BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan ini berawal dari adanya gagasan yang muncul dari komunitas internasional bahwa pasca Perang Dunia kedua kejahatan pelanggaran HAM berat tidak seharusnya terjadi lagi. Saat dibentuknya PBB tahun 1945, Komunitas internasional berjanji bahwa mereka tidak akan membiarkan kejahatan terhadap kemanusiaan terulang lagi seperti yang sebelumnya terjadi pada perang dunia pertama dan perang dunia kedua dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di beberapa negara lain seperti
di
Kamboja, Guatemala, dan lain-lain. Namun pada kenyataannya janji komunitas internasional ini menghadapi suatu dilemma ketika pada tahun 1990-an terjadi lagi pembunuhan masal di Bosnia dan Rwanda. Dan sekali lagi komunitas internasional gagal untuk mencegah kejahatan tersebut terjadi. Alasan di balik gagalnya komunitas internasional dalam menangani ini adalah karena beberapa diantara mereka masih berpegang teguh pada gagasan kedaulatan negara (State Sovereignty). Hal ini mengacu pada hak negara untuk tidak dicampuri urusan negaranya dan tidak mencampuri urusan negara lain. Akhir abad ke-20 menandai sebuah perubahan dalam sifat konflik bersenjata besar antar-negara perang digantikan oleh konflik internal kekerasan, di mana sebagian besar korban warga sipil sekarang. Pembantaian 1
di Kamboja, Rwanda, dan Bosnia menunjukkan kegagalan besar-besaran oleh masyarakat
internasional
untuk
mencegah
kekejaman
massa. Dengan
demikian, menjelang akhir tahun 1990-an ada kebutuhan untuk menggeser perdebatan tentang pencegahan krisis dan respon keamanan masyarakat dan individu dimana hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab negara, tetapi juga harus menjadi prioritas untuk kebijakan nasional dan internasional. Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi komunitas internasional tersebut maka pada tahun 2000 pemerintah Kanada membentuk sebuah komisi yang dinamai International Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS). Komisi ini dibentuk sebagai tanggapan atas pernyataan Sekjen PBB kala itu, Kofi Annan, yang meminta kepada negara-negara anggota PBB untuk mencegah terjadinya lagi kejahatan kemanusiaan seperti yang terjadi di Rwanda dengan melakukan intervensi yang bertujuan kemanusiaan. Pada laporannya di tahun 2001, ICISS memperkenalkan pertama kali istilah RtoP (Responsibility to Protect). Konsep RtoP ini dibangun atas dasar ide Francis Deng mengenai ‘kedaulatan sebagai tanggung jawab’ (sovereignty as responsibility). Menurut pendapat Deng, negara tidak seharusnya hanya menikmati kedaulatan yang dimilikinya tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi seluruh masyarakat yang tinggal dalam wilayah negaranya. Konsep mengenai RtoP ini mendapat banyak dukungan dari berbagai negara. Puncaknya pada KTT PBB tahun 2005 disepakati beberapa hal salah satunya adalah mengenai RtoP ini, bahwa setiap negara wajib untuk 2
melindungi rakyatnya dari pemusnahan masal, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pembersihan etnis, dan bahwa komunitas internasionnal sepakat untuk mengambil tindakan kolektif apabila suatu negara dianggap gagal untuk melindungi rakyatnya dari empat jenis kejahatan tersebut. Dalam prinsip RtoP ini terkandung tiga jenis tanggung jawab, yaitu, pertama: tanggung jawab negara untuk mencegah terjadinya kejahatan kemanusiaan di negaranya, kedua: tanggung jawab untuk bertindak ketika terjadi kejahatan kemanusiaan di negaranya, ketiga: tanggung jawab untuk membangun kembali setelah terjadinya kejahatan kemanusiaan. Dengan mengangkat tema prinsip responsibility to protect sebagai inti dari penulisan ini, peneliti berencana menyuguhkan konsep resolusi konflik yang sejatinya terkandung dalam prinsip RtoP itu sendiri. Prinsip RtoP ini akan dilihat oleh peneliti dalam kacamata resolusi konflik. Sebagai suatu prinsip yang mengimplementasikan konsep resolusi konflik dalam proses pelaksanaannya, penulis berencana membagi tiga tahapan resolusi konflik yaitu peacemaking, peacekeeping, dan peace building sebagai landasan penerapan prinsip Responsibility to Protect sebagai upaya memberikan perlindungan dan menangani konflik yang berujung pada terjadinya kekejaman massa.
3
B. Rumusan Masalah Dari topik diatas maka permasalahan yang hendak diangkat oleh peneliti adalah: Bagaimana implementasi prinsip Responsibility to Protect dalam mengatasi kekejaman massa dalam kaitannya sebagai konsep resolusi konflik yang meliputi peacemaking, peacekeeping, dan peace building? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang prinsip responsibility to protect dengan memberikan berbagai penjelasan mengenai prinsip tersebut melalui konsep dan teori-teori yang ada. Penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan suatu konsep baru dalam prinsip RtoP ini dengan melihat penerapan prinsip ini baik dari bentuk tanggung jawabnya dalam hal prevent, react dan rebuild maupun dari pilarpilar yang ada didalamnya sebagai bentuk penerapan konsep resolusi konflik peacemaking, peacekeeping, dan peace building. Selain itu dari hasil penelitian ini juga diperkuat dengan menyajikan studi kasus. D. Metode Penelitian Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan dua metode penelitian. Pertama, discipline configurative study, dimana peneliti akan menginterpretasi berdasarkan teori yang bertumpu pada general hypothesis, dan menyimpulkan hipotesa berdasarkan teori yang ada serta menguji dan menggunakan teori tersebut (Verba 1967). Dari situ peneliti akan dapat 4
melihat apakah teori tersebut dapat diterapkan, dan apabila diterapkan apakah sudah memadai. Kedua, peneliti juga menggunakan metode heuristic-configurative study, disini peneliti akan menggunakan istilah serving to find out, dimana akan mencoba menemukan atau membentuk generalisasi atas konsep baru berkaitan dengan penerapan tanggung jawab prevent, react dan rebuild dan juga pilar-pilar dalam prinsip RtoP ini sebagai bentuk penerapan konsep resolusi konflik peacemaking, peacekeeping, dan peace building. Dalam rangka pengumpulan data-data yang diperlukan, yang memiliki kaitan dengan penelitian ini maka penulis menggunakan teknik kepustakaan (library research) yakni berupa data-data sekunder yang tersusun dalam bentuk bulu, jurnal, dokumen terkait, dan websites. Selain itu peneliti juga akan melakukan ‘coding’ dan ‘labeling’ pada data-data yang ada dan dibutuhkan demi kepentingan penelitian ini. E. Literature Review Kesepakatan negara-negara di dunia untuk mengakhiri terjadinya kejahatan kemanusiaan pasca perang dingin membawa pada persetujuan untuk memberlakukan fungsi Responsibility to Protect (RtoP) terhadap negara lain yang sedang mengalami suatu konflik. Prinsip
RtoP ini kemudian diadaptasi sebagai norma bagi
komunitas internasional untuk turut serta memerangi terjadinya kejahatan 5
kemanusiaan yang disebabkan oleh konflik di suatu negara. Dalam bukunya The Responsibility to Protect: Ending Mass Atrocity Crimes One and for All, Gareth Evans (2008) selaku salah satu penggagas prinsip RtoP ini menjelaskan bahwa RtoP tercipta setelah selama-berabad-abad dunia seolah menutup mulut terhadap kejahatan kemanusiaan yang terjadi di negara lain, dan hal ini disebabkan hanya karena mereka tetap berpegang teguh pada prinsip kedaulatan. RtoP ini juga bukan semata-mata memberikan hak bagi negara-negara untuk melakukan intervensi, melainkan lebih kepada tanggung jawab negara untuk melindungi warganya dari terjadinya kejahatan kemanusiaan dan juga tanggung jawab bagi komunitas internasional untuk membantu negara tersebut mewujudkannya. Apabila negara tersebut dianggap gagal maka komunitas internasional berhak untuk masuk dan turut serta menyelesaikan masalah tersebut. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh ICISS pada tahun 2001, The Responsibility to Protect, dijelaskan secara terperinci semua hal yang berkenaan dengan prinsip RtoP ini. dimulai dengan pengenalan prinsip dasar RtoP yang lahir dari gagasan kedaulatan sebagai tanggung jawab dimana negara berkewajiban melindungi rakyatnya dan apabila negara tersebut gagal maka komunitas internasional akan masuk dalam rangka membantu menyelesaikan permasalahan atau konflik yang terjadi. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai elemen-elemen atau bentuk-bentuk tanggung jawab dalam RtoP yang meliputi responsibility to prevent, responsibility to react, dan responsibility to rebuid. Dalam laporan ini juga dijabarkan 6
mengenai penggunaan kekuatan militer dalam menghentikan kekejaman massal yang terjadi meliputi alasan dasar serta prosedur penurunan pasukan militer. Selain hal-hal yang telah disebutkan diatas, pada laporan ICISS juga menjelaskan mengenai tantangan yang dihadapi dalam penerapan prinsip RtoP ini kedepannya, diantaranya adalah implikasi penerapan prinsip ini pada kedaulatan negara, intervensi kemanusiaan, dan perubahan lingkungan internasional. Berangkat dari laporan yang dikeluarkan oleh ICISS tersebut terutama berkaitan dengan elemen-elemen atau bentuk-bentuk tanggung jawab yang dimiliki prinsip RtoP ini yaitu responsibility to preven, responsibility to react, dan responsibility to rebuild beberapa artikel mengulasnya secara bersama maupun terpisah. Salah satunya dalam artikel yang ditulis oleh Jennifer M. Welsh dan Serena K. Sharma berjudul Operationalizing The Responsibility To Prevent dijelaskan mengenai eskalasi konflik yang terbagi menjadi tiga tingkatan yang pada akhirnya dapat mengarah kepada terjadinya kekejaman massa. Tahap pertama adalah tahap risk factors yaitu ditandai dengan muncul dan berkembangnya faktor risiko untuk terjadinya kejahatan kemanusiaan. Faktor-faktor risiko ini menciptakan potensi kejahatan kekejaman massal meskipun masih belum tentu terjadi. Singkatnya faktor-faktor tersebut perlu diwaspadai, meskipun belum cukup dijadikan acuan terjadinya kejahatan massal. Tahap eskalasi konflik selanjutnya yaitu tahap crisis & mobilization. 7
Pada tahap kedua ini risiko umum berubah menjadi kemungkinan. Tahap yang ketiga yaitu tahap imminent emergency.
Di tahap ketiga ini telah terjadi
insiden bentrokan kekerasan yang lebih besar, adanya peningkatan pelanggaran terhadap kemanusiaan, penargetan sistematis kelompok korban, dan menunjukkan perlawanan yang terus menerus terhadap kelompok korban. Ini merupakan indikator yang jelas akan adanya kekejaman massa dalam skala besar jika tidak adanya tindakan pencegahan yang dilakukan. Dari ketiga tahap eskalasi konflik yang telah dijabarkan, maka dapat ditentukan tindakan pencegahan apa yang akan dilakukan. Pada tiap-tiap tahap eskalasi konflik memiliki strategi pencegahan yang berbeda-beda dan diharapkan dapat digunakan dalam merancang alat pencegahan yang tepat pula. Secara garis besar Welsh dan Sharma memberikan contoh targeted strategies untuk mencegah eskalasi konflik pada tahap kedua (crisis & mobilization) dan ketiga (imminent emergency) dengan tindakan-tindakan antara lain mediasi, rujukan kepada ICC, dan pemberlakuan zona larangan terbang. Berkaitan dengan peran prinsip responsibility to protect sebagai sebuah konsep resolusi konflik maka artikel yang ditulis oleh Johan Galtung (1975) yang berjudul Three Approaches to peace: peacekeeping, peacemaking and peacebuilding merupakan rujukan penting. Dalam artikel ini dijelaskan definisi dari masing-masing tahap resolusi konflik. Galtung mendeskripsikan peacemaking
sebagai
proses
yang
tujuannya
mempertemukan
atau 8
merekonsiliasi sikap politik dan stategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan. Peacekeeping adalah proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral. Sedangkan peace building merupakan proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang berkesinambungan. Ketiga tahapan resolusi konflik sebagaimana dikemukakan oleh Galtung tersebut akan dikorelasikan dengan elemen-elemen maupun pilar-pilar dalam prinsip responsibility to protect. Dalam jurnal yang dipublikasikan oleh Human Rights Center Religion, Politics and Globalization Program International Human Rights Law Clinic University of California (2007) berjudul The Responsibility to Protect (R2P): Moving the Campaign Forward, diberikan contoh kasus penerapan prinsip responsibility to protect dalam kasus-kasus aktual, dimana konflik-konflik yang dianalisa merupakan konflik yang pecah setelah adanya prinsip RtoP. Contoh kasus tersebut meliputi beberapa negara antara lain konflik Darfur, Libya, dan Suriah. Dari masing-masing ketiga konflik tersebut dianalisa menggunakan penerapan prinsip RtoP di tiap tahap resolusi konfliknya, masing yaitu tahap responsibility to prevent, tahap responsibility to react, dan tahap responsibility to rebuild. Dengan adanya contoh kasus penerapan prinsip RtoP pada kasus aktual maka dapat dilihat pula penerapan prinsip responsibility to protect sebagai sebuah konsep resolusi konflik. 9
F. Kerangka Konseptual 1. Konsep Resolusi Konflik Resolusi Konflik adalah suatu proses analisis dan penyelesaian masalah yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok seperti identitas dan pengakuan juga perubahan-perubahan institusi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan (Sondole, 1993 h.45). Dalam penjabaran konsep ini penulis mendasarkan tulisannya pada pendapat Johan Galtung mengenai resousi konflik. Menurut Galtung, resolusi konflik di bagi pada tiga tahapan yaitu peacemaking, peacekeeping, dan peace building. Peacemaking merupakan sebuah strategi upaya dalam mengakhiri sebuah kekerasan penyebab konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi antara pihak yang bertikai misalnya pengadaan sebuah perjanjian tertulis yang melibatkan mediator. Peacekeeping adalah proses penjagaan keamanan dengan pengakuan masing-masing pihak terhadap perjanjian dan berusaha untuk selalu menjaganya sebagai sebuah perisai dalam penyelesaian konflik yang terjadi selanjutnya. Peace building adalah proses pengimplementasian perubahan atau rekonstruksi sosial, politik maupun ekonomi demi tercapaianya sustainable peace. Dari ketiga tahapan resolusi konflik tersebut diharapkan terciptanya transformasi negative peace (the absence of war) menjadi positive peace dimana semua
10
lapisan masyarakat akan merasakan keadilan sosial, kesetaraan dan kesejahreaan ekonomi (Alex Jemadu, 2008 h. 208). Penjelasan diatas sesuai juga dengan pendapat Roland Paris yang mendefinisikan peacemaking, peacekeeping, dan peacebuilding sebagai berikut: “peacemaking is the attempt to resolve an ongoing conflict, either by peaceful means such as mediation and negotiation, or, if necessary, by the authorization of an international military force to impose settlement to the conflict. Peacekeeping is the deployment of a lightly armed, multinational contingent of military personnel for nonenforcement purposes, such as the observation of ceasefire. Peacebuilding is action undertaken at the end of a civil conflict to consolidate peace and prevent a recurrence of fighting. A peace building mission involves the deployment of military and civilian personnel from several international agencies, with a mandate to conduct peacebuilding in a country that is just emerging from a civil war.”(Paris 2004) Menurut John W. Burton pada intinya, teori resolusi konflik mengedepankan prinsip-prinsip bahwa (Burton&Sondole, 1990 h. 187) : 1. Konflik tidak dapat dipandang sebagai suatu fenomena politikmiliteristik namun juga harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial. 2. Konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear, sangat bergantung pada dinamika lingkungan konflik. 3. Sebab-sebab konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variable tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat melainkan harus dilihat sebagai fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor.
11
4. Resolusi konflik hanya diterapkan secara optimal jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang relevan. 2. Teori Responsibility Responsibility pada umumnya diartikan sebagai sebuah tanggung jawab. Namun pada dasarnya kata responsibility ini memiliki beberapa makna yang terkandung didalamnya seperti yang diilustrasikan oleh HLA Hart berikut ini: “As captain of the ship, X was responsible for the safety of his passengers and crew. But on his last voyage he got drunk every night and was responsible for the loss of the ship with all aboard. It was rumoured that he was insane, but the doctors considered that he was responsible for his actions. Throughout the voyage he behaved quite irresponsibly, and various incidents in his career showed that he was not a responsible person. He always maintained that the exceptional winter storms were responsible for the loss of the ship, but in the legal proceedings brought against him he was found criminally responsible for his negligent conduct, and in separate civil proceedings he was held legally responsible for the loss of life and property. He is still alive and he is morally responsible for the deaths of many women and children.” (Hart, 1968 h. 211) Dari ilustrasi yang diberikan oleh Hart diatas dia kemudian menjabarkan lima bentuk responsibility yaitu : role responsibility, causal responsibility, legal liability, moral liability, dan capacity responsibility. Contoh dari masing-masing bentuk responsibility itu ada pada ilustrasi Hart diatas. Lain halnya dengan Hart, Peter Cane responsibility ini ke dalam dua aspek yaitu aspek prospektif dan aspek historis. “historic responsibility is (typically) a function of failure to fulfil one’s prospective responsibilities’. Put another way, prospective responsibilities, when they are not performed, 12
tend to give rise to historic responsibilities.”(Cane, 2002 h.63) Luke Glanville sendiri dalam artikelnya On The Meaning of Responsibility in The Responsibility to Protect menjelaskan maksud dari aspek-aspek responsibility seperti yang telah dijabarkan oleh Cane adalah bahwa dimensi dari prospective responsibility mengacu pada kewajiban atau tugas yang dibebankan kepada aktor, sedangkan dimensi dari historical responsibility mengacu pada tanggung jawab atau akuntabilitas yang dibebankan kepada aktor yang dianggap gagal dalam memenuhi prospective responsibility-nya.(Glanville, 2011 h. 486) Berkaitan dengan prinsip RtoP ini Glanville kemudian menjelaskan pula bahwa untuk dapat mengetahui aspek dari responsibility dalam RtoP ini maka perlu ada tiga pembagian lingkupnya yaitu meliputi: apa bentuk tanggung jawabnya, siapa yang mengemban tanggung jawab tersebut, dan dalam hal apa seorang bisa dikatakan telah gagal dalam mengemban tanggung jawabnya. G. Argumen Utama Dalam prinsipnya RtoP mengandung tiga jenis tanggung jawab yaitu tanggung jawab untuk pencegahan, bertindak, dan membangun kembali (prevent, react, rebuild). Dalam penerapannya prinsip ini juga didasarkan pada tiga pilar yaitu pilar pertama yang menekankan bahwa negara-negara memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi rakyatnya dari pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan kemanusiaan. 13
Pilar kedua, menekankan pada tanggung jawab komunitas internasional untuk membantu negara-negara yang berada di bawah tekanan sebelum krisis dan konflik pecah, dan menggaris bawahi bahwa pencegahan merupakan jalan terbaik untuk menghentikan kekerasan yang terjadi. Pilar ketiga memfokuskan pada tanggung jawab komunitas internasional untuk mengambil tindakan tepat waktu dan tegas guna mencegah dan menghentikan pemusnahan massa, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan kemanusiaan ketika suatu negara gagal untuk melindungi rakyatnya. Tiga tahapan resolusi konflik yaitu peacemaking, peacekeeping dan peace building berada pada tataran yang sama dengan apa yang terkandung dalam prinsip responsibility to protect serta dengan penerapan ketiga pilar prinsip R to P tersebut. Tahapan, stretegi, maupun alat yang digunakan dalam penerapan prinsip responsibility to protect sama halnya dengan strategi dan alat dalam resolusi konflik.
14
H. Sistematika Pembahasan Penulisan tesis ini terbagi menjadi lima bab yang terdiri dari: 1. BAB I, bab ini merupakan bagian pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, review literature, kerangka konseptual, argument utama dan sistematika penulisan. 2. BAB II, bab ini akan membahas secara khusus latar belakang lahirnya prinsip RtoP, terbentuknya prinsip RtoP dan, ruang lingkup prinsip RtoP yang meliputi genosida (genocide), kejahatan perang (war crime), kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), pembersihan etnis (ethnic cleansing), serta implementasi prinsip RtoP. 3. BAB III, pada bab ini akan menjabarkan perkembangan prinsip RtoP dalam kaitannya dengan hubungan internasional yang meliputi kedaulatan negara,
prinsip
RtoP
terkait
kepentingan
negara-negara
maju,
humanitarian intervention dan RtoP, dan kegagalan penerapan prinsip RtoP 4. BAB IV, bab ini berisi analisa tentang penerapan RtoP sebagai konsep resolusi konflik yang terbagi dalam tiga tahapan peacemaking, peacekeeping, dan peace building disertai penerapan RtoP pada kasuskasus-kasus aktual dengan mengambil contoh kasus Darfur, Libia, dan Suriah. 5. BAB V, bab ini adalah penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh penulisan. 15