BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini terkait dengan
kebebasan pers adalah fenomena konsentrasi kepemilikan media. Terlebih mengenai kepemilikan media televisi. Fenomena konsentrasi kepemilikan media bertujuan untuk mengontrol pasar media itu sendiri serta mendapatkan keuntungan secara ekonomi maupun politik. Hingga saat ini setidaknya terdapat empat kelompok besar yang menguasai stasiun televisi di Indonesia yaitu Harry Tanoesoedibjo dengan MNC Group yang membawahi RCTI, Global TV dan TPI.1 Anindya N Bakrie dengan Bakrie Brothers yang membawahi TV ONE dan ANTV.2 Chairul Tanjung dengan Trans Corp yang membawahi Trans TV dan Trans 7. 3 Kemudian Elang Mahkota Teknologi (EMTEK) yang membawahi SCTV dan Indosiar.4 Persoalan kepemilikan televisi sebenarnya pernah dilaporkan oleh Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang mempersoalkan kepemilikan MNC atas
1
2
3
4
Febriana Firdaus, ―Tutut Menang Kasasi Tpi, Saham Mnc Group Anjlok‖, http://bisnis.tempo.co/read/news/2013/10/10/088520730/tutut-menang-kasasi-tpi-saham-mncgroup-anjlok, diakses 12 November 2015. Giras Pasopati, ―TVOne dan ANTV Kantongi Belanja Modal Rp 600 Miliar‖, http://www.cnninondonesia.com/ekonomi/20150418093940-78-47532/tvone-dan-antv-kantongibelanja-modal-rp-600-miliar/, diakses 12 November 2015. Arif Wicaksono, ―Trans Corp berjaya di bisnis hiburan‖, http://industri.kontan.co.id/news/trans-corp-berjaya-di-bisnis-hiburan, diakses 9 Oktober 2015. Efi, ―Emtek Lepas Kepemilikan Saham di Surya Citra‖ http://www.beritasatu.com/pasar-modal/154584-emtek-lepas-kepemilikan-saham-di-suryacitra.html, diakses 9 Oktober 2015.
2
tiga stasiun televisi swasta, yakni RCTI, TPI dan Global TV pada tahun 20075 yang berakhir dengan tidak ditemukannya indikasi pelanggaran kepemilikan silang. Hal ini bisa dipastikan karena definisi kepemilikan silang berbeda-beda di setiap peraturan. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Praktik Monopoli) pengertian kepemilikan silang terkait dengan kepemilikan pelaku usaha pada beberapa entitas bisnis di pasar bersangkutan atau pada jenis usaha yang sama.6 Sebaliknya, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran), kepemilikan silang terkait dengan kepemilikan pelaku usaha pada berbagai jenis media yang berbeda.7 Peraturan tersebut kemudian diperinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Swasta (PP Lembaga Penyiaran Swasta).8 Kesulitan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam memutuskan apakah ada kepemilikan silang yang berujung pada pemusatan kepemilikan akan menemui kendala selama belum ada revisi UU Penyiaran dan PP Penyiaran dan juga dalam hal kesamaan persepsi dalam hal kepemilikan silang.
5
6
7
8
Agoeng Wijaya, ―KPI Tagih Data Kepemilikan Saham Televisi”, http://tempo.co.id/hg/ekbis/2007/12/19/brk,20071219-113829,id.html, diakses 9 Oktober 2015. Lihat Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817). Lihat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252). Lihat Pasal 32 ayat (1) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4566).
3
Pengaturan mengenai kepemilikan televisi di Indonesia sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran (UU Penyiaran 1997). UU Penyiaran 1997 ini menuai pro dan kontra karena belum dianggap kuat dan otonom untuk mengatur sistem penyiaran karena harus berbagi dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi) dimana dalam beberapa hal harus diatur dalam peraturan ini. 9 Penghapusan Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid menjadikan undangundang tersebut sudah tidak relevan lagi penggunaannya. Departemen Penerangan mengeluarkan izin penyiaran, termasuk penggunaan frekuensi, pemancaran dan transmisi dan harus dikoordinasikan dengan instansi terkait melalui perizinan satu atap.10 Selain itu, dalam Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N) tidak terdapat fungsi badan regulasi (regulatory body) karena BP3N hanya berfungsi sebagai lembaga pemberi masukan dan pertimbangan.11 UU Penyiaran 1997 tersebut dicabut pada tahun 2002 dan digantikan dengan UU Penyiaran yang saat ini berlaku. UU Penyiaran ini telah mengalami dua kali judicial review. Judicial review yang pertama dilakukan terhadap 22 Pasal di UU Penyiaran yang berakhir dengan dikabulkannya sebagian permohonan dan hanya 2
9
10
11
Agus Sudibyo, 2004, Ekonomi Politik Media Penyiaran, PT LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, hlm. 51. Lihat dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3701). Lihat dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3701).
4
Pasal yang dikabulkan.12 Keputusan MK tersebut memangkas kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai badan regulator dan pihak yang memiliki wewenang untuk membuat aturan turunan dari UU Penyiaran atau Peraturan Pemerintah (PP) adalah pemerintah bukan KPI bersama pemerintah.13 Judicial Review yang kedua dilakukan terhadap Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran terkait pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi dan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran tentang izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain yang berakhir dengan ditolak dan terdapat dissenting opinion. Pengajuan judicial review tersebut dilakukan tidak lain karena adanya dugaan pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran terjadi pada kasus pembelian dan pengalihan IPP PT Visi Media Asia Tbk yang menguasai PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV) dan PT Lativi Media Karya (TV ONE) pada Februari 2011. Selain itu terdapat Group MNC yang menguasai tiga stasiun televisi, yaitu RCTI, Global TV, dan MNC, dan Group EMTEK dengan Indosiar dan SCTV14. Konsentrasi kepemilikan sebuah media akan terus mendapatkan kritikan karena sebenarnya pluralitas kepemilikan media merupakan elemen utama untuk 12
13
14
Yuliawati, ―Kewenangan Pemberian Izin Penyiaran Ada di KPI‖, http://tempo.co.id/hg/jakarta/2005/02/17/brk,20050217-09,id.html, diakses 7 November 2015. Lihat dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252). Hukum Online, ―Aturan Penguasaan Penyiaran Dinilai Tidak Konsisten Dari aspek politis UU Nomor 32 Tahun 2002 tidak lebih maju daripada UU Penyiaran sebelumnya karena ada ketegasan soal larangan monopoli‖, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f4710ed19a83/aturan-penguasaan-penyiarandinilai-tidak-konsisten, diakses 3 April 2015.
5
mewujudkan demokrasi yang sehat.15 Sebuah negara dapat dikatakan sebagai negara demokrasi apabila memiliki empat pilar yakni tiga unsur trias politika yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif serta pers yang bebas. Media sebagai bagian dari pers merupakan sarana dalam mengemukakan pendapat baik secara tulisan atau lisan, pers yang bebas merupakan the fourth estate atau sebagai pilar keempat dalam demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pers adalah wakil dari demokrasi dengan kata lain pers adalah pemelihara hak-hak demokrasi, penjaga nilai-nilai sosial dan sarana dalam penyampaian berita. Pers juga berperan sebagai watchdog, pengawas jalannya pemerintahan. Pers sebagai watchdog pernah dikemukakan di pengadilan Eropa untuk Hak Asasi Manusia yang mengatakan bahwa: Walaupun pers tidak boleh melebihi batas-batas yang telah ditetapkan (tentang perlindungan kepentingan yang diatur dalam Pasal 10 (2) dari Konvensi Eropa) [...] tetap saja pers berkewajiban untuk memberi informasi dan gagasan tentang persoalan yang merupakan kepentingan publik. Bukan saja berperan untuk memberi informasi dan gagasan tersebut; tetapi publik juga berhak untuk menerimanya. Kalau sebaliknya, pers tidak akan bisa menjalankan peranan pentingnya sebagai ‗pengawas publik‘.16 Kebebasan pers di Indonesia telah mengalami pasang surut dan perdebatan yang panjang bahkan sejak para founding fathers merumuskan kebebasan berpendapat agar dapat diadopsikan ke dalam konstitusi. Sebelum Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yang merupakan tonggak kebebasan
15
16
Steven Barnett, 2010, ―What‘s Wrong with Media Monopolies? A Lesson from History and a New Approach to Media Ownership Policy‖, Media@LSE London School of Economics and Political Science, No. 18, 2010, hlm. 4. Sandra Coliver, 1993, Buku Pedoman ARTICLE 19 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat, Article 19, Article 19 Center Against Censorship, Inggris, hlm. 65.
6
pers berlaku, pers diatur dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 (UU Pers 1982). UU Pers 1982 merupakan regulasi pertama yang mengatur pers yang memuat peraturan mengenai Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Ditambah dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/Per/Menpen/84 tentang SIUPP (Permenpen SIUPP) dan Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 214A/KEP/Menpen/1984 mengenai tata cara mendapatkan SIUPP (SK Menpen SIUPP). Peraturan di era orde baru dianggap sangat mengekang kebebasan pers karena dalam Permenpen SIUPP tersebut terdapat ancaman pembredelan terhadap media massa. Pembredelan pernah dilakukan di tahun 1994 terhadap tiga media massa yakni majalah Tempo, Detik dan Editor. Hal tersebut ditengarai karena pemberitaan mengenai pembelian kapal perang Jerman yang semakin menambah daftar panjang pembredelan sejumlah surat kabar di era orde baru. Sementara itu, di lain pihak adanya kebijakan SIUPP tersebut justru melahirkan beberapa grup usaha media yang dengan mudahnya memperoleh SIUPP. Grup media tersebut antara lain Kompas Group, Sinar Kasih Group, Grafiti/Jawapos Group, Pressindo Group.17 Di lain pihak, tujuan diterapkannya SIUPP menurut
17
David T. Hill, 2006, The Press in New Order Indonesia, Equinox Publishing, Sheffield, Inggris, hlm. 83-104.
7
Menteri Penerangan Ali Murtopo saat itu yaitu sebagai trade barrier untuk melindungi pers kita dari serbuan pemilik-pemilik modal besar.18 Untuk menunjang demokrasi yang berkualitas dibutuhkan pula pers yang bebas yang berarti independensi media. Hal tersebut semakin dibutuhkan oleh publik ketika suatu negara akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu). Dengan kata lain, tanpa adanya media yang menyajikan informasi yang berkualitas, berimbang, dan akurat, maka publik berpotensi tidak mampu mengambil keputusan yang tepat dalam kehidupannya sebagai warga negara.19 Televisi merupakan media dengan jangkauan paling luas kepada publik dan paling cepat dalam hal penyampaian informasi dan media yang paling murah karena tidak berbayar. Media televisi dianggap sebagai media yang paling efektif sebagai sarana kampanye politik karena dapat menyentuh semua lapisan masyarakat. Keefektifan televisi sebagai sarana kampanye politik telah dibuktikan oleh beberapa penelitian, yaitu: Riset yang dilakukan Institut Studi Arus Informasi (ISAI), TIFA, dan Media Development Loan Fund pada Pemilu 2004 menunjukkan bahwa frekuensi kemunculan seorang politikus di media berbanding lurus dengan jumlah perolehan suara rakyat. Begitu pula riset ISAI dan TIFA lima tahun kemudian, yakni pada Pemilu 2009. Kemenangan pasangan SBY-JK pada 2004 dan SBYBoediono pada 2009 dilatari oleh aktivitas tampil di media dengan jumlah terbanyak. Maka bisa jadi: kemenangan politik bermula dari kemenangan menguasai media.20
18
19
20
T. Mulya Lubis, 2005, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia: Catatan Todung Mulya Lubis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 81. Muhamad Heychael et al., 2014, ―Independensi Televisi Menjelang Pemilu 2014: Ketika Media Jadi Corong Kepentingan Politik Pemilik‖, Jurnal Remotivi, Bagian 2, 2014, hlm. 1. Roy Thaniago, ―Mewaspadai Televisi di Tahun Politik‖, http://koran.tempo.co/konten/2013/06/26/313913/Mewaspadai-Televisi-di-Tahun-Politik, diakses 18 Oktober 2015.
8
Kampanye politik di Indonesia dengan menggunakan televisi sebenarnya baru muncul saat pemilu tahun 1997 berlangsung dan mengalami perkembangan yang pesat saat era orde baru tumbang. Pemberitaan seputar pemilu menjelang pemilu 1997 banyak ditemui ketimpangan dan bias dalam pemberitaan kampanye pemilu. Ketimpangan tersebut tidak lain karena banyaknya kepemilikan stasiun televisi swasta yang dimonopoli oleh orang-orang yang dekat dengan Presiden Soeharto. RCTI dimiliki oleh Bambang Trihatmodjo, putra ketiga Soeharto, TPI dimiliki Siti Hardiyanti Rukmana yang merupakan anak pertama Soeharto, SCTV dimiliki Henry Pribadi dan Sudwikatmono pengusaha yang dekat dengan keluarga Cendana, ANTV dimiliki Bakrie Group dan Agung Laksono yang merupakan elite Golkar. Indosiar dimiliki Salim Group milik Liem Sioe Liong yang merupakan lingkaran dekat Soeharto.21 Mengingat saat itu belum ada peraturan mengenai kampanye dengan media penyiaran maka keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Pemilihan Umum Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah, Terakhir Dengan PP Nomor 44 Tahun 1996 (PP Pemilu 1996). Jatuhnya era orde baru pada tahun 1998 menciptakan euforia kebebasan pers yang besar yang berakibat tidak ada lagi pengekangan terhadap stasiun televisi. Belanja iklan politik yang dilakukan oleh partai politik dalam pemilu 1999 pun terbilang cukup besar. Walaupun begitu kampanye pemilu pada tahun 1999 masih
21
Agus Sudibyo, et al., ―Ditempa Pertarungan Modal: Industri Pertelevisian di Indonesia Pasca Otoritarianisme‖, Majalah Prisma, Vol. 1, 2013, hlm. 55.
9
memberi perhatian pada partai politik bukan memberi perhatian secara personalisasi. Berbeda dengan saat pemilu 2004, dimana polesan dan pencitraan terhadap seorang kandidat begitu gencar dilakukan. Pada pemilu tahun 2014 muncul fenomena baru yaitu terjunnya para pemilik media terlebih pemilik stasiun televisi yang terjun ke dunia politik. Para pemilik media tersebut adalah Harry Tanoesoedibyo selaku pemilik MNC Group, Aburizal Bakrie pemilik Tv One dan ANTV, dan Soerya Paloh pemilik Media Group. Potensi konflik akan muncul jika media tersebut merupakan partisan suatu kekuatan politik tertentu dan menampilkan pemberitaan yang tidak seimbang. KPI sendiri sebenarnya secara fundamental memiliki pedoman untuk menjalankan fungsinya sebagai regulator penyiaran yaitu UU Penyiaran. Ditambah dengan Pedoman Prilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang merupakan pedoman bagi para pelaku industri televisi. Terkait dengan pemberitaan pemilu sudah seharusnya program siaran jurnalistik yang melibatkan pemilik dan/atau kelompoknya harus memperhatikan prinsip adil, berimbang, tidak berpihak, tidak beritikad buruk dan berpedoman pada kode etik jurnalistik.22 Isi siaran berlaku adil apabila memberikan kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua pihak yang menjadi obyek pemberitaan, berimbang apabila memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional dan tidak berpihak apabila memberitakan peristiwa atau 22
Lihat dalam Pasal 5 ayat (2) Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Terkait Perlindungan Kepentingan Publik, Siaran Jurnalistik, dan Pemilihan Umum.
10
fakta tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik lembaga penyiaran.23 Regulasi mengenai pemberitaan seputar pemilu memang terkesan sudah memadai akan tetapi pada praktiknya regulasi tersebut tidak mampu untuk melindungi publik dari banyaknya informasi dan berita mengenai pemilu yang tidak sesuai dengan peraturan. Salah satunya adalah mengenai pemasangan iklan kampanye di televisi yang telah ditentukan bahwa tiap partai politik hanya boleh beriklan maksimal sepuluh kali dalam sehari24, tetapi pada faktanya banyak ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut.25 Fenomena kepemilikan stasiun televisi memiliki pengaruh terhadap isi pemberitaan khususnya mengenai pemberitaan penyelenggaraan pemilu. Hal tersebut dipahami bahwa stakeholder dari pemilu salah satunya ialah media, maka sudah selayaknya peraturan suatu kampanye dan peraturan dalam pemberitaan pemilu tidak hanya mengacu pada undang-undang pemilu semata melainkan juga harus mengacu pada UU Penyiaran dan UU Pers. Esensi dari demokratisasi UU Penyiaran adalah adanya diversity in ownership dan diversity in content yang bermakna bahwa harus ada keragaman dalam hal kepemilikan dan isi. Keragaman dalam kepemilikan 23
24
25
Lihat dalam Pasal 6 Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 Petunjuk Pelaksanaan Terkait Perlindungan Kepentingan Publik, Siaran Jurnalistik, dan Pemilihan Umum. Lihat dalam Pasal 97 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316). Bawaslu, ―Laporan Harian Perkembangan Pengawasan, Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa s.d. Hari Selasa Tanggal 25 Maret 2014‖, http://www.bawaslu.go.id/jdownloads/2014/laporan-pengawasan-tgl-25-03-2014.pdf, diakses 9 Oktober 2015.
11
diharapkan informasi yang tersaji juga beragam. Adanya praktek pemusatan kepemilikan berpengaruh terhadap isi pesan yang akan disampaikan ke masyarakat dimana isi pesan merepresentasikan kepentingan politik pemiliknya. Hak masyarakat untuk mendapatkan kebenaran menjadi hilang dan ini merusak iklim demokrasi di Indonesia. Televisi sebagai media massa merupakan public sphere, dimana televisi diharapkan mampu menjadi sarana yang efektif bagi pembangunan wacana, pembentukan opini, dan mendiskusikan hal ihwal tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara rasional, di samping makna ruang publik sebagai wahana partisipasi rakyat dalam mengawasi jalannya pemerintahan, tanpa intervensi negara dan hegemoni modal.26 Tepat seperti yang dikatakan Edwin Baker bahwa ancaman kebebasan pers dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara demokrasi adalah dari penyalahgunaan wewenang pemerintah dan pasar bebas dalam media penyiaran.27 Berdasarkan latar belakang tersebut di atas penulis sangat tertarik untuk menulis mengenai bagaimana pengaruh kepemilikan stasiun televisi terhadap kebebasan pers dalam penyelenggaraan pemilu, dimana penulis akan memfokuskan pada historitas regulasi kepemilikan media televisi dan apa latar belakang yang melandasi 26
27
aturan
tersebut
serta
penulis
akan
memfokuskan
pemberitaan
Launa dan M Azman Fajar, 2008, “Media: Di Antara Cengkraman Negara dan Pasar‖, Jurnal Sosial Demokrasi, Pergerakan Indonesia dan Komite Persiapan Yayasan Indonesia Kita, Vol. 3, 2008, hlm. 4. C Edwin Baker, 2007, Media Concentration and Democracy Why Ownership Matters, Cambridge University Press, Cambridge, hlm. xi.
12
penyelenggaraan pemilu yang dimulai pada tahun 1997. Penulis memilih memulai dari Pemilu 1997 dikarenakan pada pemilu tersebut media penyiaran terutama televisi mulai diarahkan pemerintah menjadi sarana dalam hal pemberitaan seputar penyelenggaraan pemilu termasuk kampanye dan iklan politik.28 Terbukti dengan dikeluarkannya PP Pemilu 1996 dan Keputusan Presiden Nomor 99 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kampanye Pemilihan Umum (Keppres Pemilu 1996) yang untuk pertama kalinya mengatur secara lebih terperinci penggunaan televisi sebagai media untuk pemberitaan pemilu yang kemudian dengan dua landasan hukum tersebut lahirlah Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 12/Kep/Menpen/1997 tentang Penggunaan Siaran Radio dan Televisi dalam Kampanye Pemilu 1997 (SKMenpen Pemilu 1997). Oleh sebab itu, penulis akan membuat penulisan hukum dalam judul ―Implikasi Kepemilikan Stasiun Televisi terhadap Kebebasan Pers dalam Penyelenggaraan Pemilu‖.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Penulis merumuskan permasalahan
dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.
Bagaimana dinamika pengaturan kepemilikan stasiun televisi di Indonesia?
2.
Bagaimana implikasi kepemilikan stasiun televisi di Indonesia terhadap kebebasan pers dalam penyelenggaraan pemilu?
28
Akhmad Danial, 2009, Iklan Politik TV: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru, PT LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, hlm. 144.
13
C.
Tujuan Penelitian Secara subjektif penelitian ini bertujuan untuk mencari dan mendapatkan data
yang akurat dan tepat yang memiliki relevansi dengan objek yang menjadi penelitian sebagai bahan dasar penyusunan penulisan hukum dimana sebagai salah satu syarat memeroleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Gadjah Mada. Secara objektif, sesuai dengan rumusan masalah yang telah diutarakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis implikasi kepemilikan stasiun televisi terhadap kebebasan pers dalam penyelenggaraan pemilu. Selain tujuan subjektif dan objektif seperti yang telah dipaparkan diatas, penelitian ini juga secara khusus bertujuan untuk: 1.
Untuk mengetahui dan menganalisis regulasi mengenai media televisi di Indonesia serta historitas regulasi kepemilikan media televisi dan apa latar belakang yang melandasi aturan tersebut.
2.
Untuk mengetahui dan menganalisis implikasi kepemilikan stasiun televisi di Indonesia terhadap kebebasan pers dalam penyelenggaraan pemilu.
D.
Keaslian Penelitian Penulis merasa penelitian mengenai penyiaran dan kepemilikan stasiun televisi
bukanlah penelitian yang pertama kali dilakukan. Oleh sebab itu, penulis melakukan penelusuran untuk melihat keaslian skripsi di Perpustakaan Fakultas Hukum UGM dan Perpustakaan Pusat UGM. Skripsi yang mengangkat judul ―Implikasi
14
Kepemilikan Stasiun Televisi terhadap Kebebasan Pers dalam Penyelenggaraan Pemilu‖ belum pernah dilakukan. Akan tetapi, penulis menemukan Jurnal di Internet yang mengangkat tema mengenai kepemilikan media massa dan pemilu. Pertama, penulisan artikel oleh Aryojati Ardipandanto dengan judul ―Kampanye Pemilu 2014 dan Konglomerasi Media Massa‖ memiliki fokus bahasan yang berbeda dengan rumusan masalah dan pembahasan yang penulis lakukan. Fokus permasalahan yang diangkat oleh Aryojati Arpandanto lebih ditekankan pemilu 2014 saja dan hanya membahas mengenai peraturan terkait kampanye yang masih tumpang tindih satu sama lain.29 Akan tetapi artikel tersebut tidak membahas secara terperinci aturan apa saja yang saling tumpang tindih dan hanya menggunakan rujukan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Legislatif). Oleh karena itu, penulis mengambil kesimpulan bahwa rumusan masalah mengenai implikasi kepemilikan stasiun televisi pada kebebasan pers dan penyelenggaraan pemilu serta regulasi media televisi di Indonesia bukan merupakan fokus utama pembahasan pada artikel tersebut. Kedua, ebook yang diterbitkan oleh Tifa Foundation yang berjudul ―Kepemilikan dan Intervensi Siaran‖. Dalam ebook tersebut mengangkat fokus pembahasan yang berbeda dengan rumusan masalah yang penulis angkat. Rumusan masalah yang diangkat pada ebook tersebut ditekankan pada peta kepemilikan dan 29
Aryojati Arpandanto, 2014, ―Kampanye Pemilu 2014 dan Konglomerasi Media Massa‖, Jurnal Info Singkat Pemerintahan Dalam Negeri, Sekretariat Jenderal DPR RI, Vol. VI. No. 6, Maret, 2014, hlm. 18.
15
pola-pola intervensi dalam siaran yaitu pada media televisi dan radio.30 Ebook tersebut terdiri dari enam bab yaitu pada bab pertama yang berjudul ―Televisi Swasta dalam Genggaman Segelintir Orang‖ memiliki pembahasan mengenai peta kepemilikan televisi di Indonesia dengan berfokus pada permasalahan pembatasan saham, akuisisi dan merger. Bab kedua dengan judul ―Televisi Publik dan Komunitas‖ memiliki pembahasan mengenai lembaga penyiaran publik dan komunitas dan kontribusinya bagi demokratisasi di Indonesia yang juga membahas peran stasiun televisi lokal.31 Bab ketiga dengan judul Peta ―Kepemilikan Radio: Berjaringan dan Banyak Pemain‖ membahas mengenai peta kepemilikan radio swasta di Indonesia dan apa kontribusinya bagi demokrasi di Indonesia.32 Bab keempat dengan judul ―Intervensi Media dan Rivalitas Politik dalam Ruang Redaksi‖ pada bab ini memiliki tiga rumusan masalah yaitu apa motif pemilik melakukan intervensi, tipe model intervensi, dan budaya paternalistic dalam diri jurnalis.33 Bab kelima dengan judul ―Analisis Berita dan Iklan Politik: Menyingkap Agenda Politik Pemilik Media‖ membahas mengenai berita dan iklan politik di stasiun televisi dalam rentang waktu tertentu.34 Bab keenam dengan judul ―Demokratisasi Lokal vs Pragmatisme Bisnis dan Manufacturing Consent: Nasib Khalayak di tangan Hegemoni Media‖ membahas mengenai dinamika televisi lokal dan dampak sentralisme penyiaran terhadap
30
31 32 33 34
Puji Rianto, et al., ―Kepemilikan dan Intervensi Siaran Perampasan Hak Publik, Dominasi dan Bahaya Media di Tangan Segelintir Orang‖, Tifa Foundation dan PR2Media, hlm. 4. Ibid., hlm. 8. Ibid., hlm. 97. Ibid., hlm. 135. Ibid., hlm. 158.
16
dinamika televisi lokal.35 Penulis mengambil kesimpulan bahwa tema yang diangkat pada ebook tersebut merupakan tema jurnalisme media penyiaran dimana pembahasan yang diuraikan adalah menganalisis isi media dan pemilik, lebih-lebih dalam pesan politik atau menyangkut keamanan ekonomi dan politik pemilik media dan melihat dampaknya pada khalayak. Hal tersebut yang menjadi pembeda dari fokus bahasan yang ditulis oleh penulis karena dalam penulisan hukum ini penulis tidak menganalisis isi siaran di televisi tetapi menganalisis implikasi kepemilikan stasiun televisi terhadap penyelenggaraan pemilu yang dimulai pada pemilu 1997 hingga pemilu 2014 serta menganalisis historitas pengaturan media televisi di Indonesia.
E.
Kegunaan Penelitian
1.
Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan Ilmu
Pengetahuan Hukum, khususnya dalam bidang ketatanegaraan, terutama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan implikasi kepemilikan stasiun televisi terhadap kebebasan pers dalam penyelenggaraan pemilu. 2.
Bagi Praktik Ketatanegaraan Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat untuk dapat mewujudkan
kebebasan pers yang merdeka dan bebas dari intervensi pihak manapun baik itu dari
35
Ibid., hlm. 192.
17
pemerintah ataupun dari pemilik modal sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).