BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Secara kodrat manusia selalu ingin menyempurnakan kehidupannya. Manusia
selalu mencoba menjangkau jauh dari kehidupannya yang bersifat naluriah, dan dalam hal ini kehidupan manusia tentunya tidak terlepas dari adanya pendidikan. Pendidikan dalam arti luas meliputi seluruh usaha manusia meningkatkan harkat kemanusiannya. Pendidikan dalam arti yang terbatas adalah usaha mendewasakan dan membimbing anak didik yang belum dewasa hingga menuju dewasa. Pendidikan merupakan perangkat penting dalam meningkatkan kesejahteraan warga melalui penguasaan pengetahuan informasi dan teknologi. Masalah pendidikan dari sekian banyak yang dihadapi, salah satunya adalah mengenai pendidikan terhadap penyandang cacat. Masalah penyandang cacat ini selanjutnya meluas menjadi masalah sosial karena kodrat manusia yang tidak mungkin hidup secara menyendiri tanpa bergaul dengan sesama manusia. Pada masalah penyandang cacat diperlukan menghimbau kepada para orang tua yang mempunyai anak-anak dengan kekurangan atau menyandang cacat apapun diharapkan tidak menyembunyikan anak-anaknya. Anak-anak tersebut mulai saat dini diharapkan segera diajak bersama anak-anak lain, agar bisa bersosialisasi secara wajar. Kekurangan atau kelebihan yang ada padanya dapat dibantu dengan pendampingan yang sifatnya mendorong kemandirian. Pendamping itu tidak boleh 1 Universitas Sumatera Utara
bersifat ketergantungan yang tidak wajar. Para penyandang cacat yang terhambat pertumbuhannya dalam segi sosial, emosional, intelegensi, dan segi-segi lain dalam fisik dan kejiwaan misalnya yang selalu ada dalam masyarakat tentunya perlu mendapatkan perhatian khusus. Kelompok penyandang cacat ini perlu mendapatkan bantuan bimbingan dan pendidikan agar mereka mampu berpartisipasi dan berpotensi didalam kehidupan sosial dan bisa bersikap mandiri. Menurut Purwandari menyatakan bahwa anak tuna grahita memerlukan perhatian khusus dari orang tua berupa membantu anak tuna grahita agar timbul sikap percaya diri, mandiri, menjadi manusia yang produktif, memiliki kehidupan yang layak,
dan
aman
terlindungi
serta
bahagia
lahir
dan
batin.
(http://fpsi.mercubuanayogya.ac.id/wpcontent/uploads/2012/06/Agustus2010TrianaN oor-Edwina.pdf, diakses 17 september 2013 pukul 07.00 wib) Anak cacat mental/tuna grahita tersebut berhak untuk hidup sejahtera dan tidak tergantung pada pertolongan orang lain. Namun mereka mempunyai hambatanhambatan yang disebabkan keadaan yang ada pada dirinya untuk mendapatkan kesempatan yang luas dalam mengembangkan kemampuannya. Menangani penyandang cacat itu dibutuhkan metode pelayananan sosial yang baik dan sistematik agar mereka dapat dengan mudah mengadakan penyesuaian diri dalam kehidupan karena penyandang cacat pada umumnya sangat perasa, yang kadang sangat berlebihan seperti rendah diri dan kemudian menjadi terisolasi dari kehidupan masyarakat.
2 Universitas Sumatera Utara
Pada kenyataannya memang menunjukkan kebanyakan anak cacat mental atau tuna grahita sulit untuk dapat mandiri. Oleh sebab itu, latihan-latihan dan pendidikan untuk mereka diselenggarakan secara khusus misalnya melalui diskusi, ceramah, latihan bina gerak, latihan pekerjaan sehari-hari, dan latihan keterampilan. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15674/1/pkm-jan apr2006%20%286%29.pdf diakses 17 September 2013 pukul 07.30 wib). Menurut PBB, di dunia ini hingga tahun 2000 terdapat sekitar 500 juta orang cacat. Total itu sekitar 80% hidup di negara-negara berkembang. Prefalensi orang yang menderita cacat atau kelainan sekitar 2,3% dari total populasi, sedangkan angka prefalensi anak berbakat sekitar 2%. Artinya, setiap 1.000 orang terdapat 23 orang yang menderita cacat, dan setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat. Berkaitan dengan penderita cacat ini bila penduduk usia sekolah di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebesar 76.478.249 maka penderita cacat atau kelainan adalah sekitar 1.759.000 orang dan terdapat anak berbakat sebanyak 1.529.565 siswa. Kini, 210 juta jiwa penduduk telah mendiami negara Indonesia. Mereka tersebar di ribuan pulau dalam beragam etnis, budaya, dan agama. Sementara dari 210 juta jiwa penduduk tersebut lima persennya kalangan cacat. Mereka adalah para penyandang cacat tuna netra, tuna runggu, tuna daksa, dan cacat mental/tuna grahita. Saat ini di Indonesia, penyandang cacat mental/tuna grahita menduduki jumlah paling banyak
di
antara
penyandang
cacat
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31904/3/chapter%20II.pdf,
lainnya diakses
14 Agustus 2013 pukul 07.30 wib). 3 Universitas Sumatera Utara
Hasil pendataan jumlah penyandang cacat yang dilakukan oleh Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI pada tahun 2010 adalah 2.126.785 jiwa. Tunanetra 778.084 jiwa, tuna rungu wicara 267.974 jiwa, tuna daksa 733.740 jiwa, dan tuna grahita 345.815 jiwa. Provinsi Sumatera Utara sendiri, terdapat jumlah penyandang cacat pada tahun 2010 adalah 118.603 jiwa, terdiri dari penyandang tuna netra 43.390 jiwa, tuna rungu wicara 14.943 jiwa, tuna daksa 40.918
jiwa,
dan
tuna
grahita
19.284
jiwa
(http://database.depsos.go.id/modules.php?name=pmks, diakses 01 September 2013 pukul 10.05 wib). Jumalah penyandang disabilitas di Indonesia relatif banyak, menurut data Kementerian Kesehatan (2012) tercatat sebanyak 6,7 juta jiwa atau 3,11 % penduduk Indonesia sebagai penyandang disabilitas. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, disabilitas terbagi dua kelompok. Pertama disabilitas fisik, dan kedua disabilitas mental. (Suyono. 2013: 139) Keterbatasan (disabilitas) tersebut sesungguhnya merupakan pribadi yang utuh. Seperti individu pada umumnya, mereka memiliki potensi, bakat, minat dan cita-cita untuk berkembang. Mereka memiliki kemampuan dalam
melakukan
berbagai aktivitas dan pekerjaan sesuai dengan potensinya masing-masing. Kondisi ini sudah dibuktikan, misalnya dalam bidang olahraga kaum disabilitas dapat mengharumkan nama Indonesia dikancah Internasional pada tahun 2011. Tahun 2011 Indonesia meraih medali 15 emas, 13 perak, dan 11 perunggu
dalam
ajang
Olimpiade
Tunagrahita
(disabilitas 4
Universitas Sumatera Utara
intelektual) yang digelar di Athena, Yunani. Dalam bidang seni, penyandang tuna netra piawai bermain musik, dan reputasi lain dalam berbagai bidang. (Suyono, 2013: 139) Namun saat ini masih banyak perusahaan yang enggan mempekerjakan kaum difabel, entah dengan alasan demi efesiensi dan efektifitas, karena itulah sebagian besar pengangguran didominasi oleh kaum difabel. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS, 2007), diketahui bahwa dari 20 Juta penyandang cacat di Indonesia, sebanyak 80% atau 16 juta orang tercatat tidak memiliki pekerjaan. Sementara itu, menurut Hesti Armiwulan (2010), penyandang cacat yang kebetulan bergabung dengan perusahaan, umumnya digaji lebih rendah daripada pekerja lainnya. Alasan keterbatasan fisik, buruh difabel semakin tersisihkan dari buruh lain. Apalagi, keberadaan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan justru lebih melemahkan buruh dibandingkan pengusaha.
(http://www.edisicetak.joglosemar.co/berita/memanusiakan-kaum-
difabel-30606.html, diakses 08 September 2013 pukul 20.00 wib). Lain halnya dengan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAID) Sumut Zahrin Piliang menuturkan, jumlah anak disabilitas atau penyandang cacat di Sumatera Utara (Sumut) diperkirakan mencapai 3.000 orang. Anak-anak disabilitas memiliki hak yang sama dengan anak-anak normal lainnya, termasuk untuk mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang layak. Namun, kenyataannya pemerintah tidak memberikan perhatian yang khusus kepada anak-anak berkebutuhan khusus ini. Berdasarkan data yang ada, hanya ada 16 sekolah Sekolah Dasar Luar 5 Universitas Sumatera Utara
Biasa (SDLB) di Sumut, hanya ada 10 Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) dan mungkin hanya 2 Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). Itu tidak seimbang dengan jumlah anak disabilitas yang mencapai 3.000 anak dan pada dasarnya anak-anak disabilitas memang memiliki keterbatasan. Namun, mereka tetap memiliki
potensi
yang
bisa
dikembangkan
(http://www.koran-
sindo.com/node/297803, diakses 10 desember 2013 pukul 11.18 wib). Sungguh ironis bila melihat data penyandang cacat yang semakin lama semakin meningkat, sedangkan hak asasi mereka pun banyak yang terabaikan. Banyak sekali penyandang cacat yang tidak mengenyam bangku pendidikan karena kondisi ekonomi orang tua mereka tidak mampu, bahkan ada yang sengaja disembunyikan oleh orang tua mereka lantaran malu punya anak yang menyandang disabilitas baik fisik maupun mental, hal ini menyebabkan munculnya Penyandang Masalah Kesejahtraan Sosial (PMKS), yang juga merupakan akibat dari terbatasnya sumber daya manusia yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan situasi di sekitarnya sehingga ia tertinggal dan tidak memiliki kemampuan dan keterampilan dalam pengembangan diri. PMKS dapat didefinisikan sebagai seorang keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak melaksanakan fungsi sosialnya dan karenanya tidak dapat menjalin hubungan yang serasi dan kreatif dengan lingkungannya sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, dan sosial disebut pendidikan luar biasa Hal senada dalam salah satu wawancara di radio, menghimbau kepada orang tua yang mempunyai anak-anak dengan kekurangan atau penyandang cacat apapun 6 Universitas Sumatera Utara
diharapakan tidak menyembunyikan anak-anaknya. Anak-anak itu diharapkan segera diajak bersama anak-anak lain agar bisa bersosialisasi secara wajar. Kekurangan dan kelebihan yang ada padanya dapat dibantu dengan pendampingnya yang sifatnya mendorong kemandirian. Pendampingan itu tidak boleh bersifat ketergantungan yang tidak wajar (http://www.dniks.org/index.php?optionpenyandang-tuna-grahita, diakses 13 Juli 2013 pukul 11.00 wib). Upaya untuk mempersiapkan dan memperoleh pendidikan serta mencerdaskan anak didik tanpa terkecuali anak tunagrahita merupakan hak semua warga Negara Indonesia yang pada dasarnya untuk mendapatkan pendidikan telah ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut “ tiap – tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Pemerintah maupun suatu lembaga yang dikelola masyarakat penyelenggara pendidikan formal dan non formal baik untuk anak normal ataupun diperuntukkan untuk anak berkebutuhan khusus yang disejajarkan dengan anak normal pada umumnya. Orang tua tentunya mempunyai keinginan untuk membekali anaknya dengan pendidikan budi pekerti dan keterampilan – keterampilan tertentu agar anaknya dapat mengatasi segala permasalahan yang ada pada dirinya sehingga mampu terjun di masyarakat. Tanpa disadari kadang orang tua mempunyai perhatian yang berlebihan terhadap anaknya apalagi anak tersebut menyandang tuna grahita ringan dengan segala keterbatasan yang dimiliki anak tersebut, dengan perlakuan orang tua yang akibatnya anak menjadi manja, minder dan merasa ketakutan dalam mengalami perubahan - perubahan oleh dirinya yang mengakibatkan anak mengalami 7 Universitas Sumatera Utara
hambatan-hambatan. Hambatan sebagai contoh adalah hambatan dalam kemandirian, percaya diri, berwirausaha, bersosialisasi berkomunikasi dengan keluarga khususnya dan pada masyarakat pada umumnya. Penanganan disabilitas saat ini masih terkesan diskriminatif, misalnya dalam mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan, dan layanan umum lainnya. Dalam lingkungan keluarga, masih ada keluarga yang menganggap anak disabilitas sebagai “aib” atau “kutukan” sehingga anak tersebut disembunyikan dan kehilangan hakhaknya terhadap kelangsungan hidup dan tumbuh kembang secara wajar. (Suyono, 2013: 140) Adapun tindakan pemerintah dalam menjalankan Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dapat dilihat dari sikap pemerintah dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) Sekolah Luar Biasa-dalam tingkatan E (SLB-E) ditiap masing-masing provinsi di Indonesia, salah satunya UPT SLB-E Negeri Pembina Medan. Ada berbagai macam pendekatann yang dapat diberikan kepada penyandang tuna grahita, seperti: terapi gerak, terapi bermain, life skill, dan vokasional (http://ppcisulsel.blogspot.com/2009/12/informasi-pelayananpendidikan-bagi.html, diakses 3 September 2013 pukul 20.10 wib). Melalui upaya itu akan dicapai kondisi ilmiah, mental sosial, serta meningkatnya pengetahuan dan keterampilan sebagai modal dasarnya sehingga nantinya penyandang cacat tidak lagi sebagai objek, tetapi dijadikan subjek dalam pembangunan. Disamping itu yang tak kalah penting, mereka harus mendapat dukungan lingkungan serta tersedianya aksesibilitas fisik maupun nonfisik. 8 Universitas Sumatera Utara
Aksesibilitas nonfisik yang sangat utama adalah penerimaan masyarakat yang sampai saat ini masih kurang kondusif. Tuna Grahita merupakan salah satu klasifikasi penyandang cacat yang memiliki kecerdasan mental dibawah normal. Menurut data dari Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial yang ada, penyandang Tuna Grahita 777.761 Jiwa. Deputi Bidang Pelindungan Perempuan KPP-PA, Nimas mengatakan kalau penyandang cacat Tuna Grahita akan terus meningkat mengingat struktur umur penduduk semakin menua, epidemologi
ke
arah
kronik
degeneratif,
kecelakaan
dan
bencana
alam
(http://rehsos.depsos.go.id, diakses 28 Agustus 2013 pukul 18.15 wib). Terkait dengan penyandang cacat tuna grahita salah satu kasus antara lain; menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta) mengisahkan sekolah inklusi (SD. Muhammdiyah di Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120 anak. 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukkan oleh kedua ibunya ke kelas 1 karena mau masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD. Muhammadiyah. Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak mereka diterima di sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik mereka dengan menggunakan modifikasi kurikulum untuk setiap pelajaran disesuaikan dengan kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini berkaitan 9 Universitas Sumatera Utara
dengan guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah teman yang sedang belajar (http://getmyhope.wordpress.com/2010/04/23/anakberkebutuhan-khusus-di-indonesia, diakses 4 Juli 2013 pukul 11.00 wib). Gambaran kisah anak-anak tunagrahita dengan latar belakang keluarga miskin serta akses pendidikan yang jauh dari tempat tinggal serta tidak mengurangi keinginan yang terpadu antara orang tua, anak, sekolah yang mengedepankan masa depan anak dalam keterbatasan. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 disebutkan bahwa: pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial. Ketetapan dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 tersebut bagi penyandang kelainan sangat berarti karena memberi landasan yang kuat bahwa penyandang cacat perlu memperoleh kesempatan yang sama sebagaimana yang diberikan kepada masyarakat normal lainnya dalam hal pendidikan dan pengajaran (Efendi, 2006 : 1). Pemerintah telah memberikan pendidikan secara khusus yaitu melalui sekolah luar biasa bagi anak tunagrahita ataupun penyandang cacat lainnya.. Pendidikan dan pengajaran luar biasa yang dimaksud adalah suatu bentuk sekolah khusus yang berbeda dengan sekolah pada umumnya. Sekolah luar biasa ini tidak hanya untuk para penyandang cacat mental saja. Sekolah luar biasa di Indonesia terdiri dari berbagai jenis, yang semuanya telah disesuaikan dengan kebutuhan dari siswa.
10 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan landasan tersebut dikemukakan bahwa pemerintah dan masyarakat mempunyai tanggung jawab yang sama dalam melakukan pembinaan demi kesejahteraan penyandang cacat. Pemerintah dalam menjalankan tugas tersebut, dan
masyarakat
diberikan
kesempatan
seluas-luasnya
untuk
bersama-sama
pemerintah atau oleh masyarakat itu sendiri melakukan kegiatan peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat. Sebagai wujud dari upaya masyarakat terhadap peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat, berbagai kegiatan pemberdayaan yang bersumberdaya masyarakat terhadap penyandang cacat telah dilakukan diberbagai wilayah di Indonesia. Kekurangan yang dialami anak tunagrahita yaitu pada keterampilan adaptif, antara lain kemampuan berkomunikasi, menolong diri, keterampilan sosial, pengarahan diri, keamanan diri, dan akademik. Jadi karakteristik yang dimiliki anak tunagrahita ringan seperti terlambat dalam perkembangan mental dan sosial, kesulitan dalam mengingat apa yang dilihat, didengar secara sekilas, mengalami masalah persepsi yang menyebabkan salah satunya tunagrahita ringan mengalami kesulitan dalam mengingat berbagai bentuk benda (visual perception), keterlambatan atau keterbelakangan mental yang dialami anak tunagrahita ringan akan berpengaruh pada perkembangan perilaku, sehingga perilaku yang muncul pada anak-anak tunagrahita tidak sesuai dengan perilaku seusianya. UPT SLB-E Negeri Pembina Medan menjalankan salah satu pendekatan yang diberikan kepada penyandang Tuna Grahita yaitu pendekatan life skill atau pendekatan keterampilan. Pendekatan ini dimaksud untuk mendidik para penyandang 11 Universitas Sumatera Utara
cacat khususnya tuna grahita bisa mendapatkan pendidikan yang sama dan bisa memperoleh penghidupan yang lebih layak ditengah-tengah masyarakat. Berdasarkan penjelasan tersebut, dengan dasar inilah penulis tertarik untuk meneliti bagaimana peranan Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT SLB-E) Negeri Pembina Medan dalam memberikan pendidikan keterampilan bagi penyandang tuna grahita sebagai judul penelitian saya yang hasilnya akan dituangkan ke dalam skripsi dengan judul “Peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri Pembina Medan dalam Memberikan Kegiatan Pembelajaran Keterampilan bagi Penyandang Tuna Grahita”. 1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah yang dapat
dirumuskan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Unit Pelakasana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri Pembina Medan dalam memberikan kegiatan pembelajaran keterampilan bagi penyandang tuna grahita?”. 1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1
Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri Pembina Medan dalam memberikan pendidikan keterampilan bagi penyandang tuna grahita, juga untuk mengetahui dan menganalisis manfaat yang diperoleh penyandang tuna grahita setelah masuk ke dalam sekolah Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri Pembina Medan. 12 Universitas Sumatera Utara
1.3.2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dalam rangka pengembangan konsep dan teori terutama dalam rangka perolehan manfaat yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran keterampilan terhadap penyandang tunagrahita di Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri Pembina Medan, untuk kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat. 1.4
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan secara garis besarnya dikelompokkan dalam enam bab,
dengan urutan sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penelitian.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Berisikan tentang teori-teori yang mendukung dalam penelitian, kerangaka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional.
BAB III
: METODE PENELITIAN Berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, subyek penelitian, teknik pengumpulan data, serta teknik analisa data.
BAB IV
: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Berisikan tentang sejarah singkat berdirinya Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri Pembina Medan, dan
13 Universitas Sumatera Utara
gambaran umum lokasi penelitian dandata-data lain yang turut memperkaya karya ilmiah ini. BAB V
: ANALISA DATA Berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta analisis pembahasannya.
BAB VI
: PENUTUP Berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang dilakukan.
14 Universitas Sumatera Utara