BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan energi semakin meningkat dengan peningkatan jumlah penduduk. Hal ini berlaku global termasuk di Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi jumlah konsumsi energi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Sumber energi yang paling banyak digunakan saat ini adalah Bahan Bakar Minyak (BBM) yang bersumber dari fosil. Walaupun persediaan bahan bakar fosil di Indonesia masih melimpah, namun sebagai BBM yang tidak terbarukan maka jika di eksploitasi terus menerus akan habis. Sumber energi yang habis akan menimbulkan permasalahan yang berat yang berdampak luas pada berbagai aspek terutama ekonomi. Institusi di Indonesia yang menangani pengambilan sumber daya alam dan gas bumi milik negara adalah Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Berdasarkan Laporan Tahunan 2012 SKK MIGAS, produksi minyak bumi sebesar 860 ribu barel per hari dari target APBN-P 2012 sebesar 930 ribu barel per hari mencapai keberhasilan 92,47%. Pasokan energi domestik menjadi komitmen bagi lembaga ini untuk terus dijaga agar dapat meningkatkan ketahanan energi (Anonim, 2013). Pada bidang ekonomi
dampak yang terjadi adalah kenaikan harga
bahan bakar minyak beberapa tahun ini. Permasalahan utama tetap pada sumber energi dan dampaknya terhadap lingkungan. Pemanfaatan sumber energi dari bahan fosil diketahui memiliki dampak negatif terhadap
1
lingkungan. Salah satunya adalah emisi sulfur oksida pada atmosfer akibat pembakaran minyak bumi yang menyebabkan masalah lingkungan yang serius seperti polusi udara dan hujan asam (Gunam et al., 2006). Salah satu alternatif untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan sekaligus mendapatkan bahan bakar energi dari sumber lain adalah bioetanol. Bioetanol merupakan etanol hasil fermentasi biomasa. Bioetanol digunakan sebagai alternatif bahan bakar terbarukan mengingat kuantitas minyak bumi yang semakin menipis (Izzati et al., 2010). Bahan bioetanol dapat diperoleh dari makhluk hidup seperti tanaman. Pemanfaatan bahan berupa limbah tanaman tentu akan lebih menurunkan biaya produksi yang dibutuhkan namun tetap dengan hasil yang banyak dan berkualitas. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) bagas tebu yang dihasilkan sebanyak 60% telah dimanfaatkan oleh pabrik gula sebagai bahan bakar, bahan baku kertas, industri, bahan baku industri kanvas rem dan lain-lain. Oleh karena itu diperkirakan sebanyak 40% bagas belum dimanfaatkan (Hermiati et al, 2010). Bagas tebu mengandung selulosa yang masih dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Bagas tebu mengandung 50% selulosa, 27,9% hemiselulosa, 9,8% lignin dan 11,3% sel (Kewalrammi et al., 1998). Bagas tebu dapat diolah menghasilkan bioetanol. Proses hidrolisis selulosa akan menghasilkan glukosa yang kemudian difermentasi menjadi etanol. Hidrolisis selulosa bagas tebu dapat menggunakan hidrolisis kimia ataupun hidrolisis enzimatis dengan selulase. Sekarang ini banyak dilakukan penelitian
2
mengenai aplikasi enzim selulolitik untuk mengkonversi
lignoselulosa
sehingga dapat menghasilkan etanol (Mahmud dan Gomes, 2012). Kelemahan penggunaan enzim adalah harga enzim yang mahal. Komponen biaya enzim dapat mencapai 53–65% dari biaya bahan kimia, dan biaya bahan kimia sekitar 30% dari biaya total (Hermiati et al., 2002). Kelompok enzim hidrolitik dalam biokonversi selulosa dikenal dengan selulase atau sistem selulase (Sukumaran et al., 2005). Selulase dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti kapang, bakteri dan beberapa aktinomicetes. Mikroorganisme penghasil selulase tersebut menghasilkan enzim dari proses hidrolisa selulosa akan melepaskan glukosa yang digunakan untuk pertumbuhan sel dan membentuk produk pada kondisi lingkungan yang terkontrol. Lebih dari 14.000 spesies kapang telah diketahui dapat mendegradasi selulosa (Esterbauer et al., 1991). Contoh yang menghasilkan selulase adalah Aspergillus niger dan Trichoderma viride, sedangkan bakteri yang menghasilkan selulase adalah Psedomonas, Cellulomonas, dan Bacillus. Menurut Arnata (2009) diantara beberapa jenis kapang dan bakteri yang bisa menghasilkan
selulase,
yang potensial
untuk
dikembangkan
dalam
pembuatan enzim selulase salah satunya adalah kapang Trichoderma viride. Menurut Deschamps et al. (1985) kapang filamentous terutama Trichoderma spp., telah banyak diteliti terutama mengenai aktivitas selulolitik dalam sakarifikasi. Spesies yang banyak digunakan antara lain Trichoderma viride, T. harzianum, T. reesei, dan T. konigii (Saddler, 1982; Deschamps, 1985;Macris, 1985; Hawary et al., 2001).
3
Enzim selulolitik diinduksi oleh adanya selulosa dan juga induser seperti derivat selulosa, selobiosa, xilan, pectin dan laktosa (Mandels, 1981). Trichoderma akan memproduksi enzim kompleks yang dibutuhkan untuk mendegradasi selulosa (Harman & Kubicek, 2005). Salah satu spesies Trichoderma yang telah diteliti mengenai aktivitas selulolitiknya adalah Trichoderma harzianum. Berdasarkan penelitian Benoliel et al. (2013) strain L04 Trichoderma harzianum mampu merombak selulosa dari substrat bags tebu dengan menghasilkan endoglukonase 4,022 U.L-1, eksoglukonase1,228 U.L-1 dan β-glukosidase
1,968 U.L-1. Sampai saat ini belum ketahui
kemampuan menghidrolisis selulosa dari bagas tebu dari kapang Trichoderma hamatum dan Trichoderma viride dalam single culture serta co-culture. Berdasarkan dari uraian tersebut maka dilakukan penelitian pengukuran enzim kasar hasil aktivitas T. viride dan T. hamatum dalam single culture serta co-culture pada substrat bagas tebu. Pada penelitian ini digunakan dua spesies sebagai sumber enzim. Lebih lanjut dilakukan optimasi agar mendapatkan kondisi optimum untuk menghasilkan enzim selulolitik. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut, kemudian dapat ditarik beberapa permasalahan dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut: 1.
Bagaimana aktivitas selulase kapang T. viride dan T. hamatum dalam single culture dan co-culture serta konsentrasi protein terlarutnya?
2. Bagaimana aktivitas spesifik enzim T. viride dan T. hamatum dalam single culture dan co-culture serta pengaruh isolat, suhu, dan waktu inkubasi terhadap aktivitas spesifik?
4
C. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah : 1.
Mengetahui kemampuan aktivitas selulase kapang T. viride dan T. hamatum dalam single culture dan co-culture serta konsentrasi protein terlarutnya
2. Mengetahui aktivitas spesifik enzim T. viride dan T. hamatum dalam single culture dan co-culture serta pengaruh isolat, suhu, dan waktu inkubasi terhadap aktivitas spesifik. D. Manfaat penelitian Memberikan tambahan informasi aktivitas enzim selulase yang dihasilkan Trichoderma yang memiliki aktivitas tinggi sehingga dapat di aplikasikan dalam industri. Penelitian ini dapat dikembangkan untuk penelitian lebih lanjut yaitu aplikasi enzim kasar dalam fermentasi untuk menghasilkan etanol. Enzim kasar yang dihasilkan digunakan untuk mengkonversi bahan berselulosa menjadi glukosa. Glukosa merupakan produk antara yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan baku industri, salah satunya produksi bioetanol.
5