BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan negara-negara Arab meraih kemerdekaan setelah berakhirnya perang dunia kedua berdampak pesat pada perkembangan kesusastraan Arab. Kemerdekaan negara-negara Arab dari penjajahan negara-negara Eropa telah melahirkan banyak karya sastra, khusunya novel yang mengangkat tema mengenai perlawanan terhadap kolonialisme. Hal tersebut menurut Said (1994: 23-24) tidak terlepas dari fakta bahwa para pengarang itu sangat terlibat dalam sejarah mereka, membentuk dan dibentuk oleh sejarah, serta pengalaman sosial mereka. Kebudayaan dan bentuk estetika yang dikandungnya, termasuk di dalam karya sastra, berasal dari pengalaman sejarah sang penulis. Beberapa novel Arab terkenal yang dianggap sebagai novel perlawanan terhadap kolonialisme kemudian bermunculan seperti novel Mausimu al-Hijrah ilā asy-Syamāl karya novelis Sudan aṭ-Ṭayyib Ṣāliḥ pada tahun 1966, novel Baina alQaṣraini, Qaṣru asy-Syauq, dan as-Sukkariyyatu karya novelis masyhur Mesir Najīb Maḥfȗż pada tahun 1956-1957, novel Fī Ṭufȗlah karya novelis Maroko Abdul Majīd Banjallun pada tahun 1953, novel La passé Simple karya novelis Maroko Driss Chraibi pada tahun 1957, novel „Āmu al-Fīl karya novelis Maroko Leila Abouzeid, dan novel Dākhirātu al-jasad karya novelis Al-Jazair Aḥlām Mustagānim pada tahun 1993 (Irele, 1994).
1
Salah satu dari novel-novel yang disebutkan di atas, yaitu novel Mausimu alHijrah ilā asy-Syamāl karya aṭ-Ṭayyib Ṣāliḥ ini kemudian mendapat komentar dari Edward Said dalam bukunya Culture and Imprealism (1993) sebagai novel yang mengandung sejarah dekolonisasi dan merupakan reaksi terhadap imprealisme Barat. Novel ini dianggap Said sebagai novel yang menampilkan pesan perlawanan terhadap wacana-wacana kolonial Barat. Said dalam sebuah wawancara dalam buku Power and Culture (2001) juga menambahkan bahwa novel ini merupakan karya yang bereaksi, dan membalas novel dari Joseph Conrad, Heart of Darkness. Conrad dalam Heart of Darkness mengisahkan seorang lelaki kulit putih Eropa yang melakukan perjalanan ke Afrika. Kebalikan dari Conrad, aṭ-Ṭayyib Ṣāliḥ dalam dalam Mausimu al-Hijrah ilā asy-Syamāl justru mengisahkan seorang lelaki kulit hitam Arab-Afrika yang berlayar ke Eropa. Dengan kata lain, novel ini merupakan sebuah fabel pascakolonial tentang apa yang terjadi bila seorang lelaki kulit hitam pergi ke London. Novel yang dianggap Said sebagai perlawanan terhadap wacana-wacana kolonial Barat yang hegemonik ini ternyata mendapatkan penolakan dari pemerintahan Sudan selama beberapa tahun karena dianggap memuat nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam dan budaya Arab (Timur). Pemerintah Sudan beralasan bahwa pelarangan beredarnya novel tersebut di Sudan karena isi novel tersebut memuat perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran agama dan tidak
2
sesuai dengan norma budaya Arab (Timur)1. Dalam novel tersebut memang digambarkan bagaimana sang tokoh utama yang merupakan anak muda cerdas dari Sudan bernama Mustafā Saʻīd yang menuntut ilmu ke Inggris harus menjalankan kehidupan dengan gaya hidup Eropa, seperti melakukan hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan dengan gadis-gadis Barat, bermabuk-mabukan di pub dan diskotek, dan gaya hidup bebas. Novel Mausimu al-Hijrah ilā asy-Syamāl bisa dikatakan menjadi novel yang ambigu dan mendua. Di satu sisi ia dianggap sebagai novel perlawanan terhadap kolonial Barat, tetapi di sisi lain ia mendapatkan pertentangan dan penolakan dari negaranya sendiri karena dianggap menampilkan sesuatu yang tidak sesuai dengan norma budaya dan kepercayaan yang berlaku di Sudan. Fakta mengenai novel Mausimu al-Hijrah ilā asy-Syamāl karya novelis Sudan aṭ-Ṭayyib Ṣāliḥ tersebut menunjukkan bahwa bentuk perlawanan terhadap kolonialisme dalam sastra tidaklah mudah untuk dikenali karena perlawanan itu sendiri menurut Slemon (1995:108) “is always in some measure an effect of contradictory representation of colonial authority and never simply as reversal of power, and therefore never purely resistance. Perlawanan dan resistensi terhadap wacana kolonial dalam sastra tidak dilakukan sesederhana dengan membalikan hierarki dalam konstruksi biner penjajah dengan terjajah dalam wacana kolonial yang hegemonik. Resitensi dalam sastra
tidak sepenuhnya berbentuk penolakan atau
pembalikan secara mutlak karena adanya efek representasi penajajah dalam diri terjajah. Homi Bhabha (1994) juga mengemukakan bahwa resistensi itu tidak 1
www.npr.org./templates/story dan http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/7896724.stm 3
sepenuhnya berbentuk penolakan dan pembalikan. Resistensi tidak harus datang dari luar dan berhadap-hadapan secara langsung antara penjajah dan terjajah, atau Barat dengan Timur. Resistensi juga bisa dilakukan dengan cara memproduksi kekuasaan dari dalam diri penajajah itu sendiri. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang
tersebut,
maka permasalahan yang akan di
angkat dalam penelitian ini adalah bentuk resistensi terhadap kolonial yang bagaimanakah yang terdapat dalam novel Mausimu al-Hijrah ilā asy-Syamāl (MHiS) karya aṭ-Ṭayyib Ṣāliḥ ini, dan mengapa resistensi tersebut dilakukan. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian di atas dibagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis, sebagaimana yang akan diuraikan berikut ini: 1.3.1 Tujuan Teoritis Tujuan teoritis yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah (a) menjelaskan bentuk dan proses dari resistensi terhadap wacana kolonial yang terdapat dalam novel Mausi mu al-Hijrah ilā asy-Syimāl (MHiS) karya aṭ-Ṭayyib Ṣāliḥ, (b) menjelaskan konteks yang menyebabkan resistensi dalam bovel MHiS (c) mengungkapkan ambiguitas resistensi yang terbangun dalam novel MHiS. 1.3.2 Tujuan Praktis Tujuan Praktis yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan bagi perkembangan kritik sastra Arab dan membantu para pembaca dalam memahami dan mengapresiasi novel MHiS dengan sudut pandang poskolonial. 4
Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu memperkaya penelitian terhadap kesusastraan Arab dengan menggunakan teori poskolonial. 1.4 Tinjauan Pustaka Ṭayyib Ṣāliḥ adalah sastrawan Arab yang mendapatkan julukan ʻAbqariyyu ar-Rāwiyah atau novelis cerdas dari para kritikus sastra Arab. Teknik penceritaan yang ia pakai dalam karya- karyanya dianggap telah memberikan warna baru dalam novel Arab. Salah satu novelnya yang banyak mendapatkan perhatian bagi penikmat sastra baik di dunia Arab maupun di Barat adalah novel Mausimu al-Hijrah ilā asySyamāl. Beberapa artikel dan penelitian telah menjadikan novel ini sebagai objek kajiannya. Artikel yang mengangkat novel Mausimu al-Hijrah ilā asy-Syamāl karya aṭṬayyib Ṣāliḥ sebagai topik pembahasannya antara lain adalah artikel yang dimuat di International Fiction Review pada tahun 1996 dengan judul “Reinscribing Conrad: Tayeb Salih‟s Season of Migration to the North”. Artikel yang di tulis oleh R.S. Krishnan dari North Dakota State University tersebut mengambil kesimpulan bahwa novel Mausimu al-Hijrah ilā asy-Syamāl karya aṭ-Ṭayyib adalah merupakan bentuk penulisan ulang dari novel Heart of Darkness karya Joseph Conrad. Selain itu, terdapat juga artikel yang ditulis oleh Byron Caminero Santangelo di ARIEL (A Review of International English Literature) pada tahun 1999 dengan judul “Legacies of Darkness: Neocolonialism, Joseph Conrad, and Tayeb Salih‟s Season of Migration to the North”. Artikel ini menarik kesimpulan yang hampir sama dengan artikel sebelumnya, bahwa Novel Mausimu al-Hijrah ilā asy-Syamāl karya aṭ-Ṭayyib Ṣāliḥ 5
memiliki kesamaan tema dengan novel Heart of Darkness karya Joseph Conrad. Kedua novel tersebut mengandung kritik terhadap neokolonialisme. Penelitian terhadap novel Mausimu al-Hijrah ilā asy-Syamāl karya aṭ-Ṭayyib Ṣāliḥ telah dilakukan baik dari segi sastra maupun dari segi bahasa. Beberapa penelitian yang menggunakan novel Mausimu al-Hijrah ilā asy-Syamāl karya aṭṬayyib Ṣāliḥ sebagai objek material penelitiannya antara lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Shedi Neimneh pada tahun 2012 di Hashemite University Jordan dengan judul “Cultures, Identities, and Sexualities in Leslie Silko‟s Ceremony and Tayeb Salih‟s Season of Migration to the North”. Penelitian tersebut membandingkan penyimpangan budaya, identitas, dan seksualitas dalam novel asli Amerika yang ditulis dalam bahasa Inggris dan novel Afrika yang ditulis dalam bahasa Arab dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Penelitian terhadap novel Mausimu al-Hijrah ilā asy-Syamāl karya aṭ-Ṭayyib Ṣāliḥ juga pernah dilakukan oleh Ibrahim El-Hussairi dengan judul “Season of Migration to the North and Heart of Darkness African Mimicry of European Stereotypes”. Penelitian yang dipublikasikan di International Research Journal of Arts & Humanities (IRJAH) Vol: 38 (T.T) tersebut menggunakan teori dialogis Mikhail Bakhtin dan interteks Julia Kristeva. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa ditemukan dialog di dalam teks novel Mausimu al-Hijrah ilā asySyamāl karya aṭ-Ṭayyib dengan novel Heart of Darkness karya Joseph Conrad. Penelitian dari segi bahasa juga pernah dilakukan terhadap novel Mausimu alHijrah ilā asy-Syamāl karya aṭ-Ṭayyib Ṣāliḥ oleh Mohamed Abdou Moundji dari 6
Universiti Sains Malaysia pada tahun 2006. Penelitian yang berjudul “A Comparative Study of Literary Translation From Arabic Into English and French” ini memfokuskan pada penelitian pada tiga aspek pembacaan teks, yaitu makrostruktur, mikrostruktur, dan konteks sistemik dalam penerjemahan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Inggris dan Prancis. Adapun penelitian terhadap karya-karya sastra Arab dengan menggunakan pendekatan Poskolonial Homi Bhaba, khususnya mengenai mimikri antara lain adalah, tesis di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada pada tahun 2010 yang ditulis oleh Ahmad Subchan dengan judul “Resistensi dan Ambivalensi: Kajian Pascakolonial terhadap Novel Fī Sabīli at-Tāj karya Musṭafa Luṭfī al-Manfaluṭī”. Tesis ini menyimpulkan bahwa mimikri merupakan salah satu bentuk resistensi yang bersifat pasif yang dilakukan oleh terjajah terhadap penjajah. Selain itu, tesis ini juga berkesimpulan bahwa Novel Fī Sabīli at-Tāj karya Musṭafa Luṭfī al-Manfaluṭī bersifat ambivalen. Tesis lainnya adalah tesis di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada pada tahun 2013 yang ditulis oleh Muhammad Rokib berjudul “Ambivalensi Nasionalisme Drama ʻAudat al-Firdaus karya Ali Ahmad al-Bakatir”. Tesis ini menggunakan teori ambivalensi Homi Bhabha dalam melihat ambivalensi nasionalisme para pejuang nasional dalam drama ʻAudat al-Firdaus karya Ali Ahmad al-Bakatir ketika melakukan perlawanan terhadap penjajah dan upaya merebut kemerdekaan.
7
Adapun penelitian terhadap novel Mausimu al-Hijrah ilā asy-Syamāl karya aṭ-Ṭayyib Ṣāliḥ yang memfokuskan pada bentuk resistensi dengan menggunakan teori mimikri dari Homi Bhabha belum pernah dilakukan sebelumnya sehingga penelitian ini lebih terjamin keasliannya. 1.5. Landasan Teori 1.5.1 Teori Poskolonial Istilah poskolonial pada awalnya dipergunakan oleh para sejarahwan setelah Perang Dunia II yang digunakan untuk menyebut istilah negara poskolonial yang merujuk pada periode setelah kemerdekaan. Tetapi, sejak akhir tahun 1970, istilah ini mulai juga dipergunakan oleh kritikus sastra, untuk mendiskusikan berbagai efek budaya yang ditimbulkan oleh proses kolonisasi. Setelah itu, istilah poskolonial dipergunakan secara luas untuk menandakan atau menyebut hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman politik, bahasa dan budaya dan rnasyarakat bekas koloni Eropa (Ashcroft 1998:186). Menurut Makaryk (1993:155) teori poskolonial adalah sebuah istilah bagi sekumpulan strategi teoritis dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan (kesusastraan, politik, sejarah, dan seterusnya) dari koloni-koloni negara-negara Eropa dan hubungan negara-negara itu dengan belahan dunia sisanya. Teori poskolonial mencakup tiga kemungkinan pilihan perhatian, yaitu: (a) pada kebudayaan-kebudayaan masyarakat yang pernah mengalami penjajahan Eropa, baik berupa efek penajajahan yang masih berlangsung samapai pada masa pascakolonial maupun kemungkinan transformasinya ke dalam bentuk-bentuk yang disebut 8
neokolonialisme, (b) respon perlawanan atau wacana tandingan dari masyarakat terjajah maupun yang lainnya terhadap penjajahan itu, tanpa menghilangkan perhatian pada kemungkinan adanya ambuigitas atau ambivalensi, dan (c) segala bentuk maarginalitas yang diakibatkan oleh segala bentuk kapitalisme (Faruk dalam Lo dan Hellen, 2007:15) Adapun Pendekatan poskolonial dalam sastra adalah strategi membaca yang mempertimbangkan dan mengidentifikasi tanda-tanda, efek-efek kolonialisme, dan dampaknya dalam teks-teks sastra, serta posisi dari penulis poskolonial sebagai pribadi dan suara naratifnya (Foulcher dan Day, 2006:3). Pendekatan poskolonial ini sangat cocok digunakan di dalam membaca karya-karya sastra yang ditulis oleh penulis yang berasal dari negara bekas jajahan. mengingat di dalam karya-karya poskolonial, penulis menampilkan pengalaman pribadi orang-orang terjajah yang menyiratkan adanya pengaruh yang sangat kuat dari era penjajahan dan masih berlangsung hingga saaat ini. Dari berbagai penjelasan mengenai poskolonial di atas, hal penting yang menjadi fokus pembicaraan di sini adalah menyangkut sifat inti kritik poskolonial yang banyak disepakati oleh para ahli poskolonial, yaitu resistensi. Studi poskolonial memunculkan idealisasi berupa resistensi seperti yang dikemukakan oleh Lo dan Gilbert (1998:2), dan Aschrof dkk (1995:1-2). Munculnya sikap resistensi dalam wacana poskolonial ini merupakan konsekuensi logis dari berbagai representasi tidak adil yang dilakukan kaum kolonialis terhadap jajahannya. Berebagai representasi tersebut dilestarikan melalui berbagai media pendidikan dan hiburan, seperti film, 9
novel, dan seni pertunjukkan. Dalam kaitan itu pula, penelitian ini lebih memfokuskan pada persoalan resistensi dalam sastra poskolonial, dalam hal ini novel Mausimu al-Hijrah ilā asy-Syimāl karya aṭ-Ṭayyib Ṣāliḥ. Dari berbagai gagasan mengenai rumusan konsepsi resistensi, Sharpe (1995:145) mengemukakan beberapa konsep mengenai resistensi. Pertama, resistensi merupakan sikap atau tindakan yang dibentuk untuk membebaskan rakyat dari penindasannya. Kedua, resistensi menjadikan pengalaman hidup di bawah penindasan sebagai pronsip estetikanya. Ketiga, resitensi tersebut tidak sepenuhnya berbentuk penolakan atau pembalikan secara mutlak karena adanya efek representasi penajajah dalam diri terjajah. Homi Bhabha (1994) juga mengemukakan bahwa resistensi itu tidak sepenuhnya berbentuk penolakan dan pembalikan. Resistensi tidak harus datang dari luar dan berhadap-hadapan secara frontal antara penjajah dan terjajah, atau Barat dengan Timur. Resistensi juga bisa dilakukan dengan cara memproduksi kekuasaan dari dalam yaitu dengan proses yang disebut dengan mimikri. Mimikri diartikan sebagai tindakan-tindakan individual yang memerlukan kadar keterlibatan. Mimikri merupakan bentuk resistensi dari dalam, potensi subversif yang ditempatkan dalam wilayah antara peniruan dan pengejekan yang datang dari proses kolonial ganda. Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menganalisa karya satra poskolonial, diantaranya adalah Orientalisme Said, Hibriditas, mimikri, dan ambivalensi Bhabha, dan Subalternitas Spivak. Khusus untuk penelitian ini, penulis akan menggunakan teori mimikri dari Homi K Bhabha. 10
1.5.2 Orientalisme Edward Said adalah salah satu tokoh paling menonjol dalam kajian poskolonial. Sebagai seorang Arab-Palestina yang hidup tertekan di Barat (Amerika) karena rasialisme, membuat Said berhasil menyelesaikan karyanya yang berjudul Orientalism (1979). Ia menyebut dalam bukunya tersebut bahwa Orientalisme Eropa membagi dua dunia, Barat dan Timur dalam pengertian yang esensialis, yaitu menekankan hakekat dan kontras yang sangat berbeda di antara keduanya. Orientalisme secara sederhana adalah wacana kaum Eropa (kulit putih) mengenai dunia di luar dirinya, yaitu dunia orang-orang non-kulit putih. Karena mereka adalah “Barat”, maka dunia lain itu disebut “Timur” atau “Orient.” Itu sebabnya wacana ini disebut Orientalisme. Dunia Timur dipandang tidak saja terbelakang dan liar, tapi juga eksotis, menarik, dan “seksi.” Said memberikan pandangan bahwa Timur merupakan sebuah konstruksi yang diciptakan Barat. Timur merupakan produk orientalisme yang secara khusus berusaha untuk memahami dunia Timur. Timur bagi Barat telah membantu mendefinisikan Eropa (Barat) sebagai imaji, ide, kepribadian, dan pengalaman yang berlawanan dengannya. Representasi Barat tentang Timur menunjukkan bahwa Barat memang selalu memperlakukan Timur tidak sebagai adanya (objektif), melainkan bagaimana seharusnya (subjektif). Identitas Timur direpresentasikan, diformasikan, bahkan dideformasikan, secara terus menerus tanpa henti, dari kepekaan yang semakin lama semakin khas ke arah suatu kawasan geografis bernama “Timur”. Said membagi orientalisme ke dalam tiga pengertian. 11
“Orientalism, a way of coming to terms with the Orient that is based on the Orient‟s special place in European Western Experience. The Orient is not only adjacent to Europe; it is also the place of Europe‟s greatest and richest and oldest colonies, the source of its civilizations and languages, its cultural contestant and one of its deepest and most recurring image of the other. In addition, the Orient has helped to define Europe (or the West) as its contrasting image, idea, personality, experience” (Said, 1979: 1-2). Pertama orientalisme adalah upaya untuk memahami dunia Timur berdasarkan pengalaman manusia Barat Eropa. Dari kutipan tersebut juga tampak bahwa Said melihat kehadiran Timur sebagai dunia yang lain, turut membantu mendefinisikan Eropa (Barat) sebagai imaji, ide, pribadi, dan pengalaman yang berlawanan dengannya. Karena membantu mendefinisikan Eropa, Timur menjadi bagian intergral dari peradaban kebudayaan material Eropa. Pengertian kedua terkait dengan tradisi akademis orientalisme adalah “a style of thought based upon an ontological and epistemological distinction made between “the Orient” and (most of time) “the Occident” (Said, 1979: 2). Karena menyangkut gaya berpikir, lahirlah penyair, novelis, filsuf, teoritikus politik, ekonom yang menyusun segala sesuatu mengenai Timur. Rakyat, adat, kebiasaan, dan pikirannya, berbadasarkan perbedaan antara Barat dan Timur. Ketiga, orientalisme adalah “someting more historically and materially defined than either of the other two” (Said, 1979: 3). Orientalisme dilihat sebagai institusi yang berhubungan dengan segala sesuatu mengenai Timur, berwenang terhadapnya, mendeskripsikannya, mengajarinya, memerintah, atau dengan kata lain orientalisme merupakan gaya Barat untuk mendominasi dan menata kembali dan
12
menguasi Timur. Tidak hanya itu, orientalisme juga dilihat sebagai sebuah discourse. Singkatnya menurut Said, “because of Orientalism the Orient was not (and is not) a free subject of thought of action” (Said, 1979: 3). Dapat dimengerti jika kemudian muncul kesimpulan bahwa paham orientalisme melahirkan konsep yang menstereotipkan Timur. Timur diproduksi dalam berbagai karakter dalam wacana Orientalis secara bervariasi sebagai: yang tak bersuara, sensual, exotis, feminin, irasional, kejam, bengis, dan terbelakang. 1.5.3 Pokolonialisme Homi K Bhabha: Hibriditas dan Ruang Ketiga Melalui konsep orientalismenya, Edward Said mengesankan bahwa identitas penjajah dan terjajah demikian kaku, mutlak dan terlalu sederhana. Melalui konsep Hibriditas ini, Homi Bhabha (1994) berupaya menolak oposisi biner antara penjajah dan si terjajah, seperti yang terlihat dalam karya Said dan Fanon. Dia menawarkan sebuah ruang ketiga, ruang baru, ruang liminal, ruang in between penjajah dan si terjajah. Ruang ini adalah ruang negosiasi di mana identitas dan budaya diartikulasikan sehingga melahirkan kemungkinan baru dalam melihat budaya atau identitas, yaitu dengan melihat batas-batasnya secara fleksibel. Menurut Epafras (2012: 6) Di ruang ambang inilah kaum terjajah menemukan strategi perlawanan terhadap dominasi wacana penjajah. Bukan melawan dengan cara frontal, melainkan justru dengan “perselingkuhan” budaya, yaitu dengan mengambil alih tanda-tanda budaya penjajah, tapi diberi isi dan digugat sehingga menghasilkan identitas dan cara hidup yang baru.
13
Dalam Postcolonial Theory: Context, practices, Politics karya Moore-Gilbert, konsep Hibriditas ini digunakan untuk menggambarkan bergabungnya dua bentuk yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk, dan sekaligus juga meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Konsep hibriditas ini merujuk kepada pembentukan sebuah kebudayaan baru yang mana terbentuk dari dua kebudayaan yang berbeda tetapi mengalami kontak antara satu sama lain, dalam kasus ini yang terjadi karena proses penjajahan itu sendiri yang mana terdapat interaksi kebudayaan antara penjajah dan bangsa yang dijajah kemudian menghasilkan satu kebudayaan baru yang serupa tapi tidak sama. Hibriditas menunjukkan adanya sifat yang saling melengkapi antara budaya yang berkuasa dan yang dikuasai. Konsep ini menekankan pada kemampuan bertahan budaya kaum terjajah dan bagaimana ia menjadi bagian yang menyatu dalam bentuk budaya baru. Menurut Bhabha, dengan mengekplorasi ruang ketiga, “we may elude the politics of polarity and emerge as the other of our selves” (1994: 39). Dengan mengaburkan batas antara “kita” dan “mereka”, hubungan antara kedua budaya (budaya “kita” dan “mereka”) dapat berjalan sejajar (beriringan). Apa yang dilakukan Bhabha dengan ruang ketiga ini memperlihatkan oposisi biner penjajah dan terjajah tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dan berdiri sendiri. Hubungan keduanya melahirkan hibriditas yang muncul dalam bentuk ras, bahasa, dan budaya. Hibriditas kolonial bukanlah masalah genealogi (asal-usul) atau identitas antara dua kebudayaan berbeda yang kemudian diputuskan sebagai isu relativisme budaya.
14
Hibriditas merupakan hasil negosiasi yang dilakukan di ruang ketiga yang memperlakukan kedua budaya yang mengapitnya dengan sejajar (Bhabha, 1994:28). Menurut Epafras (2012: 6) demi membangun ruang ketiga ini, pertama-tama Bhabha tak mempermasalahkan seberapa menindasnya kolonialisme yang dilakukan penjajah terhadap si terjajah. Ia lebih mempersoalkan betapa tajamnya pembedaan kedua kategori itu, yang dipandangnya mengekalkan oposisi biner yang telah dikritik oleh pemikir Perancis, Jacques Derrida (1930-2004). Derrida menuduh wacana Barat didominasi oleh binerisme yang membagi dua dengan ketat identitas-identitas seperti putih/hitam, Barat/Timur, penjajah/terjajah, laki-laki/perempuan, dan seterusnya. Sebaliknya, ruang ketiga memberi ruang simbolis bagi si terjajah untuk melakukan manuver budaya dengan membebaskan diri dari binerisme di atas. Alih-alih menganggap sikap “perlawanan” ini semata sebagai penolakan identitas yang diberi oleh penjajah, situasi ini justru menunjukkan dinamika pembentukan identitas yang terus berubah dan strategi “bertahan” dari serangan budaya dominan. Hibriditas telah menjadi sebuah kekuatan dibandingkan sebagai sebuah kelemahan karena di dalam relasi penjajah dan terjajah, hibriditas merupakan situs perlawanan atau pembalikan strategi dari proses dominasi yang mengembalikan yang terdiskriminasi dan terjajah ke tempat yang sejajar dengan kekuasaan yang selama ini didominasi oleh penjajah. Salah satu bentuk hibriditas adalah mimikri. yang dijelaskan Bhabha sebagai “desire for a reformed, recognizable, Other, as a subject of a difference that is almost the same but not quite” (Bhabha, 1994: 86). Lebih lanjut
15
Bhabha mengungkapkan bahwa mimikri selalu yang bersifat ambivalensi dan agar efektif ia harus terus memproduksi dirinya menjadi fleksibel, berlebih dan berbeda. 1.5.4 Mimikri Gagasan mimikri dari Bhabha dikembangkannya dari dua tokoh penting yaitu Frantz Fanon (1925-1961), dan filsuf sekaligus psikoanalis, Jacques Lacan (19011981). Fanon menyatakan bahwa mimikri adalah hasil dari proses kolonisasi yang mencerabut kaum terjajah dari tradisi dan identitas tradisionalnya dan memaksa mereka untuk beradaptasi dengan identitas, perilaku dan budaya penjajahnya. Malcolm X (1925-1965), sang pejuang hak-hak sipil kaum kulit hitam Amerika Serikat, menyebutkan dua jenis budak kulit hitam. Yang pertama adalah “negro” rumahan, yaitu budak kulit hitam yang tinggal menjadi pembantu di rumah tuan kulit putihnya. Karena ia tinggal bersama tuannya, maka ia terserap pada budaya tuannya dan mengira budaya kulit putih itu adalah kondisi terbaik manusia. Ia mulai meniru tuannya dalam berpakaian, berperi laku, tapi tetap saja mentalnya budak sehingga tak berpikir sekalipun untuk membebaskan dirinya. Yang kedua adalah “negro” di ladang yang berkerja keras untuk mengerjakan ladang tuan kulit putihnya. Ia mendapat perlakuan yang sangat buruk dan terus menerus berupaya membebaskan diri dari perbudakan. Dari paparan ini “negro” rumahan adalah kaum terjajah yang menjalankan proses mimikri. Mimikri bagi Fanon adalah sesuatu yang “memuakkan” (Epafras, 2012: 7). Lacan lalu memberi makna mimikri bagi Bhabha. Teori mimikri Lacan diilustrasikan dalam analogi pertahanan biologis serangga, sehingga dalam mimikri
16
tergambar resistensi (Bhabha,1994: 85). Dalam hal ini mimikri bukan saja meniru pihak lain tapi proses meniru itu juga merupakan perlawanan subversif. Bagi Lacan, mimikri juga adalah kamuflase untuk membela diri atau bertahan hidup. Maka mimikri tidak berusaha menyelaraskan diri dengan mengurangi perbedaan di antara si peniru dan yang ditiru. Proses meniru ini semata untuk kepentingan dan tujuannya sendiri. Contohnya adalah mimikri pada binatang atau seperti serdadu yang mencoreng mukanya dengan warna hijau dan memakai seragam yang mirip seperti tanam-tanaman, dalam rangka menyembunyikan diri dari musuh. Mimikri oleh binatang digunakan sebagai tindakan pertahanan/perlindungan diri dengan cara menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya. Bila kita memperhatikan alam kita akan menemukan bahwa hewan dapat bertahan hidup dengan melakukan adaptasi tinggi dengan alam sekitarnya, sebut misalnya bunglon dan gurita yang berubah warna seperti lingkungan sekitarnya, atau ikan dan katak di kutub utara yang membeku padat di musim dingin agar tetap hidup. Sekali lagi, bagi Lacan (dalam Bhabha, 1994), mimikri kolonial analog dengan pertahanan serangga dan dia mengartikan bahwa dalam peniruan (mimikri) muncul efek kamuflase dan resistensi terjajah yang berada dalam level ketidaksadaran. Bhabha lalu mengembangkan gagasan ini dengan menyatakan bahwa mimikri adalah proses penulisan ulang identitas terjajah di ruang ketiga, yaitu dengan menjadi hibrida, sebagai cara mendekonstruksi wacana penjajah. “Penyelarasan diri” dengan identitas penjajah justru dimaksudkan untuk memalingkan wajah dari kuasa
17
penjajahan itu. Ini adalah wahana bertahan hidup sekaligus berupaya melawan penjajahan. Keinginan
untuk
menguasai
dan
mempertahankan
kekuasaannya,
menyebabkan pemerintah kolonial menciptakan kaum terjajah yang liyan (other) sekaligus dikenali (knowable). Sifat ambivalensi wacana kolonial ini ternyata menciptakan karakter hibrid kaum yang dikuasai yang almost the same but not quite, yang ternyata sulit untuk ditaklukkan dan menjadi ancaman. Sifat ambivalen wacana kolonial inilah yang membuka ruang bagi perlawanan kaum terjajah. Melalui konsep mimikri, Bhabha menjelaskan bahwa yang terjajah tidak selalu diam, karena memiliki kuasa untuk melawan. Konsep mimikri digunakan untuk mengggambarkan proses peniruan atau peminjaman berbagai elemen kebudayaan. Fenomena mimikri tidaklah menunjukkan ketaklukan dan ketergantungan sang terjajah kepada yang dijajah, tetapi peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi tersebut. Dengan demikian, mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi penjajah. Hal ini dijelaskan oleh Bhabha sebagaimana berikut ini: Mimicry, thus the sign of double articulation; a complex strategy of reform, regulation, and discipline, which „appropriates‟ the other as it visualizes power. Mimicry is also the sign of inappropriate, however, a difference or recalcitrance which coheres the dominant strategic function of colonial power, intensifies surveillance, and poses an immanent threat to both „normalized‟ knowledges and disciplinary powers (Bhabha, 1994:86). „Mimikri dengan demikian adalah tanda dari artikulasi ganda; sebuah strategi yang kompleks dari perubahan, peraturan, dan disiplin, yang „mengapropriasi‟
18
(menyesuaikan) Yang Lain sebagaiman ia melukiskan kuasa. Mimikri juga tanda dari “tidak terapropriasi”, sebuah perbedaan atau yang liar, yang mengkoherensi fungsi strategi dominan dari kuasa kolonial, mengintensifkan pengawasan, dan menyebabkan ancaman yang nyata baik terhadap pengetahuan-pengetahuan yang “dinormalkan” maupun kekuasaan yang mendisiplinkan‟. (Bhabha, 1994: 86) Appropriate tapi bersamaan dengan itu juga inappropriate, membuat mimikri juga tidak pernah bisa menghasilkan satu identitas yang seragam, identik, dan takluk di bawah kekuasaan penjajah. Mimikri adalah sebuah kuasa yang hendak mendisiplinkan sekaligus gagal dalam mendisiplinkan. Akibatnya, mimikri menghasilkan sesuatu yang familiar tapi sepenuhnya baru (Darmawan, 2014: 28). Konsekuensi lebih lanjut dari mimikri menurut Bhabha (Huddart, 2006: 39) adalah terganggunya identitas asli penjajah yang tampak stabil. Kecemasan yang membuka ruang bagi terjajah untuk menolak wacana kolonial. Kecemasan penjajah sangat cocok dengan mimikri, dengan cara terjajah mengadopsi dan beradaptasi dengan budaya penjajah. Mimikri ini menurut Bhaha bukanlah peniruan atau imitasi yang asal meniru dan menjiplak saja (slavish imitation), dan pihak terjajah tidak menerima dan mencerna begitu saja suatu budaya yang unggul dan dominan. Mimikri dalam pengertian Bhaba ini adalah mengcopy, menjiplak, dan meniru secara berlebihan suatu bahasa, budaya, tata krama, dan ide-ide. Berlebihan di sini berarti bahwa mimikri adalah pengulangan atau repitisi dengan perbedaan, sehingga tidak terbukti terjajah itu seperti budak yang hanya sekedar meniru tuannya.
19
Mimikri bukanlah peniruan yang hanya sekedar meniru, ia merupakan peniruan yang dalam konteks kolonial juga berarti cemooh (mockery), sebuah tanda kekuatan otoritas kolonial sekaligus tanda kegagalan kolonial untuk berkuasa. Dalam mimikri ini terdapat upaya untuk mengcopy penajajah, yang kemudian berubah menjadi sebuah parodi. Terjajah Bermain antara kesetaraan dan kelebihan, sehingga membuat ia terlihat menenangkan dan juga menakutkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bhabha (1994: 86) bahwa „mimicry is at once resemblance and menace‟ 'mimikri adalah kemiripan dan sekaligus ancaman'. Mimikri menurut Bhabha (1994: 86) juga dapat diartikan sebagai tanda dari artikulasi ganda, atau sebuah strategi komplek dari perbaikan, pengaturan, dan disiplin.
Strategi
tersebut
menetapkan
The
Other
sebagaimana
hal
itu
memvisualisasikan kekuatan kolonial. Mereka (terjajah) yang merasa sudah mirip dengan pihak yang lebih tinggi statusnya (penjajah), seakan memiliki posisi status yang sama dengan mereka. Mimikri ini juga mengisyaratkan kelemahan kedudukan pelaku mimikri; prilaku mimikri dilakukan karena yang ditiru dianggap lebih dan si peniru merasa kurang. 1.5.5 Ambivalensi Istilah ambivalensi muncul dalam teori pascakolonial Homi Bhabha, yang beriringan dengan istilah mimikii dan hibriditas. Tiga ciri yang dikemukakan oleh Bhabha ini kerap dirujuk oleh para pembicara wacana kolonial, antikolonial, dan identitas pascakolonial. Istilah Ambivalensi ini diturunkan dari ranah psikoanalisis yang digunakan untuk menggambarkan fluktuasi yang terus-menerus antara
20
menginginkan sesuatu hal dan menginginkan kebalikannya (Williams & Chrisman 1997: 123-124). Bhabha mengambil tulisan Frantz Fanon sebagai asas dalam membentuk konsep ambivalensi. Fanon menyimpulkan bahwa keinginan peribumi adalah mendiami tempat tinggal penjajah, Bhabha lalu menambahkan bahwa penjajah juga dari tempatnya yang tinggi ingin melihat ke bawah untuk mencari identitasnya. Bagi Bhabha, sikap yang demikian menandakan sebuah splitting (ingin tetap seperti yang asli, tapi di satu sisi juga ingin menjadi yang lain) dan kemenduaan atau doubling (berhasrat untuk berada di dua tempat pada masa yang sama). Penjajah/Barat memandang terjajah/Timur sebagai sesuatu yang dicintai tetapi dibenci. Hal inilah yang membuat wacana kolonial bersifat ambivalen/splitt, sehingga membuka pintu interupsi bagi subjek terjajah. Sebagaimana wacana kolonial, wacana tandingan yang dibangun oleh terjajah ini juga bersifat ambivalen. Muncul konsep memuja keunggulan budaya Barat, tetapi sekaligus membencinya. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Ashcroft, dkk (2001: 12) bahwa subjek terjajah juga terlihat tidak benarbenar bertentangan dengan penjajah. Ambivalensi inilah yang menyebabkan mimikri yang dilakukan oleh masyarakat terjajah tidak pernah benar-benar penuh. 1.6 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan sebuah kesimpulan atau jawaban sementara yang ditetapkan berdasarkan teori yang digunakan mengenai masalah penelitian (Faruk, 2012: 21). Berdasarkan teori yang telah dijelaskan di atas, penelitian ini mengasumsikan bahwa perlawanan dan resistensi yang terbangun dalam novel MHiS 21
bukanlah perlawanan langsung dan saling berhadap-hadapan antara penjajah dengan terjajah atau Barat dengan Timur. Akan tetapi, perlawanan dan resistensi yang digambarkan oleh Tayyib Salih dalam novel MHiS melalui tokoh Mustafā Sa„īd adalah dengan cara meminjam budaya kolonial atau melakukan peniruan yang tidak penuh terhadap budaya kolonial berupa mimikri. Tindakan mimikri dan peniruan yang dilakukan bukanlah dimaksud sebuah ketertundukan terhadap kolonial, tapi lebih kepada upaya terjajah/Timur untuk mensejajarkan diri dengan pihak penajajah/Barat. Sebagai sebuah resistensi, tindakan peniruan dan mimikri bisa diartikan sebagai olok-olok atau mockery. Mimikri yang dilakukan oleh terjajah sebagai sebuah bentuk resistensi kemudian menimbulkan efek-efek yang ambigu dan kontradiktif bagi terjajah karena peniruan yang dilakukan tidak pernah penuh. 1.7 Metode Penelitian Metode penelitian merupakan langkah-langkah atau cara kerja penelitian. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan terdiri atas metode pengumpulan data dan metode analisis data, seperti diuraikan berikut ini. 1.7.1 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan studi pustaka, yakni mengumpulkan bahan-bahan acuan baik primer maupun sekunder. Pembacaan novel MHiS untuk mencermati relasi penjajah dan terjajah, bentuk resistensi terjajah berupa mimikri, dan ambigutitas resistensi tersebut. Selanjutnya, peneliti mengumpulkan data berupa kata, frasa, dan kalimat yang terdapat dalam novel MHiS. Hal ini bertujuan agar didapatkan informasi yang 22
mendukung
penelitian.
Setelah
itu,
data-data
yang
terkumpul
kemudian
dikelompokkan sesuai dengan bagian-bagian dan permasalahan yang dibahas. 1.7.2 Metode Analisis Data Data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan pada
teori
poskolonial dengan teknik dekonstruksi terhadap teks-teks pada novel MHiS. Teknik dekonstruksi ini dipilih untuk menemukan hal-hal baru didalam teks yang tidak terbaca bahkan mungkin terlewatkan oleh pembacaan biasa. Seperti yang disampaikan Faruk (2012: 210) bahwa “dekonstruksi merupakan sebuah metode pembacaan sebuah teks yang dilakukan dengan begitu cermatnya sehingga perbedaan-perbedaan konseptual yang dijadikan pengarang sebagai sandaran teks menjadi terbukti gagal atas dasar penggunaanya yang inkonsisten dan paradoksikal dalam teks. Pembacaan dekonstruktif ini nantinya akan dirumuskan kedalam tiga penyelesaian. Pertama, dengan menentukan oposisi biner yang terdapat didalam teks. Kedua, dengan penarikan garis lurus pada oposisi biner tersebut sehingga diketahui urutan hierarki yang ada didalam teks. Ketiga, pembalikan hierarki tersebut untuk menunjukkan kontradiksi atau pengaburan hierarki atau batas antara keduanya sesuai dengan prinsip dekonstruksi. Karena itu, penelitian ini menggunakan metode dekonstruktif untuk menemukan inkonsistensi pengarang dan menguji hipotesis yang telah disimpulkan.
23
Metode
pembacaan
dekonstruksi
ini
kemudian
diharapkan
mampu
menemukan jawaban atas konstruksi relasi penjajah dan terjajah, bentuk resistensi terjajah berupa mimikri, dan ambiguitas resistensi yang ada di dalam novel MHiS. 1.8 Sistematika Penyajian Laporan penelitian ini disajikan dalam empat bab. Bab pertama akan menyajikan latar belakang penelitian, merumuskan permasalahan yang diangkat seraya memunculkan pertanyaan-pertanyaan penelitian, menyampaikan tujuan-tujuan, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Dalam bab berikutnya, yaitu bab kedua, merupakan bab pembahasan mengenai bentuk-bentuk mimikri sebuah bentuk resistensi terhadap kolonial Inggris dalam novel MHiS dengan melihatnya dari segi relasi kolonialisme yang terkonstruksi antara Barat dan Timur, Dalam bab berikutnya, yaitu bab ketiga, uraian mengenai situasi sosial, budaya, dan politik di Sudan, serta sejarah kolonialisme di Sudan. Bab keempat, bab kesimpulan hasil analisis dan pembahasan. Penyajian hasil penelitian diakhiri dengan penyajian daftar pustaka.
24