam penegakan hukum terhadap praktek tukang gigi tanpa izin? Dan 2. Bagaimanakah pelaksanaan penegakan hukum terhadap tukang gigi tanpa izin di Kota Denpasar? penulis I Komang Wijana, 2006, (Fakultas Hukum Universitas Udayana)” 2. Terdapat juga penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Penerima Layanan Ortodonti oleh Tukang Gigi Berdasarkan Perlindungan Konsumen dan Hukum dengan mengangkat tiga rumusan masalah
7
yaitu: 1. Bagaimana kewenangan tukang gigi berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku?. 2. Bagaimana pelanggaran yang terjadi dari hasil wawancara dengan konsumen penerima layanan ortodonti oleh tukang gigi berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan yang berlaku, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang Praktik Kedokteran? Dan 3. Bagaimana Tanggung Jawab hukum tukang gigi dari hasil wawancara dengan penerima layanan jasa ortodonti berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang ditulis oleh Flavia Pinasthika W.S., 2010, (Fakultas Hukum Universitas Indonesia)” Berdasarkan penjabaran beberapa judul dan rumusan masalah diatas dapat dilihat perbedaanya bahwa penelitian yang penulis lakukan lebih menitik beratkan kepada
pertanggungjawaban pidana bagi tukang gigi karena kelalaian dalam
pekerjaannya ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UndangUndang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 1.5 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini ada 2 (dua) tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. 1.5.1
Tujuan Umum Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu untuk menambah
pengetahuan hukum pidana mengenai pertanggungjawaban bagi tukang gigi karena kelalaiannya dalam melakukan praktik ditinjau dari hukumpidana positif Indonesia.
8
1.5.2
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana tukang gigi yang melakukan kelalaian dalam pekerjaanya ditinjau dari hukum positif Indonesia 2. Untuk mengetahui kajian mengenai pertanggungjawaban pidana tukang gigi yang melakukan kelalaian dalam pekerjaanya dalam persfektif pembaharuan hukum pidana. 1.6 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian yang penulis lakukan yaitu: 1.6.1
Manfaat Teoritis Dengan dilakukannya Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam hubungan dengan pertanggungjawaban pidana bagi tukang gigi karena kelalaian dalam pekerjaannya ditinjau hukum pidana postif Indonesia. 1.6.2
Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis dari penelitian yang penulis lakukan yaitu:
a. Bagi penegak hukum Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan atau informasi untuk kalangan penegak hukum dalam penyelesaian kasus-kasus bagi tukang gigi karena kelalaian dalam melakukan pekerjaannya. b. Bagi masyarakat Dalam rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat akan pentingnya memilih penanganan kesehatan terutama kesehatan gigi agar di kemudian
9
hari menghindari terjadinya konflik akibat kelalaian yang dilakukan oleh tukang gigi. c. Bagi pengambil kebijakan Dalam hal ranah pengambilan kebijakan diharapkan menjadimasukan dalam pembentukan peraturan perundang undangan pidana dan pembaharuan hukum pidana
khususnya
dalam
KUHP
mengenai
pemidanaan
dan
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh tukang gigi yang karena melakukan kelalaiannya dalam pekerjaanya. 1.7 Landasan Teoritis 1.7.1
Teori Kepastian Hukum Teori Kepastian Hukum adalah teori yang digagas John Austin dan Van Kan.
Menurut teori ini, tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.Arti kepastian hukum disini adalah melegalkan hak dan kewajiban. Kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu: 1. Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan 2. Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya atauran yang bersifat umum itu individu dapat
10
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.3 Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya kosistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.4 1.7.3
Teori Kesalahan Bahwa untuk dapat diakatakan seseorang tersebut melakukan suatu tindak
pidana dan dapat dipidanya seseorang tersebut harus didasari adanya kesalahan, ini berdasarkan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Berikut penegrtian kesalahan menurut para ahli: a. Menurut Mezger bahwa kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana. b. Simons mengartikan bahwa kesalahan adalah sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana ia berupa keadaan psychich (jiwa) dari si pembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya, dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu perbuatannya dapat dicelakan kepada si pembuat.
3
Peter Mahmud Marzuki, 2014, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenadamedia Group,Jakarta, h. 137. 4 Ibid.
11
c. Menurut Van Hamel mengatakan, bahwa “kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum.5 Kesalahan terdiri dari beberapa unsur, yaitu: a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada sipembuat (Schuldfahigkeit atau Zurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa sipembuat harus normal b. Hubungan
batin
sipembuat
dengan
perbuatannya,
yang
berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. c. Tidak adanya alasan yang mengapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.6 1.7.4
Teori Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban
pidana
dalam
istilah
asing
disebut
dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.7 Menurut Pompe kemampuan bertanggung jawab pidana harus mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 5
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip, Semarang, h. 88. Ibid, h. 91. 7 Amir Ilyas, 2014, Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Malpraktik Medik di Rumah Sakit, Rangkang Education dengan Republik Institute, Jakarta, h. 67 6
12
1. Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang memungkinkan ia menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya. 2. dan oleh sebab itu, ia dapat menentukan akibat perbuatannya 3. dan oleh sebab itu pula, ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.8 Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasaradanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat9 1.7.5
Teori Kebijakan Hukum Pidana Istilah „kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau
“politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istililah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berebgai istilah antara lain “penal policy”, “criminal policy” atau “strafrechts politiek”.10 Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan criminal, yaitu:
8
Ibid, h. 68. Djoko Prakoso, 1987, .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia , Liberty Yogyakarta , Yogyakarta, h. 75. 10 Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Perdana Media Group, Jakarta, h. 26. 9
13
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. c. Dalam arti luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.11 Dilihat sebagai bagian dari Politik Hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti , bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian juga terlihat dalam definisi “penal policy” dari Marc Ancel yang secara singkat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”.12Yang dimaksud disini hukum positif adalah hukum pidana positif Indonesia. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum
11
Ibid, h. 3 Ibid, h. 27.
12
14
pidana”.13 Politik Kriminal yaitu suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan14 1.7.6
Teori Pembaharuan Hukum Pidana Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu
upaya untuk melakukan suatu reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal,dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (“policy-oriented approach”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (“value-oriented approach”).15 Dapatlah disimpulkan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai berikut: 1. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan: a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya). b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan). c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya 13
Ibid, h. 28. I Ketut Mertha, 2010, Politik Kriminal Dalam Penanggulangan Tajen (Sabungan Ayam) di Bali, Udayana University Press, h. 4. 15 Barda Nawawi Arief op.cit, h. 29. 14
15
memperbarui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.16 2. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai:17 Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan peninjauan dan penilaian kembali (“reorientasi dan reevaluasi”) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan norma dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya, KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau Wvs). 1.7.4.5 Teori Pemidanaan Menurut Sudarto,menyatakan bahwa pemidanaan itu sinonim dengan perkataan penghukuman yaitu: “Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten)”.18 Menurut Andi Hamzah menyatakan bahwa: “Pemidanaan disebut juga sebagai penjatuhan pidana atau pemberian pidana atau penghukuman.Dalam bahasa Belanda disebut straftoemeting dan dalam bahasa Inggris disebut sentencing”.19 16
Barda Nawawi Arief op.cit Barda Nawawi Arief op.cit, h. 30. 18 Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, h. 21 17
16
Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut. a. Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri b. Membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan-kejahatan. c. Membuat penjahat-penjahat tentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali.20 Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori hukum pidana (teori penjatuhan pidana) strafrechts theorien yang pada umumnya dibagi menjadi tiga golongan yaitu: 1. Teori absolut Bahwa menurut Johaness Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah “untuk memuaskan tuntutan keadilan”.21 Salah seorang tokoh lain dari penganut teori absolut yang terkenal ialah Hegel yang berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.22 Pada teori retribution: a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan; b. Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; 19
Ibid. Ibid, h. 31 21 Ibid. 22 Ibid, h. 12 20
17
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; e. Pidana melihat kebelakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.23 2. Teori Relatif Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. pemabalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebgai “teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence). Bahwa pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunayi tujuantujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun seing juga disebut teori tujuan (Utilitarian theory).24 Pada teori utilitarian: a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention) b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat; c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (missal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; d. Pidana harus diterapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan; e. Pidana melihat kemuka (bersifat prosfektif); pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.25 23
Ibid, h. 17 Ibid, h. 16 25 Ibid, h. 17 24
18
3. Teori Gabungan Teori Gabungan ini merubakan gabungan antara teori absolut dan teori relatif. Dalam teori ini tidak menitik beratkan kepada pembalasan saja tetapi juga melihat akan adanya tujuan-tujuan yang bermanfaat sehingga terciptanya keadilan. Pada dasarnya baik masyarakat maupun penjahatnya harus diberikan kepuasan yang sesuai dengan peri keadilan.Maka oleh karena itu menurut teori gabungan, teori pembalasan dan teori tujuan itu harus digabungkan menjadi satu, sehingga menjadi praktis, puas, dan seimbang, sebab pidana bukan hanya penderitaan tetapi juga harus seimbang dengan kejahatannya.26 1.8 Metode Penelitian 1.8.3
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinial. Pada penelitian ini acap kali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.27
26
Tolib Setiadi, loc.cit Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 118. 27
19
Penelitian yuridis normatif membahas juga mengenai doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.28 1.8.4
Jenis Pendekatan Jenis pendekatan dalam penelitian ini yaitu :Pendekatan perundang-undangan
(The statute Approach), pendektan analisis konsep hukum (Analitical & Conseptual Approach). Pendekatan Perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti adalah mengenai berbagai aturan hukum positif yang menjadi pokok utama dalam penelitian ini. Pendekatan perundang-undangan ini digunakan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan,
norma-norma
hukum
yang
berkaitan
dengan
pertanggungjawaban pidana tukang gigi karena kelalaiannya dalam melakukan pekerjaannya. Pendekatan konsep-konsep hukum digunakan untuk memahami konsepkonsep aturan tentang pertanggung jawaban pidana tukang gigi karena kelalaiannya dalam melakukan pekerjaannya. 1.8.5
Sumber Bahan Hukum Adapun sumber bahan hukum yang digunakan dalam peneltian ini yaitu: 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 28
H. Zainuddin, 2011, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 24.
20
2. Bahan Hukum Skunder Bahan hukum skunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti: literatur-literatur yang hukum yang berupa buku-buku hukum (textbook) yang relevan dengan topic yang dibahas dan yang ditulis para ahli, pendapat para sarjana atau ahli, surat kabar, via internet dan sebagainya. 3. Sumber bahan hukum tertier Bahan hukum tertier adalah bahan-bahan yang dapat memperjelas suatu persoalan atau suatu istilah yang ditemukan pada bahan-bahan hukum primer dan skunder. Seperti: Kamus, esiklopedia, majalah, dan sebagainya. 1.8.6
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum adalah teknik studi dokumen yaitu
pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library research) yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengratifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literature yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen.Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari
21
konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.29 1.8.7
Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi,
teknis interpretasi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan teknik sistematisasi. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum.Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, penafsiran teleologis, penafsiran historis, dan lain sebagainya. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permsalahan hukum makin banyak
argumen
makin
menunjukkan
kedalaman
penalaran
hukum.Teknik
sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.
29
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 24