BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Pada umumnya tujuan perusahaan adalah untuk mencapai atau
memperoleh laba maksimal, mengembangkan perusahaan serta menjaga kelangsungan hidup perusahaan (going concern). Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perusahaan membutuhkan alternatif pembiayaan yang bertujuan untuk mendapatkan tambahan dana guna mendukung kegiatan operasionalnya. Kebutuhan tambahan dana semakin bertambah sejalan dengan perkembangan perusahaan. Ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan perusahaan dalam mendapatkan modal tersebut, antara lain dengan menggunakan modal sendiri, mengeluarkan surat hutang (obligasi), hutang pada pihak bank, atau melalui penambahan jumlah kepemilikan saham dengan penerbitan saham baru. Jika perusahaan memilih penerbitan saham baru dalam memperoleh tambahan modal, maka ada beberapa cara yang dapat dilakukan perusahaan, yaitu dengan menjual kepada pemegang saham lama, menjual kepada karyawan lewat ESOP (employee stockownership plan), menambah saham lewat deviden yang tidak dibagi (dividend reinvestment plan), menjual langsung kepada pemilik tunggal (biasanya investor institusi) secara privat, atau dengan menawarkan ke publik melalui bursa efek (Jogiyanto, 2009). Namun, untuk perusahaan yang belum terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan berkeinginan untuk menjual saham perusahaan kepada publik atau sering dikenal dengan go public, maka perusahaan
1
2
tersebut harus melakukan penawaran saham perdana atau initial public offerings (IPO). Proses penawaran sebagian saham perusahaan kepada masyarakat untuk pertama kalinya terjadi di pasar perdana (Primary Market) melalui bursa efek disebut Initial Public Offerings (IPO) atau penawaran perdana. Selanjutnya saham dapat diperjualbelikan di bursa efek, yang disebut Pasar Sekunder (Secondary Market). Harga saham yang akan dijual perusahaan pada pasar perdana ditentukan oleh kesepakatan antara emiten (perusahaan penerbit) dengan underwriter (penjamin emisi), sedangkan harga saham yang dijual pada pasar sekunder ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu permintaan dan penawaran. Penetapan harga saham perdana suatu perusahaan adalah hal yang tidak mudah. Salah satu penyebab sulitnya menetapkan harga penawaran perdana adalah karena tidak adanya informasi harga yang relevan. Hal ini terjadi karena sebelum pelaksanaan penawaran perdana, saham perusahaan belum pernah diperdagangkan sehingga kesulitan untuk menilai dan menentukan harga yang wajar. Di samping itu, keterbatasan informasi mengenai apa dan siapa perusahaan yang akan go public membuat underwriter maupun calon investor harus melakukan analisa yang baik sebelum memutuskan untuk membeli (memesan) saham. Penentuan harga saham yang akan ditawarkan pada saat IPO merupakan faktor penting, baik bagi emiten maupun underwriter karena berkaitan dengan jumlah dana yang akan diperoleh emiten dan risiko yang akan ditanggung oleh underwriter. Jumlah dana yang diterima emiten adalah perkalian antara jumlah saham yang ditawarkan dengan harga per saham, sehingga semakin tinggi harga
3
per saham maka dana yang diterima akan semakin besar. Hal ini mengakibatkan emiten seringkali menentukan harga saham yang dijual pada pasar perdana dengan membuka penawaran harga yang tinggi, karena dengan harga yang tinggi maka semakin tinggi pula emiten dapat merealisasikan proyek yang akan dilakukan (Hapsari, 2008). Sedangkan underwriter sebagai penjamin emisi berusaha untuk meminimalkan risiko agar tidak mengalami kerugian akibat tidak terjualnya saham-saham yang ditawarkan, terutama dalam tipe penjaminan full commitment karena dalam tipe penjaminan ini pihak underwriter akan membeli sisa efek yang tidak laku terjual (Ang, 1997) dalam kristiantari (2012). Dalam kegiatan penawaran umum perdana (IPO) terdapat suatu fenomena yang disebut Underpricing yaitu kondisi dimana harga saham penawaran pada saat IPO dinilai lebih rendah secara signifikan dibandingkan harga saham pada saat penutupan hari pertama di pasar sekunder (Beatty, 1989) dalam (hapsari, 2008), Sebaliknya apabila harga saat IPO lebih tinggi dibandingkan dengan harga saham pada pasar sekunder pada hari pertama, fenomena ini disebut dengan overpricing (kristiantari, 2012). Kondisi underpricing menimbulkan dampak yang berbeda bagi perusahaan dan investor. Perusahaan akan tidak diuntungkan apabila terjadi underpricing, karena dana yang diperoleh dari go public tidak maksimum. Sedangkan bila terjadi overpricing, maka investor yang akan merugi, karena mereka tidak menerima initial return yaitu keuntungan yang diperoleh pemegang saham karena perbedaan harga saham yang dibeli di pasar perdana saat IPO dengan harga jual yang bersangkutan di hari pertama di pasar sekunder.
4
Beberapa penjelasan literatur mengenai fenomena underpricing adalah hipotesis adanya asimetri informasi (Guinness, 1992) dalam Isfaatun dan Hatta (2010). Asimetri informasi dapat terjadi antara perusahaan emiten dengan perusahaan penjamin (Model Baron) atau antara investor informed dan uninformed (Model Rock). Dalam model baron penjamin dianggap memiliki informasi yang lebih baik mengenai permintaan saham-saham perusahaan emiten dibandingkan perusahaan emiten sendiri. Model ini mengimplikasikan bahwa ketidakpastian yang besar dari suatu perusahaan emiten tentang harga saham maka permintaan terhadap jasa penjamin saham akan semakin besar. Kompensasi atas informasi yang diberikan penjamin antara lain dengan mengijinkan penjamin menawarkan saham pada harga dibawah ekuilibrium. Oleh karena itu semakin tinggi ketidakpastian, maka akan semakin banyak masalah dalam penentuan harga dan akan semakin besar underpricing (Guinness, 1992) dalam Isfaatun dan Hatta (2010). Dalam model rock menyatakan bahwa baik perusahaan emiten maupun penjamin emisi kurang memiliki informasi mengenai nilai kewajaran saham perusahaan emiten dari pada pasar secara keseluruhan. Informed investor yang memiliki informasi lebih banyak mengenai perusahaan emiten akan membeli saham-saham IPO jika harga pasar yang diharapkan melebihi harga pasar perdana. Sementara kelompok uninformed investor karena kurang memiliki informasi mengenai
perusahaan
emiten,
cenderung
melakukan
penawaran
secara
sembarangan baik pada saham-saham IPO yang underpriced maupun overpriced. Akibatnya kelompok uninformed memperoleh proporsi yang lebih besar dalam saham IPO yang overpriced. Menyadari bahwa mereka menerima saham-saham
5
IPO yang tidak proporsional, maka kelompok uninformed akan meninggalkan pasar perdana. Agar kelompok ini berpartisipasi dalam pasar perdana dan memungkinkan mereka memperoleh return saham yang wajar serta dapat menutup kerugian dari pembelian saham yang overpriced, maka saham-saham IPO harus cukup Underpriced. Penelitian tentang underpricing saham dihubungkan dengan informasi pada prospektus merupakan hal yang menarik bagi peneliti untuk mengevaluasi secara empiris perilaku investor dalam pembuatan keputusan investasi di pasar modal. Prospektus perusahaan, yang merupakan salah satu sumber informasi yang relevan dan dapat digunakan untuk menilai perusahaan yang akan go public, prospektus dalam hal ini dijadikan signal oleh emiten yang dimaksudkan untuk mengurangi adanya kesenjangan informasi (asimetri informasi) yang terjadi seperti diuraikan sebelumnya. Salah satu Informasi penting dalam prospektus yang perlu diperhatikan yaitu informasi keuangan perusahaan (ROA), tujuan penggunaan dana IPO, jenis industri, reputasi auditor, dan persentase saham yang ditawarkan kepada publik. Salah satu informasi akuntansi yang menjadi perhatian adalah informasi laporan keuangan yang dapat dijadikan alat untuk merefleksikan kinerja dan kondisi keuangan perusahaan. Menurut Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) No. 1 (FASB 1978, par 34) dalam kristiantari (2012), laporan keuangan harus memberikan informasi yang berguna untuk pemodal yang potensial, peminjam dana, dan pengguna-pengguna lainnya agar dapat membuat keputusan investasi yang rasional, pemberian kredit, dan keputusan lainnya. Return on Assets (ROA) merupakan salah satu rasio profitabilitas perusahaan.
6
ROA menjadi salah satu pertimbangan investor di dalam melakukan investasi saham, dimana dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yasa (2008) dan Wulandari (2011) menunjukkan ROA mempunyai hubungan yang signifikan terhadap underpricing saham. Profitabilitas perusahaan yang tinggi akan mengurangi ketidakpastian IPO sehingga mengurangi tingkat underpricing. Biasanya alasan perusahaan go public atau melakukan IPO karena membutuhkan tambahan modal segar. Dana yang masuk biasanya digunakan perusahaan untuk melakukan ekspansi atau membayar sebagian utang yang telah jatuh tempo (May, 2014). Tujuan penggunaan dana IPO menurut Welch (1989) dalam Kristiantari (2012), bagi perusahaan dengan kualitas baik, penggunaan dana IPO untuk belanja modal dapat dianggap sebagai upaya meningkatkan kualitas perusahaan melalui peningkatan kapasitas produksi, sementara bagi perusahaan dengan kualitas jelek hal itu tidak bermakna apa-apa. Jika dana IPO digunakan untuk keperluan investasi, investor dapat menganggap bahwa kualitas perusahaan adalah baik, sehingga tingkat underpricing seharusnya rendah. Yolana dan Martani (2005) berpendapat bahwa tiap industri memiliki risiko dan tingkat ketidakpastian yang berbeda sehingga dapat mempengaruhi investor dalam pengambilan keputusan berinvestasi, risiko untuk setiap jenis industri berbeda karena adanya perbedaan karakteristik. Perbedaan risiko ini menyebabkan tingkat keuntungan yang diharapkan oleh investor untuk setiap sektor industri juga berbeda sehingga tingkat underpricing juga akan berbeda. Auditor memegang peranan penting dalam proses go public, yaitu sebagai pihak yang ditunjuk oleh perusahaan untuk melakukan pemeriksaan laporan keuangan perusahaan sebagai calon emiten. Auditor yang memiliki reputasi tinggi
7
akan mempertahankan reputasinya dengan memberikan kualitas audit yang tinggi pula. Dengan memakai auditor yang profesionl dan berkualitas, akan mengurangi kesempatan emiten untuk berlaku curang dalam menyajikan informasi yang tidak akurat kepasar, sehingga Penggunaan auditor yang bereputasi tinggi dapat digunakan sebagai tanda petunjuk terhadap kualitas perusahaan emiten. Persentase saham yang ditawarkan ke publik menunjukkan berapa besar bagian dari modal disetor yang akan dimiliki oleh publik. Secara umum semakin besar bagian yang ditawarkan maka semakin memiliki potensi untuk likuidnya perdagangan saham di bursa, sebaliknya informasi privat yang dimiliki perusahaan semakin sedikit (Handono, 2010). Informasi kepemilikan saham yang ditawarkan kepada publik akan digunakan oleh investor sebagai pertanda bahwa prospek perusahaan baik. Semakin besar tingkat kepemilikan yang ditawarkan kepada publik akan memperkecil ketidakpastian maka tingkat underpricing seharusnya rendah. Berdasarkan beberapa penelitian
yang telah dilakukan, menunjukkan
bahwa informasi akuntansi dan non akuntansi yang terdapat dalam prospektus digunakan oleh investor dalam pembuatan keputusan investasi di pasar modal. Penelitian-penelitian tersebut menemukan
beberapa
faktor penyebab
underpricing yang diukur dengan initial return. Penelitian-penelitian tersebut diantaranya dilakukan oleh Yolana dan Martani (2005) yang melakukan penelitian di BEJ berdasarkan data tahun 1994–2001, menemukan bahwa variabel ROE secara signifikan berpengaruh positif terhadap underpricing, sedangkan ukuran perusahaan dan jenis industri berpengaruh signifikan negatif pada underpricing, sedangkan untuk reputasi underwriter tidak ditemukan pengaruh yang signifikan.
8
Handayani (2008) yang melakukan penelitian dengan menggunakan variabel DER, ROA, EPS, Umur perusahaan, ukuran perusahaan, dan persentase saham yang ditawarkan pengaruhnya terhadap underpricing saham, menemukan bahwa tidak terdapat pengaruh yaang signifikan variabel DER, ROA, EPS dan umur perusahaan terhadap underpricing saham, sedangkan untuk variabel ukuran perusahaan dan persentase saham yang ditawarkan berpengararuh signifikan negatif terhadap underpricing saham. Yasa (2008) yang meneliti seluruh perusahaan yang melakukan IPO tahun
1990-2001, menemukan ukuran perusahaan, kepemilikan pemerintah,
reputasi auditor, Financial leverage, Solvabilitas rasio, ukuran perusahaan dan umur perusahaan tidak berhasil menunjukkan hubungan yang signifikan pengaruhnya terhadap initial return, hanya variabel reputasi underwriter dan ROA yang berhasil menunjukkan pengaruh yang signifikan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2011) menunjukan hasil bahwa ROA, DER, ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap underpricing, sedangkan umur dan jumlah saham yang ditawarkan tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing. Penelitian yang dilakukan Kristiantari (2012) berdasarkan data perusahaan yang IPO di BEI, mencoba menguji pengaruh reputasi underwriter, reputasi auditor, umur perusahaan, ukuran perusahaan, tujuan penggunaan dana untuk investasi, profitabilitas perusahaan (ROA), financial leverage, dan jenis industri terhadap tingkat underpricing. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel reputasi underwriter, ukuran perusahaan dan tujuan penggunaan dana untuk investasi secara signifikan berpengaruh pada underpricing dengan arah koefisien negatif. Sedangkan variabel
9
reputasi auditor, umur perusahaan, profitabilitas perusahaan (ROA), financial leverage dan jenis industri terbukti tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap underpricing saham. Berikut ini adalah perkembangan IPO di Bursa Efek Indonesia dan underpricing saham tahun 2011 sampai dengan 2015.
Tahun
Tabel 1.1 PERKEMBANGAN IPO DI INDONESIA TAHUN 2011 - 2015 juml underpricing ah Jumlah IPO jumlah presentase ( %) Nilai Rata-rata (%) Overpricing
Harga Tetap
2011
25
17
68
11
7
1
2012
23
21
91,30
26
1
1
2013
31
22
70,97
16
7
2
2014
23
20
86,96
23
2
1
2015
17
15
88,24
27
1
1
Total
119
95
18
6
Rata-Rata
81,09
21
Sumber : Bursa Efek Indonesia dan www.e-bursa.com (data diolah)
Berdasarkan tabel 1.1 diatas, dapat diketahui dari 119 perusahaan yang melakukan penawaran umum saham perdana (IPO) pada tahun 2011-2015, terdapat 95 perusahaan atau sekitar 81,09% perusahaan mengalami underpricing. 18 perusahaan mengalami overpricing dan 6 perusahaan mengalami harga tetap. Dalam tabel tersebut ditampilkan pula nilai rata-rata underpricing yang berbedabeda untuk setiap tahunnya, dengan nilai rata-rata underpricing selama periode 5 tahun tersebut yaitu sekitar 21%. Berikut adalah tabel 1.2 yang memuat data pengkategorian perusahaan yang mengalami underpricing berdasarkan pada proxy initial return dan selanjutnya berhubungan dengan masalah yang menjadi latar belakang penelitian ini:
10
Tabel 1.2 Pengkategorian Jumlah Perusahaan yang mengalami underpricing Tahun 2011-2015 Initial Return (%) Jumlah emiten Persentase 0,35 - 10,00 31 35% 10,01 - 20,00 20 22% 20,01 - 30,00 6 7% 30,01 - 40,00 4 4% 40,01 - 50,00 16 18% 50,01 - 70,00 12 13% Total 89 100% Sumber : Bursa Efek Indonesia dan www.e-bursa.com (data diolah)
Dari tabel 1.2 dapat djelaskan bahwa investor yang mengalami underpricing dengan initial return 0,35 sampai 10,00 persen sebanyak 31 emiten atau sebanyak 35% dari total emiten yang mengalami underpricing, untuk initial return 10,01 sampai 20,00 sebanyak 20 emiten, initial return 20,01-30,00 sebanyak 6 emiten atau sebanyak 7%, initial return 30,01-40,00 sebanyak 4 peusahaan, initial return 40,01-50,00 sebanyak 16 perusahaan dan untuk initial return 50,01-70,00 sebanyak 12 perusahaan. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO tahun 20112015 bervariasi, dengan tingkat terendah 0,35% sampai yang tertinggi mencapai 70%. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa underpricing masih sering terjadi pada perusahaan yang melakukan IPO di BEI, serta ditemukannya fenomena gap dimana masih tingginya tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO tahun 2011 sampai 2015 yang secara teori seharusnya tingkat underpricing dapat diminalisir dengan adanya research gap antara peneliti satu dengan yang lain. Maka dari itu peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai underpricing dalam skripsi ini dengan judul ”Analisis Faktor-Faktor
11
yang Mempengaruhi Underpricing Saham Saat Initial Public Offerings (IPO) Pada Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2015” Variabel-variabel yang akan diteliti pada penelitian ini yaitu Return on Assets (ROA), tujuan penggunaan dana IPO, jenis indutri, reputasi auditor dan persentase saham yang ditawarkan ke publik. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan pada latar belakang masalah mengenai adanya
fenomena gap serta adanya research gap dari hasil penelitian terdahulu yang menunjukkan perbedaan-perbedaan, dapat disimpulkan yaitu adanya perbedaan antara yang ada pada teori dengan kondisi kenyataan di lapangan serta adanya inkonsistensi mengenai faktor yang berpengaruh terhadap underpricing saham. Sehingga selanjutnya dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah Return on Assets (ROA) berpengaruh terhadap tingkat underpricing saham pada perusahaan yang melakukan IPO periode 20112015? 2. Apakah tujuan penggunaan dana IPO berpengaruh terhadap tingkat underpricing saham pada perusahaan yang melakukan IPO periode 20112015? 3. Apakah jenis industri berpengaruh terhadap tingkat underpricing saham pada perusahaan yang melakukan IPO periode 2011-2015? 4. Apakah reputasi auditor berpengaruh terhadap tingkat underpricing saham pada perusahaan yang melakukan IPO periode 2011-2015?
12
5. Apakah persentase saham yang ditawarkan ke publik berpengaruh terhadap tingkat underpricing saham pada perusahaan yang melakukan IPO periode 2011-2015? 6. Apakah ROA, tujuan penggunaan dana IPO, jenis industri, reputasi auditor dan persentase saham yang ditawarkan ke publik berpengaruh secara simultan terhadap tingkat underpricing saham pada
perusahaan yang
melakukan IPO periode 2011-2015? 1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan Penelitian
1. Untuk membuktikan pengaruh Return on assets (ROA) terhadap tingkat underpricing saham pada perusahaan yang melakukan IPO periode 20112015. 2. Untuk membuktikan pengaruh tujuan penggunaan dana IPO terhadap tingkat underpricing saham pada perusahaan yang melakukan IPO periode 2011-2015. 3. Untuk membuktikan pengaruh jenis industri terhadap tingkat underpricing saham pada perusahaan yang melakukan IPO periode 2011-2015. 4. Untuk membuktikan pengaruh reputasi auditor terhadap underpricing saham pada perusahaan yang melakukan IPO periode 2011-2015. 5. Untuk membuktikan pengaruh persentase saham yang ditawarkan terhadap tingkat underpricing saham pada perusahaan yang melakukan IPO periode tahun 2011-2015. 6. Untuk membuktikan bahwa ROA, tujuan penggunaan dana IPO, jenis industri, reputasi auditor dan persentase saham yang ditawarkan ke publik
13
berpengaruh secara simultan terhadap tingkat underpricing saham pada perusahaan yang melakukan IPO periode 2011-2015. 1.3.2 a.
Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan bukti empiris kepada pembaca mengenai pengaruh ROA, tujuan penggunaan dana IPO, jenis industri, reputasi auditor, persentase saham yang ditawarkan kepada publik terhadap tingkat underpricing saham. Kemudian hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi tambahan referensi penelitian yang bermanfaat bagi penelitian selanjutnya.
b.
Manfaat Praktis –
Bagi emiten atau calon emiten, Penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan, khususnya yang berkaitan dengan masalah keterbukaan informasi bila akan melakukan initial public offerings (IPO) untuk memperoleh harga yang optimal
–
Bagi penjamin emisi, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan penilaian yang sesuai untuk penetapan harga saham di pasar perdana.
–
Bagi investor, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi kepada investor dan calon investor dalam melakukan strategi investasi di pasar modal, sehingga dapat mengambil keputusan investasi yang dapat mendatangkan keuntungan.
14
1.4
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan berisi latar belakang masalah, perumusan masaah, tujuan dan kegunaan penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II
LANDASAN TEORI Pada bab landasan teori berisi tentang uraian dan teori-teori yang digunakan sebagai dasar untuk mendukung penelitian dari masalah yang dibahas, penelitian terdahulu, kerangka pemikiran dan hipotesis.
BAB III
METODE PENELITIAN Pada bab metode penelitian berisi variabel penelitian dan definisi operasional, penentuan populasi dan sampel, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, metode analisis.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab hasil dan pembahasan berisi deskripsi objek penelitian, hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian.
BAB V
PENUTUP Pada bab ini berisi kesimpulan, saran, dan keterbatasan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA