BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebijakan penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan sosial, yang secara strategis dilakukan melalui 3 (tiga) tahap yaitu tahap formulasi hukum oleh Lembaga Legislatif, tahap penerapan hukum oleh Pengadilan dan tahap eksekusi 1. Permasalahan yang menjadi fokus pembicaraan sekarang ini adalah kebijakan pidana mati dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Lebih penting lagi pada persoalan apakah peraturan sekarang ini yakni Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 efektif untuk memberantas para pelaku tindak pidana korupsi, sesuai dengan harapan dari Lembaga Legislatif sebagai mana tertuang dalam Konsiderans Undang-Undang tersebut, yaitu : a.
b.
Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara luas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa; Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Lebih lagi dengan dicantumkan pidana mati sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang
1
Prof, Dr, Barda Nawawi, Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana, Jakarta, hal. 77-79.
Universitas Sumatera Utara
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2001, yang masing-masing PasalPasal tersebut pada intinya merumuskan sebagai berikut: Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa : “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa : “Beberapa ketentuan dan penjelasan Pasal dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana diubah sebagai berikut : Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan Pasal demi Pasal dirubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal demi Pasal angka 1 Undang-undang ini”. Pencantuman pidana mati dalam Undang-Undang tersebut di atas tentunya merupakan fenomena baru dalam upaya pencegahan korupsi di Indonesia karena dengan pencantuman pidana mati tersebut diharapkan akan memberikan efek jera bagi pelaku maupun bagi pelaku lain yang berpotensi sebagai pelaku. Hal ini tentunya dapat dijadikan pegangan bagi aparat penegak hukum untuk dapat menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi yang memenuhi rumusan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Sehubungan dengan hal di atas, dijelaskan oleh Romli Atmasasmita bahwa: Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi efektif diterapkan di Republik Rakyat Cina (RRC), dan ternyata cukup berhasil dalam rangka mengurangi tindak pidana korupsi. Hal ini tentunya dapat
Universitas Sumatera Utara
dijadikan contoh oleh Indonesia di dalam menjatuhkan pidana mati bagi para koruptor2. Kenyataan tersebut sejak berlakunya Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 20 Tahun 2001, hakim di Indonesia tidak pernah sekalipun menjatuhkan pidana mati tersebut terhadap seorang koruptor meskipun dalam ketentuan perundang-undangan memberikan landasan hukum yang cukup tegas, sehingga belum dapat memberikan efek jera kepada para koruptor lainnya semakin subur dan sulit diberantas.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, adapun yang menjadi permasalahan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah sistem pemidanaan di Indonesia dihubungkan dengan pidana mati?
2.
Bagaimanakah perkembangan tindak pidana korupsi di Sumatera Utara setelah dikeluarkannya Undang-undang No. 20 Tahun 2001 ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan a. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan pidana mati dalam sistem hukum Indonesia. 2. Untuk mengetahui perkembangan tindak pidana korupsi di Sumatera Utara setelah dikeluarkannya Undang-undang No. 20 Tahun 2001. 2
Adji, Indriyanto Seno, Pidana mati Bagi Koruptor Sebagai Upaya Pemberantasan Korupsi, Jurnal Keadilan, Jakarta, 2001, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
b. Manfaat Penulisan Penelitian ini pada dasarnya diharapkan dapat bermanfaat untuk hal-hal sebagai berikut : 1. Secara teoritis Secara teoritis adalah untuk mengetahui dan menambah pengetahuan dan membuka wawasan tentang kebijakan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan perkembangan perkembangan tindak pidana korupsi yang terjadi di Sumatera Utara khususnya di Kota Medan setelah berlakunya Undang-undang No. 20 Tahun 2001. 2. Secara praktis
Secara praktis adalah sebagai bahan informasi dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya, dan hukum pidana pada khususnya yang mempunyai perhatian pada masalah tindak pidana korupsi.
D. Keaslian Penulisan “KEBIJAKAN PIDANA MATI DALAM UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2001 TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Suatu Tinjauan Yuridis Normatif)”, yang diangkat sebagai judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun doktrin-doktrin yang ada melalui referensi buku-buku, media elektronik dan bantuan dari berbagai pihak. Skripsi ini dibuat dalam rangka melengkapi tugas
Universitas Sumatera Utara
akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
E. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Pidana Mati 1.1. Pengertian Pidana Mati Pidana merupakan suatu
penderitaan yang dikenakan terhadap pelanggar
undang-undang akan tetapi di pihak lain pidana juga merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku kejahatan.
Hukuman mati dalam istilah hukum dikenal dengan uitvoering. Hukuman atau pidana mati adalah penjatuhan pidana dengan mencabut hak hidup seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang yang diancam dengan hukuman mati. Hukuman mati berarti telah menghilangkan nyawa seseorang. Pidana mati adalah pidana yang terberat dari semua jenis pidana pokok, sehingga hanya diancamkan terhadap pelaku kejahatan tertentu saja. Sejauh ini tentang perlu tidaknya pidana mati diancamkan terhadap pelaku kejahatan menimbulkan banyak pendapat. Pidana mati sifatnya eksepsional artinya pidana mati itu hanya dijatuhkan hakim apabila benar-benar diperlukan. Pidana mati selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana pokok lainnya, ini merupakan pilihan kepada hakim agar penjatuhan pidana mati tidak dilakukan secara semena-mena. Apabila seseorang oleh hakim dinyatakan terbukti bersalah melakukan kejahatan yang berat sebagaimana dengan kejahatan yang diancam dengan pidana mati, maka hakim dapat menjatuhkan pidana mati. Adapun dalam prakteknya pelaksanaan
Universitas Sumatera Utara
pidana mati dapat ditangguhkan sampai Presiden memberikan Fiat Eksekusi, artinya Presiden menyetujui pelaksanaan pidana mati kepada terpidana 3 Jadi pidana mati adalah pidana atau reaksi terhadap atau nestapa berupa kematian yang dikenakan kepada orang yang melakukan tindak pidana pembuat delik, sedangkan arti kematian yang diambil dari kata dasar mati maksudnya adalah hilangnya nyawa seseorang atau tidak hidup lagi. Kematian ini akan terjadi melalui gagalnya fungsi salah satu dari tiga pilar kehidupan (Modi of Death) 4, yaitu : otak (central nervous sistem), jantung (circulaty of sistem), dan paru-paru (respiratory of sistem).
1.2. Sejarah Pidana Mati Dan Pengaturan Pidana Mati Di Indonesia Sebelum berlakunya KUHP hukum pidana di Indonesia maka hukum pidana yang berlaku di Indonsia adalah hukum pidana adat. Hukum pidana adat juga telah mengenal adanya pidana mati beberapa daerah tertentu. Dahulu hukum adat di Aceh telah mengenal pidana mati, seorang istri yang berzinah akan dihukum mati. Ketika Sultan berkuasa di sana, dapat dijatuhkan 5 (lima) macam pidana yang utama : a. Tangan dipotong (pencuri) b. Dibunuh dengan lembing c. Dipalang di pohon d. Dipotong daging dari badan terpidana
3
Lamintang, P.A.F, Hukum Penitensir Di Indonesia, Armico, Bandung, hal. 50. Amri, Amir, Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik USU, Medan, hal. 118. 4
Universitas Sumatera Utara
e. Ditumbuk kepala terpidana di lesung 5 Di Gayo pidana penjara menggantikan pidana mati. kalau seseorang dengan sengaja membakar desa, maka semua langit dadohot ( semua miliknya termasuk istri dan anak-anaknya) dibalas supaya jangan melakukan lagi melakukan hal itu. Di Batak jika pembunuh tidak dapat membayar uang salah, dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk pidana mati, maka pidana mati akan segera dilaksanakan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang ini merupakan hasil dan serta buah pikiran dari kolonial Belanda, meskipun di negeri Belanda pada tahun 1870 pidana mati itu sudah dihapuskan. Berdasarkan asas konkordansi kemudian diberlakukan di Indonesia. Begitu juga dengan sejarah pidana mati tidak terlepas dari proses pembentukan K.U.H.Pidana. Apabila kita telusuri sejarah pidana mati yang berlaku di Indonesia maka tidak akan terlepas dari sejarah dicantumkannya pidana mati di negeri Belanda. Pidana mati di negeri Belanda berasal dari Code Penal Perancis, karena di masa pemerintahan Napoleon, Perancis pernah menjajah negeri Belanda. oleh karena itu secara historical Code Penal Pernah berlaku di negeri Belanda. Code Penal yang dibuat pada masa pemerintahan Napoleon, masih mempertahankan pidana mati, bahkan menjadi sarana yang paling utama dalam usaha mencegah timbulnya tindak pidana serta untuk mempertahankan status quo pemerintahan Napoleon. Setelah pemerintahan Belanda merdeka usaha-usaha untuk melakukan penggantian serta ketergantungan pada Code Penal Perancis membuahkan hasil, sehingga 5
Andi Hamzah Dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini Dan Di Masa Depan, Ghalia Indonesia, 1983, hal. 48.
Universitas Sumatera Utara
melahirkan kodifikasi hukum di negeri Belanda, hal ini berarti tidak terlepas dari Code Penal Perancis. Alasan untuk mempertahankan pidana mati, karena dirasakan sangat perlu dan dinilai sangat efektif dalam mencegah terjadinya tindak pidana. Kemajuan yang dialami oleh Belanda membawa dampak untuk melakukan ekspansi ke negara lain termasuk Kepulauan Indonesia. sehingga hukum yang berlaku di negeri Belanda juga diberlakukan di negeri jajahan, termasuk di dalamnya mengenai sanksi pidana mati. Adapun alasan-alasan mengapa pidana mati masih dipertahankan atau dicantumkan dalam WvSNI sebagaimana disimpulkan oleh J.E. Sahetapy dari pendapat para sarjana Belanda didasarkan pada tiga alasan yang diajukan, yaitu ; 1. alasan berdasarkan faktor rasial 2. alasan berdasarkan faktor ketertiban umum 3. alasan berdasarkan hukum pidana dan kriminologi 6 Ad. 1) Alasan berdasarkan faktor rasial Alasan dimaksudnya ancaman pidana mati berdasarkan faktor rasial ini menurut J.E Sahetapy dapat dilihat dari : a. Adanya sikap dan penilaian yang keliru terhadap pribumi, karena para sarjana hukum Belanda yang bertugas di lembaga-lembaga penegak hukum belum menguasai bahasa Melayu (Bahasa Indonesia pada waktu itu) dan bahasa setempat. ketergantungan kepada penerjemah dapat memperbesar adanya kesaksian palsu. b. Para sarjana hukum Belanda belum memahami dan meresapi nilai-nilai sosial dan struktur masyarakat pribumi pada waktu itu. c. Kurang memadainya suatu hukum acara pidana dan tidak adanya pembela atau penasehat hukum pribumi, maka tidak tercegah kemungkinan timbulnya gambaran dan anggapan keliru bahwa para saksi pribumi suka memberikan kesaksian palsu.
6
Sahetapy, J.E, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, CV. Rajawali, Jakarta, 1983, hal. 37
Universitas Sumatera Utara
Ad. 2) Alasan berdasarkan faktor ketertiban umum Masalah ketertiban umum dalam daerah jajahan adalah sangat penting sebelum dikodifikasikan KUHP (WvSNI) dapat diketahui secara lebih mendalam kesulitan yang dihadapi oleh pembentuk undang-undang pada jaman penjajah. Dalam hal ini Van Hamel menyatakan : a. Keanekaragaman penduduk dan pengertian terhadap orang-orang pribumi yang sulit dipahami oleh pembentuk undang-undang. b. Karena dalam pertengahan abad ke-19 di dunia barat telah timbul pemikiranpemikiran baru yang mulai progresif terhadap perbudakan dan masalah penjajahan. c. Situasi dan kondisi yang sulit dicernakan oleh penguasa Belanda pada waktu itu menyebabkan seolah-olah tidak ada kemampuan untuk bertindak tanpa UU yang keras dan bengis sebagai dasar untuk mempertahankan daerah jajahan 7. Berdasarkan alasan ketertiban umum ini Moderman menyatakan bahwa : a. Negara memiliki segala kewenangan untuk menjaga ketertiban umum, dan oleh karena itu adanya pidana mati harus dilihat dalam rangka kriteria keharusan. b. Meskipun lembaga pidana mat memiliki berbagai kekurangan yang tidak dapat disangkal, namun jangan sampai ada yang menahan diri untuk tidak memasukkannya dalam stelsel pidana oleh karena itu demi ketertiban umum pidana mati dapat dan harus diterapkan. Menurut Lemaire, alasan-alasan yang patut untuk dimasukkannya pidana mati dalam WvSNI, antara lain : a. Hindia Belanda (Indonesia pada waktu itu) adalah suatu daerah jajahan yang luas dan penduduknya terdiri atas berbagai ragam suku bangsa. Pada hakekatnya keadaan Hindia Belanda pada waktu itu sangat berlainan dengan di Belanda. Di Hindia Belanda tertib hukum sangat mudah terganggu dan mudah sekali menjadi kritis dan berbahaya dibandingkan di Belanda. b. Susunan pemerintahan dan sarana-sarana untuk mempertahankan di Hindia Belanda sulit untuk dapat melaksanakan langkah yang sama seperti di Belanda atau negara-negara lain di Eropa. 7
Sahetapy, J.E, Op. cit, hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
Ad. c) Alasan berdasarkan hukum pidana dan Kriminologi J.E Sahetapy mendapat kesan kuat sekali kalau para sarjana Belanda menganggap pidana mati sebagai unsur wajar dalam hukum pidana dan oleh karena itu tidak perlu dipersoalkan. Pidana mati dianggap seolah inheren dengan hukum pidana “Werd Niet Twiffelacting Geoordeeld” artinya “tidaklah perlu diragukan lagi” hal seperti ini memang dapat dipahami selama hukum pidana dilihat sebagai sarana politik pemerintah belaka. Hal ini juga berlaku untuk masa sekarang, kendatipun masih banyak sarjana hukum yang kurang menyadarinya. Masih banyak sarjana hukum yang berpendapat bahwa hukum pidana bertalian dengan masalah bagaimana memberantas kejahatan, bagaimana menjatuhkan pidana pada konteks teori pidana yang dianutnya, bagaimana agar ketentuan-ketentuan hukum pidana mencerminkan nilai-nilai dan normanorma yang hidup pada masyarakat, bagaimana agar hukum pidana juga merupakan salah satu alat yang ampuh dalam pelaksanaan politik pemerintahan, suatu rezim 8. Dilihat dari pokok pemikiran yang lebih menitikberatkan pada perlindungan masyarakat, maka wajar konsep tetap mempertahankan jenis-jenis sanksi yang berat yaitu pidana mati dan pidana penjara seumur hidup, namun pidana mati dalam konsep tidak dimasukkan dalam deretan “pidana pokok” dan ditempatkan sendiri sebagai jenis pidana yang bersifat khusus atau eksepsional. Pertimbangan utama digesernya kedudukan pidana mati itu didasarkan pada pemikiran ilmu dilihat dari tujuan pemidanaan dan tujuan diadakan hukum pidana tersebut sebagai salah satu sarana kebijakan kriminal dan kebijakan sosial, pidana
8
Sahetapy, J.E, Op. Cit, hal. 70.
Universitas Sumatera Utara
mati pada hakekatnya menimbulkan sarana utama untuk mengatur, menertibkan dan memperbaiki masyarakat9. Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka pemerintah Belanda menganggap perlunya pidana mati dicantumkan lagi dalam WvSNI sebagai senjata yang ampuh dari penguasa Belanda untuk mempertahankan daerah penjajahannya di Indonesia pada waktu itu. Pelaksanaan pidana mati baik di negeri Belanda pada awalnya maupun di negeri jajahan khususnya di Kepulauan Indonesia (Hindia Belanda) adalah dengan cara menggantungkan terpidana ditiang gantungan yang dilakukan oleh seorang algojo. Kemudian setelah Indonesia merdeka, pidana mati yang dicantumkan dalam WvSNI tetap berlaku. Pada tahun 1946 melalui UU Nomor 1 tahun 1946 Indonesia melakukan konkordansi terhadap hukum pidana yang berlaku pada masa pemerintahan Hindia Belanda masih tetap diberlakukan sepanjang tidak menyimpang dengan tujuan pemerintahan Indonesia. Dalam sistem pemidanaan menurut konsep KUHP yang baru jenis pidana yang diancam dalam perumusan delik terutama hanya pada pidana penjara dan pidana denda. Pidana mati hanya diancamkan untuk delik tertentu dan selalu dialternatifkan dengan pidana penjara seumur hidup. Pidana tutupan dan pidana pengawasan tidak dirumuskan karena hanya merupakan “Strafmodus” dari pidana penjara 10. Pengaturan pidana mati yang merupakan ketentuan pokok tertuang di dalam Buku I bab II Pasal 10 KUH Pidana tentang Jenis-jenis pidana pokok juga dalam buku II tersebar dalam Pasal-pasal sebagai berikut :
9
Prof, Dr, Barda Nawawi Arief, Sistem Pemidanaan Menurut Konsep K.U.H Pidana Baru Dan Latar Belakang Pemikirannya, Penataran Asas-Asas Hukum Pidana Fakultas Hukum Bandung, 1990, hal. 88. 10 Barda Nawawi Arief, Op, cit, hal. 137.
Universitas Sumatera Utara
1. Makar membunuh Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 104 KUHP) 2. Membujuk Negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika perumusan itu dilakukan atau terjadi perang (Pasal 111 ayat (2) KUHP) 3. Memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia daalam keadaan perang (Pasal 124 ayat (3) KUHP) 4. Membunuh kepala pejabat Negara sahabat (Pasal 140 ayat (3) KUHP) 5. Pembunuhan yang dirancanakan terlebih dahulu (Pasal 340 KUHP) 6. Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih bersama-sama pada waktu malam atau dengan jalan membongkar, dan sebagainya yang menjadikan ada orang yang terluka berat atau mati (Pasal 365 ayat (4) KUHP) 7. Pemerasan dengan pemberatan (Pasal 368 ayat (2) KUHP) 8. Pembajakan yang dilakukan di laut, pesisir, di pantai dan di kali sehingga ada orang mati (Pasal 444 KUHP) 11. Kemudian berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976, Bab XXIX KUHP ditambah sebuah Bab XXIX A tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan yang terdiri dari pasal 479 huruf a sampai dengan huruf r. Diantara Pasal tersebut yang memuat ancaman pidana mati yaitu pasal 479 k ayat (2) dan pasal 479 o ayat (2). Pasal 479 k ayat (2) dan Pasal 479 o ayat (2) mengancam dengan barang siapa dalam pesawat udara dengan perbuatan melawan hukum merampas atau mempertahankan perampasan akan menguasai pesawat udara dalam penerbangan (Pasal 479) dan dengan kekerasan atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara (Pasal 479 j), jika perbuatan sampai menyebabkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara.
11
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Op, cit, hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 479 k ayat (2) mengancam pidana mati barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan (Pasal 479), merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atau pesawat udara tersebut (Pasal 479 m), menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas (Pasal 479 n), jika perbuatannya sampai mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat. Pengaturan pidana mati selain di dalam KUHP juga terdapat dan di atur dalam ketentuan-ketentuan khusus di luar KUHP, di antaranya sebagai berikut: 12 1. Undang-undang Nomor 5 (PNPS) tahun 1959, tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan di dalam pasal 2 menyebutkan : “Barang siapa melakukan tindak pidana sebagaimana termaksud dalam Undang-undang darurat Nomor 7 tahun 1955 (Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 27), tindak pidana seperti termaksud dalam peraturan pemberantasan korupsi (peraturan penguasa perang pusat Nomor 013 Peraturan/Perpu/013/1958) dan tindak pidana yang termuat dalam titel I dan II buku ke II Kitab Undang-undang Hukum Pidana. dengan mengetahui atau patut harus menduga, bahwa tindak pidana itu menghalang-halangi terlaksananya program pemerintah, yaitu : a. memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu sesingkatsingkatnya, b. menyelenggarakan keamanan rakyat dan Negara c. melanjutkan perjalanan menentang imperialism ekonomi dan politik (Irian Barat) Dihukum dengan hukuman penjara selama sekurang-kurangnya satu tahun dan setinggi-tingginya dua puluh tahun, atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. 2. Undang-undang Nomor 21 (Prp) tahun 1959, tentang memperberat ancaman pidana terhadap tindak pidana ekonomi, Pasal 2 Undang-undang tersebut mengandung ancaman pidana mati sebagai berikut : “jika tindak pidana yang dilakukan itu dapat menimbulkan kekacauan dibidang perekonomian dalam masyarakat, maka pelanggar dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara sementara selama-lamanya dua puluh
12
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Op, cit, hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
tahun dan hukuman denda yang besarnya 30 kali jumlah yang ditetapkan dalam Undang-undang Darurat tersebut dalam ayat (1).” 3. Undang-undang Nomor 12/Drt/1951, tentang senjata api, amunisi, bahan peledak, senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk Pasal 1 ayat (1). Undang-undang tersebut mengancam pidan mati yang berbunyi sebagai berikut : “barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sebuah peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun”. 4. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom, Pasal 23 mengandung ancaman pidana mati yang berbunyi sebagai berikut : “Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang dimaksud dalam pasal 22, dihukum dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara selama-lamanya lima belas tahun dengan tidak dipecat, atau dipecat dari hak jabatan tersebut dalam Pasal 35 Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. 5. Undang-undang Nomor 11 (PNPS) Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Pasal 13 mengandung ancaman pidana mati yang berbunyi : 1) Barangsiapa melakukan tindak pidana seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (1) 1, 2, 3, 4, dan ayat (2) dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun. 2) Barangsiapa melakukan tindak pidana subversi yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (1) angka 5 dipidana mati, pidana penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun atau denda setinggi-tingginya 30 (tiga puluh juta rupiah) 6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika, Pasal 36 ayat (4) sub b mengancam pidana mati terhadap perbuatan-perbuatan yang diatur dalam Pasal 23 ayat (4) yang berbunyi : “secara melawan hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransit narkotika” sedangkan pasal 36 ayat (4) dan ayat (5) sub b mengancam dengan pidana mati perbuatan-perbuatan yang diatur dalam pasal 23 ayat (5) Yang berbunyi, ”secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menerima, menawarkan untuk dijual, dibeli, menyerahkan, menjadi perantara dalam jual beli atau menukarkan narkotika”.
Universitas Sumatera Utara
7. Pidana mati juga dicantumkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undangundang No. 20 Tahun 2001, yang masing-masing Pasal-Pasal tersebut pada intinya merumuskan sebagai berikut: Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa : “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa : “Beberapa ketentuan dan penjelasan Pasal dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana diubah sebagai berikut : Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan Pasal demi Pasal dirubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal demi Pasal angka 1 Undang-undang ini”.
1.3 Hubungan Aliran Hukum Pidana Dengan Kedudukan Pidana Mati Sebagai dijelaskan di atas, masalah pengaturan pidana mati tidak terlepas dari sejarah pembuatan perundang-undangan pidana tersebut. Dalam proses pembuatan perundang-undangan pidana juga tidak terlepas dari pengaruh pemikir-pemikir hukum pidana yang tertuang dalam beberapa aliran. Aliran dalam ilmu hukum pidana itu tidaklah mencari dasar hukum atau pembenaran dari pidana itu tetapi berusaha memperoleh sesuatu sistem hukum pidana yang praktis dan bermamfaat. Aliran-aliran tersebut yaitu : 1. Aliran Klasik Aliran Klasik ini dimulai pada abad ke-18 sebagai reaksi atas pemerintah yang absolut menimbulkan banyak ketidakpastian hukum, ketidaksamaan dalam hukum serta
Universitas Sumatera Utara
ketidakadilan. Aliran ini mengkehendaki hukum pidana tersusun secara sistematis dengan menitikberatkan kepada kepastian hukum13 Dengan pandangan yang indenterministis mengenai kebebasan manusia, aliran ini menitikberatkan kepada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana, dengan demikian yang dikehendaki adalah hukum pidana perbuatan, perbuatan disini diartikan secara abstrak dan dilihat secara yuridis belaka terlepas dari orang yang melakukannya, dengan peraturan ini ingin mengobjektifkan hukum pidana dari sifat pribadi pelaku, usia, keadaan jiwa, kejahatan terdahulu atau pun keadaan-keadaan yang bersifat khusus dari perbuatan yang terjadi. Dengan demikian, pada waktu itu dikenakan suatu sistem pidana yang bersifat pasti (definite sentence), kaku (rigid) dan pemidanaan yang tidak mengenal sistem peringanan dan pemberatan atas faktor-faktor non hukum. Peranan Hakim dalam menentukan kesalahan seseorang sangat dikurangi, sebagai konsekuensi dari hal tersebut maka hukum harus terumus dengan jelas sehingga tertutup kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran, hakim berperan sebagai mulut undang-undang. Pemikiran pengikut aliran klasik ini berpijak pada paham, yaitu :
1. Asas legalitas yang mengatakan bahwa tiada pidana tanpa undang-undang, tiada tindak pidana tanpa undang-undang dan tiada penuntutan tanpa undangundang. 2. Asas kesalahan, yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau karena kealpaan. 3. Asas pengimbalan (pembalasan) yang sekuler, yyang berisi bahwa pidana secara konkrit tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai perbuatan yang dilakukan 14. Cesare Beccaria yang merupakan salah satu tokoh utama dari aliran klasik yang menurut 13 14
dunia ilmu pengetahuan hukum dianggap sebagai orang yang
pertama
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni, Bandung, 1985, hal. 20. , Prof, Dr, Barda Nawawi, Arief, Op, cit, hal. 26.
Universitas Sumatera Utara
meletakkan dasar dari aliran klasik. Menurut Sue Titus Reid, sumbangan Beccaria yang terbesar adalah konsepsinya bahwa pidana harus cocok dengan kejahatan (punishment should fit the crime)15. Filsafat yang mempengaruhi Beccaria secara kuat ialah mengenai “kebebasan kehendak”, dikemukakan bahwa perbuatan manusia bersifat purposive (bertujuan) dan ini didasarkan pada paham hedonisme, prinsip kesenangan dan kesusahan, yaitu manusia dan menghindari perbuatan-perbuatan yang membawa kesusahan. Jadi akibat dari filsafat mengenai kebebasan kehendak, skala keadilan menurut Beccaria tidak ditentukan pada prasangka-prasangka perseorangan yang akhirnya bersifat buta. Alasan utama penjatuhan pidana adalah untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan untuk mencegah orang melakukan kejahatan. Oleh karena, penjatuhan pidana mati tidak dapat mencegah kejahatan dan itu merupakan kebrutalan. Beccaria juga yakin bahwa pidana mati menyia-nyiakan sumber daya manusia yang merupakan modal utama bagi negara. Pidana mati juga menimbulkan sentimen moral umumnya. Kenyataannya diperlihatkan oleh kebencian umum dari pada pelaksanaan pidana mati dan hasilnya melemahkan moralitas umum yang sebenarnya dipertahankan atau diperkuat oleh hukum. Alasan Beccaria menolak pidana mati didasarkan pada kontra sosial, sebagai berikut
:
”Tidak
seorang
pun
mempunyai
hak
alami
menyerahkan/
menghentikan/mengorbankan kehidupannya sendiri. oleh karena itu tidak seorang pun
15
Muladi, Op, cit, hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
dengan perjanjian dapat memberikan hak hidup dan mati atas dirinya pada raja/penguasanya”. Oleh karena itu kontra sosial tidak dapat membenarkan pidana mati 16.
2. Aliran Modern Aliran ini tumbuh pada abad ke-19, memasuki abad ke-20 yang merupakan koreksi terhadap aliran klasik dan aliran ini juga disebut dengan aliran positif karena mencari kejahatan dengan metode alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki dan memandang pelaku secara abstrak bukan hanya sebagai orang yang melakukan saja dari sudut yuridis semata melainkan harus dilihat secara konkret bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor lingkungan kemasyarakatannya. Dengan demikian aliran modern ini bertitik tolak pada pandangan determinisme yaitu memandang manusia tidak mempunyai kebebasan kehendak. Jadi aliran ini menolak pandangan adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif. Lambrosso salah seorang tokoh aliran modern dengan teorinya tentang delinquenten nato memperbolehkan pidana mati untuk menghilangkan sifat-sifat jahat yang ada pada diri si pelaku tindak pidana. Pidana mati adalah suatu upaya untuk meniadakan orang-orang yang tidak dapat diperbaiki lagi, dan dengan adanya pidana mati maka hilanglah kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara-penjara yang demikian besarnya. Garofalo juga sependapat dengan Lambrosso yang mengatakan
16
Prof, Dr, Barda Nawawi, Arief, Op, Cit, hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
pidana mati itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin diperbaiki lagi 17. Pidana mati adalah suatu upaya yang radikal untuk meniadakan orang-orang yang tidak dapat diperbaiki lagi, dan dengan adanya pidana mati ini maka hilanglah pula kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara-penjara yang demikian besarnya.
3. Aliran Neo-Klasik Aliran ini merupakan modifikasi dari aliran pembalasan, yang muncul pada abad ke-19 dan memiliki dasar yang sama dengan aliran klasik yaitu terkenal dengan Doctrinew of free will, akan tetapi dengan melakukan modifikasi dari berbagai segi. Aliran ini berusaha memberikan solusi terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tidak sanggup dijawab oleh aliran klasik. Akar dari aliran ini masih berkisar tentang pengimbalan yang lebih realita dan disesuaikan dengan perkembangan jamannya, modifikasi yang dilakukan aliran ini yang paling utama adalah mengenai tujuan dari pidana tersebut, yaitu bahwa tujuan pidana itu tidak semata-mata hanya untuk melakukan pembalasan terhadap terpidana sebagaimana yang diungkapkan oleh aliran klasik, akan tetapi juga meliputi perbaikan dan pemasyarakatan terpidana merasa terbebas dari kesalahan yang mereka perbuat18.
17 18
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Op, cit, hal. 27. Muladi, Op, cit, hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi 2.1 Istilah dan Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu Strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WVSNI (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Oleh karena itu , para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan istilah itu 19. Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit sebagai berikut : 1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundangundangan resmi Indonesia. 2. Peristiwa Pidana digunakan oleh beberapa ahli hukum 3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud strafbaar feit. 4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M. H Tirtamidjaja. 5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam bukunya Ringkasan Tentang Hukum Pidana. 6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam Undang-undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak. 7. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam berbagai tulisannya 20. Dari istilah di atas, para sarjana memberi pengertian tentang strafbaar feit (tindak pidana). Simons merumuskan strafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum
19
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 67. 20 Ibid, hal 67-68.
Universitas Sumatera Utara
(onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab 21. Menurut Pompe, pengertian strafbaar feit terdiri atas dua, yaitu : a. Defenisi menurut teori memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum; b. Defenisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum22. R. Tresna mengemukakan bahwa sungguh tidak mudah memberikaan suatu ketentuan atau defenisi yang tepat, mengatakan bahwa peristiwa pidana itu ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan hukum lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan, sedangkan Wirjono Prodjodikoro merumuskan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan sebagai subjek tindak pidana 23. Dari uraian di atas , secara ringkas dapatlah diisusun unsur-unsur dari tindak pidana, yaitu : 1. 2. 3. 4.
Subjek Kesalahan Bersifat melawan hukum (dari tindakan) Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undangundang/perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana. 5. Waktu, tempat dan keadaan 24.
21
Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hal. 205. 22 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1982, hal. 91. 23 Ibid, hal. 208-209. 24 Ibid, hal. 211.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, dapat dirumuskan pengertian dari tindak pidana sebagai suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undanng-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggung jawab).
2.2 Pengertian Tindak Pidana Korupsi Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan jaman. Istilah korupsi berasal dari perkatan latin “coruptio” atau “corruptus”, 25 yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Di samping itu istilah korupsi di beberapa negara dipakai untuk menunjukkan keadaan atau perbuatan yang busuk. Korupsi banyak diartikan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Banyak istilah di beberapa negara “gin moung (Thailand)”, yang artinya keserakahan, “ashuku (Jepang)”, yang berarti kotor 26.
Artinya secara harfiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang bernuansa menghina atau memfitnah, penyuapan, dalam bahasa Indonesia kata
25
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal. 197. 26 Sudarto, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2001, hal. 122.
Universitas Sumatera Utara
korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya 27. Lebih jauh tipe-tipe korupsi dalam prakteknya meliputi ciri-ciri sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang. Korupsi pada umumnya dilakukan penuh kerahasiaan. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Korupsi dengan berbagai macam akal berlindung di balik pembenaran hukum. Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan keputusan yang tegas dan mereka mampu mempengaruhi keputusan. 6. Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan politik atau masyarakat umum. 7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan28
2.3 Subjek Dan Objek Tindak Pidana Dalam sejarah perundang-undangan hukum pidana dikenal adanya subyek dari sesuatu tidak pidana, yaitu manusia (natuurlijke persoonen). Dengan demikian hanya manusialah yang dianggap sebagai subyek tindak pidana. Menurut S.R. Sianturi bahwa manusia sebagai subyek tindak pidana dapat dilihat dari 3 (tiga) segi, yaitu : a. Perumusan delik yang selalu menentukan subyeknya dengan istilah barangsiapa, warganegara Indonesia, nakhoda, pegawai negeri dan lain sebagainya. Penggunaan istilah-istilah tersebut selain daripada yang ditentukan dalam rumusan delik yang bersangkutan, dapat ditemukan dasarnya pada Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP. Untuk istilah barangsiapa, dalam Pasal 2, 3 dan 4 KUHP digunakan istilah een ieder (setiap orang). b. Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana seperti diatur, terutama dalam Pasal 44, 45 dan 49 KUHP, yang antara lain mensyaratkan kejiwaan (verstandelijke vermogens–yang kemudian dianggap sebagai geestelijke vermogens) dari petindak. Demikian
27
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 8-9. 28 Evi Hartanty, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
juga unsur kesalahan (dolus/culpa) yang merupakan hubungan kejiwaan antara petindak dengan tindakannya. c. Ketentuan mengenai pidana yang diatur dalam Pasal 19 KUHP, terutama mengenai pidana denda. Hanya manusialah yang mengerti nilai uang 29. Manusia sebagai pembawa hak dan kewajiban dimulai dari saat dia dilahirkan dan berakhir pada saat meninggal dunia. Bahkan seorang anak yang masih dalam kandungan juga dapat dianggap sebagai subyek atau sebagai pembawa hak setelah lahir jika kepentingannya memerlukannya. Tetapi perkembangan jaman semakin lama semakin maju sehingga menurut para sarjana tidaklah dapat dikatakan bahwa hanya manusia saja yang dapat dijadikan subyek, tetapi badan hukum juga dapat sebagai subyek, namun dalam hal-hal yang menyangkut : 1. Sumber keuangan negara (perpajakan, bea import dan eksport barang dan sebagainya), 2. Pengaturan perekonomian (pengendalian harga, penggunaan cek, pengaturan perusahaan dan sebagainya), 3. Pengaturan keamanan (subversi, keadaan bahaya dan lain sebagainya). Menurut C.S.T. Kansil yang dimaksud dengan obyek dari tindak pidana adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan yang dapat menjadi obyek sesuatu perhubungan hukum 30.Obyek hukum pada dasarnya disebut dengan benda. Hal ini dapat diketahui dari Pasal 499 KUH Perdata, yang menentukan bahwa benda adalah segala barang-barang dan hak-hak yang dapat dimiliki orang. Pasal 503 KUH Perdata ada membagi benda atas 2 (dua) jenis, yaitu :
29
S.R. Sianturi, Op, Cit, hal. 214. CST, Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal. 220. 30
Universitas Sumatera Utara
1. Benda berwujud (material) yaitu segala sesuatu yang dapat diraba oleh panca indra manusia, seperti meja, kursi dan lain-lain. 2. Benda tidak berwujud (immaterial) yaitu segala macam hak, seperti hak cipta, hak paten, hak merek dan lain-lain.
2.4 Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi Perumusan tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 ayat (1) UU PTPK adalah setiap orang (orang perorangan atau korporasi) yang memenuhi unsur atau elemen dari Pasal tersebut. Dengan demikian, pelaku tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 ayat (1) adalah “setiap orang,“ tidak ada keharusan pegawai negeri, jadi juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat berbentuk badan hukum atau perkumpulan. Unsur-unsur tindak pidana korupsi menurut UU PTPK sebagai berikut: a. unsur perbuatan melawan hukum; b. unsur perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; c. unsur perbuatan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; d. unsur perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan 31. Ad. a : Unsur perbuatan melawan hukum Adapun yang dimaksud dengan melawan hukum adalah mencakup pengertian perbuatan melawan hukum secara formil maupun materiil. Melawan hukum secara formil berarti perbuatan yang melanggar/bertentangan dengan undang-undang, sedangkan melawan hukum secara materiil berarti bahwa meskipun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
31
Evi Hartanty, Op, Cit, hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, seperti bertentangan dengan adat-istiadat kebiasaan, moral, nilai agama, dan sebagainya. (Penjelasan Umum Pasa12 UU PTPK).
Ad. b :
Unsur perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi Adapun perbuatan menurut unsur ini adalah : 1. Memperkaya diri sendiri Artinya bahwa dengan perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri. 2. Memperkaya orang lain Maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. Jadi disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung. 3. Memperkaya Korporasi Maksudnya, mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Ad. c : Unsur perbuatan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Merugikan keuangan negara berarti mengurangi atau mengganggu keuangan negara atau perekonomian negara. Merugikan perekonomian negara berarti mengurangi atau mengganggu kehidupan yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan kekeluargaan (koperasi) ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan seluruh kehidupan rakyat.
Universitas Sumatera Utara
Ad. d : Unsur perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sasaran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Adapun perbuatan yang dilakukan adalah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan kewenangan berarti kekuasaan/hak. Jadi, yang disalahgunakan itu adalah kekuasaan atau hak yang ada pada pelaku, misalnya untuk menguntungkan anak, saudara, cucu atau kroni sendiri. Menyalahgunakan kesempatan berarti menyalahgunakan waktu yang ada padanya dalam kedudukan atau jabatannya itu. Sementara menyalahgunakan sarana berarti menyalahgunakan alat-alat atau perlengkapan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan itu
2.5 Asas-asas Tindak Pidana Korupsi Hermien Hadiati Koeswadji mengatakan bahwa tindak pidana korupsi tidak jauh berbeda dengan tindak pidana lainnya yang harus mempunyai asas-asas hukumnya. Asas dalam tindak pidana korupsi yang terdapat dalam UU Nomor 31 Tahun 1999, yaitu antara lain: 1. Pelakunya adalah setiap orang Pengertian setiap orang dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 adalah meliputi orang perseorangan atau korporasi yang terdiri dari badan hukum dan perkumpulan orang. 2. Pidananya bersifat komulasi dan alternatif. Pasal 2 sampai dengan Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 mengatur pasal-pasal tindak pidana korupsi, di mana diatur ancaman pidananya bersifat komulasi dan alternatif. 3. Adanya pidana minimum dan maksimum. Pidana yang diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 diatur batas hukuman minimum dan maksimum, sehingga mencegah hakim menjatuhkan putusan aneh, yang dirasa tidak adil. 4. Percobaan melakukan tindak pidana korupsi, pembantuan atau permufakatan jahat melakukan tindak pidana korupsi dipidana sama
Universitas Sumatera Utara
5.
6. 7.
8.
9.
10. 11. 12. 13.
14. 15. 16.
17.
dengan pelaku tindak pidana korupsi dan dianggap sebagai delik yang sudah selesai (delik formil). Setiap orang yang di luar wilayah Indonesia memberikan bantuan, kesempatan, sarana dan keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 (Pasal 16 UU Nomor 31 Tahun 1999). Pidana tambahan selain pidana tambahan yang diatur dalam KUHP (Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999). Jika terpidana membayar uang pengganti (Pasal 18 ayat (2)) paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang uang pengganti (Pasal 18 ayat (3)), maka dipidana penjara yang lamanya melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Orang yang sengaja mencegah, menutupi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dipidana (Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999). Orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dapat dipidana. Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya. Dapat dibentuk Tim Gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. Tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri/suami, anak, dan harta benda setiap orang ataupun korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka. Penyidik/penuntut umum/hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka. Identitas pelapor dilindungi. dalam hal unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sementara nyata telah timbul kerugian negara, maka dapat digugat secara perdata. Putusan bebas dalam perkara korupsi tidak menghapuskan hak menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
Universitas Sumatera Utara
18. Ahli waris tersangka atau terdakwa atau terpidana korupsi dapat digugat membayar ganti kerugian 32.
F. Metodologi Penulisan 1. Jenis Penelitian. Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 2. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud penulis adalah sebagai berikut : 1. Bahan hukum primer, antara lain : a. Norma atau kaedah dasar b. Peraturan dasar c. Peraturan perundang-undangan seperti KUHAP, KUHP, UU No.21 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU. No. 31 Tahun 1999 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan oleh Presiden RI mulai berlaku 27 Desember 2002, TAP. MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme. 2. Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, dan sebagainya.
32
Hermien Hadiati Koeswadji, Tindak Pidana Korupsi di Indonesi, Penerbit PT Citra Aditya. Bandung,1999, hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, seperti majalah, jurnal ilmiah, serta bahanbahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini. 3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini metode yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data adalah metode library research (penelitian kepustakaan) dan field research (studi lapangan). 4. Analisis Data Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini metode yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data adalah metode library research (penelitian kepustakaan) dan field research (studi lapangan). Analisis data yakni dengan analisis secara kualitatif. Data sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan Untuk lebih jelas dan terarahnya penulisan skripsi ini, maka akan dibahas dalam bentuk sistematika, yaitu sebagai berikut :
BAB I
PENDAHULUAN: Merupakan bab pendahuluan yang mengemukakan tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
Universitas Sumatera Utara
keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metodologi penulisan, dan sistematika penulisan. BAB II
SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN PIDANA MATI: Pada bagian ini akan mengenai hal – hal yang berkaitan dengan sistem pemidanaan, tujuan dan fungsi pemidanaan, pedoman pemidanaan dan sistem pemidanaan di Indonesia baik yang diatur dalam KUHP, Diluar KUHP, dan juga menurut Rancangan KUH Pidana Baru Tahun 2006 dihubungkan dengan pidana mati.
BAB III PERKEMBANGAN SUMATERA
TINDAK
UTARA
PIDANA
SETELAH
KORUPSI
DI
DIKELUARKANNYA
UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2001: Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dicantumkannya pidana
mati
dalam
Undang-undang
Tindak
Pidana
Korupsi,
perkembangan tindak pidana korupsi di Sumatera Utara khususnya kota Medan setelah dikeluarkannya Undang-undang No 20 Tahun 2001 dan juga beberapa contoh kasus korupsi yang terjadi di Sumatera Utara. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN : Bab terakhir dari penulisan skripsi ini berisi kesimpulan mengenai babbab yang telah dibahas sebelumnya dan pemberian saran-saran dari penulis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
Universitas Sumatera Utara