BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. Kejahatan merupakan suatu fenomena yang komplek yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda, itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan yang lain, dalam pengalaman kita ternyata tak mudah untuk memahami kejahatan itu sendiri. 1 Kejahatan timbul dalam kehidupan masyarakat karena berbagai faktor dan adanya gejala–gejala dalam kehidupan manusia yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia seperti krisis ekonomi, keadaan situasi politik juga dapat mempengaruhi laju kriminalitas. Meningkatnya kebutuhan serta tiadanya lapangan pekerjaan juga dapat menjadi faktor pemicu tumbuhnya kriminalitas. Tindakan kriminal biasanya terjadi pada masyarakat yang tergolong sedang berubah, terutama pada masyarakat perkotaan yang lebih banyak mengalami perubahan. Di dalam diri manusia secara alamiah, sudah ada bakat kejahatan. Bakat kebaikan dan kejahatan akan muncul dan mendominasi kehidupan manusia, jika bakat jahat yang dominan serta tak dapat ditekan oleh perasaan maka seseorang akan tumbuh menjadi manusia yang jahat. Dari bakat jahat itu akan tumbuh kejahatan didunia ini. meningkatnya kriminalitas bukan hanya disebabkan oleh faktor tersebut diatas, tetapi juga dapat disebabkan oleh adanya beberapa 1
Topo Santoso, Eva Achjani zulfa, 2008, Kriminologi. RajaGrafindo Persada, Jakarta..
hal. 1
1
2
diantaranya faktor sosial, Politik, ekonomi, budaya bahkan karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuann sistim informasi dan perkembangan komunikasi tanpa batas. Terjadinya tindak kejahatan atau kriminal sangat dipacu oleh kehidupan yang serba kurang dengan kata lain karena adanya kemiskinan yang telah menjalar sampai ke daerah perkotaan yang memang kehidupan masyarakat perkotaan sangat komplek, sedangkan lapangan pekerjaan yang terbatas dan kemampuan masyarakat sangat terbatas karena tingkat pendidikan pada masyarakat menengah kebawah masih rendah. Dilihat dari beberapa kasus yang muncul, faktor-faktor yang terungkap adalah karena berbagai tekanan ekonomi adalah pemicu yang paling banyak, pengaruh pergaulan dalam lingkungan dimana seseorang hidup, faktor pendidikan seseorang,
dan
lain-lain
juga
menjadi
indikator
munculnya
tindakan
kejahatan/kriminalitas. Penegakan hukum harus dilakukan secara terintegrasi mulai dari Penyidikan sampai dengan sistem pembinaan, karena tujuan hukum bukan hanya sebagai instrumen penjara tetapi secara lebih luas adalah pembinaan terhadap pelaku tindak pidana. Penegakan Hukum bertujuan menegakkan keadilan agar tercipta rasa keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat dan bagi masyarakat luas. Sebagai aparat penegak hukum, Polri merupakan institusi terdepan, bagi Polri, penegakkan hukum adalah proses dilakukannya upaya demi
3
tegak atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata, sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 2 Kejahatan karena sifatnya sangat berimplikasi buruk terhadap pelakunya sendiri ataupun berimplikasi terhadap orang lain yang secara disengaja maupun tidak disengaja bersentuhan dengan kejahatan, sehingga orang lain yang tidak berbuat menjadi turut menerima akibat dari kejahatan orang lain. Juga akibat dari tindak kejahatan dapat berdampak secara luas terhadap masyarakat, pemerintahan, sehingga dapat mengganggu stabilitas nasional. Perbuatan yang tidak bertentangan atau menghambat terlaksananya hubungan pergaulan masyarakat, tidak melanggar norma-norma atau kaidahkaidah kehidupan manusia, sehingga setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini sudah barang tentu tidak akan menimbulkan masalah, tetapi masalah akan mulai timbul mengganggu kehidupan masyarakat mana kala perbuatan seseorang telah melanggar norma atau kaidah. Harus dipikirkan oleh masyarakat dimana ia tinggal, perbuatan tersebut berupa kejahatan, maka yang bersangkutan dipandang telah melanggar larangan yang terdapat dalam aturan hukum pidana yang pada hakekatnya akan memberikan sanksi yang tegas kepada siapa saja yang telah melanggar larangan yang terdapat dalam aturan hukum pidana. Perbuatan yang demikian ini, dikatakan sebagai perbuatan pidana, artinya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana.
2
Hermawan Sulistyo, 2010, Derap Langkah Polri. Pensil 324, Jakarta, hal. 67.
4
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia mencantumkan dalam Buku II mengatur tentang kejahatan, dan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur tentang pelanggaran. Perbuatan yang dipandang sebagai kejahatan dan melanggar hukum maka, satu diantara bentuk-bentuk kejahatan barang-barang yang terdapat Buku II KUHP adalah masalah pembeli atau menjual barang-barang yang berasal dari suatu kejahatan atau lebih dikenal dengan sebutan penadahan, dimana pada umumnya sering tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Bukan pembeli atau penjual barang-barang yang berasal dari kejahatan saja yang dapat dikatakan sebagai penadah, namun sesuai dengan Pasal 480 KUHP seseorang yang menyewa, menerima gadai, menerima hadiah, mengangkut, menukarkan, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda yang sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari hasil kejahatan dapat dikatakan sebagai penadah, dari sekian banyak unsur tersebut diatas maka yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah seseorang yang telah membeli barang hasil kejahatan, untuk lebih mempersempit ruang lingkup penelitian pada skripsi ini. Adanya lalulintas barang hasil dari kejahatan seperti mencuri, penggelapan, penipuan dan sebagainya, hal tersebut sangat besar berimplikasi adanya perdagangan gelap barang hasil dari kejahatan. Dengan demikian sudah barang tentu dari segi harga barang-barang tersebut jelas lebih murah dari harga normal di pasaran. Perbuatan tersebut diatas, tidaklah serta merta seseorang yang melakukan perbuatan membeli barang hasil kejahatan dapat dipidana, masih diperlukan dibuktikan secara hukum dengan mempertimbangkan unsur-unsur
5
kesalahan pada diri pelakunya. Unsur kesalahan ini sangat penting dalam menentukan dapat tidaknya orang dipertanggung jawabkan secara hukum pidana. Beberapa unsur kesalahan seperti membuktikan barang yang dibeli oleh seseorang adalah barang hasil dari kejahatan, harga tak sesuai dengan harga normal pasaran atau barang yang dibelinya dengan harga yang jauh dibawah harga pasaran baik barang baru maupun barang bekas serta pembelian barang dari hasil kejahatan tersebut adalah sebagai mata pencaharian dari pelaku dan lain sebagainya. Maka seseorang dapat dilakukan penyidikan atas perkara penadahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tidak semua orang yang menguasai sesuatu hasil kejahatan dengan jalan membeli dapat dipidanakan dengan Pasal 480 KUHP, karena ketidaktahuan dan ketidak mengertian dari seseorang sehingga dengan tidak sengaja menguasai barang hasil kejahatan. Bahkan karena profesi seseorang telah membeli barang hasil kejahatan, dengan harga normal sesuai dengan harga pasaran, sehingga unsur kesengajaan untuk mendapatkan keuntungan dapat diabaikan. Hal-hal seperti ini tidak dapat dibuktikan bahwa yang bersangkutan bersekongkol atau telah melakukan perbuatan tadah. Dari hal tersebut diatas maka bagaimana bentuk pertanggung jawaban hukum dari seseorang yang membeli barang hasil kejahatan. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka tulisan yang berupa skripsi ini diberi judul “Pertanggung jawaban Pidana Bagi Pembeli Barang Hasil Kejahatan Ditinjau Dari Pasal 480 KUHP Tentang Penadahan“
6
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapatlah dirumuskan permasalahan. Hal ini nantinya akan merupakan pokok pembahasan dalam penulisan skripsi ini, adapun permasalahan tersebut adalah : 1.
Bagaimanakah penerapan Pasal 480 KUHP oleh penegak hukum terhadap pembeli barang hasil kejahatan ?
2.
Bagaimanakah
pertimbangan
hakim
dalam
menentukan
pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku penadahan ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Dalam tulisan skripsi ini penulis akan membatasi permasalahan yang akan dibahas adalah terutama yang menyangkut akibat hukum dari tindak pidana penadahan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1). Pertama yang akan dibahas adalah bagaimanakah penerapan Pasal 480 sebagai pertanggung jawaban yuridis terhadap seseorang yang membeli barang hasil kejahatan. 2). Dan pada rumusan masalah kedua yang akan dibahas adalah pertimbangan-pertimbangan hakim terhadap unsur-unsur perbuatan dalam menentukan pertanggung jawaban pelaku
7
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum 1. mengetahui pertanggungjawaban pidana bagi seseorang yang membeli barang hasil kejahatan. 2. mengetahui perkembangan hukum pidana khususnya pada tindak pidana penadahan. 3. mengetahui upaya-upaya hukum apa saja yang dilakukan dalam penerapan Pasal 480 KUHP. 1.4.2. Tujuan Khusus Penulisan skripsi ini nantinya dapat diharapkan menjadi pedoman dalam penyelesaian masalah yang timbul di masyarakat khususnya untuk: 1). Mengetahui bagaimanakah langkah-langkah penegak hukum dalam menerapkan Pasal 480 KUHP pada tindak pidana penadahan. 2). Mengetahui apa-apa saja yang menjadi bahan pertimbangan hakim dalam proses peradilan guna menentukan pertanggung jawaban pidana bagi pelaku penadahan.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis 1. Mengembangkan
wawasan
dalam
penerapan
meningkatkan pengetahuan di bidang hukum pidana.
ilmu
hukum
serta
8
2. Penulisan
ini
diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
bagi
pengembangan hukum khususnya yang berhubungan dengan tindak pidana penadahan di Indonesia.
1.5.2. Manfaat Praktis 1. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penegak hukum dalam menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan tindak pidana penadahan. 2. Diharapkan dapat menjadi sumber bacaan bagi siapa saja yang ingin mengetahui mengenai tindak pidana penadahan.
1.6. Landasan Teori Tindak Pidana Penadahan yang dimaksud disini adalah tindak pidana sebagaimana Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam tindak pidana
penadahan ada dua kejadian kejahatan secara berturut-turut
dilakukan oleh dua orang berbeda. Misalnya ada kejahatan awal, dan ada kejahatan yang berhubungan dengan kejahatan awal misal ada pencurian barang. Pencurian sebagai kejahatan awal, dan hasil pencurian tersebut dijual kepada pihak lain. Bagaimana membuktikan bahwa telah terjadi tindak pidana Penadahan, yang meliputi pengertian Tindak Pidana Penadahan, unsur-unsur dari tindak pidana penadahan serta akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari tindak pidana Penadahan tersebut, dan kepada siapa saja Pasal 480 KUHP itu dapat diterapkan.
9
Tindak pidana Penadahan dapat terjadi karena penguasaan hasil kejahatan, hasil kejahatan ini yang di maksud adalah dapat berupa barang-barang. Menguasai dalam hal ini adalah memiliki karena membeli, menukar, menerima gadai, menyimpan barang-barang hasil dari kejahatan. Tindak pidana penadahan sebagaimana diatur dalam Pasal 480 KUIHP dapat disidik dan dipidana, untuk membuktikan bahwa barang yang dikuasainya tersebut berasal dari kejahatan, atau didahului oleh tindak pidana. Tidak perduli jenis kejahatan apa yang terkait dengan barang tersebut. Tindak Pidana yang mendahului tindak pidana penadahan dapat berupa tindak pidana Pencurian, penipuan, penggelapan dan
lain
sebagainya, dan jika hasil kejahatan/tindak pidana tersebut dipindah tangankan oleh pelaku, kepada orang lain dengan jalan menjualnya maka tindak pidana susulan dari tindak pidana sebelumnya adalah tindak pidana penadahan. Didalam membahas permasalahan di atas, maka penulis akan mendasarkan atas teori-teori. Untuk jelasnya akan dikemukakan beberapa pandangan para sarjana, tentang pengertian tindak Pidana dan tindak pidana penadahan. Sebagai mana dimaksud dalam Pasal 480 KUHP. Andi Hamzah : Penadahan termasuk delik pemudahan, karena dengan adanya penadah memudahkan orang melakukan kejahatan misalnya pencurian. Jika ada yang menadah tentu memudahkan orang mencuri, karena ada tempat penyaluran hasil curian. Lebih-lebih jika pencurian itu terorganisasikan, jika ada orang yang menadah hasil pencurian mobil, maka komplotan pencuri mobil mudah melakukan pencurian mobil. 3
3
Andi Hamzah. 2011. Delik – delik tertentu di dalam KUHP. Cetakan ke empat. Sinar Grafika. Jakarta . (selanjutnya disingkat Andi Hamzah I) hal. 133.
10
R. Soesilo : Elemen penting dari Pasal 480 KUHP adalah : “terdakwa harus mengetahui atau patut dapat menyangka bahwa barang itu hasil dari kejahatan .”4
Moeljatno : “Pasal 480 disebutkan bahwa untuk adanya penadahan, benda yang dibeli, disewa dan sebagainya, oleh terdakwa, harus diketahuai atau sepatutnya harus diduga ( redelijkerwijs moeten vermoeden ) bahwa asal dari kejahatan. Jadi disini, hal bahwa benda berasal dari kejahatan, bukan saja diisyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup juga ada kealpaan terhadapnya.”5 Skep/51/IX/1979 tanggal 2 Oktober 1979 disebutkan unsur-unsur penadahan yang dipersyaratkan antara lain : 1.
Pelaku atau orang yang melakukan perbuatan penadahan.
2.
Membeli, menyewa, menukarkan, menerima gadai, penerima sebagai hadiah atau menjual, menyewakan, menukar, menyimpan, atau menyembunyikan suatu benda atau barang.
3.
Untuk mendapatkan untung atau mengambil keuntungan.
4.
Sekongkol.6
Elemen penting dari perbuatan seperti tersebut diatas adalah seseorang yang membeli, menguasai, menyimpan barang tersebut harus mengetahui atau
4
R.Soesilo, 1986, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta komentar-komentarnya lengkap Pasal demi Pasal. Politea Bogor, hal. 315. 5
Moeljatno 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, cetakan ke delapan. Rineka Cipta. Jakarta. (selanjutnya disingkat Moeljatno I) hal 200. 6
Departemen Pertahanan Keamanan Markas Besar Kepolisian RI, 1979, Buku Saku Pengetahuan Dasar Bagi Anggota Polri di Lapangan, Jakarta, hal. 7.
11
patut dapat menyangka bahwa barang tersebut berasal dari kejahatan, seseorang tak harus tahu dengan pasti hasil dari kejahatan apa, tetapi sudah cukup jika ia patut menyangka bahwa barang itu barang gelap atau hasil kejahatan. Jika barang yang dikuasainya baik didapat dari membeli, menyewa, menerima gadai atau dengan usaha lainnya tidak pernah diduga sebagai hasil kejahatan, dan membelinya dengan harga normal sesuai dengan pasaran, dan tidak bermaksud untuk mencari keuntungan maka orang tersebut tidak dapat disangka sebagai penadah. Terjadinya tindak pidana Penadahan seperti yang di atur dalam Pasal 480 KUHP adalah karena akibat dari tindak pidana yang terjadi mendahului tindak pidana penadahan itu sendiri artinya sebelum terjadi tindak pidana penadahan tersebut terlebih dahulu terjadi tindak pidana lain tetapi antara tindak pidana yang terdahulu dengan tindak pidana penadahan tersebut masih ada kaitannya, misal terlebih dahulu terjadi tindak pidana pencurian, penipuan, penggelapan dan lain sebagainya, dan barang bukti hasil dari tindak pidana tersebut di alih tangankan kepada pihak ketiga (Orang lain) dengan status jual beli, dikuasakan, digadaikan atau yang lainnya maka tindak pidana yang muncul kemudian dan ada kaitannya dengan tindak pidana pertama adalah tindak pidana penadahan itu. Karena hubungan yang dibangun oleh para pihak dengan bertujuan untuk mencari untung dari tindak pidanan yang dilakukannya tersebut maka para pihak dapat dikatakan sebagai sekongkol. Atas perbuatan tersangka melakukan penadahan maka kepadanya dapat diancam dengan Pasal 480 KUHP. Namun tidak seluruh penguasaan barang hasil dari kejahatan dapat dituntut dengan Pasal 480 KUHP,
12
ada hal-hal pokok yang mengakibatkan seseorang lepas dari tuntutan atas tindakan penadahan, oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah pembuktian dalam membuktikan apakah seseorang tersebut dapat dikatakan sebagai penadah atau tidak. Pembuktian menurut pemahaman umum adalah menunjukkan ke hadapan tentang suatu keadaan yang bersesuaian dengan induk persoalan, atau dengan kata lain adalah mencari kesesuaian antara peristiwa induk dengan akarakar peristiwanya.7 Hukum pidana memiliki beberapa teori pembuktian, yaitu: a. Teori Pembuktian Positif. Menurut teori ini, bahwa bersalah atau tidaknya terdakwa tergantung sepenuhnya kepada sejumlah alat bukti yang telah ditetapkan oleh undangundang terlebih dahulu. Keyakinan hakim menurut teori ini harus dikesampingkan. Teori ini berkembang pada abad pertengahan, dan kini jarang diterapkan dalam praktek di pengadilan. 8 b. Teori Pembuktian Negatif. Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana, apabila sedikitdikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang ada, ditambah keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti itu. Bahwa terdakwa dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, apabila alat-alat bukti itu ada ditambah keyakinan hakim sendiri. KUHAP menganut teori ini. 9 c. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu. Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran, pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan bagaimanapun juga keyakinan hakim sendiri. Bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan 7
Hartono, 2010, Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
8
Darwan Prints, 1989, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta,
9
Ibid.
59
hal. 106
13
perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. System ini dianut oleh peradilan juri di Perancis. 10 d. Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie). 11
1.7. Metode Penelitian Istilah “metodelogi” berasal dari kata metode yang berarti “jalan ke”. Dengan demikian yang dimaksud dengan metodelogi adalah merupakan suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang sistematis atau suatu jalan untuk sampai pada apa yang dituju.12 Demikian pentingnya metode ini maka dalam penulisan ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1.7.1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis yaitu mengkaji suatu permasalahan yang muncul berdasarkan hukum yang berlaku, sedangkan penelitian empiris yaitu penelitian dengan aspek hukum dari hasil penelitian lapangan serta karena data-data yang dikumpulkan
10
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Andi Hamzah II) hal. 252 11
Ibid. hal. 253
12
Soerjono soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI-press, Jakarta, hal. 5
14
melalui wawancara dan observasi. 13 Penelitian yuridis empiris memecahkan masalah dengan menganalisa kenyataan praktis dalam praktik penerapan Pasal 480 KUHP yang kemudian dihubungkan dengan peraturan serta teori yang ada sehingga masalah dapat diselesaikan.
1.7.2. Sifat penelitian Berdasarkan keterangan diatas, maka sifat penelitian yuridis empiris yang digunakan adalah penelitian yang sifatnya deskriptif yang berupaya untuk menggambarkan secara lengkap mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifatsifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.14 Penelitian deskriptif pada penelitian secara umum termasuk pula di dalamnya penelitian ilmu hukum.
1.7.3. Sumber data Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari penelitian lapangan dan kepustakaan, dengan data utama yaitu data primer yang berasal dari penelitian lapangan, sedangkan hasil dari data kepustakaan adalah
13
Ronny Hanitijo Soemitro, 1983, Metode Penelitian hukum, cetakan I Ghalian Indonesia, Jakarta, hal. 25 14
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 25
15
sebagai data penunjang dalam kepustakaan ini. Adapun sumber data tersebut dapat diperoleh melalui 2 (dua) sumber data, yaitu: 1. Penelitian lapangan (field research) Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang diperoleh langsung dari sumber informan dan responden yang dijadikan sumber informasi yang berkaitan dengan penulisan dan pembahasan skripsi ini. 2. Penelitian kepustakaan (library research) Penelitian ini dilakukan dengan melakukan penelitian di perpustakaan dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum tertulis yaitu berupa, literatur-literatur tentang hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas, dan bahan yang diperoleh dari buku bacaan tentang ilmu hukum khususnya hukum pidana dan bacaan-bacaan serta membuat catatan dan kutipan para sarjana yang terkait dengan pembahasan skripsi ini.
1.7.4. Teknik pengumpulan data Dalam penelitian ini digunakan 2 (dua) teknik pengumpulan data yang dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu.
1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dilapangan melalui teknik wawancara (interview), pada teknik ini dilakukan tanpa mengajukan daftar pertanyaan (quisioner) tetapi sebelum wawancara dilakukan sudah membuat catatan-catatan pertanyaan untuk menjadi pegangan dalam
16
menyampaikan pertanyaan-pertanyaan.15 Teknik wawancara dilakukan kepada pihak-pihak yang telah memahami tentang perkara hukum pidana khususnya dalam tindak pidana penadahan 2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari membaca literatur-literatur, menganalisa ketentuan dalam literatur serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tanggung jawab dan pelaksanaannya.
1.7.5. Lokasi penentuan sampel penelitian Lokasi dalam penetuan sampel penelitian adalah di Polresta Denpasar serta Pengadilan Negeri Denpasar.
1.7.6. Teknik penentuan sampel penelitian Teknik yang digunakan dalam penentuan sampel penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah menentukan informan yang dianggap mengetahui tentang penelitian yang sedang dilakukan.
1.7.7. Teknik pengolahan dan analisis data Setelah data terkumpul, baik dari lapangan (data primer) maupun data sekunder, kemudian dilakukan analisis secara kualitatif. Dalam penelitian dengan teknik kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul akan diolah dan
15
Burhan Ashofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Cetakan IV, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 96
17
dianalisis. Proses analisis dilakukan dengan cara menyusun data secara sistematis untuk menemukan tema-tema dan merumuskan hipotesa-hipotesa.16 Digolongkan dalam pola dan tema, dikategorikan, dan diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan interpretasi dengan merujuk pada landasan teoritis, konsep, pandangan-pandangan sarjana relevan untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data.17
16
17
Ibid, hal. 66
Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodelogi Penelitian Hukum Empiris Murni Sebuah Alternatif, Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 92