1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Islam dianggap sebagai bagian penting dari ajaran agama dalam pandangan orang muslim, dan sebagai demikian hukum Islam merupakan ruang ekspresi pengalaman agama yang utama dan menjadi diterminan kontinyuitas dan identitas historis. Selaras dengan meningkatnya kesadaran untuk kembali kepada agama yang murni dan orisinal serta munculnya keinginan untuk menyelaraskan kehidupan kontemporer dengan ketentuan-ketentuan syari‟ah, hukum Islam di zaman modern mendapat banyak perhatian baik dari masyarakat pendukungnya sendiri maupun dari masyarakat lain yang menjadikannya sebagai objek studi. Hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia yang agaknya diterjemahkan secara harfiah dari term Islamic Law dari literature barat. Amir Syarifuddin memberikan penjelasan bahwa apabila kata hukum dihubungkan dengan Islam, maka hukum Islam berarti: seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah hukum yang berdasarkan wahyu Allah. Sehingga hukum Islam menurut ta’rif ini mencakup hukum syari’ah dan hukum fiqh, karena arti syara‟ dan fiqh terkandung di dalamnya.1
1
Abdul Halim Barkatullah, Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm 3
2
Khuntsa akar kata dari khonatsa yang artinya lemah atau pecah. Bentuk jamaknya dari wazan
fu’la. Ibnu Manzhur dalam kamus Lisan Al-Arab
mengatakan: “Khuntsa adalah orang yang memiliki sekaligus apa yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan”. Juga Ibnu Manzhur mengatakan: “Khuntsa adalah orang yang tidak murni (sempurna) sebagai laki-laki atau perempuan”. Berdasarkan pengertian ini maka khuntsa sama dengan banci, karena Mursal dalam kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan mengatakan: “banci yaitu orang yang mempunyai dua macam jenis kelamin hingga ia mempunyai sikap rangkap antara laki-laki dan perempuan secara jasmaniah dan rohaniah”.2 As-Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh as-Sunnah mengatakan: “khuntsa adalah orang yang diragukan dan tidak dapat diketahui secara pasti apakah ia seorang laki-laki atau seorang perempuan, karena ia sekaligus mempunyai alat kelamin laki-laki dan perempuan”.3 Sehubungan dengan kejadian manusia, Allah SWT. berfirman dalam surat al-Hajj ayat 5.
2 3
Mursal et al, Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan, (Bandung: Al Ma‟rif, 1977), hlm 55 Assayed Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: Al Ma‟arif, 1987), hlm 310
3
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur) maka ketahuilah bahwasanya kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna agar kami jelaskan kepada kamu, dan kami tetapkan (sesudah itu) dalam Rahim”. 4
Allah hanya menjadikan manusia terdiri dari dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan sebagaimana disebutkan dalam surat al-Hujarat ayat 13 yang berbunyi:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan dari seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”5
Masalah kebingungan kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala transeksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidak mampuan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin
4
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Depag RI, (Jakarta, 1985), hlm 300 Ibid, hlm 466
5
4
dengan kejiwaan ataupun adanya ketidak puasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (sex reassignment surgery). Dalam DSM (Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder)III, penyimpangan ini disebut juga sebagai gender dysporia syndrome. Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi beberapa subtype meliputi transeksual, aseksual, homoseksual, dan heteroseksual.6 Dalam Qs. ar-Ruum ayat 30 berbunyi:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”7 Dosa-dosa besar atau disebut Al-kabaair adalah dosa-dosa yang mengharuskan adanya Had didunia atau yang diancam oleh Allah Azza wa Jalla dengan neraka atau laknat Allah atau murka-Nya. Adapun yang disebut Had adalah hukuman secara fisik yang diberikan kepada pelaku dosa-dosa besar tertentu, dengan cara yang sama sesuai dengan cara atau akibat penganiayaanya.
6 7
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm 171 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op-Cit, hlm 367
5
Beberapa macam Al-kabaair yang dirangkum oleh imam Adz-Dzahabi Rahimullah beserta hukuman hadnya :
1.
Syirik, dosa besar yang tidak diampuni jika sebelum matinya tidak bertaubat
2.
Membunuh, hadnya berupa qishash dengan cara dibunuh, kecuali jika dimaafkan keluarga korban
3.
Sihir, pelakunya syirik, hadnya dengan dibunuh
4.
Tidak membayar zakat, (diperangi)
5.
Mendurhakai orang tua
6.
Zina, hadnya bagi pezina yang belum menikah dengan dicambuk 100 kali cambukan dan diasingkan selama setahun, dan bagi pezina yang sudah menikah dengan dirajam dengan batu sampai mati
7.
Homoseksual, hadnya dibunuh
8.
Riba
9.
Memakan harta anak yatim dengan cara yang zhalim
10. Berbuat dusta terhadap Allah dan Rasulullah SAW 11. Minum khamr (minuman keras), hadnya dicambuk 80 kali cambukan 12. Berjudi 13. Menuduh wanita mukminah berbuat zina, hadnya dicambuk 80 kali cambukan 14. Menyamun, hadnya dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya
6
15. Sumpah palsu 16. Berbuat aniaya 17. Bunuh diri 18. Menerima suap 19. Wanita yang menyerupai laki-laki dan sebaliknya 20. Dayyuts, yaitu lelaki yang membiarkan istrinya berbuat serong 21. Riya, (termasuk syirik kecil) 22. Menuntut ilmu untuk tujuan dunia dan menyembunyikan ilmu 23. Khianat 24. Mendustakan taqdir 25. Mengadu domba (Namimah) 26. Menyembelih hewan untuk selain Allah 27. Mengurangi timbangan dan ukuran 28. Terus-menerus meninggalkan shalat jum'at dan shalat jamaah tanpa halangan.8
Islam memandang usaha pengobatan atau penyembuhan jasmani merupakan alasan hukum dari haram menjadi jaiz, misalnya seorang dokter lakilaki yang harus memeriksa seorang pasien wanita yang bukan muhrimnya, yang hukum asalnya adalah haram berubah menjadi jaiz karena kondisi tertentu yaitu karena darurat. Yang menjadi kunci persoalannya adalah bahwa tujuan utama dari bentuk penentuan hukum adalah mencari kemaslahatan dan menolak mafsadah.
8
https://www.google.co.id/search?q=dosa-dosa+besar&hl=id&gws_rd=ssl. Diakses tanggal 5 januari 2015 jam 14.40 wib
7
Maka untuk menggapai berbagai penemuan baru dalam bidang kedokteran, seperti masalah penggantian kelamin bagi khuntsa, selama tidak ada perintah atau larangan yang jelas dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah, maka masalahnya dikembalikan pada hukum asalnya yakni mubah atau boleh-boleh saja dalam hal tertentu. Dalam kitab (nihayah) disebutkan bahwa operasi penggantian kelamin hukumnya akan berkisar antara wajib, sunnah, makruh, atau haram, bergantung pada kondisi yang melingkupinya, tujuan serta kemungkinan akibat yang akan dialami orang yang menjalaninya.9 Adapun hukum operasi kelamin dalam syari‟at Islam harus diperinci persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu:10 Pertama: masalah seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya yaitu penis bagi laki-laki dan vagina bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan diharamkan oleh syari‟at Islam untuk melakukan operasi kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang operasi perubahan atau penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis kelamin yang semula normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.11
9
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, (Bandung: Angkasa, 2005), hlm 201 Setiawan Budi Utomo, Op-Cit, hlm 172 11 Ibid, hlm 173 10
8
Para ulama‟ fiqih mendasarkan ketetapan hukum tersebut pada firman Allah dalam surat an-Nisa‟ ayat 119 yang berbunyi:
"Dan Aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata".12 Begitu pula orang yang terlibat langsung atau tidak langsung terhadap upaya penggantian kelamin, termasuk dosa besar berdasarkan Qaidah Fiqhiyah yang berbunyi:
Apa-apa yang memberinya”.
diharamkan
menerimanya,
diharamkan
pula
Maksud kaidah ini adalah seorang waria diharamkan menerima penggantian kelamin dari dokter, maka di haramkan pula bagi dokter untuk memberikan (membantu) waria itu dalam upaya tersebut.13
12 13
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op-Cit, hlm 89 Ahmad Jazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 97
9
Kedua: operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan bukan penggantian jenis kelamin, menurut para ulama, diperbolehkan secara hukum syariat. Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan mani, baik penis maupun vagina, maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan, bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit yang harus diobati. Dalam hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin boleh dilakukan berdasarkan prinsip “Mashalih Mursalah” karena kaidah fiqih menyatakan “ad-Dhararu Yuzal” (bahaya harus dihilangkan) yang menurut imam as-Syatibi menghindari dan menghilangkan bahaya termasuk suatu kemaslahatan yang dianjurkan syari‟at Islam.14 Ketiga: apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda yaitu penis dan juga vagina, maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk mematikan dan menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Peranan dokter dan para medis dalam operasi penggantian kelamin ini dalam status hukumnya sesuai dengan kondisi alat kelamin yang dioperasinya. Jika haram maka ia ikut berdosa karena termasuk bertolong-menolong dalam dosa dan apabila yang dioperasi kelaminnya adalah sesuai syari‟at Islam dan bahkan
14
Setiawan Budi Utomo, Op-Cit, hlm 174
10
dianjurkan, maka ia mendapat pahala dan terpuji karena termasuk anjuran bekerja sama dalam ketaqwaan dan kebajikan.15 Sesuai firman Allah surat al-Maidah ayat 2 yang berbunyi:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.16 Atas dasar latar belakang kasus diatas, maka dalam penyusunan skripsi ini penulis ingin melakukan penelitian dan mencoba memahami lebih lanjut mengenai : “ HUKUM OPERASI PENGGANTIAN KELAMIN BAGI KHUNTSA”. B. Penegasan Istilah 1. Hukum Islam Hukum Islam adalah peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan kitab suci al-Qur‟an dan Hadits.17 2. Kelamin
15
Ibid, hlm 174 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op-Cit, hlm 98 17 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm 411 16
11
Kelamin adalah alat pada tubuh manusia untuk mengadakan keturunan.18 3. Khuntsa Khuntsa adalah banci (bukan laki-laki, bukan perempuan).19
C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep operasi penggantian kelamin bagi khuntsa? 2. Apa alasan yang melatar belakangi seseorang melakukan operasi penggantian kelamin ? 3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik operasi penggantian kelamin ? D. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui konsep operasi penggantian kelamin bagi khuntsa. 2. Mengetahui alasan yang melatar belakangi seseorang melakukan operasi penggantian kelamin. 3. Mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap praktik operasi penggantian kelamin. E. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Agar menambah khasanah pengetahuan tentang fenomena-fenomena terkini di bidang hukum Islam atau fiqh aktual serta cara istinbath yang digunakan para
18 19
Ibid, hlm 529 Ibid, hlm 565
12
cendekiawan muslim, khususnya tinjauan hukum Islam terhadap penggantian kelamin bagi khuntsa. 2. Secara Praktis a. Dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi pembaca maupun penulis sendiri serta memberi masukan untuk penelitian selanjutnya. b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk umat Islam, khususnya khuntsa. Sebagai bahan rujukan dalam permasalahan hukum Islam kontemporer dalam hal ini permasalahan hukum penggantian kelamin bagi khuntsa. 3. Secara Akademis Agar dapat digunakan sebagai referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan syari‟at Islam serta melengkapi kepustakaan Perguruan Tinggi UNISNU Jepara. F. Kajian Pustaka Kajian pustaka menyajikan tentang studi-studi terdahulu dalam konteks fenomena dan masalah yang sama atau serupa.20 Untuk menghindari perbauran hasil temuan yang membahas permasalahan yang sama dari seseorang baik dalam bentuk buku-buku, kitab dan dalam bentuk tulisan lainnya. Maka penulis perlu meninjau secara kritis data, analisis, faktor-faktor yang perlu diperhatikan, kekuatan dan kelemahan logika yang ada, serta persetujuan atau ketidaksetujuan diantara peneliti-peneliti sebelumnya.21 Sehingga diharapkan akan muncul
20
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm 212 21 Ibid, hlm 213
13
penemuan baru. Proposal ini ditulis dengan merujuk dari beberapa buku. Dan diantaranya sebagai berikut: 1.
Skripsi dari saudara Zakky Zamroni Zain yang berjudul “Hukum Tentang Penggantian Dan Penyempurnaan Alat Kelamin” angkatan tahun 2012. Skripsi ini berisi istinbath hukmi yang dikeluarkan oleh MUI dalam MUNAS VIII tentang penetapan hukum penggantian dan penyempurnaan alat kelamin serta konsekuensinya bagi pelaku.
2.
Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA dalam Buku “Masail Fiqhiyah”. Buku ini merupakan kumpulan bahtsul masail yang mana terdapat penjelasan tentang perubahan jenis kelamin dan beberapa faktor mengenai sebab-sebab orang melakukan praktik operasi kelamin
3.
DR. Setiawan Budi Utomo dalam Buku “Fiqih Aktual”. Berisi tentang jawaban tuntas masalah kontemporer, yang memberi solusi atas problem keseharian kita, baik menyangkut kesehatan, kedokteran, ibadah sosial juga politik.
4.
Lembaga Ta‟lif Wan Nasyr (LTN NU) Jawa Timur dalam Buku “Ahkamul Fuqoha”. Dalam buku ini berisi kumpulan hasil keputusan MUKTAMAR, MUNAS dan KONBES Nahdlatul Ulama‟,
diantaranya adalah tentang
hukum operasi penggantian dan penyempurnaan alat kelamin beserta konsekuensinya. Dalam buku-buku diatas membahas konsep tentang hukum transeksual dan jenis dari pengoperasian tersebut, faktor pendorong terjadinya operasi kelamin dan dijelaskan pula tentang dasar-dasar hukum yang digunakan.
14
Studi dan penelitian pustaka ini berbeda dengan penelitian atau studi literatur sebelumnya. Pada studi analisis ini akan memfokuskan pada analisis istinbath al-hukmi yang di lakukan MUI. Dengan objek penelitian adalah penetapan hukum operasi kelamin bagi khuntsa. Perbedaan ini didasarkan juga pada kondisi terkini tentang banyaknya kasus penyempurnaan dan pergantian kelamin yang terjadi di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian karya ilmiah ini adalah bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data Library Research. Menurut Bagda dan Taylor (sebagaimana dikutip oleh Lexy J. Moloeng), metode kualitatif adalah presedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.22 Sedangkan Library Research yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatancatatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan23. 2. Teknik Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan Library Research yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap 22
Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. 30, hlm 4 23 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Pers, 1990), hlm 133.
15
buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Sumber data ini terdiri dari dua macam : a. Sumber Primer Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari.24 Dalam hal ini data penulis peroleh dari hasil keputusan Muktamar NU ke-26 yang diselenggarakan di Semarang pada tanggal 5-11 Juni 1979. b. Sumber Sekunder Yang dimaksud dengan sumber sekunder adalah data yang diperoleh dari buku literature yang ada kaitannya dengan pokok bahasan ini sebagai bahan pustaka.25 Dengan kata lain data ini digunakan untuk menyusun landasan teori sebagai dasar berpijak dalam menyusun penelitian. Pentingnya sumber sekunder dalam penelitian ini untuk menganalisis lebih mendalam tentang penetapan hukum terhadap penggantian kelamin bagi khuntsa. 3. Teknik Analisis Data Dalam menganalisis data yang telah terkumpul, penulis menggunakan alur pemikiran: Metode Induktif
24 25
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm 91 Rosady Ruslan, Metode Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hlm 30
16
Yaitu metode yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwaperistiwa konkret, kemudian dari fakta-fakta dan peristiwa yang konkret tersebut ditarik dalam generalisasi yang bersifat umum.26 H. Sistematika Penulisan Skripsi 1) Bagian Awal. Bagian ini terdiri dari : halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman moto, halaman persembahan, halaman kata pengantar, daftar isi, dan abstraksi penelitian. 2) Bagian Isi. Dalam bagian ini memuat beberapa bab-bab antara lain: BAB I
Pendahuluan, terdiri dari : Latar Belakang, Penegasan Istilah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kajian Pustaka, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan Skripsi.
BAB II
Tinjauan Teoritis Tentang Operasi Penggantian Kelamin Bagi Khuntsa Bab ini menjelaskan tentang objek penelitian operasi penggantian kelamin, faktor yang mempengaruhi operasi, hukum penggantian dan penyempurnaan alat kelamin, pendapat Majelis Ulama Indonesia serta akibat hukumnya bagi pelaku.
26
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta: Bumi aksara, 2003), hlm 33.
17
BAB III
Kajian Istinbath al-Hukmi Tentang Operasi Penggantian Kelamin Bab ini menjelaskan tentang fatwa Munas Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang penggantian dan penyempurnaan alat kelamin dan istinbath al-hukmi yang digunakan MUI dalam menfatwakan hukum operasi penggantian alat kelamin.
BAB IV
Analisis Tentang Operasi Penggantian Kelamin Bab ini menjelaskan hasil penelitian tentang penetapan hukum penggantian alat kelamin, yang mencakup beberapa hal, analisa fatwa MUI, analisa istinbath al-hukmi yang digunakan MUI dalam menfatwakan hukum operasi penggantian alat kelamin dan analisa hukum bagi pelaku.
BAB V
Penutup Bab ini menjelaskan tentang simpulan dari permasalahan yang ada dalam penelitian dan saran-saran.
3) Bagian Akhir terdiri dari, daftar pustaka, daftar riwayat peneliti dan lampiranlampiran.
18
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG OPERASI PENGGANTIAN KELAMIN BAGI KHUNTSA A. OPERASI PENGGANTIAN DAN PENYEMPURNAAN ALAT KELAMIN 1. Pengertian Khuntsa Khuntsa akar kata dari khonatsa yang artinya lemah atau pecah. AsSayyid Sabiq dalam kitab Fiqh as-Sunnah mengatakan: “khuntsa adalah orang yang tidak dapat diketahui secara pasti apakah ia seorang laki-laki atau seorang perempuan, karena ia sekaligus mempunyai alat kelamin laki-laki dan perempuan”.27 Para fuqaha membagi khuntsa menjadi dua macam yaitu khuntsa musykil dan khuntsa ghoiru musykil. Khuntsa Musykil yaitu manusia yang
27
Assayed Sabiq, Op-Cit, hlm 310
19
dalam bentuk tubuhnya ada keganjilan, tidak dapat diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan, karena tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kelakiannya atau samar-samar tanda itu dan tidak dapat ditarjihkan, sedangkan Khuntsa Ghoiru Musykil adalah khuntsa yang jelas dapat dihukumkan sebagai laki-laki atau perempuan karena jenis kelamin, sifat-sifat dan tingkah lakunya.28 Untuk menetapkan khuntsa itu apakah dia dihukumi sebagai laki-laki atau perempuan, para fuqaha telah sepakat bahwa penentuannya harus ditinjau
secara
biologikal
(jasmaniyah)
bukan
secara
psikologikal
(rohaniyah). Apabila tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan karena tidak nampaknya atau tampak namun bertentangan maka dia tergolong pada khuntsa musykil. Termasuk juga seorang khuntsa yang tidak punya jenis kelamin sama sekali.29 Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, kuntsa musykil dapat diketahui kriterianya, yaitu dapat diperiksa dengan ilmu dan peralatan kedokteran, apakah mereka memiliki sperma atau ovum. Jika mereka sudah jelas dan pasti termasuk golongan mana, maka hak dan kewajiban mereka sama dengan muslim atau muslimah.30 2. Pengertian Alat Kelamin Sesungguhnya Allah menciptakan manusia secara berpasangpasangan yakni laki-laki dan perempuan, keduanya memiliki perbedaan yang mendasar dari sisi biologisnya yaitu alat kelamin.
28
Huzaimah Tahido Yanggo, Op-Cit, hlm 200 Muslich Maruzi, Pokok Pokok Ilmu Waris, (Semarang: Mujahidin, 1981), hlm 85 30 Huzaimah Tahido Yanggo, Op-Cit, hlm 200 29
20
Alat kelamin adalah semua bagian anatomis tubuh makhluk hidup yang terlibat dalam reproduksi seksual dan menjadi bagian dari sistem reproduksi pada suatu organism kompleks.31 Dalam al-Qur‟an dijelaskan:
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”. (QS. Al-Hujurat: 13) 32
Kalau diperhatikan dari nash tersebut diatas, ada dua jenis manusia yakni laki-laki dan perempuan, keduanya adalah manusia yang memiliki alat kelamin normal yaitu penis bagi laki-laki dan vagina bagi perempuan. B. Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Operasi Alat Kelamin Makhluk-makhluk yang diciptakan Allah terbentuk sebagai makhluk yang telah terprogram secara total oleh Allah tanpa diberikan kemampuan untuk
31
http://id.wikipedia.org/wiki/Alat_kelamin, Diunduh tanggal 16 Desember 2014 Jam
14.27 wib
32
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op-Cit, hlm 466
21
melakukan pilihan, dan puas menjadi makhluk yang berjalan diatas koridor yang telah dibentangkan oleh Allah baginya. Beban berat manusia timbul dari sikap organsinya karena memiliki kemampuan lebih dari makhluk Allah yang lain. Kelebihan manusia itu tertletak pada potensi akalnya yang memberinya kemampuan untuk menentukan pilihan terhadap alternatif-alternatif yang tersedia di hadapannya. Manusia telah menzalimi dirinya ketika ia memilih untuk memegang kendali pilihan bebas dirinya saat menghadapi godaan syahwat atau saat menghadapi kehendak manhaj Allah. Sementara makhluk-makhluk yang menundukkan dirinya kepada pilihan Allah, tidak menghadapi masalah seperti ini.33 Hadits Nabi SAW. yang menyatakan bahwa laki-laki berperilaku dan berpenampilan seperti wanita (dengan sengaja), demikian juga sebaliknya, hukumnya adalah haram dan dilarang agama.34 Hadits menegaskan:
: (
, ).
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi SAW. melaknat laki-laki yang berpenampilan perempuan dan perempuan yang berpenampilan lakilaki.”(HR. Bukhari). Operasi kelamin adalah sebuah tindakan medis yang dilakukan untuk memperbaiki atau mengganti alat kelamin. Masalah kebingungan kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala transeksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidak mampuan seseorang karena merasa tidak adanya
33 34
Mutawalli Asy-Sya‟rawi, Dosa-Dosa Besar, (Jakarta: Gema Insani, 2000), hlm 10 Ma‟ruf Amin dkk, Himpunan Fatwa MUI tahun 1980, (Jakarta: Depag, 2003), hlm 234
22
kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya.35 Ciri-ciri orang yang mengidap gejala gangguan identitas jenis (gender identy disorter) antara lain: a. Perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya b. Berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain c. Mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua tahun dan bukan hanya ketika datang stress d. Adanya penampilan fisik interseks atau genetik yang tidak normal e. Ditemukannya kelainan mental.36 Transeksual dapat dikibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan diantaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri. Perlu dibedakan penyebab transeksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus transeksual karena keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak memiliki kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya untuk
35
Setiawan Budi Utomo, Op-Cit, hlm 171 Zakky Zamroni Zain, Hukum Tentang Penggantian dan Penyempurnaan Alat Kelamin, (Jepara: Unisnu Jepara, 2012) 36
23
memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah sesuatu yang menyimpang dan tidak dibenarkan menurut syariat Islam.37 Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu: 1) Operasi penggantian kelamin, yang dilakukan seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya yaitu penis bagi laki-laki dan vagina bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium. 2) Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan bukan penggantian jenis kelamin. 3) Operasi untuk mematikan dan menghilangkan salah satu alat kelaminnya, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua alat kelamin.38 C. Hukum Penggantian Dan Penyempurnaan Alat Kelamin Adapun hukum operasi kelamin dalam syari‟at Islam harus diperinci persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu: 1. Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal. Masalah seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya yaitu penis bagi laki-laki dan vagina bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan
37 38
Ibid Setiawan Budi Utomo, Op-Cit, hlm 174
24
diharamkan oleh syari‟at Islam untuk melakukan operasi kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang operasi perubahan atau penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis kelamin yang semula normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.39 Para ulama fiqih mendasarkan ketetapan hukum tersebut berdasar pada firman Allah SWT. dalam surat an-Nisa‟ ayat 119.
"Dan Aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata".40 Dalam kitab tafsir al-Qurtubi dijelaskan beberapa perbuatan manusia yang diharamkan karena termasuk mengubah ciptaan Allah, seperti 39 40
Ibid Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op-Cit, hlm 89
25
mengebiri manusia, homoseksual, lesbian, menyambung rambut dengan sopak, membuat tato, mencukur alis dan takhannus, orang pria yang bertingkah laku seperti wanita dan sebaliknya.41 Juga dalam potongan surat at-Tin ayat 4, dijelaskan:
“... Sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya... “42 Guna menghindari hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin boleh dilakukan berdasarkan prinsip “Mashalih Mursalah” karena kaidah fiqih menyatakan “Ad-Dhararu Yuzal” bahaya harus dihilangkan yang menurut imam asy-Syatibi menghindari dan menghilangkan bahaya termasuk suatu kemaslahatan yang dianjurkan syari‟at Islam.43 2. Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin. Operasi kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna yang tujuannya bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan bukan penggantian jenis kelamin, menurut para ulama diperbolehkan secara hukum syari‟at. Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan mani, baik penis maupun
vagina,
maka
operasi
untuk
memperbaiki
atau
menyempurnakannya dibolehkan, bahkan dianjurkan sehingga menjadi 41
Imam Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Juz 3, (Beirut: Dar al-ilm, 1963), hlm 251 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op-Cit, hlm 597 43 Setiawan Budi Utomo, Op- Cit, hlm 174 42
26
kelamin yang normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit yang harus diobati.44 Para ulama‟ seperti Hasanain Muhammad Makhluf (tokoh ulama mesir) dalam bukunya Sofwatul Bayan (1987:131) memberikan argumentasi hal tersebut bahwa orang yang lahir dengan alat kelamin tidak normal bisa mengalami kelainan psikis dan sosial, sehingga dapat tersisih dan mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat normal serta kadang mencari jalannya sendiri, seperti melacurkan diri menjadi waria atau melakukan homo seksual dan lesbianisme. Semua perbuatan ini dikutuk oleh Islam.45 3. Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda yaitu penis dan juga vagina, maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk mematikan dan menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnya, jika seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam tubuh dan kelaminnya memiliki rahim dam ovarium yang menjadi ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh mengoperasi penisnya untuk memfungsikan vaginanya dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita. Hal ini dianjurkan syari‟at karena keberadaan penis (dzakar) yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi hukum agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah 44 45
Ibid Zakky Zamroni Zain, Op-Cit
27
dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan sosialnya.46 Untuk menghilangkan madharat (bahaya) dan mafsadat (kerusakan) tersebut, menurut Makhluf Syalthut syariat Islam membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk membuang penis yang berlawanan dengan dalam alat kelaminnya. Oleh sebab itu, operasi kelamin yang dilakukan dalam hal ini harus sejalan dengan bagian dalam alat kelaminnya. Apabila seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalamnya ada rahim dan ovarium, maka ia tidak boleh menutup lubang vaginanya untuk memfungsikan penisnya. Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam kelaminnya sesuai dengan fungsi penis, maka ia boleh mengoperasi dan menutup lubang vaginanya sehingga penisnya berfungsi sempurna dan identitasnya sebagai laki-laki menjadi jelas.47 D. Pendapat Majelis Ulama Indonesia Dan Akibat Hukumnya Bagi Pelaku Berdasarkan pada hasil keputusan Fatwa MUI dalam MUNAS II MUI yang dilangsungkan pada tanggal 1 juni 1980 di Jakarta tentang operasi perubahan/penyempurnaan kelamin: 1. Merubah jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya hukumnya haram, karena bertentangan dengan al-Qur‟an surat an-Nisa‟ ayat 19 dan bertentangan pula dengan jiwa syara‟. Ayat al-Qur‟an dimaksud adalah: 46 47
Setiawan Budi Utomo, Op-Cit, hlm 174 Ibid, hlm 175
28
“... Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. 2. Orang yang kelaminnya diganti kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum dirubah. 3. Seseorang khusus (banci) yang kelaki-lakiannya lebih jelas boleh disempurnakan kelaki-lakiannya. Demikian pula sebaliknya dan hukumnya menjadi positif.48 Adapun konsekuensi mengenai penggantian kelamin adalah sebagaimana yang telah ditetapkan dalam fatwa MUI dalam Munas VIII apabila ada penggantian kelamin dilakukan seseorang dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah), maka hukumnya haram dan identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak berubah dari segi hukum. Jadi dalam menjalankan rukun Islam maupun muamalah ia tidaklah mengikuti status setelah ia melakukan operasi, melainkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam sesuai dengan status semula yaitu sebagaimana sebelum ia melakukan operasi penggantian alat kelamin. Mahmud Syaltut menambahkan, dari segi waris seorang wanita yang melakukan operasi penggantian kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian warisan seperti pria (dua kali bagian wanita). Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seseorang yang mengalami kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau takmil dan sesuai dengan hukum akan membuat identitas dan status hukum 48
Ma‟ruf Amin dkk, Op-Cit, hlm 335
29
orang tersebut menjadi jelas. Sehingga ketika seorang telah melakukan operasi penyempurnaan alat kelamin, maka ia harus menjalankan ibadah maupun muamalahnya sesuai dengan status hukum terbarunya.49
BAB III KAJIAN ISTINBATH AL-HUKMI TENTANG OPERASI PENGGANTIAN KELAMIN A. Fatwa MUNAS Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tentang Penggantian Alat Kelamin 1. Sekilas Tentang Sejarah Berdirinya MUI Majelis Ulama Indonesia adalah wadah yang menghimpun dan mempersatukan pendapat dan pemikiran Ulama Indonesia yang tidak bersifat operasional tetapi koordinatif. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 17 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M. di Jakarta.50 Majelis ini bertujuan mengamalkan ajaran Islam untuk ikut serta mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil, makmur
49 50
Zakky Zamroni Zain, Op-Cit Ensiklopedi Islam jilid 3, (Jakarta: PT Ichtiyar Baru Van Hoeve, 1997), hlm122
30
serta rohaniyah dan jasmaniyahnya diridlai Allah SWT dalam wadah negara kesatuan republik Indonesia yang berdasarkan pancasila. Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan
hasil dari
pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu‟ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. al-Washliyah, Math‟laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al-Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari
musyawarah
tersebut,
dihasilkan
adalah
sebuah
kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “PIAGAM BERDIRINYA MUI”, yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 21-27 juli 1975.51 Berdirinya MUI dilatar belakangi oleh dua faktor yakni (1) wadah ini telah lama menjadi hasrat umat Islam dan pemerintah, mengingat sepanjang sejarah bangsa Indonesia Ulama memperlihatkan pengaruhnya yang sangat kuat, nasihat-nasihat mereka dicari umat, sehingga program pemerintah khususnya menyangkut keagamaan akan
51
Ibid, hlm 122
31
berjalan baik bila mendapat dukungan Ulama atau minimal tidak dihalangi oleh para Ulama, dan (2) peran Ulama sangat penting.52 Majelis Ulama Indonesia mempunyai fungsi yang sangat strategis dan relevan dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Fungsi-fungsi tersebut meliputi: 1. Memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya, sebagai amar ma’ruf nahi mungkar. 2. Memperkuat ukhuwah (kerukunan) Islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antar umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. 3. Mewakili umat Islam dalam konsultasi antarumat beragama. 4. Menjadi
penghubung
antara
Ulama
dan
Umara
(pejabat
pemerintahan), serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat beragama guna menyukseskan pembangunan nasional. Majelis Ulama Indonesia bersifat koordinatif, konsultatif, informatif, dan pengayom, tidak berafiliasi pada salah satu golongan politik.53 2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam MUNAS VIII di Jakarta Tentang Penetapan Hukum Penggantian Alat Kelamin a. Pengertian Fatwa
52 53
Ibid Ibid, hlm 123
32
Fatwa adalah pendapat ulama tentang suatu masalah tertentu, yang prosedurnya diawali dengan pertanyaan. Di Indonesia fatwa bersifat kelompok umumnya lahir dari organisasi-organisasi keagamaan, seperti Majelis Tarjih oleh Muhammadiyyah, Bahtsul Masail dalam NU, dan Majelis Fatwa dalam MUI.54 Sedangkan fatwa menurut arti syari‟at ialah suatu penjelasan hukum syari‟ah dalam menjawab suatu perkara yang diajukan oleh seseorang yang
bertanya, baik penjelasan itu jelas atau tidak jelas
(ragu-ragu) dan penjelasan itu mengarah pada dua kepentingan yakni kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat banyak.55 Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang juga merujuk pada profesi memberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti. Peminta
fatwa bisa berupa perorangan,
lembaga ataupun siapa saja yang membutuhkannya.56 Pada
hakikatnya
fatwa
keagamaan
merupakan
hasil
keputusan para ahli agama Islam dalam memberikan, mengeluarkan, dan mengambil keputusan hukum secara bertanggung jawab dan konsisten. Fatwa memberikan kejelasan, kekonkretan terhadap umat Islam dalam hal pemahaman, penalaran ajaran-ajaran Islam dan
54
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: ACAde MIA, 2010), hlm
52 55
Rohadi Abdul Fatah, Analisa Fatwa Keagamaan Dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm 7 56 Ensiklopedi Islam jilid 2, (Jakarta: PT Ichtiyar Baru Van Hoeve, 1997), hlm 6
33
bagaimana aplikasinya, sehingga fatwa itu seharusnya mengandung beberapa unsur pokok yang meliputi: 1. Fatwa sebagai bentuk pengambilan keputusan hukum syari‟at yang sedang di perselisihkan, 2. Fatwa sebagai jalan keluar dari kemelut perbedaan pendapat diantara para ulama, 3. Fatwa harus mempunyai konotasi kuat, baik dari segi sosial keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Sebab ada ulama yang mengatakan bahwa berubahnya fatwa sering terjadi karena bertumbuh dan berubahnya situasi, kondisi, tempat, dan istiadat, 4. Fatwa hendaknya mengarahkan pada perdamaian umat untuk menuju ummat wahidah
).57
Karena fatwa mempunyai kedudukan penting dalam agama Islam, maka dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan kebekuan dalam perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa terlepas dari dalil-dalil keagamaan, menghadapi persoalan serius ketika berhadapan dengan permasalahan yang semakin berkembang. Namun demikian tidak sembarang orang bisa mengeluarkan fatwa. Pemberi fatwa harus memenuhi syarat antara lain pemahaman yang mendalam tentang al-Qur'an dan as-Sunnah, menguasai kaidah bahasa arab serta menguasai berbagai masalah. 57
Rohadi Abdul Fatah, Op-cit, hlm 27
34
Dasar-dasar umum penetapan fatwa tertuang dalam bab 2 pasal 2, terdiri atas tiga ayat sebagai berikut: a) Setiap fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat. b) Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul, sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas yang mu’tabar, dan dalildalil hukum yang lain seperti istihsan, masalih mursalah dan saddu az-zari’ah. c) Sebelum pengambilan fatwa hendaklah ditinjau pendapatpendapat para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat serta pandangan penasehat ahli yang dihadirkan.58 Para ulama senantiasa berdiri tegak sesuai dengan fungsi dan proporsinya. Mereka mampu mengembangkan ajaran-ajaran Islam lengkap dengan cara pengambilan keputusan terhadap masalah keagamaan dengan menggunakan metode penelitian yang mendalam disertai ijtihad yang sungguh-sungguh.
58
14
Ma‟ruf Amin dkk, Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm
35
Lembaga fatwa di Indonesia yang mengemukakan (dikenal banyak orang) adalah Komisi Fatwa MUI, Bahtsul Masail al-Diniyah NU, dan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Sebenarnya masih ada lembaga fatwa lain yang belum terisolasi dengan baik seperti lembaga fatwa dibawah Hizbuttahrir Indonesia dan Dewan Hisbah Persis dan sebagainya. b. Fatwa MUNAS Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tentang Penggantian Alat Kelamin Fatwa merupakan hasil pencurahan segala kemampuan ilmu secara optimal melalui ijtihad, maka peran fatwa itu penting sekali dalam penerapan syari‟at Islam. Dengan demikian, fatwa itu tidak logis apabila dihasilkan oleh penelitian dan penyelidikan sepintas tentang hukum, bertentangan dengan dasar pokok hukum Islam, alQur‟an, Sunnah, serta bukan memfatwakan hal-hal yang sudah jelas hukumnya dalam al-Qur‟an dan Sunnah Rasul yang sahih.59 Kemajuan dalam bidang iptek dan tuntutan pembangunan yang telah menyentuh seluruh aspek kehidupan, disamping membawa berbagai kemudahan dan kebahagiaan, menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan-persoalan baru. Cukup banyak persoalan yang beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal, bahkan tidak pernah terbayangkan, kini hal itu menjadi kenyataan.
59
Rohadi Abdul Fatah, Op-Cit, hlm 150
36
Telah menjadi kesadaran bersama bahwa membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan tidak dapat dibenarkan, baik secara i’tiqadi maupun secara syar’i. Oleh karena itu, para Alim Ulama dituntut untuk segera memberikan jawaban dan berupaya menghilangkan penantian umat akan kepastian ajaran Islam berkenaan dengan persoalan yang mereka hadapi, demikian juga, segala hal yang dapat menghambat proses pemberian jawaban (fatwa) sudah seharusnya segera dapat diatasi.60 Hal tersebut sejalan dengan firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah ayat 159, yang berbunyi:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang kami turunkan, diantara beberapa keterangan dan petunjuk, setelah kami terangkan kepada manusia dalam kitab, niscaya mereka itu dikutuki Allah dan dikutuki oleh orang-orang yang mengutukinya”.61
60 61
Ma‟ruf Amin, dkk, Op-Cit, hlm 935 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op-Cit, hlm 23
37
Majelis
Ulama
Indonesia,
yang
merupakan
wadah
musyawarah para Ulama, zu‟ama, dan cendikiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim Indonesia adalah lembaga paling berkompeten dalam menjawab dan memecahkan setiap masalah sosial keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat. MUI juga telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat maupun dari pemerintah. Sejalan dengan hal tersebut, sudah sewajarnya bila MUI, sesuai dengan amanat MUNAS VI tahun 2000, senantiasa berupaya untuk meningkatkan kualitas peran dan kinerjanya, terutama dalam memberikan solusi dan jawaban keagamaan terhadap setiap permasalahan yang dapat memenuhi harapan masyarakat yang semakin kritis dan tinggi kesadaran keberagamaannya.62 Salah satu permasalahan yang timbul yang menjadi polemik dalam kehidupan modern saat ini sangatlah bermacam-macam, antara lain masalah operasi penggantian alat kelamin, bahwa ditengah masyarakat saat ini muncul praktik penggantian alat kelamin dari jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya, yang kemudian status jenis kelamin tersebut disahkan pengadilan, selain itu juga muncul praktik penyempurnaan alat kelamin kepada seseorang yang memiliki kelainan, misalnya seorang khuntsa yang fungsi alat kelamin laki-lakinya lebih dominan atau 62
Ma‟ruf Amin, dkk, Op-Cit, hlm 4
38
sebaliknya, dan atas pertimbangan medis, dilakukan operasi guna menyempurnakan alat kelamin tersebut. Oleh sebab itu MUI dituntut untuk memberikan solusi atas problem yang saat ini sedang dalam perhatian masyarakat secara serius.63 Berkaitan dengan masalah tersebut, MUI mengeluarkan fatwa tentang penggantian dan penyempurnaan jenis kelamin dalam MUNAS VIII MUI yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 13 Sya‟ban 1431 H /27 Juli 2010 M. Demikian hasil keputusannya. Penggantian alat kelamin 1. Mengubah alat kelamin dari laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya yang dilakukan dengan sengaja, misalnya dengan operasi ganti kelamin, hukumnya haram. 2. Membantu melakukan ganti kelamin sebagaimana poin 1 hukumnya haram. 3. Penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi penggantian alat kelamin sebagaimana poin 1 tidak dibolehkan dan tidak memiliki implikasi hukum syar’i terkait penggantian tersebut. 4. Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi ganti kelamin sebagaimana poin 1 adalah sama dengan jenis kelamin semula seperti sebelum dilakukan operasi ganti kelamin, meski telah memperoleh penetapan pengadilan. 63
Ibid, hlm 567
39
Penyempurnaan alat kelamin 1. Menyempurnakan alat kelamin bagi seorang khuntsa yang fungsi alat kelamin laki-lakinya lebih dominan atau sebaliknya, melalui operasi penyempurnaan alat kelamin hukumnya boleh. 2. Membantu
melakukan
penyempurnaan
alat
kelamin
sebagaimana dimaksud pada poin 1 hukumnya boleh. 3. Pelaksanaan operasi penyempurnaan alat kelamin sebagaimana dimaksud pada poin 1 harus didasarkan atas pertimbangan medis, bukan hanya pertimbangan psikis semata. 4. Penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi penyempurnaan alat kelamin sebagaimana dimaksud pada poin 1 dibolehkan, sehingga memiliki implikasi hukum syar’i terkait penyempurnaan tersebut. 5. Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi penyempurnaan alat kelamin sebagaimana dimaksud pada poin 1 adalah sesuai dengan jenis kelamin setelah penyempurnaan sekalipun belum memperoleh penetapan peengadilan terkait perubahan status tersebut.64 Jadi dalam fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tentang penggantian alat kelamin dapat kita ketahui bahwa: 1. Operasi alat kelamin dengan tujuan untuk merubah ciptaan Allah, tanpa ada sebab-sebab yang memperbolehkannya operasi, maka
64
Ma‟ruf Amin dkk, Op-Cit, hlm 571
40
secara tegas MUI mengharamkan, baik pelakunya, maupun orang yang membantu dalam proses terlaksananya operasi tersebut. 2. Sedangkan operasi dengan tujuan menyempurnakan alat kelamin, seperti orang yang memiliki kelainan kelamin atau memiliki kelamin ganda maka hukumnya diperbolehkan. B. Istinbath al-Hukmi Yang Digunakan MUI Dalam Menfatwakan Hukum Penggantian Alat Kelamin Pada MUNAS VIII Al-Qur‟an dan as-Sunnah melengkapi sebagian dari hukum-hukum Islam dalam bidang fiqih, Kemudian para sahabat dan tabi‟in menambahkan atas hukum-hukum itu. Beberapa hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di masyarakat. Karenanya dapatlah dikatakan bahwa syari’at (hukum Islam) adalah hukum-hukum yang bersifat umum yang diterapkan dalam perkembangan hukum Islam menurut situasi dan kondisi masyarakat dan massa.65 Hukum-hukum yang dijelaskan oleh al-Qur‟an dan Sunnah tidak mengandung penjelasan dan pemaparan yang rinci sehingga dalam mengatasi permasalahan yang ada dalam kehidupan yang semakin berkembang seperti saat ini diperlukan fatwa-fatwa yang bisa dijadikan pedoman bagi seluruh umat manusia agar tetap berjalan sesuai syari‟at agama Islam, untuk itu Majelis Ulama Indonesia yang berperan sebagai wadah musyawarah bagi para ulama‟ dan zuama‟ mempunyai tanggung jawab untuk memecahkan berbagai masalah yang timbul dalam 65
29
Hasby as-Shidiqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm
41
perkembangan masyarakat seperti saat ini. Oleh karena itu Majelis Ulama Indonesia perlu melakukan istinbath hukum untuk memecahkan permasalahan-permasalahan tersebut. Secara bahasa kata istinbath berasal dari kata istanbathayastanbithu-istinbathan yang berarti menciptakan, mengeluarkan, atau menarik kesimpulan. Dengan demikian istinbath hukum adalah suatu cara yang dikeluarkan atau dilakukan oleh pakar hukum (faqih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum yang dijadikan dasar dalam mengeluarkan suatu produk hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang terjadi. Istinbath hukum juga sering diartikan secara kurang tepat, dimana ia diartikan sebagai dalil hukum. Padahal keduanya memiliki arti yang berbeda. Menurut ahli ushul fiqh dalil adalah merupakan sesuatu yang menunjukkan pada pandangan yang benar terhadap hukum yang syar’iyah yang bersifat praktis melalui jalan qoth’i atau dzanni. Tujuan istinbath hukum adalah menetapkan hukum setiap perbuatan atau perkataan mukallaf dengan meletakkan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan. Melalui kaidah-kaidah itu kita dapat memahami hukum-hukum syara‟ yang ditunjuk oleh nash, mengetahui sumber hukum yang kuat apabila terjadi pertentangan antara dua buah sumber hukum dan mengetahui perbedaan pendapat para ahli fiqih dalam menentukan hukum suatu kasus tertentu. Jika seorang ahli fiqih menetapkan hukum syariah atas perbuatan seorang mukallaf, ia sebenarnya telah meng-istinbath-kan
42
hukum dengan sumber hukum yang terdapat di dalam kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ahli ushul fiqih.66 Jumlah dalil-dalil syara‟ itu banyak, dari jumlah yang banyak itu ada sebagian yang telah disepakati oleh ahli ushul fiqh dan ada pula sebagian yang belum disepakati. Dalil-dalil syara‟ yang telah disepakati oleh jumhur ahli ushul ada empat dalil secara berturutan yaitu al-Qur‟an, Sunnah, Ijma‟, dan Qiyas. Sebagaimana halnya mereka telah sepakat bahwa dalil-dalil tersebut adalah sebagai alat istidlal (menetapkan dalil) juga telah sepakat tentang tertib jenjang dalam beristidlal dari dalil-dalil tersebut. Sebagai bukti keharusan beristidlal dengan empat macam dalil hukum tersebut diatas ialah firman Allah surat an-Nisa‟ ayat 59 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, ikutlah Allah dan ikutlah Rasul dan orang-orang yang mengurus pekerjaan dari kamu. Kalau 66
http://www.referensimakalah.com/2013/02/pengertian-istinbath-menurut-fikih.html
Diunduh tanggal 5 februari 2015 jam 14.53 wib
43
kamu berbantah-bantah tentang sesuatu (perkara), hendaklah kamu kembalikan kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari yang kemudian, demikian itu lebih baik dan sebaik-baik jalan”.67 Perintah untuk mengikuti Allah dan Rasul-Nya adalah perintah untuk mengikuti al-Qur‟an dan Sunnah. Sedang perintah untuk mentaati ulil amri ialah perintah untuk mengikuti hukum-hukum dan ketentuanketentuan yang dibuat dan disetujui oleh badan-badan yang mempunyai kekuasaan.
Adapun
perintah
untuk
memulangkan
perkara
yang
dipertengkarkan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perintah untuk menggunakan analogi (qiyas) selama tidak ada nash dan ijma‟. Yang dimaksud dengan jenjang beristidlal ialah apabila terdapat suatu kejadian yang memerlukan ketetapan hukum pertama-tama hendaklah dicari lebih dahulu didalam al-Qur‟an, apabila tidak ditemukan barulah beralih kepada meneliti as-Sunnah. Jika tidak ada nash sunnah yang menetapkan hukum kemudian beralih pula kepada tahap ijma‟, sekiranya ijma‟ tidak didapatkan maka hendaknya berusaha sungguhsungguh dengan jalan mengqiyaskannya kepada peristiwa yang sejenis yang telah ada nashnya.68 Selain empat macam dalil syara‟ tersebut diatas masih terdapat dalil-dalil syara‟ yang lain yang belum mendapat persepakatan dari jumhur fuqoha‟. Sebagian dari mereka mengakuinya dan sebagian yang lain masih mengingkarinya. Dalil-dalil syara‟ yang masih mereka perselisihkan yaitu 67
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op-Cit, hlm 80 Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1986), hlm 29 68
44
istihsan, maslahah mursalah, urf, madzahib shahabi dan syar‟u man qoblana.69 Adapun istinbath yang digunakan MUI dalam MUNAS VIII tentang operasi penggantian dan penyempurnaan alat kelamin adalah sebagai berikut: 1. Firman Allah SWT: Surat an-Nisa, 119
"Dan demi, sesungguhnya akan kusesatkan mereka, dan kuperdayakan mereka dengan angan-angannya, serta kusuruh mereka memotong telinga-telinga binatang ternak (untuk berhala), dan kusuruh mereka mengubah makhluk Allah. Barang siapa yang mengangkat syaitan menjadi wali selain Allah, Maka Sesungguhnya ia telah merugi dengan kerugian yang nyata".70 Surat ar-Ruum, 30
69 70
Ibid, hlm 100 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op-Cit, hlm 88
45
“Maka luruskanlah (hadapkanlah) wajahmu dengan lurus kearah agama (Allah), serta condong kepadanya. Itulah agama Allah yang dijadikan-Nya manusia sesuai dengan Dia. Tiadalah bertukar perbuatan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya”.71
Surat Ali Imron, 36
“Tatkala ia melahirkan anak itu seorang perempuan berkatalah ia: Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkan seorang anak perempuan sedang Allah mengetahui yang dilahirkannya itu dan bukanlah laki-laki seperti perempuan dan kunamai Maryam dan kuperlindungkan dia dan anak-anaknya pada Engkau dari syetan yang dirajam”.72
71 72
Ibid, hlm 367 Ibid, hlm 50
46
Surat al-Baqarah, 216
“Diperlukan atas kamu berperang, sedang berperang itu suatu yang kamu benci, dan boleh jadi kamu benci akan sesuatu, sedang ia lebih baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu kasihi sesuatu, sedang ia amat buruk bagimu, dan Allah mengetahui, tetapi kamu tidak mengetahui”.73 Surat an-Nisa‟, 19
“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, sedang Allah menjadikan kebaikan yang banyak didalamnya”.74 Surat al-Maidah, 2
73 74
Ibid, hlm31 Ibid, hlm 74
47
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu bertolong-menolong dalam berbuat dosa dan aniaya. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. 75
2. Hadits Nabi SAW.
,
... Dari Abdullah Ibnu Mas‟ud RA, ia berkata Rasulullah bersabda: “Allah SWT melaknat orang-orang perempuan yang membuat tato dan yang minta ditato, perempuan-perempuan yang mencukur alis dan yang minta dicukurkan alisnya, serta perempuan yang berupaya merenggangkan gigi untuk mempercantik diri, dan perempuan-perempuan yang mengubah ciptaan Allah SWT”. (HR. Ahmad, al-Bukhari, Muslim, at-Turmudzi, Abu Daud, an-Nasai, dan Ibnu Majjah)76
Dari Abdillah Ibnu „Abbas RA ia berkata: “Rasulullah SAW melaknat kaum laki-laki yang menyerupakan diri dengan perempuan, juga kaum perempuan yang menyerupakan diri dengan laki-laki”. (HR. al-Bukhari, Abu Dawud, at-Turmudzi dan Ibn Majah)77
75
Ibid, hlm 98 Mustofa Muhammad, Jawahir Al-Bukhori, (Baghdad: Darul Ilmi, Tth), hlm 456 77 Ibid, hlm 413 76
48
3. Qaidah-qaidah
. ”Apabila dua hal yang mafsadah bertentangan maka perhatikanlah yang mudaratnya lebih besar dengan melaksanakan yang mudaratnya lebih kecil”.
. ”Menolak kemafsadatan kemaslahatan”.
didahulukan
dari
pada
meraih
. “Kemudaratan harus dihilangkan”.
. “Kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan yang sebanding”.
. “Segala sesuatu itu tergantung pada niatnya”.
. “Larangan terhadap sesuatu juga larangan terhadap saranasarananya”.
49
. “Penetapan hukum tergantung ada tidaknya illat”.78
Dengan demikian, dapat kita fahami bahwa MUI dalam menfatwakan hukum operasi penggantian alat kelamin menggunakan ayat al-Qur‟an dan Hadits serta qoidah-qoidah ushul yang relevan sebagai landasan dalam memberikan fatwa.
BAB IV ANALISIS TENTANG OPERASI PENGGANTIAN KELAMIN A. Analisis Tentang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam MUNAS VIII di Jakarta Tentang Penetapan Hukum Penggantian Alat Kelamin Berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ditetapkan dalam MUNAS VIII di Jakarta, memutuskan bahwa: 1. Mengubah alat kelamin dari laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya yang dilakukan dengan sengaja, yaitu dengan melakukan operasi ganti kelamin hukumnya haram. 2. Menyempurnakan alat kelamin bagi seorang khuntsa guna memperjelas status jenis kelaminnya, seperti seorang khuntsa yang fungsi alat kelamin laki-lakinya lebih dominan atau sebaliknya, maka melalui 78
Ahmad Djazuli, Op-Cit
50
operasi
penyempurnaan alat kelamin untuk memperjelas kelaki-
lakiannya atau sebaliknya, hukumnya boleh. Dari hasil keputusan fatwa MUI dalam MUNAS VIII diatas, penulis
sepakat
dengan
ketetapan
tersebut.
Bahwasanya
operasi
penggantian alat kelamin dengan tujuan tabdil atau taghyir (mengganti atau merubah) tanpa ada faktor yang membolehkan operasi, seperti faktor maslahah adalah haram. Dan melakukan operasi alat kelamin dengan tujuan
untuk
menyempurnakan
jenis
kelamin
sesuai
dengan
kecenderungan status jenis kelaminnya, maka diperbolehkan untuk dilakukannya operasi tersebut. Untuk kasus operasi penyempurnaan alat kelamin, penulis berpendapat bahwa selain diperbolehkan juga dianjurkan. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan madharat dan mendatangkan kemaslahatan, dimana selain menghindari cemoohan dari masyarakat juga bertujuan untuk melakukan pengobatan. Hadits Nabi menyebutkan:
Dari Jabir RA, Bahwa Rasulullah bersabda, “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila ditemukan obat yang tepat untuk suatu penyakit, maka sembuhlah si penderita dengan izin Allah Azza wa Jalla.” Dalam kesempatan ini penulis membahas tentang khuntsa yaitu orang yang mempunyai dua macam jenis kelamin hingga ia mempunyai sikap rangkap antara laki-laki dan perempuan secara jasmaniah dan rohaniah, khususnya bagi mereka yang hendak melakukan operasi alat
51
kelamin, dimana dikhawatirkan terjadi kekeliruan dalam menentukan jenis kelaminnya saat melakukan operasi. Orang yang mempunyai kelamin ganda dalam dunia medis disebut “ambiguous genitalia” yang artinya alat kelamin meragukan. Orang tersebut tidak menderita penyakit transeksual, tetapi lebih cenderung kepada interseksual yaitu suatu kelainan, dimana penderita memiliki ciriciri genetik, anatomik atau fisiologik meragukan antara pria dan wanita. Gejalanya sangat bervariasi, mungkin saja tampilan luarnya adalah lakilaki normal atau wanita normal, tetapi alat kelaminnya yang masih meragukan apakah dia laki-laki atau perempuan. Penderita seperti ini memang benar-benar sakit secara fisik yang kemudian mempengaruhi kondisi psikologisnya.79 Bahwa seorang laki-laki yang memiliki dua alat kelamin, satu tersembunyi dan yang satu tampak. Misalnya yang tampak seperti alat kelamin laki-laki tetapi tidak berfungsi dan tidak juga menghasilkan sperma. Di sisi lain yang bersangkutan tidak memiliki kecenderungan sesuai dengan alat kelamin yang tidak berfungsi itu bahkan sebaliknya, maka pada dasarnya lelaki tersebut adalah perempuan, apabila melakukan operasi pergantian kelamin dapat dibenarkan bila dilakukan untuk memperjelas alat kelamin yang berfungsi tersebut. Rasulullah sendiri memerintahkan yang sakit untuk berobat, termasuk dalam hal ini operasi kelamin. Adapun jika operasi pergantian kelamin itu sekedar mengikuti
79
Setiawan Budi Utomo, Op-Cit, hlm 174
52
keinginan, atau dinilai tidak perlu oleh tim dokter terpercaya maka agama tidak membenarkannya.80 Maka, operasi pada orang yang mempunyai kelamin ganda seperti ini dibolehkan, tentunya setelah ada kejelasan statusnya, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara-cara yang telah diterangkan diatas dan dikuatkan dengan pernyataan dokter ahli dan amanah. Sebaiknya operasi ini dilakukan ketika anak tersebut belum beranjak dewasa, karena ketika sudah dewasa dikhawatirkan akan lebih susah lagi dalam mengidentifikasi, karena faktor lingkungannya mungkin akan mempengaruhi kondisi psikologisnya, dimana hal ini bisa diakibatkan oleh adanya salah pola asuh dan pola interaksi dari lingkungan sekitar. Untuk
menghilangkan
madharat
(bahaya)
dan
mafsadat
(kerusakan) tersebut, menurut Makhluf dan Syalthut, syariat Islam membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk membuang penis yang berlawanan dengan dalam alat kelaminnya. Oleh sebab itu,operasi kelamin yang dilakukan dalam hal ini harus sejalan dengan bagian dalam alat kelaminnya. Apabila seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalamnya ada rahim dan ovarium, maka ia tidak boleh menutup lubang vaginanya untuk memfungsikan penisnya. Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam kelaminnya sesuai dengan fungsi penis, maka ia boleh mengoperasi dan menutup lubang vaginanya sehingga penisnya berfungsi 80
hlm 43
M. Quraish Shihab, Fatwa-Fatwa Seputar Wawasan Agama, (Bandung: Mizan, 1999),
53
sempurna dan identitasnya sebagai laki-laki menjadi jelas. Ia dilarang membuang penisnya agar memiliki vagina sebagai wanita, sedangkan di bagian dalam kelaminnya tidak terdapat rahim dan ovarium. Hal ini dilarang karena operasi kelamin yang berbeda dengan kondisi bagian dalam kelaminnya berarti melakukan pelanggaran Syari‟at dengan mengubah ciptaan Allah SWT.81 dan ini bertentangan dengan firman Allah bahwa tidak ada perubahan pada fitrah Allah (ar-Ruum: 30)
“Maka luruskanlah (hadapkanlah) wajahmu dengan lurus kearah agama (Allah), serta condong kepadanya. Itulah agama Allah yang dijadikan-Nya manusia sesuai dengan Dia. Tiadalah bertukar perbuatan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”82 Karena kalau seseorang dibiarkan dalam status yang tidak jelas, maka sungguh kasihan hidupnya, dan masyarakatpun kesulitan untuk berinteraksi dengannya karena statusnya yang belum jelas, apakah dia itu laki-laki atau perempuan. Oleh karenanya operasi untuk membuang salah satu dari dua jenis kelamin dibolehkan, karena akan membawa
81 82
Setiawan Budi Utomo, Op-Cit, hlm 174 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op-Cit, hlm 367
54
kemaslahatan bagi yang bersangkutan dan bagi masyarakat yang ia hidup didalamnya. B. Analisis Tentang Istinbath al-Hukmi Yang Digunakan MUI Dalam Menfatwakan Hukum Penggantian Alat Kelamin Pada MUNAS VIII Al-Qur‟an dan Sunnah melengkapi sebagian dari hukum-hukum Islam dalam bidang fiqih. Kemudian para sahabat dan tabi‟in menambahkan atas hukum-hukum itu, beberapa hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan kemusykilan-kemusykilan yang timbul didalam masyarakat. Karenanya dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah hukum-hukum yang bersifat umum yang diterapkan dalam perkembangan hukum Islam menurut situasi dan kondisi masyarakat dan massa.83 Majelis Ulama Indonesia dalam menfatwakan hukum penggantian alat kelamin menggunakan dalil atau dasar sebagaimana disampaikan diatas yang merupakan dalil yang sangat patut untuk dijadikan dasar dalam penentuan hukumnya. Pedoman MUI dalam menetapkan fatwa tentang perubahan dan penyempurnaan jenis kelamin: 1. Al-Qur‟an a) Al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 119
83
Hasby As-Shidiqy, Op-Cit, hlm 29
55
"Dan demi, sesungguhnya akan kusesatkan mereka, dan kuperdayakan mereka dengan angan-angannya,serta kusuruh mereka memotong telinga-telinga binatang ternak (untuk berhala), dan kusuruh mereka mengubah makhluk Allah. Barangsiapa yang mengangkat syaitan menjadi wali selain Allah, Maka Sesungguhnya ia telah merugi dengan kerugian yang nyata". b) Al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 216
“Diperlukan atas kamu berperang, sedang berperang itu suatu yang kamu benci, dan boleh jadi kamu benci akan sesuatu, sedang ia lebih baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu kasihi sesuatu, sedang ia amat buruk bagimu, dan Allah mengetahui, tetapi kamu tidak mengetahui”. c) Al-Qur‟an surat al-Maidah ayat 2
56
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu bertolong-menolong dalam berbuat dosa dan aniaya. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. Semua ayat Al-Qur‟an yang dijadikan dalil oleh MUI dalam penetapan hukum operasi penggantian alat kelamin adalah benar adanya dan relevan dengan kasus yang dihadapi. 2. Sunnah
,
...
Dari Abdullah Ibnu Mas‟ud RA, ia berkata Rasulullah bersabda: “Allah SWT melaknat orang-orang perempuan yang membuat tato dan yang minta ditato, perempuan-perempuan yang mencukur alis dan yang minta dicukurkan alisnya, serta perempuan yang berupaya merenggangkan gigi untuk mempercantik diri, dan perempuan-perempuan yang mengubah ciptaan Allah SWT.” (HR. Ahmad, al-Bukhari, Muslim, atTurmudzi, Abu Daud, an-Nasai, dan Ibnu Majjah)
Dari Abdillah Ibnu „Abbas RA, ia berkata: “Rasulullah SAW melaknat kaum laki-laki yang menyerupakan diri dengan peempuan, juga kaum perempuan yang menyerupakan diri dengan laki-laki.” (HR. al-Bukhari, Abu Dawud, at-Turmudzi dan Ibn Majah).
57
Dari kedua hadits tersebut diatas penulis telah menelaah dan meneliti bahwa kedua hadits tersebut adalah sohih, dan dapat di pertanggungjawabkan perowiannya, karena para rowi dalam hadits tersebut termasuk golongan perowi yang syiqqoh (dapat dipercaya perowiannya).
3. Qoidah-qoidah
“Larangan terhadap sesuatu juga larangan terhadap saranasarananya”. Maksudnya adalah apa yang haram digunakannya, baik dimakan, diminum, atau dipakainya maka haram pula mendapatkannya. Diantara prinsip yang telah ditetapkan Islam adalah bahwa jika ia mengharamkan sesuatu maka ia mengharamkan pula berbagai sarana yang mengantarkan kepadanya dan menutup rapat berbagai pintu yang menuju kearahnya, termasuk media maupun pihak yang terlibat membantu jalannya kemungkaran tersebut, baik secara moril maupun materiel.
Semua
menanggung
dosa
sesuai
dengan
keterlibatannya.
“Penetapan hukum tergantung ada tidaknya illat”
kadar
58
Qoidah ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam, bahwa hukum yang diterapkan dalam perkembangan hukum Islam akan senantiasa mengikuti perubahan situasi dan kondisi masyarakat.
”Apabila dua hal yang mafsadah bertentangan maka perhatikanlah yang mudaratnya lebih besar dengan melaksanakan yang mudaratnya lebih kecil”. Qoidah ini menegaskan tentang pilihan terbaik diantara yang buruk. Kemudaratan bisa ditentukan oleh nash, yaitu seluruh perbuatan yang
dilarang
oleh
agama
adalah
mudarat
hanya
kadar
kemafsadatannya yang berbeda. Artinya apabila ada dua hal yang berhadapan dan saling bertentangan, dimana keduanya mendatangkan mafsadah,
maka
yang
ditempuh
adalah
perkara
yang
unsur
mafsadahnya lebih kecil, yaitu bagi orang yang melakukan operasi dalam kondisi normal organ-organ kelaminnya, tetapi memiliki kecenderungan mental berlainan dengan alat kelaminnya, maka yang dipilih adalah menyembuhkan mentalnya, seperti waria. Karena dengan melakukan operasi alat kelamin akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar, yaitu melakukan perubahan terhadap ciptaan Allah, walaupun orang yang akan melakukan operasi alat kelamin merasa nyaman dengan kondisi mentalnya.
59
“Kemudaratan harus dihilangkan”. Qoidah
tersebut
diatas
kembali
kepada
tujuan
untuk
merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan
cara
menghilangkan
kemudaratan
atau
setidaknya
meringankannya. Oleh karena itu, penerapan qoidah diatas meliputi lapangan yang luas didalam fiqih bahkan bisa jadi meliputi seluruh dari materi fiqih yang ada.
“Kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan yang sebanding”. Maksud qoidah tersebut adalah kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudaratan lain yang sebanding keadaannya. Misalnya, seperti orang yang sedang kelaparan tidak boleh mengambil barang orang lain yang juga sedang kelaparan. Berbeda dengan orang yang memiliki kelainan alat kelamin, ia dianjurkan untuk segera berobat atau melakukan operasi karena dengan membiarkan atau tidak melakukan operasi maka mafsadah besar justru yang akan menghampirinya,
yaitu
mengalami
kelainan
mental
maupun
diperlakukan kurang baik oleh masyarakat.
”Menolak kemafsadatan didahulukan dari pada meraih kemaslahatan”.
60
Qoidah ini menegaskan bahwa apabila pada waktu yang sama kita dihadapkan kepada pilihan menolak kemafsadatan atau meraih kemaslahatan, maka
yang harus didahulukan adalah menolak
kemafsadatan. Karena dengan menolak kemafsadatan berarti kita juga meraih kemaslahatan, sedangkan tujuan hukum Islam, ujungnya adalah untuk meraih kemaslahatan di dunia dan akhirat. Artinya, kaitannya dalam hal ini mencegah lebih baik daripada mengobati. Jadi mencegah perilaku menyimpang atau melakukan pendampingan terhadap orang yang mengalami kelainan gejala transeksual harus dilakukan agar tidak melakukan operasi alat kelamin. Jadi, dasar atau dalil yang digunakan MUI dalam menfatwakan hukum operasi penggantian alat kelamin dalam MUNAS VIII dapat di pertanggungjawabkan
karena
dasar
dan
dalil
yang
digunakan
menggunakan dasar-dasar al-Qur‟an, Hadits sohih dan kaidah-kaidah ushul yang mu’tabar, dengan demikian ketentuan hukum yang difatwakan oleh MUI memiliki kekuatan dan kepastian hukum yang sangat kuat. C. Analisis Tentang Akibat Hukum Bagi Pelaku Penggantian Alat Kelamin Dalam Hukum Islam Hukum bagi pelaku yang telah melakukan operasi kelamin dengan tujuan tabdil dan taghyir hukumnya adalah sama dengan sebelum dioperasi. Jadi andaikan status awal sebelum operasi adalah laki-laki dan ingin mengganti kelaminnya menjadi perempuan maka walaupun setelah melakukan operasi penggantian kelamin menjadi perempuan, ia tetaplah
61
berstatus sebagai seorang laki-laki sebagaimana asalnya. Demikian pula sebaliknya, apabila ada seorang perempuan yang menghendaki operasi guna mengganti kelaminnya menjadi seorang laki-laki, maka walaupun dia melakukan operasi dan kelaminnya berganti dengan jenis kelamin laki-laki maka statusnya adalah tetap berjenis kelamin perempuan, tidak bisa dirubah dan identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak berubah dari segi hukum. Jadi, dalam menjalankan rukun Islam pelaku operasi penggantian alat kelamin dengan tujuan tabdil atau taghyir tidaklah mengikuti status setelah ia melakukan operasi, melainkan sesuai dengan ketentuanketentuan hukum Islam sesuai dengan status semula, yaitu menjalankan ibadah ataupun muamalah sebagaimana sebelum ia melakukan operasi penggantian alat kelamin. Seperti orang yang melakukan operasi kelamin dari laki-laki menjadi perempuan, ketika ia mau menjalankan sholat maka ia harus menunaikan shalatnya sebagaimana ketentuan yang berlaku bagi laki-laki, dan sebaliknya. Adapun operasi kelamin yang dilakukan pada seseorang yang mengalami kelainan kelamin (berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau takmil dan sesuai dengan hukum akan membuat identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas, hukumnya diperbolehkan bahkan dianjurkan.
Sehingga
ketika
seseorang
telah
melakukan
operasi
penyempurnaan alat kelamin, maka ia harus menjalankan ibadah maupun muamalahnya sesuai dengan status hukum terbarunya.
62
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Operasi kelamin adalah sebuah tindakan medis yang dilakukan untuk memperbaiki atau mengganti alat kelamin. Berdasarkan keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam MUNAS II tahun
63
1980 di Jakarta tentang operasi penggantian atau penyempurnaan alat kelamin, masalah seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya yaitu penis bagi laki-laki dan vagina bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan bahkan diharamkan merubah kelaminnya dengan sengaja dan tanpa adanya alasan yang kuat dan alamiah dari dalam diri seseorang yang bersangkutan. Termasuk dokter dan para medis atau orang yang membantu dalam melakukan operasi tersebut, status hukumnya berdosa karena termasuk bertolong-menolong dalam perbuatan dosa yaitu mengubah ciptaan Allah. Adapun bagi seseorang yang mempunyai alat kelamin ganda yaitu penis dan vagina khususnya bagi seorang khuntsa (banci), maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk mematikan dan menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Membantu melakukan operasi seperti ini hukumnya diperbolehkan, sebab Hal ini dilakukan untuk memperjelas identitas dan status hukum orang tersebut dalam beribadah maupun bermuamalah. Hal ini dianjurkan syari‟at karena keberadaan alat kelamin yang berbeda dengan bagian dalamnya bisa mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi hukum agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah dikategorikan laki-laki atau perempuan maupun dari segi kehidupan sosialnya. Dengan demikian, hal tersebut memiliki implikasi hukum
64
syar‟i terkait penyempurnaan tersebut, Sehingga ia harus menjalankan ibadah maupun muamalahnya sesuai dengan status hukum terbarunya sekalipun hal tersebut belum memperoleh penetapan dari pengadilan terkait perubahan tersebut. Masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai transeksualisme atau transgender merupakan suatu gejala ketidak mampuan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidak puasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Sedangkan operasi kelamin yang dilakukan pada seseorang yang mengalami kelainan organ kelamin dalamnya (intraseksual) dengan tujuan tashih atau takmil (perbaikan dan penyempurnaan) dan sesuai dengan hukum akan membuat identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas, dengan prosedur yang telah ditentukan sehingga ketika seorang telah melakukan operasi penyempurnaan alat kelamin, maka ia harus menjalankan ibadah maupun muamalahnya sesuai dengan status hukum terbarunya. Islam memandang usaha pengobatan atau penyembuhan jasmani merupakan alasan hukum dari haram menjadi jaiz karena kondisi tertentu. Yang menjadi kunci persoalannya adalah bahwa tujuan utama dari bentuk penentuan hukum adalah mencari kemaslahatan dan menolak mafsadah. Maka untuk menggapai berbagai penemuan baru dalam bidang kedokteran, selama tidak ada perintah atau larangan yang
65
jelas dari al-Qur‟an dan Sunnah maka masalahnya dikembalikan pada hukum asalnya yakni mubah dalam hal tertentu. Dalam kitab nihayah disebutkan bahwa operasi penggantian kelamin hukumnya akan berkisar antara wajib, sunnah, makruh, atau haram bergantung pada kondisi yang melingkupinya, tujuan serta kemungkinan akibat yang akan dialami orang yang menjalaninya. B. Saran-saran Dengan segala kerendahan hati, dengan tersusunnya skripsi yang
berjudul
“TINJAUAN
HUKUM
ISLAM
TERHADAP
OPERASI PENGGANTIAN KELAMIN BAGI KHUNTSA” (Studi Analisis Istinbath al-Hukmi Muktamar NU ke-26 di Semarang). Maka perkenankanlah penulis menyampaikan beberapa saran yang tentunya menurut penulis sangatlah bermanfaat bagi kita semua, diantaranya adalah sebagai berikut: Kepada para pelaku operasi penggantian alat kelamin serta pihak-pihak yang membantu dalam proses operasi, semoga dengan adanya skripsi ini sedikit banyak kesadarannya bisa terbuka dan bisa memberikan masukan terhadap pelaku operasi penggantian kelamin agar menghayatinya dengan seksama bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut termasuk perbuatan yang dilarang oleh syari‟ah, dan semoga kembali kejalan yang diridloi Allah SWT.
66
Bagi orang yang mengalami kelainan jenis kelamin atau berkelamin ganda, segeralah berobat berdasarkan prinsip Mashalih Mursalah karena kaidah fiqih menyatakan ad-Dhararu Yuzal (bahaya harus dihilangkan) sebab menghindari dan menghilangkan bahaya termasuk suatu kemaslahatan yang dianjurkan syari‟at Islam. Kepada para pihak yang memiliki kepentingan yang sama dalam hal ini, marilah kita sosialisasikan hukum yang telah ditetapkan oleh MUI dan membantu untuk melakukan pendampingan secara intensif terhadap orang yang mengalami gejala transeksual atau kelainan kelamin.