BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Endometriosis ditemukan pertama kali pada tahun 1824 oleh seorang ahli jiwa berkebangsaan Australia bernama Von Rokitansky. Keadaan khusus histopatologi yang ditemukan oleh Von Rokitansky ini baru dinamakan sebagai endometriosis oleh Dr. A. J. Simpson pada tahun 1860. Setelah penemuan itu, sedikit sekali penelitian mengenai endometriosis sampai akhirnya T.S. Cullen dan Meyer mempublikasikan hasil penelitian mereka mengenai adenomiosis pada tahun 1908 yang mengungkapkan bahwa adenomiosis merupakan suatu proses invaginasi dari permukaan epitel, yang berarti adanya pertumbuhan endometrium dari dalam uterus. Gambaran histopatologi ini juga pernah diungkapkan oleh Pfannenstiel pada tahun 1897 dengan penemuannya pada septum rektovaginal. Kemudian Russel pada tahun 1899 melaporkan tentang endometriosis ovarium. Publikasi lengkap tentang endometriosis yang pertama dibuat oleh Dr. A. J. Sampson pada tahun 1860. Meskipun sudah diketahui berabad yang lalu, bahkan telah tergambar dalam Papyrus Mesir 1600 SM, hingga kini masih banyak hal yang belum diketahui secara jelas mengenai patologi ini, baik dari segi etiologi, patogenesa, prevalensi serta cara pencegahannya.1,2 Endometriosis merupakan suatu keadaan patologis dimana ditemukan jaringan endometrium ektopik yang mempunyai susunan histologi (kelenjar, stroma endometrium, atau keduanya) dengan atau tanpa makrofag. Fungsi dari jaringan ektopik ini mirip dengan fungsi jaringan endometrium normal dan juga berhubungan
1
dengan menstruasi, bersifat jinak, tetapi dapat menyerbu organ-organ dan susunan lainnya.2,3,4 Endometriosis merupakan suatu penyakit yang sering terjadi pada wanita, bersifat kronik dan kadang-kadang dapat menjadi progresif.5,6 Bila jaringan ini terdapat di dalam lapisan miometrium dari uterus, maka disebut sebagai endometriosis interna atau adenomiosis, sedangkan bila ditemukan di luar uterus disebut endometriosis eksterna atau endometriosis (true endometriosis).8 Manifestasi klinik dari endometriosis tergantung pada penyebaran kelainan tersebut. Terbentuknya jaringan parut yang luas pada tuba dan ovarium sering menyebabkan rasa tidak enak pada kuadran bawah yang pada akhirnya menyebabkan sterilitas. Rasa sakit waktu defekasi menunjukkan keterlibatan dinding rektum. Dispareuni (rasa sakit saat senggama) serta disuria menunjukkan keterlibatan uterus dan lapisan serosa dari vesica urinaria. Hampir pada semua kasus ditemukan dismenore yang hebat dan rasa sakit di pelvis yang merupakan akibat dari perdarahan intrapelvis dengan perlekatan periuterus. Gejala lain yang sering ditemui adalah haid yang tidak teratur.4,7 Endometriosis interna maupun eksterna merupakan penyebab utama nyeri pelvis. Penyakit ini biasanya ditemukan sesudah menarke antara umur 17-53 tahun. Pada waktu permulaan muncul biasanya masih kecil serta terbatas. Dan belum menimbulkan keluhan pada penderita. Keluhan baru timbul setelah endometriosis besar dan meluas. Keadaan ini terjadi setelah beberapa tahun menderita endometriosis. Keluhan tersebut erat kaitannya dengan lokasi serta luasnya endometriosis. Keadaan yang khas pada kelainan ini adalah terdapatnya rasa nyeri yang bersifat progresif (bertambah) pada setiap menstruasi karena darah yang tidak dapat keluar akan tertimbun dan membentuk kista. Penambahan volume darah yang terjadi setiap bulan akan menyebabkan tingginya tekanan dalam kista dan berakibat bertambahnya rasa sakit.2 2
Diagnosis endometriosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan riwayat penyakit saja. Sampai saat ini belum ada satupun uji laboratorik klinik yang dapat menetapkan penyakit ini secara pasti. Diagnosis sementara dapat dibuat berdasarkan riwayat penyakit dan /atau pemeriksaan fisik, sedangkan diagnosis pasti tetap harus dilakukan dengan visualisasi langsung dan atau pemeriksaan histologis. Hal ini menyebabkan sulitnya diagnosis endometriosis sehingga biasanya endometriosis ditemukan secara kebetulan sebagai hasil dari operasi kandungan dengan diagnosis klinik suatu penyakit kandungan lainnya.4,7 Sulitnya penegakkan diagnosa endometriosis secara dini menyebabkan penyakit ini dianggap sebagai “The Missed Disease”. Hal ini dikarenakan banyaknya wanita penderita endometriosis yang mendapatkan salah diagnosa pada saat berkonsultasi ke dokter, sehingga berakibat belum banyaknya laporan mengenai distribusi endometriosis.9 Berdasarkan pengamatan penulis, penelitian mengenai kasus-kasus baru endometriosis interna dan eksterna di Rumah Sakit Umum Tangerang belum pernah dilaporkan. Terdorong oleh hal tersebut diatas, maka dilakukan penelitian untuk menemukan gambaran distisbusi kasus-kasus endometriosis interna dan eksterna di Bagian Patologi Anatomi RS Umum Tangerang ini, dimana kasus-kasus tersebut akan dilihat dari segi umur, lokasi dan kelainan-kelainan ginekologi lain yang menyertai.
1.2
Rumusan Masalah
3
1.
Berapa distribusi endometriosis interna, endometriosis eksterna dan endometriosis interna yang disertai eksterna berdasarkan lokasi dan umur di Bagian Patologi Anatomi RS Umum Tangerang pada periode 2011 - 2012?
2.
Kelainan-kelainan ginekologi apa saja yang sering ditemukan bersamaan dengan endometriosis interna dan eksterna di Bagian Patologi Anatomi RS Umum Tangerang pada periode 2011 - 2012? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1.
Mengetahui distribusi endometriosis interna dan eksterna di Bagian Patologi
2.
Anatomi RS Umum Tangerang pada periode 2011 - 2012 Mengetahui distribusi endometriosis interna, endometriosis eksterna dan endometriosis interna yang disertai eksterna menurut umur di Bagian Patologi
3.
Anatomi RS Umum Tangerang pada periode 2011 - 2012 Mengetahui distribusi endometriosis eksterna menurut lokasi di Bagian
4.
Patologi Anatomi RS Umum Tangerang pada periode 2011 - 2012 Mengetahui kelainan-kelainan ginekologi apa saja yang sering ditemukan bersamaan dengan endometriosis interna dan eksterna di Bagian Patologi Anatomi RS Umum Tangerang pada periode 2011 - 2012
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dan dianalisis secara deskriptif
dari formulir permintaan dan jawaban pemeriksaan histopatologi. Hasil penelitian ini menggambarkan distribusi endometriosis menurut umur, lokasi dan kelainan ginekologi lain yang menyertai di Bagian Patologi Anatomi RS Umum Tangerang 4
pada periode 2011 - 2012. Manfaat penelitian dilanjutkan berguna untuk kepentingan studi epidemiologi dan menunjang penelitian endometriosis yang lebih mendalam. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi, pengetahuan serta rujukan bagi peneliti selanjutnya tentang endometriosis interna dan eksterna di Bagian Patologi Anatomi RS Umum Tangerang. Diharapkan pula hasil penelitian ini dapat melengkapi data yang telah ada dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Endometrium
5
2.1.1. Definisi Endometrium merupakan lapisan bagian dalam dari korpus uteri yang membatasi kavum uteri dengan miometrium. Endometrium terdiri atas epitel dan stroma yang mengandung kelenjar tubuler simpleks dan kadang-kadang bercabang dekat bagian dalamnya (miometrium). Kelenjar endometrium yang ada berasal dari invaginasi epitel permukaan dan stroma serta banyak mengandung pembuluh darah. 14,15,16
2.1.2. Histologi Endometrium merupakan membran tipis berwarna merah muda yang menyerupai beludru. Bila diamati dari dekat, endometrium ternyata ditembusi oleh banyak sekali lubang-lubang kecil. Lubang-lubang kecil ini merupakan muara dari kelenjar uterina. Karena perubahan berulang-ulang yang terjadi selama masa reproduksi, maka dalam keadaan normal tebal endometrium amat bervariasi antara 0,5 mm hingga 5 mm.7,15 Secara umum, struktur histologik endometrium dibagi atas fase proliferatif (permulaan, pertengahan dan akhir), ovulasi yang kemudian langsung masuk ke fase sekresi (permulaan, pertengahan dan akhir) dan diakhiri dengan fase menstruasi. Epitel berbentuk silindris selapis meluas sampai di daerah fundus utetri dan servik uteri. Sel-sel epitelnya seperti yang terdapat pada tuba uterina yaitu terdiri atas sel bersilia dan sel sekretoris.4,15 Epitel permukaan endomterium terdiri dari satu lapis sel-sel kolumner yang tinggi, bersilia dan tersusun rapat serta sel-sel sekretoris. Selama sebagian besar
6
siklus endometrium, nukleus yang oval terletak pada bagian bawah sel, namun tidak sedekat dasar sel seperti pada endoserviks.15 Stroma endometrium merupakan jaringan pengikat seperti jaringan mesenkim yang memisahkan kelenjar-kelenjar uterus satu sama lain. jaringan ikat ini mengandung banyak fibroblast dan substansi dasar amorf. Sel-selnya berbentuk stelat dengan inti yang besar berbentuk ovoid. Tonjolan sel saling beranastomose dengan sel-sel didekatnya serta menempel pada anyaman retikuler dan membrane basalis epitel di dekatnya. Stroma endometrium tidak memiliki serabut elastik. Substansi dasarnya terdiri atas bahan mukopolisakarida. Disamping sel-sel yang berbentuk stelat, terdapat sel-sel limfoid yang bebas, granulosit dan makrofag yang tidak aktif. Pada saat terjadi ekstravasasi darah mungkin sel-sel tersebut membantu dalam proses pembekuan darah.15 Di dalam endometrium terdapat kelenjar yang dinamakan glandula uterina yang berbentuk kelenjar tubuler simpleks dengan sedikit bercabang pada ujung-ujungnya dekat perbatasan dengan miometrium. Epitel kelenjar tersebut memiliki sel bersilia yang jumlahnya kurang kalau dibandingkan dengan epitel permukaan endometriumnya. Pada endometrium didapatkan lubang-lubang kecil yang merupakan muara-muara dari saluran-saluran kelenjar uterus yang dapat menghasilkan sekret alkalis yang membasahi kavum uteri.15 Kelenjar uterina ini merupakan invaginasi dari epitel, yang dalam keadaan istirahat menyerupai jari jemari pada sebuah sarung tangan. Kelenjar dapat meluas melampaui ketebalan endometrium ke arah miometrium, yang kadangkala sedikit ditembusinya.7
7
Gambar 2.1 Lapisan Endometrium, Miometrium, Serviks Dinding Uteri26 2.1.3. Lapisan Endometrium Dalam hubungannya dengan perubahan-perubahan yang dialami oleh endometrium, maka endometrium dibagi menjadi 2 lapisan, yaitu : 1.
Stratum fungsionale, terdapat dibagian permukaan, disebut demikian karena perangai histologisnya berubah mengikuti siklus menstruasi serta akan
2.
dilepaskan pada saat menstruasinya. Stratum basale, terdapat di dekat miometrium, tidak banyak mengalami perubahan selama siklus menstruasi serta tidak dilepaskan pada saat menstruasi, sehingga lapisan ini penting untuk regenerasi stratum fungsionale setelah dilepaskan pada saat menstruasi. Dasar kelenjar uterina, yang terletak di dalam stratum basalis, merupakan sumber sel yang membelah dan bermigrasi keatas jaringan ikat terpapar dari endometrium fase menstruasi, sehingga memberikan lapisan epitel baru bagi uterus setelah menstruasi.15
8
Gambar 2.2 Lapisan Endometrium26 2.1.4. Vaskularisasi Vaskularisasi dimulai dari arteri uterina yang berjalan dalam ligamentum latum sepanjang sisi lateral uterus. Arteri tersebut memberikan percabangan yang menembus miometrium sampai stratum vasculare. Dalam stratum vasculare ini akan terbentuk arteri yang berjalan mengelilingi uterus sehingga akan bertemu dengan percabangannya yang datang dari sisi lain di tengah-tengah. Arteri yang mengitari tersebut disebut arteri arkuata yang akan memberikan cabang-cabang yang lebih halus untuk menembus miometrium lebih dalam sampai endometrium. Pada saat mencapai perbatasan miometrium-endometrium, cabang-cabang arteri akuata ini memberikan percabangan untuk stratum basale sebagai arteri basalis, sedang pembuluhnya sendiri melanjutkan diri sampai stratum fungsionale dengan berjalan spiral sampai ke permukaan. Arteri tersebut dinamakan arteri spiralis yang memberikan sejumlah arteriola sebagai percabangannya menuju anyaman kapiler dalam lapisan superficial endometrium. Selanjutnya, darah dari anyaman kapiler akan ditampung dalam sistem pembuluh vena yang berdinding tipis sehingga 9
membentuk anastomose dengan beberapa pelebaran seperti sinusoid pada semua lapisan endometrium.Vena uterina mengikuti arteri dan mengalirkan darah ke vena iliaka interna.15,17
Gambar 2.3 Endometrium secara histologi24 2.1.5. Kelenjar Getah Bening Pembuluh limfe dari undus uteri menyertai arteri ovarika dan mengalirkan cairan limfe ke kelenjar-kelenjar getah bening pada aorta setinggi vertebra lumbal 1. Pembuluh limfe dari korpus dan servik masuk ke kelnjar-kelenjar getah bening iliaka interna dan eksterna. Beberapa pembuluh limfe mengikuti ligamentum teres uteri menuju kanalis inguinalis dengan mengalirkan cairan limfe ke kelenjar-kelenjar getah bening inguinalis superfisialis.17 Pembuluh limfe banyak terdapat dan membentuk jalinan di seluruh lapisan dinding rahim, kecuali pada lapisan permukaan endometrium.15,17 2.1.6. Gambaran Endometrium Selama Siklus Menstruasi Hitschman dan Adler (1908) untuk pertama kalinya mendeskripsikan perubahan-perubahan histologik siklus di endometrium, dan lebih dari 50 tahun yang lalu, Rock dan Bartlett (1937) menjelaskan bahwa ciri-ciri histologik endometrium 10
cukup karakteristik untuk memungkinkan siklus ovarium yang tepat waktu pada wanita yang endometriumnya sudah diangkat.7 Siklus menstruasi biasanya berlangsung selama 21 hari dan dapat bervariasi antara 21-35 hari. Permulaan siklus dihitung pada hari pertama pengeluaran darah melalui vagina yang biasanya berlangsung dari hari pertama sampai hari keempat.7,16,18
2.1.6.1.
Gambar 2.4 Endometrium Selama Siklus Menstruasi24 Stadium Proliferasi Stadium proliferasi memiliki beberapa penamaan dengan alasan
tersendiri, misalnya stadium folikuler karena perubahan endometrium dibarengi dengan pertumbuhan folikel dalam ovarium, stadium aufbau (dari bahasa Jerman) atau stadium regenerasi karena endometrium mengalami pembangunan kembali setelah pelepasan stratum fungsionale.15,16 Stadium proliferasi dimulai pada hari ke-4 sampai 2 hari setelah terjadi ovulasi. Perubahan-perubahan endometrium itu sendiri tergantung dari faktor di luar endometrium, diantaranya terdapat dalam ovarium.15,16 Pada stadium ini, ketebalan endometrium tumbuh dari 1 mm menjadi 2-3 mm. Walaupun terjadi perubahan volume arteri spiralis, namun karena stratum basale mendapatkan vaskularisasi dari anyaman kapiler-kapiler yang lebih padat, maka 11
tidak terlalu dipengaruhi, sehingga stratum basale tidak dilepaskan pada waktu menstruasi.15,16 Pada fase proliferasi dini, permukaan endometrium menjadi tinggi dan epitelnya berbentuk thorak. Kelenjar-kelenjarnya menjadi hiperplastis, lumen membesar dan berkelok-kelok. Inti sel menuju ke arah lumen dengan tanda-tanda aktivitas sekresi.15,16 Pada fase proliferasi lanjut terbentuk vakuola di bawah ini (subnuclear vacuole) dan terbentuk butir-butir glikogen baik di dalam epitel maupun di dalam lumen. Stroma renggang, sel-selnya membesar dan lebih hiperemis.15 Sebelum perdarahan berakhir pada saat menstruasi, sel epitel sudah mulai tumbuh dari sisa-sisa ujung kelenjar uterus yang telah putus karena pelepasan stratum fungsionale sebagai awal regenerasi epitel permukaan. Pada stadium proliferasi, seluruh jaringan endometrium, khususnya stratum fungsionale, memperlihatkan banyak mitosis.15 2.1.6.2. Stadium Sekretoris Nama lain untuk sadium ini adalah stadium progravida, stadium luteal, stadium progestasional atau stadium umbau (bahasa Jerman). Stadium sekretoris berlangsung selama 12-14 hari yang dimulai 2 hari setelah ovulasi.15 Perubahan-perubahan endometrium selama stadium
sekretoris
dipengaruhi oleh hormon progesteron. Pada stadium ini masih berlangsung penebalan endometrium menjadi 3-6 mm yang terutama disebabkan karena penimbunan sekret kelenjar serta edema dalam stroma dan pembesaran sel-sel stroma. Bentuk kelenjar makin berkelok-kelok dan pada beberapa tempat, terutama di bagian tengah endometrium, membentuk kantong-kantong. Pada saat ini sel epitel banyak mengandung glikogen sehingga sekret yang dihasilkan kelenjar bersifat mukoid kental dan mengandung glikogen.15,16 2.1.6.3. Stadium Iskemik Stadium ini merupakan stadium yang berlangsung pada 1-2 hari terakhir sesudah stadium sekretoris apabila tidak ada kehamilan atau 13-14 hari sesudah 12
ovulasi.15 Stadium ini ditemukan oleh Markee setelah mengadakan percobaan transplantasi endometrium pada kamera anterior bulbi kera. Ia melihat bahwa pada akhir stadium progravida, endometrium mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan karena terjadi konstriksi arteri spiralis selama 1-2 hari sebelum menstruasi, sehingga bagian superficial tampak pucat dalam beberapa jam dan endometrium mengkerut menjadi 76% dalam waktu 2 hari. Pengerutan ini disebabkan oleh karena menghilangnya sekresi dan cairan edema. Dengan demikian stroma akan menjadi lebih padat disertai dengan kolapsnya kelenjar dan arteri walaupun masih berkelokkelok, sehingga darah terutama akan mengalir di daerah basal endometrium.15 2.1.6.4. Stadium Menstruasi Setelah arteri spiralis konstriksi dalam stadium iskemik, segera akan diikuti dengan dilatasinya kembali dalam waktu sebentar, sehingga dinding arteri akan pecah. Darah yang mengalir dalam arteri spiralis akan menyusup ke dalam stroma, terutama di bawah permukaan endometrium. Apabila arteri mengalami konstriksi kembali, maka bagian terminalnya akan mati. Sementara itu endometrium yang telah rusak akan dilepaskan dan diikuti oleh perdarahan arteri di permukaan endometrium.15 Apabila bagian dalam stratum fungsionale sudah dilepaskan, barulah terjadi perdarahan venose yang berlangsung perlahan-lahan dengan diikuti oleh pelepasan seluruh bagian stratum fungsionale sehingga tinggal stratum basale yang menutupi endometrium.15,16 Jumlah darah yang dikeluarkan selama menstruasi rata-rata 35 cc dan biasanya tidak membeku. Darah tersebut berasal dari arteri dan vena, bersama dengan komponen stratum fungsionale yang dilepaskan serta sekret dari glandula uterina, glandula servik dan kelenjar-kelenjar yang ada di vulva.15,16 2.1.7. Pengaruh Hormon Terhadap Perubahan Endometrium Kemunduran endometrium dan terjadinya konstriksi pembuluh darah pada akhir stadium progestasional terutama disebabkan karena kekurangan hormon. 13
Pada saat ini, hormon estrogen dan khususnya hormon progesteron telah berkurang.15,16 Perubahan-perubahan dalam endometrium sangat erat hubungannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam ovarium. Sedangkan perubahan siklus dalam ovarium sendiri dipengaruhi atau dikendalikan oleh hormon-hormon yang dihasilkan oleh lobus anterior hipofise serebri. Sekresi Folicle Stimulating Hormon (FSH) akan mengatur pertumbuhan folikel sampai terjadinya ovulasi dari ovarium. Tetapi untuk ovulasi sendiri masih diperlukan lagi Luteinizing Hormon (LH) disamping FSH, seperti halnya untuk awal pembentukan korpus luteum.15 Tebal, susunan dan faal endometrium berubah secara siklis karena dipengaruhi oleh hormon-hormon ovarium. Estrogen (kumpulan estradiol) yang dihasilkan oleh sel teka interna akan merangsang pertumbuhan endometrium, sedang progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum setelah ovulasi akan merangsang kegiatan sekretoris dalam endometrium serta menghambat FSH oleh hipofise.15 Hubungan timbal balik antara ovarium dan glandula hipofise itulah yang menyebabkan perubahan-perubahan di dalam ovarium, yang pada gilirannya akan mempengaruhi perubahan-perubahan dalam endometrium.7,16 Dengan dihambatnya sekresi FSH, maka pada saat adanya korpus luteum tidak akan ada pertumbuhan folikel, yang pada gilirannya akan menurunkan kadar estrogen sehingga tidak cukup untuk merangsang lobus anterior hipofise cerebri untuk menghasilkan LH. Turunnya kadar LH selanjutnya akan menyebabkan penurunan kadar progesteron, yang berarti tidak ada hambatan terhadap sekresi FSH, sehingga pada tahap ini akan diikuti oleh pertumbuhan folikel karena FSH yang
14
cukup. Selanjutnya aktivitas hipofise dikendalikan oleh hipotalamus serta kondisi jiwa dan eksternal.15 2.2. Endometriosis Interna (Adenomiosis Uteri) 2.2.1. Epidemiologi Endometriosis interna atau adenomiosis sering ditemukan pada spesimen histerektomi pada wanita dekade 4 atau 5 kehidupan dengan insidensi bervariasi antara 5% hingga 70%. Perbedaan yang jauh ini mungkin disebabkan adanya perbedaan kriteria diagnostik.19 Beberapa penelitian memberikan hasil kira-kira 20% wanita menderita endometriosis interna, walaupun mungkin dengan analisis mikroskopik yang lebih teliti dari sampel myometrial multipel dari spesimen uteri, prevalensi ini meningkat menjadi 65%.9,20 Sebanyak 80% wanita yang menderita endometriosis interna adalah wanita multipara, walaupun ternyata insidensi dari endometriosis ini tak berhubungan dengan meningkatnya jumlah kehamilan.6 Endometriosis interna juga dihubungkan dengan adanya gangguan uterus lainnya. Lebih dari 80% penderita endometriosis interna memiliki patologi lain pada uterusnya, dimana 50%-nya menderita leiomioma uteri (11%) dengan endometriosis eksterna dan 7% dengan polip endometrial.21 2.2.2. Definisi Endometriosis interna atau adenomiosis adalah suatu keadaan patologi jaringan dimana ditemukan kelenjar dan stroma endometrium jauh di dalam 15
miometrium.22 Endometriosis interna merupakan suatu kelainan jinak pada uterus, dimana terjadi invasi dari jaringan endometrium normal ke lapisan miometrium disertai hiperplasia serabut otot sekitarnya, sehingga menyebabkan terjadinya penebalan dinding uterus.4 2.2.3. Makroskopis Pembesaran uterus pada endometriosis interna bersifat difus, tidak berbenjol-benjol seperti pada mioma uteri dan permukaannya halus. Dinding uterus menebal terutama pada dinding belakang. Pembesaran uterus biasanya tidak terlalu besar, maksimum sebesar jeruk. Miometrium tampak yang menebal disertai struktur berjarak-jarak dan /atau yang melingkar-lingkar. Di beberapa tempat ditemukan bercak-bercak kecil berwarna merah kehitaman. Lapisan endometrium tampak normal, kadang-kadang sedikit menebal.3 Endometriosis interna mempunyai dua bentuk, yaitu difus dan lokal. Pada umumnya, endometriosis interna terdapat dalam bentuk difus tidak berkapsul, yang meliputi dinding uterus dalam tingkat yang bervariasi, sedangkan yang terlokalisasi jarang ditemukan dan bisa berkapsul / tidak berkapsul sehingga menyerupai leiomioma intramural. Lokasi utama adenomyosis dalam dinding uterus, tetapi dapat juga menonjol ke dalam rongga uterus menjadi submucous adenomioma. Secara makroskopik, uterus biasanya tampak membesar, ukurannya biasanya lebih dari dua kali ukuran uterus normal dan tidak simetris.23 Tampak gambaran yang khas dari endometrium di dalam jaringan otot miometrium, kadang-kadang sampai dekat perimetrium. Endometriumnya lebih sering sebagai jaringan yang belum matang (non functional type).4
16
Kelenjar endometrium tersebut disertai pula dengan sel stromanya. Kadang-kadang jaringan endometrium yang ektopik ini tetap berfungsi mengikuti siklus haid. Karenanya, timbul pengumpulan darah haid yang berwarna coklat pada seluruh lapisan otot dan tampak sebagai swiss-cheese hyperplasia. Bila menembus lapisan perimetrium, jaringan endometrium terus tumbuh dan menyebabkan pelvic endometriosis serta menimbulkan perlekatan dengan sekitarnya. Bila terjadi kehamilan, terjadi pula perubahan reaksi predesidual - desidual.4 2.2.4.
Mikroskopis Sarang-sarang stroma endometrium atau kelenjar atau keduanya, terdapat
di dalam miometrium di antara jaringan otot. Dari pemeriksaan mikroskopik, kadang-kadang secara kebetulan dapat ditentukan kontinuitas antara sarang-sarang stroma endometrium ini dengan lapisan endometrium yang normal. Sebagai akibatnya, dinding uterus akan menebal. Perdarahan berdaur (cyclic bleeding) terjadi pada daerah ini dan akan menimbulkan penimbunan yang luar biasa dari pigmen hemosiderin karena lapisan basal dari endometrium yang berasal dari pertumbuhan itu adalah tidak fungsional. Endometriosis interna sering menyebabkan perlekatanperlekatan dengan jaringan sekitarnya.23 Serabut-serabut miometrium disekitar pulau endometrium tersusun lebih padat dan bertambah. Jaringan endometrium dapat inaktif dan hiperplastik, bisa pula menunjukkan bagian-bagian yang aktif bersekresi.15
17
Gambar 2.5 Endometriosis Interna24 2.2.5. Histogenesis Penyebab dari endometriosis interna hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Sebagian ahli berpendapat bahwa penyebab endometriosis interna adalah trauma obstetrik atau endometritis post partum, yang menyebabkan kerusakan perbatasan
endometrium-miometrium,
diikuti
penetrasi
kelenjar
ke
dalam
miometrium. Estrogen juga diduga dapat menyebabkan perkembangan endometriosis interna. Hal ini didukung oleh adanya atropi adenomiosis pada wanita menopause.23
18
Pendapat yang diterima sampai saat ini menyebutkan bahwa karena suatu hal, maka lapisan basal (non functional layer) endometrium pada suatu tempat tumbuh terus ke dalam miometrium disertai hiperplasia otot sekitarnya. Kontinuitas pertumbuhan ini dapat dilihat jelas pada potongan seri.15 2.2.6. Gejala Klinis Pada penderita endometriosis interna terjadi pembesaran uterus. Terdapat pula menorrhagi (pada 60% penderita) yang bukan saja terjadi karena gangguan sirkulasi, tetapi juga karena disfungsi dan hiperplasia endometrium.7,25 Gejala klinis yang lebih khas dari endometriosis interna adalah adanya dismenore. Gejala ini ditemukan pada lebih 25% penderita. Dismenore yang terjadi bersifat kolik karena kontraksi uterus yang terangsang oleh pembengkakan pulau endometrium yang ikut dalam siklus haid. Bila disertai dengan endometriosis eksterna, yang biasanya mengenai ligamentum sakrouterinum, rasa sakitnya menjalar ke daerah rektum dan sakral.4 2.2.7. Diagnosis Endometriosis interna sering ditemukan secara kebetulan karena pada kebanyakan penderita bersifat asimptomatik. Adanya nyeri dan perdarahan abnormal (menorragi) terjadi bila miometrium sudah terkena secara luas. Infertilitas biasanya tidak terjadi pada keadaan ini.23 Diagnosis pasti dilakukan dengan pemeriksaan histopatologi. Kriteria diagnostik endometriosis interna bervariasi. Beberapa ahli patologi berpatokan bahwa stroma dan kelenjar endometrium ektopik harus berlokasi 2-3 mm di bawah permukaan endometrium.23 Sedangkan ahli lain berpendapat bahwa kelenjar dan stroma tersebut harus terdapat pada kedalaman lebih dan sepertiga ketebalan dinding uterus.19 Kemungkinan diagnosa juga bisa dilakukan berdasarkan gejala klinis seperti : a. Pembesaran uterus yang homogen (difus), tidak terlalu besar, gerakan terbatas, disertai benjolan di ligamentum sakrouterinum 19
b. c. d.
Sering ada perlekatan dengan jaringan sekitarnya Menorrhagi dan dismenore Sakit di daerah rektum dan sakral 4 Diagnosa dapat juga dilakukan teknik ultrasonografi (USG) uterus dan
teknik Magnetic Resonance Imaging (MRI).9 2.2.8. Terapi Penyakit endometriosis interna ini merupakan penyakit yang tergantung pada fungsi ovarium. Bila ditemukan pada wanita post menopause dengan gejalagejala yang tidak begitu hebat, maka cukup dilakukan terapi paliatif sampai menstruasi berhenti. Namun bila gejala-gejala yang terjadi hebat, maka dilakukan histerektomi atau laparotomi atau bila diperlukan dilakukan pengangkatan kedua ovarium (tergantung pada umur dan adanya endometriosis eksterna).4 Pada tahun 1909, Mackendroft memperkenalkan terapi pembedahan kolon pada kasus endometriosis sigmoid.9 Terapi utama endometriosis interna adalah histerektomi atau laparotomi.22 2.3. Endometriosis Eksterna (True Endometriosis) 2.3.1. Epidemiologi Insidensi yang sebenarnya dari endometriosis eksterna tidak diketahui, namun beberapa peneliti telah melaporkan kejadiannya. Endometriosis eksterna ditemukan pada 0,1%-50% dari laparotomi ginekologik, 0%-53% dari laparoskopi, 17% dari operasi pengangkatan ovarium, 15%-25% dari wanita infertil, 2% dari wanita dengan sterilisasi tuba dan diperkirakan 1% dari wanita usia reproduksi.2,8 Lokasi tersering adalah di ligamentum uterosakral dan ovarium.2 Beberapa literatur menyatakan bahwa lesi di ligamentum uterosakral lebih banyak dibandingkan ovarium, namun ada juga yang menyatakan sebaliknya.2
20
Walaupun pada umumnya ditemukan pada wanita usia reproduksi, endometriosis eksterna juga dapat terjadi pada masa anak-anak dan postmenopause. Pasien termuda sekitar umur 10 tahun dan yang tertua berumur 78 tahun.2 Efek sosio ekonomi pada prevalensi endometriosis eksterna belum jelas. Kepustakaan lama menyebutkan kelainan ini lebih sering terjadi pada kalangan menengah keatas. Tipe penderita adalah wanita karir dengan tipe cemas, cerdas, egosentris dan perfeksionis. Tetapi tidak ada dasar ilmiah yang mendasari pernyataan ini.2 2.3.2. Definisi Endometriosis eksterna ialah terdapatnya endometrium di luar uterus, yang dapat tumbuh progresif, adhesif dan kadang-kadang mempunyai daya penembusan. Letak jaringan endometrium ektopik tersebut terutama di rongga panggul, seperti di tuba falopii, ovarium, dinding kolon, dinding ileum, apendiks, dinding vagina, jaringan parut bekas seksio dan lain-lain.3,7 Endometriosis eksterna secara klinik berwujud sebagai dismenore berat dan nyeri pelvis, serta merupakan penyebab infertilitas wanita yang lazim.
21
Gambar 2.6 Lokasi Endometriosis Eksterna 26 2.3.3. Makroskopik Gambaran makroskopik endometriosis eksterna bervariasi. Gambaran makroskopik ini tergantung pada lokasi, ukuran, umur, pengobatan yang telah diberikan, aktivitas dan perubahan patologi lain yang berhubungan.23 Kadang-kadang tampak uterus dan adnexa seperti normal. Sering ditemukan tumor massa di kiri dan kanan dari pelvis yang melekat di bagian belakang bawah uterus. Bila dilepaskan akan keluar cairan kental seperti coklat. Bila terdapat di ovarium, maka biasanya ovarium berupa kista kecil dengan warna tua. Ukuran kista jarang melebihi diameter seukuran buah jeruk.3,7 Bentuk lesi endometriosis eksterna dapat berupa fokus kecil atau kista yang besar akibat adanya perdarahan berulang dalam lesi tersebut yang disebabkan oleh peningkatan dan penurunan hormon ovarium. Ukurannya bervariasi dari ukuran
22
mikroskopik sampai beberapa sentimeter. Fokus endometriosis ini sering berbentuk seperti kubah yang dengan tan to staining berwarna biru gelap.21 Pada umumnya lesi terkecil (stadium awal) yang terdapat di permukaan peritoneum tampak sebagai petekie yang dikatakan terlihat seperti Mulberry atau Raspberry spots. Warnanya dapat merah kebiruan sampai coklat tua atau hitam ‘powder burn’ dan berukuran kurang dan satu millimeter sampai beberapa millimeter saja. Pada daerah sekitarnya terdapat penebalan dan fibrosis.23 Bila ovarium yang terkena, lesi yang terkecil tampak sebagai fokus subkortikal berwarna merah kebiruan yang lama kelamaan membentuk kista yang berisi darah. Perubahan ini dinamakan kista coklat karena berisi darah yang sudah lama. Kista ini dapat membesar sampai berdiameter 8-10 cm. bila keadaan ini berlangsung lama dan meluas, perembesan dan organisasi darah akan menimbulkan fibrosis yang luas, pelekatan organ pelvis (frozen pelvis), obliterasi kavum Douglas, penutupan ujung fimbria dan tuba fallopii serta distorsi tuba dan ovarium. Kadangkadang dapat mengadakan obstruksi dari rektum menyerupai malignitas. Sering terjadi pada wanita muda multipara dibawah usia 30 tahun.3 2.3.4. Mikroskopik Pada endometriosis eksterna ditemukan jaringan endometrium di luar kavum uteri, stroma dan kelenjarnya. Jaringan ini bukan saja menyerupai endometrium dalam bentuk histologisnya, tetapi juga fisiologisnya, dimana kadangkadang ikut dalam proses haid. Karena adanya deskuamasi yang berulang, maka terjadi perubahan dalam batas endometrium yang kemudian diganti oleh jaringan ikat dan jaringan otot serta sel pseudoxanthoma. Oleh karena itu, tidak jarang kelainan ini mudah untuk dibuktikan secara klinik namun sulit dibuktikan secara histologis.3,4,7
23
Endometriosis di ovarium disebut sebagai kista coklat, namun tidak semua kista ovarium yang mengandung cairan seperti coklat merupakan kista endometrial karena hal tersebut dapat disebabkan perdarahan dalam kista folikel atau cystadenoma dan proses lainnya.3,7 Berbeda dengan endometriosis interna, endometriosis eksterna hampir selalu mengandung endometrium fungsional, yang mengalami perdarahan berdaur. Karena darah tertimbun pada fokus endometrium yang menyimpang, maka pada umumnya tampak sebagai benjolan berwarna merah-biru sampai kuning-coklat. Diameternya bervariasi dari ukuran mikroskopik sampai 1-2 cm dan terletak di atas atau tepat di bawah lapisan serosa yang terkena. Benjolan tersebut sering berkelompok membentuk suatu massa yang lebih besar. Bila ovarium yang terkena, lesi yang kecil tampak sebagai fokus subkotikal berwarna merah-biru, tetapi lama kelamaan membentuk kista yang berisi darah, dan perubahan ini dinamakan kista coklat, karena berisi darah yang sudah lama. Kista ini dapat membesar sampai berdiameter 8-10 cm. bila penyakit ini berjalan lama dan meluas, pembesaran dan organisasi darah akan menimbulkan fibrosis yang luas, perlekatan organ pelvis (frozen pelvis), obliterasi kavum Douglasi, penutupan ujung fimbria dari tuba falopii dan distorsi tuba serta ovarium.3,7 2.3.5. Histogenesis Sampai saat ini, tak ada seorangpun yang mengetahui penyebab dari terjadinya endometriosis eksterna. Terdapat banyak kontroversi di kalangan para ahli mengenai hal ini. Ilmu kedokteran modern merujuk pada dua teori utama yang terjadi bersamaan, yaitu teori menstruasi retrograd dan teori autoimun.3,7 Sampai saat ini sudah terdapat sebelas teori yang menerangkan histogenesis endometriosis eksterna, namun belum ada teori pasti yang dapat meyakinkan semua pihak. Secara umum teori tersebut dapat dikategorikan dalam tiga
24
kelompok besar. Beberapa teori yang lain termasuk teori yang berdasarkan pada sisa sel embrio (ductus Wolff dan Mulleri) secara umum telah ditinggalkan.23 2.3.5.1. Transportasi (implantasi) 2.3.5.1.1. Regurgitasi Transtubal (Sampson) Teori ini menerangkan adanya darah menstruasi yang dapat menjalar dari kavum uteri melalui tuba fallopii ke rongga peritoneum, dimana darah menstruasi tersebut tertanam dan dapat tumbuh membentuk struktur histologis yang sama dengan endometrium uterus.2 Teori ini ditunjang oleh percobaan-percobaan klinik pada hewan dan manusia.7 Teori yang pertama kali dipublikasikan oleh Sampson ini merupakan teori yang paling popular dan lebih dapat diterima walaupun tidak dapat menerangkan kasus endometriosis eksterna diluar pelvis. 8 Teori ini juga dapat terjadi pada keadaan uterus yang retrofleksi, stenosis servik atau kelainan kongenital.3 2.3.5.1.2
Metastase Melalui Sistem Limfe dan Pembuluh Darah Distribusi lokasi endometriosis eksterna tersering yaitu pada ovarium dan
kavum Douglas menunjukkan bahwa teori ini bukanlah mekanisme yang umum terjadi. Teori ini didasarkan atas ditemukannya jaringan endometrium ektopik pada limfonoduli pelvis. Javert dan Sampson menemukan bahwa sel endometrium dapat ditemukan pada saluran dan kelenjar limfe. Halban (1924) mengemukakan bahwa teori penyebaran limfatik ini merupakan mekanisme untuk semua jenis endometriosis.
Meskipun
penyebaran
limfatik
dapat
menerangkan
adanya
endometriosis di limfonoduli pelvis serta ginjal dan umbilikus, kemungkinan metaplasia coelom pada beberapa kasus tidak dapat dikesampingkan.3,27,28 Adanya endometriosis pada paru-paru, pleura, pada dan rongga vertebra lebih tepat diterangkan dengan metastase melalui vena. Kemungkinan ini
25
dikemukakan oleh Sampson (1925). Sel endometrium dapat ditemukan pada vena pelvis.23 2.3.5.1.3.
Implantasi Langsung Telah disebutkan bahwa endometrium eksterna yang terdeskuamasi
mempunyai kemampuan untuk tumbuh sehingga tidak mengherankan bila endometriosis dapat terjadi pada parut bekas insisi. Banyak laporan yang menyebutkan adanya endometriosis yang terjadi pada dinding abdomen sesudah operasi pelvis, parut episiotomi, vulvotomi, parut bekas operasi kelenjar Bartholini dan pada servik sesudah keuterisasi, konsiasi, atau biopsi. Endometriosis eksterna juga ditemukan pada dinding abdomen sesudah amniosintesis transabdominal.23 2.3.5.2.
Metaplasia Coelom Dasar dari teori ini adalah adanya kesamaan asal dari mesotel peritoneum,
epitel Muller dan epitel germinal ovarium, yaitu dari epitel coelom. Jaringan-jaringan tersebut mempunyai kemampuan untuk berdiferensiasi dan pada keadaan tertentu epitel germinal ovarium serta epitel peritoneum dapat bermetaplasia membentuk endometrium fungsional, endosalping atau endoservik. Selama perkembangan embrio, epitel coelom dapat berada pada thoraks, umbilikus, vulva atau bakal anggota tubuh. Hal ini merupakan penjelasan rasional untuk adanya pertumbuhan endometriosis pada lokasi-lokasi yang jarang tersebut. Teori ini sangat menarik karena dapat menerangkan adanya endometriosis pada tempat-tempat yang terbukti telah dilaporkan. Namun sayangnya, teori ini belum dapat dibuktikan secara eksperimental. Teori ini dalam berbagai bentuk modifikasinya menerangkan bahwa stimulasi (inflamasi, kimia, hormonal) berhubungan dengan metaplasia sel coelom. Namun, pada kenyataannya penderita endometriosis kebanyakan tidak menderita inflamasi pelvis, sehingga tidak ditemukan adanya faktor baik inflamasi, hormon
26
atau
eksogen
yang
terbukti
secara
eksperimental
berhubungan
dengan
endometriosis.23 2.3.5.3. Kombinasi (imunologic-mediated) Scott menjelaskan bahwa teori utama dari histogenesis endometriosis eksterna tidak berdiri sendiri. Aliran darah menstruasi yang retrograd dapat terjadi, begitu pula implantasi langsung, penyebaran melalui sistem limfe atau pembuluh darah. Tetapi seperti yang ditekankan oleh Heitig dan Gore, tidak ada bukti yang positif yang menerangkan bahwa endometrium yang terbawa itu benar-benar tertanam dan tumbuh.23 Pada cairan peritoneum penderita endometriosis eksterna ditemukan adanya kenaikan jumlah dan ukuran makrofag dan monosit. Sel-sel ini dapat mensekresikan
substansi
yang
mempengaruhi
cell-mediated
immunity
dan
pembentukan antibodi yang mempermudah perkembangan dan pemeliharaan endometrium ektopik. Growth factor seperti fibronectin dapat disekresikan oleh selsel tersebut dan mempengaruhi reaksi fibrosis yang berhubungan dengan endometriosis eksterna.23 Banyak peneliti berpendapat bahwa endometriosis eksterna adalah suatu penyakit autoimun karena memiliki kriteria cenderung lebih banyak pada wanita nulipara, bersifat familial, menimbulkan gejala klinik dan melibatkan multiorgan. Disamping itu, telah dikemukakan pula bahwa danazol yang semula dipakai untuk pengobatan endometriosis karena disangka bekerja secara hormonal, sekarang ternyata telah dipakai untuk mengobati penyakit autoimun atas dasar bahwa danazol menurunkan tempat ikatan IgG (reseptor Fc) pada monosit, sehingga mempengaruhi aktivitas fagositik. Beberapa peneliti telah menemukan peningkatan IgM, IgG, IgA dalam serum penderita endometriosis eksterna.8 2.3.6. Endometriosis Eksterna Berdasarkan Lokasi 2.3.6.1. Endometriosis Ovarium
27
Ovarium merupakan tempat endometriosis yang paling sering ditemukan. Sekitar 40% dari seluruh kasus endometriosis ovarium adalah bilateral.3 Pada permulaan dari endometriosis ditemukan suatu bentuk kista kecil pada ovarium yang berisi darah atau bekuan darah. Kista bisa membesar sampai berdiameter 15 cm, berisi darah dan bekuan darah serta berwarna coklat. Pada keadaan ini endometriosis ovarium disebut juga kista coklat.3 Kista korpus luteum hemoragikum dan kista folikel hemoragikum sering memberikan gambaran makroskopik sebagai kista coklat, yang oleh para klinisi disebut sebagai kista coklat.29 Kista coklat mempunyai kecenderungan melekat pada bangunan sekitarnya, sehingga jarang yang disertai torsi. Pada pertumbuhan yang lanjut dinding kista akan menebal dan terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang mengandung pigmen hemosiderin. Perdarahan pada dinding bisa terjadi karena lesi-lesi kecil yang ada pada dinding. Darah bisa mengalir ke dalam rongga pelvis, mengakibatkan iritasi dengan berbagai tanda dan gejala yang berbeda-beda tergantung luas dan banyaknya daerah yang terkena. Bila dinding mengalami sobekan spontan yang luas, bisa menyebabkan abdomen akut.4 Mikroskopik lebih mudah dikenal, yaitu dengan ditemukannya jaringan endometrium yang membatasi dinding kista.4 Jaringan endometrium dan perdarahan yang terjadi menyebabkan terjadinya reaksi fibrous dimana akan terbentuk nodul-nodul fibrous yang dapat mengganggu fungsi ovarium itu sendiri.22,30
28
2.3.6.2.
Gambar 2.7 Endometriosis Eksterna pada Ovarium24 Endometriosis Ligamentum Sakrouterinum Endometriosis di ligamentum sakrouterinum sering terjadi, berupa
benjolan kecil yang dapat diraba dari fornix. Endometriosis pada lokasi ini dapat pecah dan menyebabkan iritasi pada peritoneum.4 2.3.6.3. Endometriosis Septum Rektovaginalis Endometriosis di septum rektovaginal
merupakan
lanjutan
dari
endometriosis uterosakral, sebagai benjolan di daerah rektum yang ikut dalam siklus haid. Kadang-kadang endometriosis di lokasi ini dapat menembus sampai dinding vagina pada fornik posterior sebagai polip vaginal yang dapat berdarah pada waktu haid.4 Pada endometriosis yang terjadi di lokasi ini, ditemukan adanya nodul kecil endometriosis yang sering ditemukan pada kavum rektovaginal dan menimbulkan dispareunia atau nyeri pada rektum.4 2.3.6.4. Endometriosis Ligamentum Rotundum Endometriosis di ligamentum rotundum merupakan benjolan-benjolan kecil.4 2.3.6.5. Endometriosis Umbilikus Endometriosis di umbilikus terutama terjadi setelah seksio caesar, berupa nodul kecil kebiru-biruan. Ukurannya bertambah besar pada masa haid, nyeri tekan dan kadang-kadang pecah kulitnya dengan perdarahan yang periodik.4 29
Kelenjar melebar dan dibatasi oleh epitel kuboid selapis atau kolumner. Kadang-kadang kelenjar tersebut dikelilingi oleh stroma yang terdiri dari sel-sel spindel. Dapat terjadi perdarahan, namun sangat jarang terjadi dan hanya ditemukan sejumlah kecil pigmen hemosiderin.3
Gambar 2.8 Endometriosis Eksterna pada Umbilikus24 2.3.6.6.
Endometriosis pada Luka Perut Endometriosis ini merupakan benjolan di daerah bekas luka akibat
laparotomi, miomektomi bila kavum uteri terbuka dan histerektomi, yang dapat mencapai ukuran besar, disertai rasa sakit yang periodik dan perdarahan keluar.4 2.3.6.7.
Endometriosis pada Vesica Urinaria Endometriosis pada vesica urinaria amat jarang terjadi. Hal ini dapat
menyebabkan seringnya mikturisi atau hematuria pada saat menstruasi. Dengan pemeriksaan sitoskopi terlihat kista kecil merah kebiruan yang terlihat di bawah mukosa vesica urinaria.4 2.3.7. Etiologi Etiologi yang pasti belum dapat dipastikan. Berikut ini adalah faktorfaktor yang diduga dapat menimbulkan endometriosis eksterna. 2.3.7.1. Faktor Mekanik
30
Endometrium dapat ditransplansikan ke lokasi ektopik. Percobaan binatang telah membuktikan bahwa insufflasi tuba dapat menyebabkan endometriosis abdominal. Insufflasi ini dapat terjadi karena gas atau media kontras.27 2.3.7.2. Kelainan Kongenital Saluran Genitalia Laporan tentang endometriosis eksterna pada gadis muda yang baru saja menarche diduga berhubungan dengan kelainan kongenital terutama stenosis atau atresia saluran Muller bagian bawah. Namun, tidak ada kasus yang dilaporkan untuk membuktikan agenesis uterus atau tuba yang berhubungan langsung dengan teori regurgitasi transtuba.27 2.3.7.3.
Retroversi Uterus Pada laparotomi yang dilakukan saat menstruasi pada wanita yang
mengalami retroversi uteri, ditemukan adanya aliran darah menstruasi pada fimbria tuba. Penelitian yang dilakukan terhadap material tersebut, yang terdapat pada kavum Douglas, menunjukkan adanya sel endometrium. Hal ini menunjang teori yang dikemukakan oleh Sampson. Biasanya uterus pada penderita endometriosis eksterna ditemukan dalam keadaan retroversi dengan pergerakan yang terbatas, tetapi masih belum jelas apakah keadaan ini merupakan akibat atau penyebab dari endometriosis ini.27 2.3.7.4. Faktor Hormonal Pendapat yang sudah lama dianut mengemukakan bahwa pertumbuhan endometriosis sangat tergantung dari kadar estrogen dalam tubuh. Pendapat ini mulai diragukan. Baziad dan Jacoeb (1989) menemukan kadar E2 cukup tinggi pada kasuskasus endometriosis. Jacoeb (1990) menemukan kadar E 2 serum yang berada dalam batas normal dan hampir semua tinggi pada setiap kelompok derajat endometriosis. Ia juga menyimpulkan bahwa kadar E2 tersebut tidak tergantung berat ringannya endometriosis.8 2.3.7.5. Faktor Inflamasi
31
Adanya perlengketan pada endometriosis di rongga pelvis disertai sel radang pada lesinya. Sampson (1927) menunjukkan bahwa darah menstruasi yang beregurgitasi atau kita endometriosis yang pecah dapat mengiritasi permukaan peritoneum sehingga memudahkan implantasi pada daerah reseptif. Invasi sekunder pada daerah endometriosis oleh bakteri piogenik dapat pula terjadi.27 2.3.8. Faktor Resiko 2.3.8.1. Siklus Menstruasi Cramer et al. (2000) menganalisa hubungan antara endometriosis eksterna dengan karakteristik menstruasi dan faktor konstitusional. Wanita dengan siklus menstruasi lebih pendek (< 27 hari) dan lebih lama (> 7 hari) beresiko dua kali lebih besar dari yang siklus menstruasinya panjang dan sebentar. Penurunan resiko penyakit ini dihubungkan dengan merokok dan olahraga.2 2.3.8.2. Faktor Genetik Beberapa studi klinik menunjukkan bahwa endometriosis eksterna mungkin lebih sering terjadi pada keluarga tertentu dan wanita yang mempunyai riwayat keluarga mempunyai resiko lebih tinggi. Mereka menemukan bahwa resiko terjadinya kelainan ini tujuh kali lebih besar dan penyakit lebih berat pada keturunan pertama dari penderita. Mereka menyimpulkan suatu pola transmisi poligenetik atau multifaktorial pada endometriosis eksterna.9 2.3.9. Gejala Klinik Manifestasi klinik endometriosis eksterna bervariasi dan tidak ada tanda yang benar-benar khas.7,23 Gejala yang tersering adalah : 1. Dismenore; Penderita endometriosis eksterna memberikan riwayat nyeri kolik spasmodic dan keram perut yang terjadi pada hari pertama menstruasi selama 5-10 tahun dimana sel-sel endometrium melakukan implantasi dan berkembang menjadi kista. Setelah 5-10 tahun, dismenore pada saat menstruasi mulai terasa beberapa hari sebelum menstruasi, dan menurun intensitasnya pada saat pertengahan dan menjelang akhir menstruasi.
32
2.
Dispareunia; Merupakan gejala klinik yang juga sering tejadi. Gejala ini terjadi pada saat dilakukannya senggama dimana penis yang berpenetrasi
3.
menekan dan menggerakan kista sehingga timbul rasa nyeri. Infertilitas; Mekanisme belum jelas, namun diperkirakan ada hubungan dengan terjadinya fibrosis dan adhesi atau perlengketan sekitar ovarium. Tidak ditemukan kerusakan pada tuba, namun tuba dan ovarium mengalami perlengketan sehingga menghalangi sel telur atau ovum ditangkap oleh
4.
fimbria. Nyeri perut; Sering terjadi pada saat defekasi dan berkemih.2,7 Literatur lain menambahkan adanya perdarahan uterus abnormal.31 Gejala lain yang mungkin timbul adalah menstrual spotting, disuria,
hematuria, kejang abdomen, diskesia, depresi, kelelahan, nyeri punggung, sulit tidur dan rasa pegal pada kaki.2 Kadang-kadang, penderita endometriosis ini tidak menunjukkan gejala selain infertilitas.30 Parsons dan Sommers melaporkan bahwa 25% penderita endometriosis eksterna tidak merasakan gejala sama sekali.21 Frekuensi dan berat manifestasi klinik diduga berhubungan dengan lokasi dan besar lesi. Namun tampaknya manifestasi klinik tersebut lebih berhubungan dengan lokasi disbanding dengan besar lesi. Penderita dengan lesi endometriosis eksterna yang besar mungkin memiliki gejala yang minimal atau asimptomatik, sedangkan penderita dengan lesi yang minimal dapat mengalami nyeri yang berat atau infertil. Hal ini dimungkinkan terjadi dikarenakan serabut syaraf pada lesi yang minimal tidak terlalu mengalami kerusakan dan masih berfungsi baik untuk menerima rangsang nyeri, sedangkan pada lesi yang sudah luas, serabut syaraf lebih mengalami kerusakan total sehingga tidak lagi dapat merasakan rangsang nyeri.23 2.3.10.
Diagnosa Diagnosis endometriosis eksterna tidak dapat ditegakkan hanya dengan
riwayat penyakit saja dan belum ada satupun uji laboratorik yang dapat menetapkan penyakit ini secara pasti. Diagnosis sementara dapat dibuat berdasarkan riwayat 33
penyakit dan pemeriksaan fisik dimana ditemukan gejala-gejala klinik di atas, sedangkan diagnosis pasti tetap harus dilakukan dengan visualisasi langsung atau dikonfirmasikan dengan hasil diagnosis histologis, sehingga segala riwayat atau kecurigaan dari hasil pemeriksaan fisik harus diikuti dengan laparoskopi atau laparotomi untuk menegakkan diagnosa pasti.1,7,9 Pemeriksaan pelvis sangat penting dalam menegakkan diagnosa endometriosis. Namun, pemeriksaan ini tak dapat menentukan penyakit tersebut secara efektif. Diagnosa dapat ditegakkan dengan dilakukannya suatu tindakan bedah minor berupa laparotomi.7,9 Diagnosis histologik pada semua lokasi kelainan didasarkan kepada ditemukannya dua dari tiga ciri berikut : kelenjar endometrium, stroma atau pigmen hemosiderin. Kelenjar endometrium tanpa stroma atau stroma tanpa kelenjar tidak dapat memastikan suatu endometriosis karena hal ini dapat juga terjadi pada kelainan lain. Tetapi bila hal tersebut diikuti oleh tanda-tanda perdarahan berulang seperti adanya pigmen hemosiderin bebas atau makrofag hemosiderin laden dengan atau tanpa fibrosis, diagnosa perkiraan suatu endometriosis dapat ditegakkan.9,21 Diagnosis histologis dapat menjadi sulit bila penyakitnya sudah lanjut. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan sekunder akibat perdarahan dan fibrosis. Perubahan ini menyebabkan perubahan pada daerah sekitar lesi, yaitu terbentuknya jaringan granulasi dengan serbukan makrofag hemosiderin laden yang disebut sel pseudoxanthoma dan fibrosis.21 2.3.11. Terapi Pengobatan endometriosis eksterna tergantung pada beberapa faktor seperti umur penderita, status dalam keluarga, kondisi umum kesehatan, keinginan untuk hamil, beratnya gejala, derajat penyakit dan respon terhadap pengobatan.2,9 Ada tiga metode pengobatan, yaitu pengobatan paliatif (metode konservatif), pengobatan medis dengan obat-obatan dan pengobatan dengan operasi.
34
Namun, cara apapun yang digunakan memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk memulihkan fertilitas dan meningkatkan laju kehamilan pasca pengobatan.1,22 Terapi paliatif (metode konservatif) dapat dilakukan dengan cara pemantauan keadaan penderita secara hati-hati, menjamin keselamatan hidup serta pemberian analgesik.1,22 2.4. Kerangka Konsep
Interna
Umur Lokasi
Endometriosis Eksterna
Kelainan ginekologi Bagan 2.1 Kerangka Konsep lain yang menyertai Hipotesis Penelitian Ada distribusi endometriosis interna dan eksterna di Bagian Patologi Anatomi
2.5. 1.
RS Umum Tangerang pada periode 2011 - 2012 Ada distribusi endometriosis interna, endometriosis
2.
eksterna
dan
endometriosis interna yang disertai eksterna menurut umur di Bagian Patologi 3.
Anatomi RS Umum Tangerang pada periode 2011 - 2012 Ada distribusi endometriosis eksterna menurut lokasi di Bagian Patologi
4.
Anatomi RS Umum Tangerang pada periode 2011 - 2012 Ada kelainan-kelainan ginekologi apa saja yang sering ditemukan bersamaan dengan endometriosis interna dan eksterna di Bagian Patologi Anatomi RS Umum Tangerang pada periode 2011 – 2012 2.6 Definisi Operasional
Tabel 2.1 Definisi Operasional No 1.
Variabel Endometriosis
Definisi
Cara Ukur
Operasional Suatu keadaan
Mengambil
patologis dimana
seluruh
35
Alat Ukur
data Melihat pasien Buku
Hasil Ukur 1. Interna 2. Eksterna 3. Interna
jaringan
endometriosis
Rekam
endometrium
yang tercatat di Medik
ektopik yang
dalam
buku
mempunyai
rekam
medik
susunan histologi
Rumah
Sakit
(kelenjar, stroma
Umum Tangerang
endometrium, atau dengan kriteria: keduanya) dengan 1. Interna adalah atau tanpa
endometriosis
makrofag
yang di
terletak dalam
lapisan miometrium terdiri
dari
uterus Eksterna adalah endometriosis yang terletak di luar uterus 2.
Adenomiosis
Adenomiosis atau Endometriosis eksterna
adalah
endometriosis yang terletak di dalam
lapisan
36
disertai Eksterna
miometrium terdiri dari uterus 3.
Umur
Usia responden
Melihat
register Checklist
dihitung
dengan kriteria :
1. Beresiko 2. Tidak beresiko
berdasarkan ulang
Beresiko
jika
tahun terakhir
berusia
yang telah dijalani
tahun
saat penelitian.
Tidak beresiko
13-50
jika berusia > 50 4.
Lokasi
Lokasi dilihat dari
tahun Melihat
letak
lokasi
endometriosis
endometriosis
terjadi
register Checklist
1. Endometrio sis Interna 2. Endometrio sis Eksterna 3. Endometrio
yaitu : 1. Endometriosis
sis Interna
interna (terletak
disertai
di
Eksterna
dalam
lapisan miometrium) Endometriosis eksterna (terletak 5.
Kelainan
Kelainan
di luar uterus) Melihat register,
ginekologi lain
ginekologi lain
yaitu : Ada atau
kelainan
yang menyertai
yang menyertai
tidak kelainan
ginekologi
37
Checklist
1. Ada
dilihat dari buku
ginekologi lain
rekam medik pada
yang menyertai
kasus
pada kasus
endometriosis
endometriosis
lain
yang
menyertai 2. Tidak ada ginekologi lain
yang
baik interna meyertai maupun eksterna
BAB III METODE PENELITIAN
3.1.
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bagian Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum
Tangerang. Tempat ini dipilih karena untuk kasus ini sangat banyak dan prevalensi endometriosis yang ditinjau dari segi umur, lokasi dan kelainan ginekologi lain yang menyertai lebih banyak. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan, yaitu dari bulan Oktober 2014 hingga November 2014. 3.2. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif dengan cara mengumpulkan data sekunder secara retrospektif dari formulir penderita yang telah diperiksa secara histopatologi menderita endometriosis interna, endometriosis eksterna dan endometriosis interna yang disertai eksterna. Semua formulir pemeriksaan histopatologi mulai bulan Januari 2011 hingga
bulan
Desember
2012
diperiksa
untuk
mendapatkan
kasus-kasus
endometriosis interna, endometriosis eksterna dan endometriosis interna yang disertai eksterna. 38
1. 2. 3. 4.
Dari hasil pemeriksaan tersebut, dicatat hal-hal sebagai berikut : Nomor preparat Umur penderita Diagnosa histopatologis Lokasi lesi 5. Kelainan ginekologi lain yang menyertai 3.3. Definisi Operasional Endometriosis secara histopatologi merupakan suatu penyakit yang sulit dipahami. Penyakit ini dapat menyerang semua wanita dari semua golongan
sosial ekonomi, usia maupun ras. Data Rekam Medik (No. RM): Cara pengukuran gambaran histopatologi adalah dengan analisis data dari rekam medik dari sediaan hitopatologi endometrium ditinjau dari segi umur, lokasi dan kelainan ginekologi lain yang menyertai yang ada di Bagian Patologi Anatomi RS Umum Tangerang periode 2011 - 2012. Alat ukur yang digunakan adalah data rekam medik yang menunjukkan
karakteristik dari endometriosis. Hasil pengukuran yang
diperoleh
adalah
jenis-jenis
gambaran
histopatologi endometriosis ditinjau dari segi umur, lokasi dan kelainan ginekologi lain yang menyertai. Endometriosis berdasarkan lokasinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
Endometriosis interna (endometriosis yang terletak di dalam lapisan
miometrium dari uterus), dan Endometriosis eksterna (endometriosis yang terletak di luar uterus).
3.4. Populasi dan Sampel Penelitian 3.4.1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua sediaan histopatologi dari endometriosis mulai bulan Januari 2011 sampai bulan Desember 2012 di Bagian Patologi Anatomi RS Umum Tangerang.
39
3.4.2. Sampel Sampel pada penelitian ini menggunakan total sampling, seluruh populasi digunakan sebagai sampel penelitian. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah : 1. Kriteria inklusi : Data berdasarkan RM: yang di diagnosis endometriosis secara histopatologi. Data forum RM → ditunjang jawaban tertulis eksporsive PA untuk endometriosis. Ada blok dan slide → bukti fisik 2. Kriteria eksklusi : Tidak ditemukan 1 atau lebih kriteria dari syarat no. 2 dan /atau 3. 3.5. Metode Pengumpulan Data Jenis data: data sekunder, yaitu data dari rekam medik sediaan histopatologi
tumor ovarium pada bulan Januari 2011 sampai bulan Desember 2012. Data-data sebelumnya dikelompokkan sesuai gambaran histopatologinya.
3.6.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dicatat, ditinjau ulang oleh pembimbing dan peneliti,
kemudian dilakukan pengelompokkan berdasarkan usia penderita, lokasi dan kelainan ginekologi lain yang menyertai. Data tersebut kemudian disusun dalam bentuk tabel. Dari tabel tersebut, hasil penelitian dianalisis dalam bentuk pembahasan secara deskriptif dan dibandingkan dengan teori dan data dari kepustakaan yang ada.
40
3.7.
Etika Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti mengajukan permohonan kepada petugas
kesehatan di Bagian Patologi Anatomi RS Umum Tangerang untuk mendapatkan persetujuan, setelah mendapatkan persetujuan kemudian mengadakan pengumpulan data RM + jawaban histopatologi + blok + slide, dengan beberapa etika sebagai berikut : 1. Tanpa Nama (Annonimity) Dalam penelitian ini pengambilan sampel melalui rekam medik peneliti akan menjaga kerahasiaan status pasien sebagaimana tugas dari pihak rekam medik. 2. Kerahasiaan (Confideitiaty) Informasi yang telah dikumpulkan dari subyek dijamin kerahasiannya oleh peneliti, hanya kelompok tertentu saja yang dilaporkan atau disahkan pada hasil penelitian.
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1
Hasil Penelitian Dari hasil pemeriksaan histopatologi terhadap kasus endometriosis selama
2 tahun (2011 - 2012) di Bag. Patologi Anatomi RS Umum Tangerang didapatkan 123 kasus endometriosis. Dari sekelompok kasus endometriosis terbagi atas:
41
adenomiosis ditemukan sebanyak 99 kasus (80,48%), endometriosis eksterna 20 kasus (16,27%) dan adenomiosis yang disertai eksterna 4 kasus (3,25%). Tabel 4.1 Distribusi dan Frekuensi Kasus Endometriosis Pada Tahun 2011-2013 Jenis Adenomiosis Endometriosis Eksterna Adenomiosis disertai Eksterna Jumlah
Jumlah 99 20 4 123
Persentase (%) 80,48 16,27 3,25 100
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Endometriosis Berdasarkan Kelompok Tahun Tahun 2011 2012 Jumlah
Jumlah 49 74 123
Persentase (%) 39,83 60,17 100
Distribusi kasus endometriosis terbanyak pada tahun 2012 yaitu 60,17% dan terkecil pada tahun 2011 yaitu 39,83% dari 123 kasus yang ada. Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Endometriosis Berdasarkan Kelompok Umur Jumla h 1 16 41 56 7 2 123
Kelompok Umur 10-19 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 Jumlah
42
Persentase (%) 0,81 13,01 33,33 45,53 5,70 1,62 100
Distribusi endometriosis berdasarkan kelompok umur bervariasi antara 0,81% sampai 45,53% dimana distribusi terbesar terdapat pada kelompok umur 4049 tahun sedangkan distribusi terkecil pada kelompok umur 10-19 tahun. Tabel 4.4 Distribusi Adenomiosis Berdasarkan Kelompok Umur Kelompok Umur 10-19 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 Jumlah
Jumlah 0 14 30 48 5 2 99
Persentase (%) 0 14,14 30,30 48,48 5,05 2,03 100
Distribusi adenomiosis berdasarkan kelompok umur bervariasi antara 0%48,48%. Distribusi terbesar terdapat pada kelompok umur 40-49 tahun dan distribusi terkecil pada kelompok umur 10-19 tahun. Pada kelompok umur 10-19 tahun tak ditemukan kasus adenomiosis.
Tabel 4.5 Distribusi Endometriosis Eksterna Berdasarkan Kelompok Umur Kelompok Umur 10-19 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 Jumlah
Jumlah 1 2 9 6 2 0 20
43
Persentase (%) 5 10 45 30 10 0 100
Distribusi endometriosis eksterna berdasarkan kelompok umur bervariasi antara 0%-45%, dimana distribusi terbesar terdapat pada kelompok umur 30-39 tahun dan tak ditemukan kasusnya pada kelompok umur 60-69 tahun. Tabel 4.6 Distribusi
Adenomiosis
yang
Disertai
Endometriosis
Eksterna
Berdasarkan Kelompok Umur Kelompok Umur 10-19 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 Jumlah
Jumlah 0 0 2 2 0 0 4
Persentase (%) 0 0 50 50 0 0 100
Distribusi adenomiosis yang disertai endometriosis eksterna berdasarkan kelompok umur hanya terdapat pada kelompok umur 30-39 dan 40-49, sedangkan pada kelompok umur lainnya tak ditemukan.
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Endometriosis Eksterna Berdasarkan Jenis Lesi Lokasi
Jumlah 12 6 4 1 1
Ovarium kiri Ovarium kanan Ovarium kanan dan kiri Tuba Umbilikus
44
Persentase (%) 50 25 16,68 4,16 4,16
Dari kasus endometriosis eksterna dan kasus endometriosis interna yang disertai endometriosis eksterna didapatkan bahwa lokasi utama endometriosis eksterna adalah ovarium, dengan lokasi pada ovarium kiri lebih banyak daripada ovarium kanan. Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Endometriosis Dengan atau/ Tanpa Kelainan Ginekologi Lain yang Menyertai Endometriosis Interna Eksterna Interna – Eksterna Jumlah
Dengan Kelainan Ginekologi Lain 64 10 2 76
Tanpa Kelainan Ginekologi Lain 35 10 2 47
Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah penderita endometriosis yang disertai kelainan ginekologi lain sebanyak 76 kasus (61,79%), sedangkan tanpa disertai kelainan ginekologi lain sebanyak 47 kasus (38,21%). Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa kasus endometriosis yang ditemukan lebih banyak disertai dengan kelainan ginekologi lain.
Tabel 4.9 Lokasi Jenis Kelainan Ginekologi Lain yang Menyertai Endometriosis Lokasi Kelainan Ovarium Uterus Tuba Falopii Cerviks Uteri Umbilikus
Jumlah 41 32 8 4 1
*Jumlah lebih dari 100% karena terdapat juga dua lokasi bersamaan
45
Persentase (%) 53,95 42,10 10,53 5,26 1,32
Lokasi kelainan ginekologi lain yang menyertai endometriosis paling banyak ditemukan pada ovarium (53,95%) diikuti uterus (42,10%) dan tuba falopii (10,53%).
BAB V PEMBAHASAN
5.1
Distribusi dan Frekuensi Kasus Endometriosis Pada Tahun 2011-2013
46
Berdasarkan tabel 4.1, selama dua tahun (2011 –2012), tercatat 123 kasus endometriosis di Bag. Patologi Anatomi RS Umum Tangerang sebagai hasil pemeriksaan histopatologi. Dari 123 kasus endometriosis tersebut terdapat 99 kasus (80,48%) adenomiosis, 20 kasus (16,27%) endometriosis eksterna dan 4 kasus (3,25%) adenomiosis yang disertai endometriosis eksterna. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Agustina (2011) mengenai kasus endometriosis di Bag. Patologi Anatomi RS Umum Tangerang periode 2006 - 2008, maka terlihat adanya peningkatan jumlah kasus endometriosis, dimana dari hasil penelitiannya ditemukan 104 kasus endometriosis.32 5.2
Distribusi Frekuensi Endometriosis Berdasarkan Kelompok Tahun Berdasarkan tabel 4.2, distribusi endometriosis terbanyak pada tahun
2012 yaitu sebanyak 74 kasus (60,17%) dan terkecil pada tahun 2011 yaitu 43 kasus (39,83%). Hal ini mungkin disebabkan karena jumlah penderita yang benar-benar meningkat di masyarakat dan semakin tingginya tingkat kesadaran pentingnya kesehatan pada masyarakat.
5.3
Distribusi Frekuensi Endometriosis Berdasarkan Kelompok Umur Berdasarkan tabel 4.3, distribusi endometriosis berdasarkan kelompok
umur bervariasi antara 0,81% sampai 45,53%. Distribusi terbesar endometriosis terdapat pada kelompok umur 40-49 tahun, sedangkan distribusi terkecil terdapat pada kelompok umur 10-19 tahun. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa angka kejadian endometriosis berbanding lurus dengan makin meningkatnya usia dan 47
mencapai titik puncak distribusinya pada kelompok umur 40-49 dan menurun setelah umur 60-an. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Agustina (2011) yang juga menemukan distribusi kasus endometriosis terbanyak pada kelompok umur 40-49 tahun dan terkecil pada kelompok 10-19 tahun.32 5.4
Distribusi Adenomiosis Berdasarkan Kelompok Umur Berdasarkan tabel 4.4, distribusi adenomiosis tak terdapat pada kelompok
umur 10-19 tahun dan mulai meningkat pada usia 30 tahun dengan puncak distribusi antara umur 40-49 tahun namun menurun setelah umur 60 tahun. Keadaan ini terjadi baik pada kasus adenomiosis yang disertai kelainan ataupun tanpa disertai kelainan lain. Pada kelompok umur 40-49 tahun sangat jelas terlihat puncak kejadian adenomiosis, dimana dari 99 kasus adenomiosis, 48 kasus (48,48%) terjadi pada kelompok usia ini. Usia termuda penderita adenomiosis dari penelitian ini adalah 20 tahun dan usia tertua adalah 68 tahun. Peneliti sebelumnya, Agustina (2011), menemukan kasus adenomiosis di RS Umum Tangerang periode 2006 - 2008 terbanyak pada dekade 4 dan 5.32 Shaikh dan Khan (2003) di Aga Khan University Medical Centre, Karachi, Pakistan mendapatkan bahwa 82,8% adenomiosis ditemukan pada dekade 4 dan 5.11 Demikian pula Strauss III (2004) yang juga sama menuliskan hal yang sama dan menambahkan dengan variasi angka distribusinya, yaitu antara 5% hingga 70%.19 Pada hasil penelitian ini terlihat variasi distribusi berkisar antara 2,03% sampai 48,48%. Williams (2005) menuliskan bahwa puncak distribusi adenomiosis pada dekade 5.7 Bila hasil penelitian di atas dibandingkan dengan literatur yang ada, maka terdapat persamaan dan perbedaan. Disebutkan dalam berbagai literatur bahwa kasus adenomiosis terutama ditemukan pada dekade 4 dan 5. Pada penelitian ini, distribusi terbanyak memang terdapat pada kelompok 48
umur 40 – 49 tahun. Namun, distribusi terbanyak kedua bukan ditemukan pada kelompok umur 50-59 tahun, tetapi pada kelompok umur 30-39 tahun, yaitu sebanyak 30 kasus (30,30%). Kelompok umur 50-59 tahun menempati urutan distribusi ketiga setelahnya, yaitu sebanyak 5 kasus (5,05%). Perbedaan-perbedaan ini mungkin disebabkan karena data yang diteliti lebih sedikit dibandingkan dengan literatur, yang mungkin disebabkan karena penderita berobat ke rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lain. 5.5
Distribusi Endometriosis Eksterna Berdasarkan Kelompok Umur Pada endometriosis eksterna jumlah terbanyak didapatkan pada kelompok
umur 30 – 39 tahun, yaitu sebanyak 9 kasus (45%) dari 20 kasus endometriosis eksterna yang ditemukan. Distribusi terbanyak selanjutnya ditemukan pada kelompok umur 40-49 tahun, yaitu sebanyak 6 kasus (30%) dan kelompok umur 2029 tahun, yaitu sebanyak 2 kasus (10%) setara dengan kelompok umur 50-59 tahun. Umur termuda pada kasus endometriosis eksterna yang ditemukan dari penelitian ini adalah 17 tahun dan umur tertua 56 tahun. Sulit menemukan literatur dan penelitian yang secara khusus dan jelas menyebutkan distribusi endometriosis eksterna menurut umur. Peneliti sebelumnya, Agustina (2011), juga menemukan kasus endometriosis eksterna di RS Umum Tangerang periode Januari 2006-Januari 2008 terbanyak pada dekade 3.32 Literatur-literatur ginekologik menyebutkan bahwa endometriosis terutama terjadi pada wanita usia reproduksi dan dapat juga terjadi pada wanita postmenopause dan anak-anak. Nunley et.al. (2005) menyebutkan bahwa diagnosa endometriosis eksterna ditemukan pada dekade 2 dan 3.23 Haldfield (1998) menyebutkan bahwa endometriosis eksterna ditemukan terutama setelah umur 30, 31 sedangkan Muse et.al. (2000) menyebutkan usia 15 – 44 tahun. 9 Dmowski et.al. 49
dalam penelitiannya pada tahun 2002 menyebutkan bahwa kasus endometriosis eksterna ditemukan pada pasien termuda yang berusia 10 tahun, sementara pasien tertua berusia 78 tahun. Dmowski et.al. menyebutkan bahwa endometriosis eksterna ditemukan pada 0,1%-50% dari laparotomi ginekologik, 0%-53% dari laparoskopi, 17% dari operasi pengangkatan ovarium, 15%-25% dari wanita infertil, 2% dari wanita dengan sterilisasi tuba dan diperkirakan 1% dari wanita reproduksi.2 Dibandingkan dengan berbagai literatur diatas, ditinjau dari reproduktif atau tidaknya, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok antara literatur dengan hasil penelitian ini, mengingat bahwa semua penderita endometriosis eksterna dalam penelitian ini berada dalam usia reproduksi. Namun terdapat sedikit perbedaan dengan pernyataan Muse et.al. (2000) mengenai batas tertua umur penderita. Ia menyatakan bahwa batas tertua terdapat pada kelompok umur 40-49 tahun, tetapi dari penelitian ini masih didapatkan penderita yang berusia 56 tahun. 9 Perbedaan yang cukup mencolok terlihat bila hasil penelitian ini dibandingkan dengan tulisan Nunley (2005), dimana sebagian besar penderita endometriosis eksterna ditemukan pada usia yang lebih muda yaitu dekade 2 dan 3.23 Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh sedikitnya kasus yang didapatkan atau penderita memeriksakan diri ke rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lain. 5.6
Distribusi
Adenomiosis
yang
disertai
Endometriosis
Eksterna
Berdasarkan Kelompok Umur Distribusi adenomiosis yang disertai endometriosis eksterna berdasarkan kelompok umur hanya terdapat pada kelompok umur 30-39 tahun dan 40-49 tahun, sedangkan pada kelompok umur lainnya tak ditemukan. Hasil penelitian Agustina
50
(2011) juga menemukan kasus ini pada kelompok umur 20-29 tahun, selain pada 2 kelompok umur di atas.32 5.7
Distribusi Frekuensi Endometriosis Eksterna Berdasarkan Jenis Lesi Berdasarkan tabel 4.7, endometriosis eksterna ditemukan pada ovarium,
tuba dan umbilikus. Jumlah kejadiannya pada ovarium kiri lebih banyak daripada ovarium kanan. Lokasi pada ovarium kiri terdapat pada 12 kasus (50%) sementara pada ovarium kanan 6 kasus (25%) dan lokasi pada kedua sisi ovarium ada 4 kasus (16,68%). Lokasi yang juga didapatkan dari penelitian ini adalah tuba dan umbilikus, dimana masing-masing terdapat pada 1 kasus (4,16%) endometriosis eksterna. Dalam literatur dituliskan bahwa lokasi terbanyak adalah ovarium. Namun juga ada literatur yang menyatakan bahwa lokasi di ligamentum uterosakral lebih banyak. Williams (2005) menyebutkan bahwa lokasi tersering adalah pada satu ovarium (55,2%) kemudian ovarium bilateral (24,6%), sedangkan dalam edisi terbarunya (2013) yang mencantumkan hasil penelitian Jenkins (1999) dilaporkan lokasi terbanyak adalah ovarium kanan (44%) diikuti ovarium kiri (31,3%), ligamentum uterosakral (34,6%), dan permukaan serosa uterus (34%) sedangkan di tuba kiri didapatkan 1,6% dan tuba kanan 4,3%.7 Bila dibandingkan dengan hasil penelitian di atas, dapat dilihat bahwa penelitian ini mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya didapatkan bahwa lokasi terbanyak adalah di ovarium terutama di ovarium kiri. Jenkins (1999) juga menyebutkan bahwa lokasi di ovarium kiri lebih banyak daripada di ovarium kanan.7 Perbedaan yang menyolok adalah tidak didapatkan satupun kasus endometriosis eksterna pada permukaan serosa uterus atapun ligamentum uterosakral. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena penderita endometriosis eksterna berobat ke rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lainnya. 51
Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Agustina (2011), terdapat persamaan dan perbedaan dari lokasi endometriosis eksterna. Persamaannya terletak pada lokasi terbanyak ditemukannya endometriosis eksterna, yaitu pada ovarium, terutama pada ovarium kiri. Sedangkan perbedaannya terletak pada macam lokasi ditemukannya endometriosis eksterna, dimana pada hasil penelitiannya tak ditemukan umbilikus sebagai lokasi endometriosis eksterna.32 5.8
Distribusi Frekuensi Endometriosis Dengan atau/ Tanpa Kelainan Ginekologi Lain yang Menyertai Berdasarkan tabel 4.8, dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut :
a. Penderita adenomiosis 99 orang (80,48%) Dari 99 penderita ini, 64 orang (51,61%) adalah adenomiosis yang disertai dengan kelainan lain dan 35 orang (74,46%) hanya menderita adenomiosis saja. b. Penderita endometriosis eksterna 20 orang (16,27%) Dari 20 penderita ini, 10 orang (50%) adalah endometriosis eksterna yang disertai kelainan lain dan 10 orang (21,28%) hanya menderita endometriosis eksterna saja. c. Penderita adenomiosis dan eksterna 4 orang (3,25%) Dari 4 penderita ini, 2 orang (50%) adalah adenomiosis dan eksterna yang juga disertai dengan kelainan lain dan 2 orang (4,26%) hanya menderita adenomiosis yang disertai endometriosis eksterna saja. Dari kasus-kasus adenomiosis dan eksterna tersebut, ternyata lebih banyak kasus yang disertai dengan kelainan ginekologi lain. ini menunjukkan bahwa sebagian besar kasus endometriosis ditemukan secara kebetulan dari kasus-kasus yang didiagnosa kelainan kandungan lain. hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sarjadi (2002) yang menyatakan bahwa biasanya kejadian endometriosis ditemukan secara kebetulan sebagai hasil operasi kandungan dengan diagnosa klinik suatu penyakit kandungan lainnya.4 52
5.9
Lokasi Jenis Kelainan Ginekologi Lain yang Menyertai Endometriosis Berdasarkan tabel 4.9, kasus-kasus endometriosis yang disertai kelainan
ginekologi lain, lokasi kelainan terbanyak ditemukan pada ovarium. Kelainankelainan yang ditemukan pada ovarium ini antara lain kista folikuler ovarium, kista luteal hemoragicum ovarium, cystadenoma ovarii serosum non papiliferum, dan lainlain. Setelah ovarium, lokasi kelainan lain juga ditemukan pada uterus berupa leiomioma uteri, hiperplasia endometrium, polip endometrium, dan lain-lain. Lokasi kelainan lain juga ditemukan pada tuba falopii dan cervix uteri. Bila ditinjau dari jenisnya, kelainan ginekologi lain yang terbanyak ditemukan adalah leiomioma uteri. Hal ini sesuai dengan penelitian Crum (2007) yang menyatakan bahwa leiomioma uteri sering terjadi bersama-sama dengan kejadian endometriosis, yaitu sekitar 52%. 3 Dalam Czernobilisky (2000) juga dikatakan bahwa lebih dari 80% penderita adenomiosis memiliki patologi lain pada uterusnya, dimana 50%-nya menderita fibroid atau leiomioma uteri (tumor jinak otot polos uterus), 11% dengan endometriosis eksterna dan 7% dengan polip endometrial (pertumbuhan berlebih jaringan endometrium yang bersifat jinak).21
53
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan Selama 2 tahun (2011 - 2012) terdapat 123 kasus endometriosis di Bag.
Patologi Anatomi RS Umum Tangerang yang terdiri dari 99 kasus adenomiosis, 20 kasus endometriosis eksterna, dan 4 kasus adenomiosis-eksterna dengan perincian sbb: 1. Adenomiosis terbanyak pada kelompok umur 40-49 tahun. 2. Endometriosis eksterna terbanyak pada kelompok umur 30-39 tahun. 3. Lokasi endometriosis eksterna terbanyak pada ovarium kiri. 54
4. Endometriosis lebih banyak ditemukan dengan kelainan ginekologi lain, terutama leiomioma uteri. 5. Terdapat pergeseran kelompok umur penderita adenomiosis kearah umur lebih muda (dekade 3 dan 4). 6. Lokasi endometriosis eksterna lain dapat ditemukan pada umbilikus.
6.2
Saran
1.
Diharapkan kasus endometriosis di Bagian. Patologi Anatomi RS Umum Tangerang dapat diteliti pada setiap kurun waktu 2 tahun untuk mengetahui perkembangannya.
2.
Dari penelitian ini dilakukan penelitian lebih lanjut dan memberikan seminar kepada semua wanita tentang kasus endometriosis mengingat terdapat pergeseran umur penderita endometriosis kearah umur lebih muda dan gejala klinis yang bersifat asimptomatik.
55
DAFTAR PUSTAKA
Jacoeb, T. Z. 1990. Endometriosis dalam Infertilitas. Makalah Obstetri
Ginekologi Indonesia. 16 : 2. 77-99 Dmwoski, W. P. et. al. 2002. Endometriosis. Munich : Hoechst Medication
Update Crum, C. P. 2007. Female Genital Tract : Endometriosis. Dalam R. S. Cotran & V. Kumar (eds.), Robbins Pathologic Basic of Disease. 5th Edition. 23 :
1054-1055 Sarjadi. 2002. Patologi Ginekologi Endometriosis. FK UNDIP. 75-78. Anderson, J. R. 1985. The Female Reproductive Tract & The Breast. Dalam Muir (ed.). Muir’s Textbook of Pathology. 12th Edition. New York : Churcill
Livingstone. 24.6-24. 17. D’Hooghe, T. M., Hill, J. A. 1996. Endometriosis. Dalam J. S. Berek (ed),
Novak’s Gynechology. 12th Edition. Baltimore : William and Wilkins Co. 889. Williams, T. J. 2005. Endometriosis. Dalam J. D. Thompson (ed.), Te Linde’s Operative Gynechology. 7th Edition. Vol. 1. Philadelphia : Lippincot Co. 1992.
56
Baziad, A., et. al. 1993. Endometriosis. Dalam A. Baziad (eds.),
Endokrinologi Ginekologi. Edisi I. Jakarta : KSERI. 107-122. Muse, K., Wilson, E. A. 2000. Endometriosis. Dalam L. P. martin (ed.), Current Obstetric and Gynecologic Diagnosis and Treatment. 6th Edition.
California : Lange Medical Publication. 295-296. Speroff, L, et. al. 1994. Endometriosis. Dalam Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. 5th Edition. Baltimore : William and Wilkins
Co. 853. Shaikh, H., Khan, K. S., 2003. Adenomyosis in Pakistan Women : Four Years Experience at Aga Khan University Medical centre, Karachi. Journal of
Clinical Pathology. 43 (10) : 817-9. Hammond, C. B., Ory, S. J. 1988. Endometriosis Dalam J. H. Duenhoeller (ed.), Ginekology Greenhill. Edisi 10. Diterjemahkan oleh Chandra Sanusi.
Jakarta : EGC. 130-139. Kistner, R. W. 1971. Gynaecologgy Principle and Practice. 2nd Edition.
Chicago : Year Book Medical Publische Inc. Tortora, G. J., Grabowski, S. R. 1993. Principles of Anatomy and Physiology
7th Edition. New York : Biological Science Text Book Inc. 943. Subowo. 1989. Anatomi Mikroskopika. Bandung. PAU-Ilmu hayati ITB. 271-
227. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNPAD. 1988. Obstetri Fisiologi.
Bandung : Elemen. 58. Snell, R. S. 1991. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke-3.
Diterjemahkan oleh Adji Dharma. Jakarta : EGC. 54-55. Carr, B. R., Wilson, J. D. 1991. Disorder of Ovary and Female Reproductive Tract. Dalam J. D. Wilson (ed.), Harrison’s Principle of Internal Medicine.
12th edition. Vol. 2. New York : Mc. Graw Hill Inc. 1974. Strauss III, J. F., Gurpide, E. 2004. The Endometrium : Regulation and Disfunction. Dalam Yan Jaffe (ed.), Reproductive Endocrinology. 3rd Edition.
Philadelphia : W. B. Saunders Co. 338-344. Humprey, M. 1984. Infertility and Alternative Parenting. Dalam Broome, A. Wallace, L. (eds.). Psychology and Gynaecological Problems. New York :
Tavistock Publications. 78. Czernobilsky, B. 2000. Endometriosis. Dalam H.Fox (eds.), Haines and Taylor Obstetrical and Gynecological Pathology. 3rd Edition. Vol. 2. New York : Churcill Livingstone. 763-775. 57
Wren, Barry. 1981. Benign and Malignant Tumours of The Female Genital Tract. Handbook of Obstetrics and Gynecology. London : Bailliere Tindall.
402-407. Nunley Jr., W.C., Kitchin, J. D. 2005. Endometriosis. Dalam J. J. Sciarra
(ed.), Gynecology and Obstetrics. Philadephia : J. B. Lippincott Co. 20: 1-23. Curran, R. C. 1985. Colour Atlas Histopathology. 3rd Edition. England :
Harvey Miller Publishers Oxford University Press. 214-216. Wynn, Ralph. 1983. The Clinical Core. 3rd Edition. Philadelphia : Lea &
Febiger Publische Co. 212-219. Tambajong, Jan. 1993. Atlas Berwarna Histopatologi. Jakarta : EGC.244. Evans, J. H., Johnson, J. 1985. Endometriosis. Dalam R. P. Sherman (ed.),
Clinical Reproductive Endocrinology. 452-462. Glass, R. H. 1991. Infertility. Dalam Yan Jaffe (ed.). Reproductive
Endocrinology. 3rd Edition. Philadelphia : W. B. Saunders Co. 698-701. Clayton, Stanley., et. al. 1980. Gynecology by Ten Teachers. 13th Edition
England : Edward Arnold Ltd. 235-243. Cohen, M.R., De Leon, F. D. 1993. Treatment of Endometriosis. Dalam V. Insler & B. Lunenfeld (eds), Infertility Male and Female. 2nd Edition. New
York : Churcill Livingstone. 505-523. Lowe, D., Cameron, M. D. 1998. Gynaecology. Dalam G. J. Hadfield, M. Hobsley & B. C. Morson (eds.), Pathology in Surgical Practice. London :
Edward Arnold Publische Ltd. 456-457. Agustina, Hasrayati. 2011. Endometriosis Ditinjau dari Umur, Lokasi dan Paritas di Laboratorium Patologi Anatomi RS Umum Tangerang Periode 2006-2008. Skripsi Pendidikan Sarjana Kedokteran FK UPN. Jakarta : Fakultas Kedokteran Upn. 7-28.
58