1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa mengemban tugas untuk mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh tanggung jawab demi kesejahteraan umat manusia. Tuhan memberikan anugerah berupa hak asasi yang dibawa manusia bersama dengan kelahirannya. Hak asasi secara kodrati melekat erat pada diri manusia, bersifat universal dan abadi, oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati dan dipertahankan, tidak boleh diabaikan, dikurangi ataupun dirampas dari dan oleh siapapun. Hak asasi adalah hak
yang diberikan oleh Tuhan
Yang Maha Esa
karena
"kemanusiaannya". Hak asasi manusia (human rights) telah diterima sebagai komitmen yang universal, sejak 10 Desember 1948 dengan dihasilkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) di Paris, Perancis. Selain hak-hak sipil dan politik, dalam DUHAM terkandung pula hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Setiap manusia tentunya tidak hanya membutuhkan kebebasan dan perlakuan tanpa diskriminasi, namun juga memerlukan pekerjaan, penghasilan, barang-barang atau materi tertentu bagi pemenuhan hidup dan kehidupannya. Keberadaan DUHAM sebagai suatu deklarasi yang menitikberatkan pada kemauan moral dan politik perlu dituangkan dalam suatu perjanjian internasional agar mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum, diratifikasi.
2
Dengan ratifikasi untuk kemudian diwujudkan dalam suatu perundangundangan yang bersifat nasional, bertujuan agar hak-hak asasi manusia selain dihormati juga dijamin pemenuhannya oleh negara. Undang-Undang termaksud adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia yang selanjutnya disebut Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Menurut Pasal 1 ke 1 Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Jadi, menjadi kewajiban umum negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) HAM tersebut. Berbeda dengan hak-hak sipil dan politik, pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya membutuhkan peran kekuasaan negara yang lebih besar, turut campurnya pemerintah. Semua itu dikarenakan sumber-sumber ekonomi dan sosial bagi pemenuhan kebutuhan manusia bersifat terbatas. Misalnya lapangan kerja, pangan, sandang dan perumahan yang bersifat terbatas, sehingga di lain pihak ada sejumlah yang harus menganggur, kekurangan pangan dan tidak mendapatkan kesempatan menikmati hak atas pembangunan dan hasil-hasil pembangunan. Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan dalam pasal 27 ayat (2) dan 28 huruf A :
3
Pasal 27 ayat (2) : "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". Pasal 28 huruf A : " Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya". Pembangunan negara ini ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan selanjutnya disebut UUD Tahun 1945. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara, tempat atau sumber rujukan utama bagi proses perumusan dan penetapan peraturan perundangan yang lain. Dengan kata
lain,
UndangUndang
Dasar
1945
sebagai
kebijakan
dasar
penyelenggaraan negara yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Pembangunan yang diarahkan pada pentingnya manusia dan nilai-nilai kemanusiaan merupakan prasyarat yang tidak dapat ditawar-tawar. Agar pembangunan bermakna memberdayakan dapat dicapai melalui apa yang disebut PBM (Pembangunan Bersama Masyarakat). Pembangunan Bersama Masyarakat adalah suatu model pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan peran serta aktif, melakukan upaya pemberdayaan masyarakat pada semua tingkatan guna mengorganisasi diri
4
dalam menghimpun sumberdaya, merencanakan dan melaksanakan kegiatan untuk memperbaiki keadilan sosial, ekonomi dan lingkungan. Bukanlah suatu hal yang mudah untuk bertahan hidup di tengah situasi negara yang krisis saat ini, ditambah dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang mengakibatkan inflasi. Inflasi dimana laju pergerakan harga barang dan jasa kebutuhan hidup melonjak. Inflasi yang berimbas pada setiap sudut kehidupan, banyak perusahaan melakukan pengurangan jumlah tenaga kerja agar tetap dapat beroperasi. Bahkan beberapa harus menutup usahanya karena tidak lagi mernpunyai daya saing. Jika sudah demikian yang terjadi adalah bertambahnya jumlah pengangguran, angkatan kerja yang tidak memiliki kekayaan dan makin bertambahnya masyarakat miskin. Salah satu upaya untuk bertahan di tengah kesulitan adalah berusaha di sektor informal sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL). Berusaha di sektor informal menjadi pilihan dikarenakan tidak memerlukan modal besar. PKL adalah juga warga negara yang berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Bagaimanapun pilihan berusaha di sektor informal membuktikan bahwa dalam keadaan krisis mereka tetap bertahan, dapat dikatakan keberadaan mereka amat diperlukan agar roda perekonomian tetap dapat berputar walaupun dalam skala "kecil". Agar keberadaan mereka yang selama ini selalu dicap sebagai sumber kekumuhan dan ketidaktertiban serta jauh dari keindahan, maka peranan
5
pemerintah yang menyangkut kebijakan publik di sektor informal hendaklah dirumuskan secara arif dan bijaksana. Kebijakan publik di sektor informal yang sungguh-sungguh memenuhi persyaratan yang menampakkan kemauan sosial, ekonomi juga politik yang tidak memarginalkan sekelompok rakyat, yakni PKL. Terlebih di masa kini, di banyak tempat termasuk kota Surakarta, terjadi "perlombaan" pembangunan pertokoan yang marak dibandingkan dengan penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima yang kondusif bagi kaum marginal. Hampir setiap pemerintah kota di hadapkan pada pilihan membangun
pusat
perdagangan,
pertokoan
atau
membangun
dan
memberdayakan kaum marginal di sektor informal. Berdasarkan suatu penelitian, terungkap bahwa: 1. Sektor informal di perkotaan memang berperan besar dalam sistem kegiatan ekonomi, namun kontribusi sektor informal terhadap GNP (Gross National Product.) dan pertumbuhan ekonomi masih relatif kecil. Di samping itu, berkembangnya sektor informal di perkotaan telah mendorong menjamurnya pemukiman kumuh di perkotaan, kesulitan perencanaan tata ruang keindahan kota, dan meningkatnya urbanisasi dengan segala permasalahannya. 2. Pengembangan sektor modern (industrialisasi) walaupun benar dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap GNP, sektor modern ini tidak dapat secara mudah dan sederhana menciptakan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan di perkotaan Indonesia. Malahan akibat tidak
6
meratanya perkembangan sektor modern dan industrialisasi di Indonesia, banyak pengganggur di sektor formal termasuk bidang pertanian, mencari pekerjaan di sektor informal. 1 Penulis mengamati, dari waktu ke waktu senantiasa ada pertambahan jumlah pedagang kaki lima di kota Surakarta, khususnya pedagang kaki lima di seputar Monumen 45 Banjarsari Surakarta. Pedagang kaki lima yang tersebar tersebut acapkali menimbulkan kemacetan lalu lintas, oleh karena trotoar bahkan badan jalan dipakai pedagang kaki lima mengelar dagangannya. Belum lagi apabila para pedagang kaki lima tersebut meninggalkan
alat
memperhitungkan
peraganya kekumuhan
begitu yang
saja
usai
berjualan
ditimbulkannya.
Maka
tanpa makin
lengkaplah kejengkelan warga masyarakat yang terganggu dengan keberadaan mereka, demikian juga pemerintah kota yang tidak hentihentinya selalu mengadakan penertiban. Tetapi selalu saja begitu petugas pemerintah kota pergi, para pedagang kaki lima kembali ke tempat semula untuk menggelar dagangannya. Berbicara tentang pedagang kaki lima (PKL) yang demikian populer ada pihak yang pro/mendukung di samping yang kontra/menentang. Yang mendukung memandang dari sudut arti yang positif bahwa PKL dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) bagi pemerintah daerah, PKL sebagai awal seseorang bekerja, menampakkan sifatnya yang tahan pada masa krisis sekaligus sebagai peluang kerja/memberikan lapangan pekerjaan 1
Alisjahbana. 2004. Sisi Gelap Perkembangan Kota Kependudukan, Birokrasi dan Ekonomi, Jakarta: Rineka Cipta. Hal 14
7
dari sekian banyak penganggur. Para penganggur ini mencoba berkreasi, berwirausaha dengan modal sendiri bahkan tanpa modal (uang). Mereka adalah orang-orang yang optimis menatap kehidupan, berjuang memenuhi tuntutan hidup. Oleh karenanya tidaklah berlebihan apabila Menaker beserta ketua Kadin Pusat telah mencanangkan agar PKL dibina bukan dibinasakan, jangan dikejar-kejar, jangan dimatikan karena mereka turut andil membangun lapangan kerja. Melalui PKL konsumen mendapat kemudahan dalam memenuhi kebutuhannya sambil berjalan jalan. Kebanyakan barangbarang yang dijual PKL adalah barang-barang conveniences (berkategori menyenangkan seperti souvenir atau kebutuhan sehari-hari di luar sembako) yang dibeli dengan cara emosional artinya begitu melihat barang langsung timbul keinginan membeli. Pihak yang kontra, tidak mendukung dengan sudut pandang negatif berpendapat
membiarkan
keberadaan
PKL
sama
artinya
dengan
melanggengkan kemiskinan, memperbesar ruang kriminalitas, PKL sumber gangguan ketertiban dimana kebanyakan PKL tidak menghiraukan tata tertib, kebersihan; dimana ada PKL di sana timbul kesemrawutan, kotor, kumuh, banyak sampah. Dengan kata lain menimbulkan permasalahan berkaitan
dengan
usaha
pengembangan
tata
ruang
kota
karena
ketidaktertibannya sebagai akibat sulitnya mengendalikan perkembangan sektor informal ini. Jelas PKL tidak pernah habis dan dimanapun selalu ada sebagai implikasi pertambahan jumlah penduduk dan angkatan kerja;
8
angkatan kerja tahun ini belum terserap sudah menyusul angkatan kerja selanjutnya demikian seterusnya. Seorang mantan birokrat, Alisjahbana dalam acara Publik Bicara yang diselenggarakan atas kerjasama Kompas dan Radio Sonora dengan tema "PKL suatu berkah atau masalah?", bertempat di Surabaya, pada 1 April 2006, secara ekstrim mengatakan bahwa "Jangan mimpi apabila pemerintah daerah dapat menghilangkan PKL, yang dapat dilakukan hanyalah mereduksi". Hal demikian harus disadari dengan memahami sejarah atau asal-usul sebab terjadinya PKL agar permasalahan PKL mendapat solusi yang tepat. Konsep industrialisasi yang tidak diikuti dengan kaidah penataan yang aplikatif sehingga pertumbuhan serta perkembangan industrialisasi yang pesat menjadikan angkatan kerja desa lari ke kota untuk memperebutkan kesempatan kerja sektor formal. Sebagaimana diketahui bahwa laju pertumbuhan perkotaan disebabkan oleh migrasi dari desa dikarenakan ketidakmampuan pedesaan dalam menyediakan lapangan kerja bagi penduduknya di samping daya tarik perkotaan dengan tersedianya lapangan kerja bagi pendatang untuk meningkatkan pendapatan. Pada umumnya para pendatang tidak memiliki keahlian khusus dan ketrampilan bahkan pendidikan yang memadai, sehingga kecenderungan berusaha bagi mereka ada pada sektor informal. Tentu saja karena sektor formal tidak dapat menyerap semua tenaga kerja. Adapun ciri-ciri kegiatan informal ini adalah:
9
1. Kegiatan usaha, tidak terorganisir dengan baik; 2. Tidak memiliki surat izin usaha; 3. Tidak teratur dalam kegiatan usaha, baik ditinjau dari tempat usaha jenis usaha maupun jam kerja; 4. Bergerombol di trotoar atau di tepi-tepi jalan protokol, di pusat-pusat keramaian: 5. Menjajakan barang dagangannya sambil berteriak, kadang berlari mendekati konsumen; 6. Teknologi yang dipergunakan sangat sederhana; 7. Modal usaha relatif kecil, barang dagangan milik sendiri atau orang lain.2 Menurut Buchari Alma apabila dibandingkan antara kegiatan formal dan informal ada beberapa perbedaan seperti di bawah ini : Tabel 1 Perbedaan Kegiatan Formal dan Informal3 Karakter Modal
2
Kegiatan Formal Relatif mudah diperoleh
Kegiatan lnformal Sukar diperoleh
Teknologi
Padat modal
Padat karya
Organisasi
Birokrasi
Sanak sanak keluarga
Kredit
Resmi Lembaga Keuangan
Di luar lembaga resmi
Buchari Alma. 2004. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa Marketing. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal 78 3 Hassel. 2004. 36 Kasus Kebijakan Publik Asli Indonesia Edisi 2004/2005. Yogyakarta , BPFE , 2004. Hal 95
10
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya ternyata ada bermacammacam jenis pedagang kaki lima (PKL) yaitu : l. Riil PKL dengan ciri modal kecil/seadanya dan memakai tenaga kerja dirinya sendiri; 2. PKL bazar yakni PKL yang berusaha pada hari-hari tertentu misalnya hari libur; 3. PKL dengan memakai tenaga kerja/orang lain; 4. Pengusaha PKL artinya seseorang dengan modal besar sengaja membuat sarana penjualan/berusaha dengan memakai kendaraan/alat yang mudah dipindahkan/mobilisasi untuk ditempatkan pada tempat strategis yang tidak permanen. Misalnya pengusaha roti Holland memakai gerobak/mobil berkeliling atau berhenti pada waktu dan tempat tertentu untuk menjajakan dagangannya4 Tampak bahwa keberadaan sektor informal sebagai katup pengaman bagi permasalahan ketenagakerjaan khususnya dan perekonomian pada umumnya. Oleh karena itu PKL perlu dibina dan dilindungi agar mereka dapat meningkatkan kesejahteraan hidup, juga ditata supaya tercipta kenyamanan bagi warga kota, warga masyarakat mengingat bahwa kota dikonsepkan sebagai suatu tempat atau wilayah kediaman yang nyaman, sehat, bersih dan teratur.
4
Al-Faqih. 2005. KPI dan Hak Konsumen Penyiaran. Publik Bicara, Surabaya Post, 1 April 2006. Hal 90
11
Penataan PKL diberbagai kota di Indonesia seringkali diwarnai konflik yang mengarah kepada terjadinya konflik fisik antara PKL dan aparat penegak Peraturan Daerah atau yang sering disebut Satuan Polisi Pamong Praja atau Satpol, tetapi hal tersebut tidak terjadi di Kota Surakarta.Penataan PKL dibeberapa tempat di wilyah kota Surakarta seperti yang terjadi di sekitar Monumen Perjuangan, Kecamatan Banjarsari, di depan Stadion Manahan, disekitar Kentingan/Kampus UNS Kecamatan Jebres berlangsung secara lancar dan damai.Perbedaan Penataan PKL di Kota Surakarta yang dipandang berhasil karena tidak memunculkan konflik antara Pemerintah Kota dengan PKL inilah yang menjadi daya tarik Penulis untuk melakukan penelitian ini. Dalam rangka Penataan PKL, Pemerintah Kota Surakarta memandang perlu untuk mengeluarkan kebijakan publik yang tepat dalam wujud aturan hukum yaitu Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Bertitik tolak dari pemikiran dan keinginan Pemerintah Kota Surakarta sejalan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah dan dalam rangka meningkatkan taraf hidup bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan perekonomian saat ini, perlu adanya pengaturan dan pembinaan yang lebih terarah dan terencana. Dengan kata lain kebijakan publik dalam bentuk Perda yang membahas peran serta pedagang kaki lima dalam pembangunan yang diantaranya terarah pada usaha untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan keindahan Kota Surakarta menjadi hal yang menarik untuk menjadi obyek
12
penelitian. Terlebih pelaksanaan Perda tersebut telah di tindak lanjuti oleh Walikota Surakarta sehubungan dengan program relokasi PKL dibeberapa tempat di wilayah kota Surakarta, seperti PKL Klithikan Banjarsari yang memenuhi seputaran monument 45 ke Pasar Notoharjo Semanggi, PKL di depan Stadion Manahan di Jl. Adi Sucipto ke sampaing dan belakang Stadion Manahan, PKL di Kentingan/sekitar Pagar Kampus UNS ke belakang Kecamatan Jebres, dan sebagainya. Pelaksanaan tersebut tentulah tidak semudah membalikkan tangan, hal ini penuh dengan opini yang pro maupun kontra. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti memilih untuk menulis tesis ini dengan judul " PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA SURAKARTA YANG BERJALAN TANPA KONFLIK FISIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK”
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: Bagaimana Pemerintah Kota Surakarta mengimplementasikan penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta sehingga berjalan tanpa konflik fisik dalam perspektif hukum dan kebijakan publik?
13
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menjelaskan Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam Penataan
Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta
sehingga dapat berjalan tanpa konflik fisik. 2.
Untuk mengetahui implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam Penataan PKL di Surakarta sehingga berjalan tanpa konflik fisik.
D. Manfaat Penelitian 1. Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum kebijakan publik yang berkaitan dengan penataan Pedagang Kaki Lima, khususnya di Kota Surakarta. 2. Dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu gambaran mengenai pelaksanaan Kebijakan yang terkait dengan penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta. 3. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti lain serta menambah wawasan pengetahuan di bidang kebijakan publik khususnya mengenai Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta..
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Teori Bekerjanya Hukum Sering muncul ketika membicarakan mengenai hukum adalah hukum yang berlaku pada sebuah negara. Hukum semacam ini disebut hukum positif. Asal mula hukum ini ialah penetapan oleh pimpinan yang sah dalam negara. Menurut pandangan tradisional, tidak mungkin untuk memahami esensi suatu tata hukum nasional, yaitu principium individuations-nya, kecuali jika negara dipostulasikan sebagai realita sosial yang fundamental5 Menurut pandangan ini, sistem norma memiliki kesatuan dan kekhasan sehingga pantas disebut tata hukum nasional. Sistem norma ini berkaitan dengan suatu cara yang berbeda dengan negara lain sebagai satu fakta sosial, karena sistem norma ini diciptakan oleh satu negara atau sistem ini valid bagi satu negara. Hukum, walaupun diciptakan oleh negara dianggap mengatur perbuatan negara, yang dipahami seperti seorang manusia, di mana hukum mengatur perbuatan manusia. Hukum termasuk ke dalam kategori norma, oleh karena itu hukum merupakan suatu sistem norma.
5
Hans Kelsen. Teori Umum Hukum dan Negara. Dasar-dasar Ilmu Hukum sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik. Bee media Indonesia Jakarta. 2007. Hal 46
15
Hukum sebagai kategori moral serupa dengan keadilan, pernyataan yang ditujukan untuk pengelompokkan sosial tersebut sepenuhnya benar, yang sepenuhnya mencapai tujuannya dengan memuaskan semua. Rindu akan keadilan, yang dianggap secara psikologis, adalah kerinduan abadi manusia akan kebahagiaan, yang tidak bisa ditemukannya sebagai seorang individu dan karenanya mencarinya dalam masyarakat. Kebahagiaan sosial dinamakan ’keadilan’6 Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturanperaturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam dalam pelaksaannya sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain hukum harus sesuai dengan ideologi bangsa sekaligus sebagai pengayom masyarakat7. Dalam pelaksanaannya hukum dapat dipaksakan daya berlakunya oleh aparatur negara untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib, dan adil. Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut supaya melakukan perbuatan yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat Negara. Kendatipun hukum dalam bentuk hukum positif daya berlakunya terikat oleh ruang dan waktu. Hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyarakat Untuk keperluan pemancangan tersebut, maka hukum menjabarkan pekerjaannya dalam berbagai fungsinya, yaitu : 6
Hans Kelsen. 2008. Pengantar Teori Hukum. Bandung : Nusamedia. Hal 57 Dahlan Thaib, dkk. 1999.Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hal 64 7
16
a. Pembuatan norma-norma, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang; b. Penyelesaian sengketa-sengketa; c. Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi perubahan-perubahan. 8 Hukum, dengan demikian digolongkan sebagai sarana untuk melakukan kontrol sosial, yaitu suatu proses mempengaruhi orang-orang untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Oleh karena itu, pengontrolan oleh hukum tersebut dijalankan dengan berbagai cara dan melalui pembentukan badan-badan yang dibutuhkan. Dalam hubungan ini, hukum disebut sebagai suatu sarana untuk melakukan kontrol sosial yang bersifat formal. Penyadaran akan hukum yang berkualitas terbatas itu menjadi penting di tengah buruknya kualitas kehidupan hukum kita. Tetapi sebenarnya kesadaran itu tidak hanya diperlukan pada masa-masa sulit seperti sekarang, karena hal itu sudah menjadi bagian dari realitas dunia hukum kapanpun dan di mana pun. Hukum sama sekali tidak dapat dilepaskan dari partisipasi publik9 Hukum sebagai sarana kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Kontrol sosial ini dijalankan dengan 8 9
Satjipto Rahardjo, 1984, Hukum dan Masyarakat, Bandung : Angkasa. Hal 16 Sarjipto Rahardjo. 2008. Membedah Hukum Progresif. Jakarta : Kompas. Hal 87
17
menggunakan berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang diorganisasi secara politik maupun melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya. Keadaan tersebut berbeda dengan hukum sebagai sarana social engineering. Hukum sebagai sarana social engineering adalah penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan atau untuk melakukan perubahanperubahan yang diinginkan.
Kemampuan seperti ini biasanya hanya
dilekatkan pada hukum modern. Dilihat dari prinsip-prinsip wawasan negara berdasar atas hukum (rechsstaat) sebagaimana dikatakan oleh Zippelius, konstitusi merupakan alat untuk membatasi kekuasaan negara. Prinsip-prinsip ini mengandung jaminan terhadap ditegakkannya hak-hak asasi, adanya pembagian kekuasaan dalam negara, penyelenggaraan yang didasarkan pada undangundang, dan adanya pengawasan yudisial terhadap penyelenggaraan pemerintah tersebut. Prinsip wawasan negara hukum yang dikemukakan oleh Zippelius tadi pada dasarnya sama dengan ketentuan yang ada pada materi muatan konstitusi. Berarti berbicara tentang esensi hukum positif, wawasan negara berdasarkan atas hukum (rechsstaat), inklusif di dalamnya pemahaman tentang konstitusi sebagai dokumen formal yang terlembagakan oleh alat-elat negara dan sekaligus sebagai hukum dasar
18
yang tertinggi. Bila demikian halnya, maka konstitusi akan selalu mengikat seluruh warga negara10. Robert B. Seidman menyatakan bahwa tindakan apapun yang akan diambil baik oleh pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana maupun pembuat undang-undang selalu berada dalam lingkup kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik, dan lain-lain sebagainya. Seluruh kekuatan-kekuatan sosial itu selalu ikut bekerja dalam setiap upaya untuk memfungsikan peraturan-peraturan yang berlaku, menerapkan sanksi-sanksinya, dan dalam seluruh aktifitas lembagalembaga pelaksanaannya. Dengan demikian, peranan yang pada akhirnya dijalankan oleh lembaga dan pranata hukum itu merupakan hasil dari bekerjanya berbagai macam faktor. Robert B. Seidman mencoba untuk menerapkan pandangannya tersebut mengenai bekerjanya hukum dalam masyarakat yang dilukiskan dalam bagan sebagai berikut :
10
Dahlan Thaib, dkk. Opcit. Hal. 76
19
Bagan 1 Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat11 Kekuatan-kekuatan Pengaruh
Pembuat UndangUndang
Umpan balik
Umpan balik Pemegang Peran
Pelaksana
Umpan balik Kekuatan-kekuatan Pengaruh
Kekuatan-kekuatan Pengaruh
Bagan tersebut diuraikan di dalam dalil-dalil sebagai berikut : a. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peranan itu diharapkan bertindak. b. Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai suatu respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturanperaturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari
11
Ibid. hlm. 78
20
lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya. c. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturanperaturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lainlainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari para pemegang peranan. d. Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik, ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peranan serta birokrasi. Dengan menggunakan model dari Seidmen tersebut dapat dijelaskan pengaruh faktor-faktor atau ketentuan-ketentuan sosial mulai dari tahap pembuatan undang-undang, penerapannya dan sampai kepada peran yang diharapkan. Demikian pula, pengaruh kekuatan-kekuatan sosial dirasakan juga dalam bidang penerapan hukum. Peranan yang diharapkan dari warga masyarakat juga sangat ditentukan dan dibatasi oleh kekuatan-kekuatan sosial tersebut, terutama sistem budaya. Yang dimaksud “pemegang peran” adalah semua warga negara baik itu hakim, polisi dan sebagainya. Apapun terminologi yang
21
diajukan untuk menjelaskan apa itu hukum, pada dasarnya hukum merupakan budaya masyarakat atau aktivitas mesyarakat tertentu yang berjalinan erat dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat12 Suatu peraturan dibuat atau dikeluarkan tentunya berisi harapanharapan yang hendaknya dilakukan oleh subyek hukum sebagai pemegang peran. Namun bekerjanya harapan itu tidak ditentukan hanya oleh kehadiran peraturan itu sendiri, melainkan juga oleh beberapa faktor lain. Faktor-faktor yang turut menentukan bagaimana respon yang akan diberikan oleh pemegang peran, antara lain : (a) sanksi-sanksi yang terdapat di dalamnya, (b) aktifitas dari lembaga pelaksana hukum, dan (c) seluruh kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang bekerja atas diri pemegang peranan di situ. Perubahan-perubahan itu juga disebabkan oleh berbagai reaksi yang ditimbulkan oleh pemegang peran terhadap pembuat
undang-undang dan birokrasi.
Demikian pula
sebaliknya. Komponen birokrasi juga memberikan umpan balik terhadap pembuat undang-undang maupun pemegang peran. Dengan menggunakan model Seidman tersebut dijelaskan bahwa setiap undang-undang sekali dikeluarkan akan berubah baik melalui perubahan formal maupun melalui cara-cara yang ditempuh birokrasi ketika bertindak. Ia berubah disebabkan oleh adanya perubahan kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain-lain yang melingkupinya. 12
Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang : Suryandaru Utama. Hal 48
22
Perubahan itu terutama disebabkan oleh pemegang peran terhadap pembuat undang-undang dan terhadap birokrasi penegakan, dan demikian sebaliknya. Berdasarkan teori berlakunya hukum di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum sebagai sarana kontrol sosial merupakan suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Oleh karena itu, setiap undangundang sekali dikeluarkan akan berubah baik melalui perubahan formal maupun melalui cara-cara yang ditempuh birokrasi ketika bertindak. Perubahan ini disebabkan oleh adanya perubahan kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain-lain yang melingkupinya.
2. Teori Sistem Hukum Stufenbau Secara teoritis, tata urutan peraturan perundang-undangan dapat dikaitkan dengan ajaran Hans Kelsen mengenai “Stufenbau des Rechts” atau “The hierarchy of Law” yang berintikan, bahwa “kaidah hukum merupakan susunan berjenjang dan setiap kaidah yang lebih rendah bersumber dari kaidah hukum yang lebih”13 Untuk lebih memahami teori Stufenbau des Rechts, harus dihubungkan dengan ajaran Hans Kelsen tentang “Reine Rechtslehre atau The pure theory of law (teori hukum murni) dan bahwa hukum itu tidak lain dari kehendak penguasa (command of the souvereign). 13
59
Bagir Manan. 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH MI Yogyakarta. Hal
23
Menurut teori hukum murni “hukum tidak lain dari sistem hukum positif yang dibuat oleh penguasa. Hukum positif dapat berupa peraturan perundang-undangan sebagai kaidah umum (general norm) dan kaidahkaidah yang terjadi karena putusan hakim sebagai kaidah khusus (individual norm). Menurut Bagir Manan, hukum positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini seang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara14 Karena tidak mungkin menempatkan putusan hakim dalam tata urutan, maka pengertian Stufenbau des Rechts adalah tata urutan peraturan perudang-undangan (kaidah umum). Menurut teori hukum murni, bahwa objek kajian hukum (legal science) hanyalah mengenai isi hukum positif. Sedangkan mengenai baik atau buruk suatu kaidah yang mencerminkan sistem nilai tertentu, masalah tujuan hukum dan lainlain, bersifat filosofis, bukan objek teori hukum, melainkan objek filsafat.
Pandangan ini bertalian dengan paham “legal positivism” dan Hans Kelsen merupakan salah seorang penganut Aliran Positivis. Komponen substantif dalam hukum merupakan hasil dari sistem hukum, berupa peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur dan pihak yang diatur. Hukum adalah legal, bilamana undang-undang dan peraturan yang ditentukan menurut kriteria yang berlaku sehingga mempunyai kekuatan yuridis. Suatu peraturan baru dapat diakui legal, bila tidak bertentangan dengan 14
Ibid. hlm. 1
24
peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu jenjang yang lebih tinggi, yang dikenal dengan teori Stufenbau. Teori stufenbau memperlihatkan bahwa seluruh system hukum mempunyai suatu struktur piramida, mulai dari yang abstrak sampai yang konkret 15. Menurut Fuller, ukuran mengenai adanya suatu sistem hukum yang baik dalam rangka efektivitas hukum yang hendak diwujudkan terdapat dalam delapan asas yang disebut principles of legality, yaitu: a. Suatu sistem hukum yang harus mengandung suatu peraturanperaturan, tidak boleh, mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad-hoc. b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan. c. Tidak boleh peraturan yang berlaku surut, oleh karenanya apabila ada yang demikian itu wajib ditolak, maka peraturan itu bilamana menjadi pedoman tingkah laku, membolehkan peraturan secara berlaku surut berarti akan merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang. d. Peraturan-peraturan harus
disusun dalam rumusan
yang bisa
dimengerti. e. Suatu sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lain. f. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. 15
Hal 82
Theo Huijbers, 1986. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Bina Cipta.
25
g. Tidak boleh ada kebiasaan untuk mengubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi. h. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari. 16 Ketentuan perundang-undangan tidak hanya mengatur wewenang normatif yang diatur dalam sebuah undang-undang sehingga sifatnya kaku, melainkan juga wewenang bebas (diskresi). Namun dalam praktiknya seringkali diskresi digunakan secara berlebihan. Diskresi merupakan pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi Negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang. Diskresi dalam penegakan hukum dinilai sangat penting, karena pertimbangan adanya kelambatankelambatan
untuk
menyesuaikan
perkembangan-perkembangan
di
perundang-undangan dalam
masyarakat,
dengan sehingga
menimbulkan ketidakpastian dan diberlakukan pada kasus-kasus yang memerlukan penanganan khusus17
3. Teori Konflik Jika kalangan fungsionalis melihat adanya saling ketergantungan dan kesatuan di dalam masyarakat dan hukum atau Undang-undang sebagai sarana untuk meningkatkan integrasi sosial maka kalangan penganut teori konflik justru melihat masyarakat merupakan arena dimana satu kelompok 16
Esmi Wirasih. Op Cit. hal. 31 Soerjono Soekanto.1984. Beberapa Teori Tentang Stuktur Masyarakat.Jakarta: CV.Rajawali. hal 37 17
26
dengan yang lain saling bertarung untuk memperebutkan “power” dan mengontrol bakan melakukan penekanan dan juga melihat hukum atau undang-undang itu tidak lain merupakan cara yang digunakan untuk menegakkan dan memperkokoh suatu ketentuan yang menguntungkan kelompok-kelompok lainnya. Menurut Wallase dan Alison, teori konflik memiliki tiga asumsi utama yang saling berhubungan: a. Manusia memiliki kepentingan-kepentingan yang asasi dan mereka berusaha untuk merealisasikan kepentingan-kepentingannya itu. b. “Power” bukanlah sekedar barang langkah dan terbagi secara tidak merata, sebagai merupakan sumber konflik, melainkan juga sebagai sesuatu yang bersifat memaksa (coercive). Sebagian menguasai sumber, sedangkan yang lainnya tidak memperolehnya sama sekali. c. Ideologi
dan
nilai-nilai
dipandangnya
sebagai
senjata
yang
dipergunakan oleh berbagai kelompok yang berbeda untuk meraih tujuan dan kepentingan mereka masing-masing. Teori Konflik dalam Pandangan Dahrendorf. Pendekatan konflik Marxian dan Weberian, banyak dianut oleh sosiolog modern, tetapi bukan berarti pendekatan ini mendasari dukungan universal. Dipahami bahwa gagasan konflik Marx dan Weber banyak kegunaanya. Strategi konflik Marxian, memandang masyarakat sebagai kebutuhan dan keinginannya. Konflik dan pertentangan menimbulkan dominasi dan subordinasi. Kelompok yang dominant memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menentukan struktur masyarakat sehingga menguntungkan bagi kelompok
27
mereka sendiri. Asumsi yang mendasari teori sosial non Marxian Dahrendorf adalah (1) manusia sebagai makhluk sosial mempunyai andil dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial, (2) Masyarakat selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan. Masyarakat dalam berkelompok dan hubungan sosial didasarkan atas dasar dominasi (borjuasi) yang menguasai proletar. Karena tidak adanya pemisahan antara pemilikan dan pengendalian sarana-sarana produksi18. Ia mengkritk teori Marx dengan alasan : (1) Marxian, lemah dalam konseptualnya
dengan
mencampuradukkan
konflik
kelas
sebagai
perubahan dengan masyarakat kapitalis, (2) pendapat Marx tetang hak milik dalam arti sempit, (3) kapitalisme yang diterangkan Marx mengalami transformasi bukan evolusi, (4) keadaan kapitalisme hanyalah salah satu subtype masyarakat industri pasca industri, dan (5) konflik kelas memuncak
karena
melibatkan
faktor
ekonomi
dan
politik.
Fenomena sosial yang dijelaskan meliputi : (1) konflik atau dominasi dalam hal ekonomi dan politik, (2) konflik tidak bisa dihilangkan atau diselesaikan, tetapi hanya bisa diatur, (3) proses konflik dapat dilihat dari intensitasdan sarana (kekerasan). Fungsi
konflik
menurut
Dahendorf
adalah
(1)
membantu
membersihkan suasana yang sedang kacau, (2) katub penyelamat ( proses / salah satu sikap serta ide) yang berfungsi dalam permusuhan, (3) keagresifan dalam konflik yang realitas (dalam kekecewaan) dan konflik
18
Dahrendorf, Ralf. 1983. Konflik dalam Masyarakat Industri. Rajawali Jakarta. Hal 65
28
tidak realitas (dalam kebutuhan untuk meredakan ketegangan) mungkin terakumulasi dalam proses interaksi lain sebelum ketengangan dalam situasi konflik diredakan, (4) konflik tidak selalu berakhir dengan rasa permusuhan, (5) konflik dapat dipakai sebagai indikator kekuatan dan stabilitas suatu hubungan, dan (6) konflik dengan berbagai Outgruop dapat memperkuat kohesi (hubungan atau kerjasama) internal suatu kelompok. Dahrendorf adalah tokoh utama teori konflik “wewenang” dan ‘posisi’ sebagai konseptual sentral teorinya. Ia melihat yang terlibat konflik adalah kelompok semu yaitu para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok kepentingan, yang terdiri dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat. Seperti halnya konsensus dan konflik adalah sebuah realitas sosial. Teori konflik Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial yang mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai. Menurut Marx “kepentingan” selalu dipandang dari segi materialnya saja tetapi sebenarnya menurut Dahrendorf “kepentingan” selalu memiliki suatu harapan-harapan. Dalam memegang peran penguasa seseorang tersebut akan bertindak demi keuntungan organisasi sebagai suatu keseluruhan dan dalam kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan.
29
Dahrendorf melihat masyarakat berisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerjasama, sehingga segala sesuatunya dapat dianalisa dengan fungsionalisme struktual dan dapat pula dengan konflik. Harapannya bersama Coser, agar perspektif konflik dapat digunakan dalam rangka memahami dengan lebih baik fenomena sosial. Sebalikmya, Durkheim cenderung, meihat konflik yang berlebihan sebagai sesuatu yang tidak normal dalam integrasi masyarakat. Simmel juga berasumsi bahwa konflik dan ketegangan adalah sesuatu yang “abnormal” atau keduanya merusakkan persatuan kelompok, merupakan suatu perspektif yang penuh bias yang tidak didukung oleh kenyataan. Dahrendorf dalam mejelaskan konflik berpindah dari struktur peran kepada tingkah laku peran. Tetapi keduanya tidak bisa berjalan bersama-sama dalam bentuk hubungan sebaba-akibat. Karena keduanya tidak dipisahkan secara jelas sebagai fenomena yang berbeda. Masing-masing tergantung pada yang lain tanpa melakukan penjelasan satu sama lain. Teori konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf sering kali disebut teori konflik dialektik. Bagi Dahrendorf, masyarakat mempunyai dua wajah, yakni konflik dan konsensus. Kita tidak mungkin mengalami konflik kalau sebelumnya tidak ada konsensus. Misalnya, si A dan si B dalam kelas ini tidak mungkin terlibat dalam konflik karena mereka tidak pernah mengenal satu sama lain dan hidup bersama19.
19
Bernard Raho. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prestasi Pustaka. Hal 29
30
Demikianpun sebaliknya, konflik bisa menghantar orang kepada konsensus. Kerjasama yang sangat erat antara Jepang dan Amerika Serikat pada saat ini terjadi sesudah mereka terlibat dalam konflik yang sangat hebat pada waktu perang dunia II. Sekalipun hubungan yang sangat erat antara keduanya, Dahrendorf tidak terlalu optimis bisa membangun satu teori itu, dia berusaha membangun suatu teori konflik yang kritis tentang masyarakat. Lewat teorinya itu, ia ingin menerjemahkan pikiran-pikiran Marx ke dalam suatu teori sosiologi. Dia memulai teorinya dengan kembali bersandar pada fungsionalisme struktural. Dia mengatakan bahwa dalam fungsionalisme struktural, keseimbangan atau kestabilan bisa bertahan karena kerjasama yang sukarela atau karena konsensus yang bersifat umum. Sedangkan dalam teori-teori konflik, kestabilan atau keseimbangan terjadi karena paksaan. Hal itu berarti bahwa dalam masyarakat ada beberapa posisi yang mendapat kekuasaan dan otoritas untuk menguasai orang lain sehingga keastabilan bisa tercapai. Jonathan Turner berusaha merumuskan kembali teori konflik. Dia mengemukakan bahwa ada tiga soal utama dalam teori konflik. Pertama, tidak ada definisi yang jelas tentang apa itu konflik, yakni apa yang termasuk ke dalam konflik dan apa yang bukan konflik. Ada banyak istilah yang dipakai untuk konflik, seperti perumusan, perang, persaingan, antagonisme, tekanan, pertengkaran, perbedaan pendapat, kontroversi, kekejaman, revolusi, perselisihan, dan lain-lain. Persoalannya ialah istilah
31
manakah yang dimaksudkan oleh teori konflik itu? Kedua, teori konflik kelihatannya mengambang karena ia tidak menjelaskan unit analisa yang entah karena konflik antara individu, kelompok, organisasi, kelas-kelas, atau konflik antara bangsa-bangsa. Ketiga, oleh karena ia merupakan reaksi atas fungsionalisme struktural, maka ia sulit melepaskan diri dari teori itu. Hal ini membuat teori konflik semakin jauh dari akarnya Marxisme. Turner lalu memusatkan perhatiannya pada ”konflik sebagai suatu proses dari peristiwa-peristiwa yang mengarah kepada interaksi yang disertai kekerasan antara dua pihak atau lebih. Dia menjelaskan sembilan tahap menuju konflik terbuka. Adapun kesembilan tahap itu adalah sebagai berikut. a. Sistem sosial terdiri dari unit-unit atau kelompok-kelompok yang saling berhubungan satu sama lain. b. Di
dalam
unit-unit
ketidakseimbangan
atau
kelompok-kelompok
pembagian
kekuasaan
atau
itu
terdapat
sumber-sumber
penghasilan. c. Unit-unit atau kelompok-kelompok yang tidak berkuasa atau tidak mendapat
bagian
dari
sumber-sumber
penghasilan
mulai
mempertanyakan legitimasi sistem tersebut. d. Pertanyaan atas legitimasi itu membawa mereka kepada kesadaran bahwa mereka harus mengubah sistem alokasi kekuasaan atau sumbersumber penghasilan itu demi kepentingan mereka.
32
e. Kesadaran itu menyebabkan mereka secara emosional terpancing untuk marah. f. Kemarahan tersebut seringkali meledak begitu saja atas cara yang tidak terorganisir. g. Keadaan yang demikian menyebabkan mereka semakin tegang. h. Ketegangan yang semakin hebat menyebabkan mereka mencari jalan untuk mengorganisir diri guna melawan kelompok yang berkuasa. i. Akhirnya konflik terbuka bisa terjadi antara kelompok berkuasa dan tidak berkuasa. Tingkatan kekerasan di dalam konflik itu sangat bergantung kepada kemampuan masing-masing pihak yang bertikai untuk mendefinisikan kembali kepentingan mereka secara obyektif atau kemampuan masing-masing pihak untuk menangani, mengatur dan mengontrol konflik itu. 20 Dalam ke sembilan tahap itu Turner merumuskan kembali proses terjadinya konflik di dalam sebuah sistem sosial atau masyarakat. Pada akhirnya konflik yang terbuka antara kelompok-kelompok yang bertikai sangat bergantung kepada kemampuan masing-masing pihak untuk mendefinisikan kepentingan mereka secara obyektif dan untuk menangani, mengatur dan mengontrol kelompok itu. Teori konflik yang dikemukakan oleh Lewis Coser sering kali disebut teori fungsionalisme konflik karena ia menekankan fungsi konflik bagi sistem sosial atau masyarakat. Di dalam bukunya yang berjudul The
20
Ibid. hal. 94
33
Functions of Social Conflicts, Lewis Coser memusatkan perhatiannya pada fungsi-fungsi dari konflik. Dari judul itu bisa dilihat bahwa uraian Coser terhadap konflik bersifat fungsional dan terarah kepada pengintegrasian teori konflik dan teori fungsionalisme struktural. Tetapi sebetulnya kalau ia mau konsekuen dengan usahanya itu maka ia juga harus menguraikan akibat-akibat
dari
keteraturan
(order)
terhadap
konflik
atau
ketidakseimbangan. Misalnya, penekanan yang terlalu banyak terhadap peraturan bisa menimbulkan ketidakstabilan. Pemerintahan yang totaliter, misalnya sekalipun menekankan aturan yang ketat bisa menimbulkan ketidakstabilan di dalam masyarakat. Sayang, Lewis Coser tidak sempat mendalami aspek-aspek itu21. Salah satu hal yang membedakan Coser dari pendukung teori konflik lainnya ialah bahwa ia menekankan pentingnya konflik untuk mempertahankan keutuhan kelompok. Pada hal pendukung teori konflik lainnya memusatkan analisa mereka pada konflik sebagai penyebab perubahan sosial. Lewis Coser menyebutkan beberapa fungsi dari konflik, yakni : a. Konflik dapat memperkuat solidaritas kelompok yang agak longgar. Dalam masyarakat yang terancam disintegrasi, konflik dengan masyarakat lain bisa menjadi kekuatan yang mempersatukan. Dalam hal ini, ia sebetulnya mengambangkan apa yang sudah dikatakan oleh George Simmel sebelumnya. Misalnya : Negara Indonesia pada masa
21
Ibid hal. 78
34
Soekarno dengan politik ”Ganyang Malaysia” atau penciptaan labellabel pada masa Orba, seperti PKI, Subversif, GPK. b. Konflik dengan kelompok lain dapat menghasilkan solidaritas di dalam kelompok tersebut dan solidaritas itu bisa menghantarnya kepada aliansi-aliansi berkepanjangan
dengan antara
kelompok-kelompok lain. Konflik Israel
dan
negara-negara
Arab
yang yang
menyebabkan Israel menjalin kerjasama yang begitu erat dengan Amerika Serikat. Bisa saja terjadi bahwa kalau perdamaian jangka panjang antara negara-negara Arab dan Israel tercapai, maka ikatan antara Israel dan Amerika menjadi kendur. c. Konflik juga bisa menyebabkan anggota-anggota masyarakat yang terisolir menjadi berperan secara aktif. Misalnya, sesudah mahasiswa memperoleh rezim orde baru pada awal kehancurannya banyak orang tampil ke depan dan dianggap sebagai pejuang reformasi. Tidak sedikit tokoh yang barang kali tidak dikenal sebelumnya tetapi berperan aktif pada masa peralihan itu. d. Konflik juga bisa berfungsi untuk berkomunikasi. Sebelum terjadinya konflik,
anggota-anggota
masyarakat
akan
berkumpul
dan
merencanakan apa yang akan dilakukan lewat tukar menukar pikiran itu mereka bisa mendapat gambaran yang lebih jelas akan apa yang harus dibuat entah untuk mengalahkan lawan ataupun untuk menciptakan perdamaian.
35
Secara teoritis fungsionalisme struktural dan teori konflik kelihatan bisa diperdamaikan dengan menganalisa fungsi-fungsi dari konflik sebagaimana diuraikan oleh Lewis Coser ini. Tetapi harus diakui bahwa dalam banyak hal, konflik juga menghasilkan ketidakfungsian, atau disfungsi. Artinya, fungsi-fungsi yang disebutkan oleh Coser itu tidak seberapa dibandingkan dengan ketidakstabilan atau kehancuran yang disebabkan oleh konflik itu. C. Wright Mills (1916-1962) adalah salah seorang sosiolog Amerika yang berusaha menggabungkan perspektif konflik dengan kritik terhadap keteraturan sosial. Mills banyak dikritik karena karya-karyanya terlalu bersifat polemis dan menyerang kelompk-kelompok tertentu. Tetapi di pihak lain, ia juga mempunyai banyak pengagum. Ia tidak pernah merasa sendirian walaupun pada akhirnya dia cukup pesimis dengan apa yang sedang terjadi pada waktu itu. Mills banyak dikritik karena karyakaryanya terlalu bersifat polemis dan menyerang kelompok-kelompk tertentu. Tetapi di pihak lain, ia juga mempunyai banyak pengagum. Ia tidak pernah merasa sendirian walaupun pada akhirnya dia cukup pesimis dengan apa yang sedang terjadi pada waktu itu. Mills percaya bahwa masyarakat Amerika telah dibangun dalam sistem yang tidak bermoral. Dia sendiri tidak pernah mengikuti pemilu karena dia menganggap partaipartai politik itu adalah penipu dan tidak rasional. Dia juga menyerang rekan-rekan kaum intelektual karena mengabaikan tanggungjawab
36
sosialnya dan mengabdikan dirinya pada penguasa padahal di belakang layar mereka mengatakan bahwa mereka itu bebas nilai22. Mills yakin bahwa adalah mungkin menciptakan suatu masyarakat yang baik di atas dasar pengetahuan dan bahwa kaum intelektual harus mengambil tanggungjawab ini, yakni menciptakan sebuah masyarakat yang baik. Dia percaya pada sosialisme liberal dan mendukung revolusi Kuba serta mengutuk reaksi Amerika atas revolusi di Kuba itu karena dia yakin bahwa revolusi di Kuba itu akan menyatukan sosialisme revolusioner dan kebebasan. Tema-tema yang dibahas secara khusus dalam sosiologi Mills adalah hubungan antara alienasi dan birokrasi dan kekuasaan kaum elit.
4. Teori Kebijakan Publik a. Kebijakan Publik Perilaku yang nyata dari keberadaan negara dan mempunyai kaitan langsung dengan dinamika sosial masyarakat adalah kebijakan publik. Bahkan Harold Laswell mengatakan bahwa kebijakan publik diperoleh dari sebuah kebijakan publik. ialah segala yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh negara atau pemerintah (everything government do or not to do)23. Kebijakan publik ini telah dikenai sejak masa Babilonia dalam Code Hammurabi. Code Hammurabi adalah alat bagi Raja Hammurabi 22
Ibid. hal. 82 Muchsin dan Fadillah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Malang : Averroes Press. Hal 81 23
37
untuk mengatur dan mengendalikan negara dan masyarakat yang dipimpinnya. Code Hammurabi ini memperlihatkan bukti bahwa Raja sebagai pejabat institusi kerajaan memiliki hak dan legitimasi untuk memerintah dan mengatur. Kebijakan publik adalah alat, instrumen penguasa sebagai perwujudan dari kekuasaannya. Oleh karena bertalian dengan kekuasaan, dimana makin besar kekuasaan makin besar pula kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaannya, sebagaimana dikatakan Lord Acton24 Pada dasarnya kebijakan publik merupakan tindakan nyata pemerintah, organisasi pemerintah yang menyangkut hajat hidup orang banyak, warga masyarakat. Yang lebih kongretnya, tugas kepublikan tersebut berupa serangkaian program-program tindakan yang hendak direalisasikan. Untuk itu diperlukan tahapan, proses tertentu agar dapat dicapai tujuannya. Rangkaian proses untuk merealisasikan tujuan program publik itulah yang dimaksudkan dengan kebijakan publik. Menurut Islamy dalam Muchsin dan Fadillah Putra pada dasarnya kebijakan publik memiliki implikasi sebagai berikut : 1. Bahwa kebijakan publik itu bentuk awalnya adalah merupakan penetapan tindakan-tindakan pemerintah;
24
64
Saidi, Ridwan. Wacana kebijakan publik Indonesia. Yogyakarta : Lukman Offset. Hal
38
2. Bahwa kebijakan publik tersebut tidak cukup hanya dinyatakan dalam bentuk teks-teks formal, namun juga harus dilaksanakan atau diimplementasikan secara nyata; 3. Bahwa kebijakan publik tersebut pada hakekatnya harus memiliki tujuan-tujuan dan dampak-dampak, baik jangka panjang maupun jangka pendek, yang telah dipikirkan secara matang terlebih dahulu; 4. Dan pada akhirnya segala proses yang ada di atas adalah diperuntukkan bagi pemenuhan kepentingan masyarakat. 25 Dalam penyelenggaraan negara sehari-hari hukum dan kebijakan publik menjadi suatu hal yang teramat penting. Keduanya saling menunjang untuk terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dikenal dengan istilah good governance. Hukum sebagai pranata sosial yang menciptakan dan menjaga keteraturan dan keselarasan dalam kehidupan bernegara harus senantiasa ditegakkan.. Dalam perkembangannya masyarakat menuju model civil society, yang tampak pada pembentukan kelompok-kelompok yang berfungsi menampung aspirasi anggota masyarakat yang beragam. Sejalan dengan konsep good governance, partisipasi warga masyarakat terlihat mulai dari perumusan kebijakan publik hingga evaluasi . Sehingga kebijakan publik yang dihasilkan sebagai produk kebijakan publik
25
Muchsin dan Fadillah Putra. OpCit. hlm. 28
39
adalah hasil dari pembahasan dan kesepakatan bersama antara warga masyarakat dengan pemerintah melalui pejabat publiknya.
b. Bentuk Bentuk Kebijakan Publik Kebijakan publik dapat dibedakan dalam beberapa bentuk, antara lain : 1. Berupa aturan atau ketentuan yang mengatur kehidupan masyarakat (regulasi). Undang-Undang,
Peraturan
Pemerintah
dan
Keputusan
Presiden juga Peraturan Daerah dapat digolongkan dalam bentuk ini. Sebagai aturan yang mengatur tata kehidupan masyarakat, kebijakan dapat berubah mengikuti perubahan masyarakat dan sasaran-sasaran yang hendak dicapai pada suatu waktu. Namun demikian, pada saat ini ada kecenderungan dan tuntutan masyarakat untuk mengurangi campur tangan pemerintah secara langsung dengan lebih banyak melibatkan pihak swasta dalam pelayanan masyarakat. Pertimbangan untuk efisiensi bagi pihak pemerintah di samping tentu saja kemampuan pihak swasta yang lebih besar. Efisien karena pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya tenaga kerja, pemeliharaan gedung dan sebagainya. Tentunya biaya termaksud dapat dipergunakan untuk keperluan pembiayaan lain.
40
2. Distribusi atau alokasi sumber daya Kebijakan yang pada awalnya dimaksudkan untuk membantu golongan ekonomi lemah, pada perkembangannya menjadi kebijakan yang ditujukan untuk mengimbangi berbagai kesenjangan antar golongan dan daerah dalam suatu negara. Kesenjangan yang disebabkan oleh pembangunan dimana daerah tertinggal makin tertinggal apabila tidak ada kebijakan khusus dalam hal distribusi dan alokasi sumber daya atau fasilitas. 3. Redistribusi atau relokasi Kebijakan ini merupakan usaha perbaikan sebagai akibat dari kesalahan
kebijakan
industri
sebelumnya.
Sasarannya
pada
pemerataan ekonomi dalam masyarakat. Untuk itu kegiatan ekonomi golongan maju lebih sedikit dibebani untuk memberi fasilitas berkembang bagi yang lemah. 4. Pembekalan atau pemberdayaan Pembekalan atau pemberdayaan ini dimaksudkan sebagai modal atau melengkapi masyarakat dengan sarana-sarana yang perlu agar dapat berdiri sendiri dengan tujuan untuk pemerataan. Namun pemerataan di sini lebih pada pemerataan kemampuan agar dapat berkembang sendiri. Sebagai contoh adalah pemberian kredit tanpa bunga.
41
5. Etika Aturan-aturan moral berdasarkan kaidah yang berlaku, baik berupa aturan agama ataupun adat yang dapat dijadikan arahan atau pedoman bagi tindakan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk memperlakukan
aturan-aturan
tersebut
merupakan
kebijakan
pelaksanaan26 Satu hal yang patut diingat oleh pembuat kebijakan adalah bahwa apabila kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada atau diterima dalam masyarakat. Maka dapat dipastikan bahwa kebijakan tersebut akan mengalami berbagai kesulitan dalam pelaksanaanya. Model kebijakan tidak dapat dihindarkan untuk menyumbang distorsi seleketif atas realitas. Sesungguhnya terdapat beberapa model kebijakan, yang dapat digunakan dalam perumusan dan penentuan kebijakan tetapi hanya ada dua bentuk utama dari model kebijakan itu sendiri. Beberapa model yang dimaksud dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1) Model deskriptif, bertujuan untuk menjelaskan dan memprediksi sebab dan konsekuensi dari pilihan kebijakan. Model deskripsi digunakan untuk memantau hasil dari aksi kebijakan. 2) Model normatif, model ini bukan hanya bertujuan untuk menjelaskan dan memprediksi, tetapi juga memberikan dalil dan rekomendasi
26
Alisjahbana. Op.Cit. hlm. 67
42
untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa utilitas atau nilai. Beberapa jenis model normatif yang digunakan oleh para analis kebijakan adalah : (1) model antri, yaitu model normatif yang membantu menentukan tingkat kapasitas pelayanan yang optimum; (2) model penggantian, yaitu pengaturan waktu pelayanan dan perbaikan yang optimum; (3) model inventaris, yaitu pengantran volume dan waktu yang optimum; (4) model biaya-manfaat, yaitu, perlunya keuntungan optimum pada investasi publik. 3) Model verbal, model ini merupakan ekspresi dalam tiga bentuk utama, yaitu, verbal, simbol, dan prosedural. Model verabal diekspresikan dalam bahasa sehari-hari. Dalam menggunakan model ini, analis bersandar pada penilaian nalar untuk membuat prediksi dan menawarkan rekomendasi. Penilaian nalar menghasilkan argumen kebijakan, tetapi bukan dalam bentuk nilai-nilai angka yang pasti. Model verbal secara relatif mudah dikomunikasikan ke publik dan berbiaya murah dan dapat mengandalkan debat publik. Keterbatasan model verbal adalah bahwa masalah yang digunakan untuk memberikan prediksi dan rekomendasi bersifat implisit atau tersembunyi, sehingga sulit untuk memahami dan memeriksa secara kritis argumen tersebut secara keseluruhan. 4) Model simbolis, model ini menggunakan simbol statistik, matematik, dan logika. Model simbolis sulit untuk dikomunikasikan kepada publik, bahkan diantara para ahli pembuat model sering terjadi
43
kesalahpahaman tentang elemen-elemen dasar dari model simbolis. Biaya model simbolis mungkin tidak lebih besar dari model verbal. Namun, kelemahan praktis model simbolis adalah hasilnya mungkin tidak mudah diintreprestasikan, bahkan diantara para spesialis, karena asumsinya mungkin tidak dinyatakan secara memadai. 5) Model prosedural, model ini menampilkan hubungan yang dinamis di antara variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah kebijakan. Prediksi dan solusi optimal diperoleh dengan mensimulasikan dan meneliti seperangkat hubungan. Biaya model ini relatif lebih tinggi jika dibanding dengan model verbal dan simbolis. 27
c. Implementasi kebijakan publik Menurut menyediakan
Kamus sarana
Webster28 untuk
mengimplementasikan
melaksanakan
sesuatu
berarti sehingga
menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu. Dalam hal ini implementasi kebijakan sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan/peraturan perundang-undangan. Van Meter dan Van Horn merumuskan proses implementasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu/pejabat atau kelompok pemerintah atau
27
Lijan Poltak Sinambela. 2008. Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan dan Implementasi.. hal 59 28 Abdul Wahab. 1997. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi. Rineka Cipta, Jakarta.hal 70
44
swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan29 Setiap implementasi atau penerapan hukum memerlukan kebijakan publik sebagai sarana untuk memperlancar proses penerapan hukum tersebut. Sebab hukum adalah produk kebijakan publik yang di dalamnya berisikan aturan, tujuan yang hendak dicapai dan bagaimana produk hukum atau undang-undang itu harus dilaksanakan agar tercapai hasil yang diharapkan. Lineberry menyatakan bahwa proses implementasi suatu produk hukum memiliki empat (4) elemen sebagai yang berikut : 1. Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana; 2. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana; 3. Koordinasi dan pembagian tugas di dalam dan di antara dinas pelaksana; 4. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan. 30 Penerapan atau implementasi
dan kebijakan publik pada
umumnya diserahkan kepada lembaga-lembaga pemerintah hingga jenjang yang terendah. Dan setiap pelaksanaan kebijakan publik memerlukan pembentukan
kebijakan dalam wujud peraturan
perundang-undangan. Menurut Daniel S. Lev budaya hukum dibedakan atas nilai-nilai hukum prosedural dan nilai-nilai hukum substansif. Nilai hukum 29
Ibid. hlm. 65 Muchsin dan Fadillah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Malang : Averroes Press.hal 5 30
45
prosedural mempersoalkan tentang cara-cara pengaturan masyarakat dan mengelola konflik. Sedangkan nilai-nilai hukum substantif dari budaya hukum berkaitan pemahaman masyarakat mengenai adil dan tidak adil31. Oleh karena itu baik buruk kebijakan publik bergantung pada penilaian
masyarakat,
sebagai
sarana
pemenuhan
kepentingan
masyarakat. Apabila masyarakat merasakan manfaat kebijakan publik maka dapatlah dianggap bahwa fungsi kebijakan publik tersebut sukses. Dan sebaliknya, apabila masyarakat merasa dengan kebijakan publik tersebut mereka dirugikan maka kebijakan publik tersebut dapat dikatakan gagal mengemban misinya. Kebijakan publik yang terbingkai dalam suatu bentuk aturan hukum, menyitir pendapat Gustav Radbruch maka hukum yang ideal haruslah berorientasi kepada 3 (tiga) nilai dasar yaitu keadilan, kemanfaatan-kegunaan dan kepastian hukum. Jadi, suatu aturan hukum yang dikatakan baik belum cukup apabila hanya memenuhi persyaratan filosofis, ideologis dan yuridis saja; tetapi secara sosiologis aturan hukum tersebut juga harus berlaku. Tidak selalu membawa konsekuensi
aturan
hukum
termaktub
diganti
apabila
dalam
kenyataannya ada gejala aturan hukum tadi tidak hidup. Aturan hukum atau peraturan perundangan harus diberi waktu agar diresapi dan dihayati oleh warga masyarakat. Terhadap pelanggaran yang terjadi
31
Esmi Wirasih. Op Cit. hlm 89
46
tidak selalu mengindikasikan bahwa secara sosiologis peraturan tersebut tidak berlaku di masyarakat. Mungkin saja para pelaksana peraturan tidak bertindak tegas dan kurang bertanggung jawab dalam pekerjaannya32. Hukum dan kebijakan publik mempunyai hubungan yang erat, terutama pada tahap pembentukan hukum dan formulasi kebijakan publik. Artinya bahwa hubungan erat tersebut diharapkan dapat menghasilkan produk hukum yang baik secara substansial dan produk kebijakan
publik
yang
legitimated
dan
dipatuhi
stakeholder,
masyarakat. Dapat dikatakan bahwa setiap produk hukum pada dasarnya
adalah
hasil
dari
proses
kebijakan
publik.
Proses
pembentukan kebijakan publik dimulai dari realitas yang ada dalam masyarakat, berupa aspirasi yang berkembang, masalah yang ada maupun tuntutan atas kepentingan perubahan-perubahan. Berbekal realitas
tersebut selanjutnya mencoba untuk mencari pemecahan
masalah, jalan keluar yang terbaik untuk mengatasi persoalan yang muncul atau memperbaiki keadaan saat ini. Hasil dari pilihan solusi itulah yang dinamakan sebagai hasil kebijakan publik. Bagaimana hukum hadir sebagai pemberi legalitas pada hasil-hasil kesepakatan yang telah diperoleh dari sebuah kebijakan publik.
32
Satjipto Rahardjo, 2005, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Hal 4
47
d. Evaluasi Kebijakan Publik Dalam proses kebijakan publik, evaluasi kebijakan publik memegang peranan yang teramat penting mengingat bahwa dalam evaluasi kebijakan publik termaktub
akan tampak apakah suatu
kebijakan publik itu dapat mencapai tujuan, dan dampak yang dihasilkan sudahkah sesuai dengan yang diharapkan atau belum? Dengan kata lain evaluasi kebijakan publik sebagai penentu kesuksesan atau kegagalan dari tujuan yang hendak dicapai beserta dampak-dampaknya. Hasil evaluasi ini kelak menjadi dasar bagi tindakan selanjutnya yang dapat berupa : kebijakan yang ada layak diteruskan,
kebijakan
mengalami
revisi
atau
tidak
menutup
kemungkinan untuk dihentikan sama sekali. Manfaat dari evaluasi ternyata tidaklah sama bergantung pada kepentingan masing-masing pihak dan dalam keadaan demikian sangat dimungkinkan terjadi bahwa hasil evaluasi tersebut dimanipulasikan. Kepentingan masing-masing pihak tersebut dapat diuraikan sebagai di bawah ini33 Pertama adalah dilihat dari kepentingan para pejabat yang bertanggungjawab pada tingkat kebijakan; Kedua adalah dilihat dari kepentingan para pejabat yang bertanggung jawab pada tingkat program; Ketiga dilihat dari kepentingan para staf program yang bekerja
33
pada
tingkat
lokal
yang
Abdulwahab dalam Muchsin. Op Cit. Hlm. 126
berkaitan
dengan
usaha
48
menyempurnakan cara kerja/efektifitas peIayanan; keempat dilihat dari kepentingan kelompok sasaran yaitu individu dan kelompok yang menjadi sasaran program. Tidak menutup kemungkinan demi melindungi kepentingannya maka pihak tersebut akan memanipulatif hasil evaluasi kebijakan sedemikian rupa. Dalam keadaan yang demikian peran hukum amat diperlukan sebagai pihak yang independen dan netral. Pada dasarnya menurut Leo Agustino fungsi dari evaluasi kebijakan publik ada tiga yaitu untuk: 1. Memberi informasi yang valid tentang kinerja kebijakan. Pada fungsi
ini,
evalauasi
kebijakan
publik
beorientasi
pada
instrumental/organ kebijakan publik yang ada. Berkaitan dengan efektifitas organ kebijakan publik sebagai raison d'etre. 2. Menilai kepantasan tujuan atau target dengan masalah yang dihadapi. Pada fungsi ini, evaluasi kebijakan publik terfokus pada substansi dari kebijakan yang ada; apakah tujuan yang ditetapkan kebijakan publik tersebut telah benar-benar mampu menyelesaikan masalah yang ada. Berkaitan dengan implementing agents demi tercapainya tujuan ditetapkannya kebijakan publik tersebut. 3. Memberi sumbangan pada kebijakan lain terutama dari segi metodologinya. Pada fungsi ini, evaluasi kebijakan publik lebih diarahkan pada upaya untuk menghasilkan rekomendasi, bahan
49
belajar bagi pelaku kebijakan publik lanjutan ataupun yang lain. Dilakukan pada akhir kebijakan publik (ex-post evaluation). 34 Evaluasi kebijakan publik dibedakan dalam tiga macam, yaitu: 1. Evaluasi administratif, adalah evaluasi kebijakan publik yang dilakukan di dalam lingkup pemerintahan dengan titik berat pada segi finansiil dan prosedural; 2. Evaluasi Yudisiil, adalah evaluasi yang dilakukan yang berkaitan dengan objek-objek hukum dengan titik berat amatan adalah pelanggaran-pelanggaran hukum yang ada pada kebijakan publik tersebut. Pelaku evaluasi ini adalah lembaga-lembaga hukum; 3. Evaluasi Politik, adalah evaluasi yang dilakukan aleh lembagalembaga politik baik parlemen maupun parpol bahkan masyarakat umum berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan politik dari suatu kebijakan publik. Mengingat bahwa kebijakan publik adalah sebuah proses politik tentu saja suatu kebijakan publik tersebut 35. Dari
ketiga
evalusi
kebijakan
publik
tersebut
di
atas,
kenyataannya evaluasi politik dapat mengalahkan dua macam evaluasi yang lainnya yakni administratif dan yudisiil. Mengapa demikian? Karena evaluasi politik adalah menyangkut persepsi politik terhadap suatu kebijakan publik yang seringkali bersifat sangat subjektif. Menurut Fadiilah Putra dalam Muchsin36 hal demikian tidaklah menjadi masalah sepanjang semua dilakukan secara transparan, 34
Agustino, Leo. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: CV. Alfabeta. Hal 126 Muchsin. Op Cit. hlm. 130 36 Ibid. hlm. 132 35
50
terbuka dan, fair serta tidak ada dominasi dan tentu saja dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
5. Peraturan Daerah Sering terjadi perbedaan penafsiran dalam analisis kajian otonomi daerah di kalangan pakar, baik pengertian otonomi itu sendiri maupun prinsip-prinsip dalam pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan esensi pelaksanaan pemerintahan yang desentralistik, namun dalam perkembangan otonomi daerah, selain mengandung arti zelwetgeving (membuat perda), juga mencakup zelfbestuur (pemerintahan sendiri). Van der Pot memahami konsep otonomi daerah sebagai eigen huishounding (menjalankan rumah tangga sendiri). Otonomi adalah pemberian hak kepada daerah untuk mengatur sendiri daerahnya. Daerah mempunyai kebebasan inisiatif dalam penyelenggaraan rumah tangga dan pemerintahan di daerah. Selain itu, bisa dimaknai sebagai kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelftandigheid) satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu, menjadi tanggungjawab satuan pemerimtahan yang lebih rendah. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakikat isi otonomi. Porsi otonomi daerah menurut Laica, tidak cukup dalam wujud otonomi daerah yang luas dan bertanggungjawab, tetapi harus diwujudkan dalam format otonomi daerah yang seluas-luasnya. Format otonomi yang
51
seluas-luasnya mengundang perdebatan di kalangan pakar. Disatu sisi, konsep otonomi daerah yang seluas-luasnya berkonotasi untuk membangun image bakal munculnya ide negara bagian dalam negara federasi (federal state), sementara sisi lainnya menganggap bahwa hal tersebut beralasan karena dengan mewujudkan otonomi daerah yang seluas-luasnya, rakyat cenderung tidak lagi membayangkan negara federal. Konsep pemerintahan otonomi
yang seluas-luasnya merupakan salah satu upaya untuk
menghindari ide negara federal. Sekalipun ide negara federal tidak dipandang secara apriorim, tetapi itu sebagai suatu hal yang tabu dalam membangun kehidupan bernegara bagi rakyat banyak di indonesia. Cakupan otonomi seluas-luasnya adalah bermakna penyerahan urusan sebanyak mungkin kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri37. Disisi lain, Soehino berpandangan bahwa cakupan otonomi seluasluasnya bermakna penyerahan urusan sebanyak mungkin kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri. Nasroen berpendapat bahwa otonomi daerah yang seluas-luasnya bukan tanpa batas sehingga meretakkan negara kesatuan. Otonomi daerah berarti berotonomi dalam negara. Otonomi daerah tidak boleh meretakkan apalagi memecah belah negara kesatuan. Kaitan antara negara kesatuan dengan otonomi daerah yang seluas-luasnya, Nasroen menyatakan bahwa teramat pentinglah dasar kesatuan ini dalam mendudukannya dengan dasar otonomi seluas-luasnya. Otonomi seluas-
37
Agussalim Andi Gadjong. 2007. Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia. Hal 101
52
luasnya tentunya tidak boleh bertentangan dengan dasar kesatuan dan dasar kesatuan sebaliknya, tentulah tidak boleh melenyapkan wujud dari otonomi seluas-luasnya. Tentulah yang akan di cari dan ditetapkan ialah sesuatu perseimbangan antara dasar kesatuan dan dasar otonomi seluas-luasnya di daerah. Tresna berpendapat, janganlah perkataan seluas-luasnya diartikan sebagai suatu yang tidak berujung. Di dalam negara kesatuan, seluas-luasnya sistem otonomi dibatasi oleh kekuasaan pemerintah negara kesatuan. Negara kesatuan (eenheidstaat) tidak dapat meniadakan otonomi daerah, namun betapapun luasnya otonomi daerah, tidaklah dapat menapikan wadah negara kesatuan. Makna otonomi yang seluas-luasnya menjadikan pemerintah pusat hanya akan mengatur hal-hal dan masalah yang harus diatur pemerintah pusat itu sendiri dan segala sesuatu yang tidak termasuk keharusan itu, pada pokoknya harus diatur oleh pemerintah daerah. Agar tidak terdapat berbagai penafsiran otonomi yang seluas-luasnya dalam
sistem
ketatanegaraan,
selayaknya
dalam
undang-undang
pemerintahan daerah dirumuskan ketentuan hukum yang memberikan definisi yang sah bahwa mengurus dan mengatur rumah tangga otonomi yang seluas-luasnya meliputi segala sesuatu kepentingan umum (openbare belangen) masyarakat di daerah, sepanjang tidak termasuk atau di tarik ke dalam pengurusan pemerintahan pusat atau daerah yang lebih atas. Prinsip otonomi daerah dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan di Indonesia didasari pada landasan hukum yang berbeda-beda. Pada masa
53
pemerintahan Ir. Soekarno (Orde Lama) lain dengan pada masa pemerintahan Soeharto (Orde Baru), demikian pula pada masa pemerintahan B.J Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, serta masa Susilo Bambang Yudhoyono (masa transisi dan Orde Reformasi). Pada dasarnya, prinsip otonomi daerah harus mencerminkan tiga hal, yaitu harus serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa; dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan; harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. Jika dirangkaikan secara sistematik, tujuan dan cita-cita pelaksanaan pemerintahan di Indonesia bersendikan sistem desentralisasi. Sistem tersebut diyakini sebagai salah satu sumber pelaksanaan pemerintahan demokratis, yang secara langsung melibatkan seluruh potensi masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keterlibatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia tidak bisa ditawar karena keduduklan rakyat menjadi sentral dalam kehidupan bernegara. Persoalannya adalah, bagaimana merealisasikan hal tersebut? Disadari, bahwa permasalahan otonomi daerah sebagai suatu bentuk bukan terletak pada konsep itu sendiri, tetapi bagaimana merealisasilannya. Begitu pula dalam realisasinya, membutuhkan berbagai prasyarat dan instrumen hukum yang bisa dijadikan sebagai landasan gerak, tidak saja bersifat struktural, melainkan kultural, bahkan kesungguhan penyelenggara negara. Disinilah relevansinya untuk menguji dan mengungkap bagaimana
54
tafsir hostoris, yang kemudian dari tafsir tersebut otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia di realisasikan. Hatta berpendapat bahwa dasar kedaulatan rakyat adalah hak rakyat untuk menentukan nasibnya, yang tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat (daerah). Tiap-tiap golongan atau bagian rakyat mendapat otonomi (membuat dan menjalankan peraturan sendiri) dan zetbestuur (menjalankan peraturan yang dibuat oleh dewan yang lebih tinggi). Hal ini menjadi penting karena keperluan tiap empat dalam satu negeri tidak sama, melainkan berbeda-beda. Sementara, menurut Logmann, otonomi adalah kekuasaan untuk mengurus rumah tangga daerah berdasarkan inisiatif sendiri (vrije beweging) bagi satuan-satuan kenegaraan yang memerintah sendiri berdasarkan inisiatif sendiri, yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Menurut Amrah Muslimin, otonomi berarti pemerintahan sendiri, dengan mengacu pada akar kata “auto” yang diartikan “sendiri” dan “nomes” diartikan “pemerintahan”. Jadi, pemerintahan di sini secara dogmatis dalam arti luas dan fungsi, seperti pandangan Vollen Hoven. Membedakan desentralisasi menjadi desentralisasi politik yang merupakan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah, yang dipilih oleh rakyat dalam daerah tertentu (sama desentralisasi teritorial), fungsional (sama yang
55
lain), dan kebudayaan diartikan sebagai pemberian hak pada golongangolongan kecil dalam masyarakat melaksanakan kebudayaannya sendiri. Tresna mengartikan otonomi (otonomie) sebagai mengatur sendiri (bahasa yunani) dalam lingkup bebas bertindak, bukan karena diperintah dari atas, melainkan karena atas kehendak dan inisiatif sendiri untuk kepentingan daerah sendiri yang harus dan diurus. Otonomi dan desentralisasi merupakan bagian dari negara yang menganut paham demokrasi, sebab tanpa otonomi dan desentralisasi, pemerintahan negara bukan lagi demokrasi, sebab tanpa otonomi dan desentralisasi, pemerintahan negara bukan lagi demokrasi namanya, melainkan menjadi otokrasi. Jadi dalam negara kesatuan, pemerintahan daerah otonom merupakan ciri negara demokrasi yang mengedepankan aspek kebebasan. Kata desentralisasi dan otonomi dalam pemaknaannya sangat berbeda karena makna desentralisasi bersebtuhan dengan ”proses”, dalam arti pembentukan daerah otonom dan disertai/diikuti penyerahan kekuasaan (urusan pemerintahan) dan untuk itu harus dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan, sedangkan otonomi bersentuhan dengan isi, akibat dan hasil dari proses pembentukan daerah otonom. Pembentukan daerah otonom berarti pembentukan organisasi penyelenggara otonomi atau pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah pembagian politik suatu bangsa yang diberi kuasa oleh undang-undang, yang mempunyai kewenangan mengontrol secara substansi terhadap unsur-unsur
56
lokal, yang merupakan badan hasil pemilihan atau seleksi secara lokal. Mathur menyatakan bahwa definisi pemerintahan daerah yang diberikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan dasar bahwa pemerintah lokal adalah tingkat pemerintahan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pemerintahan negara. Pemerintah lokal dibentuk dengan undangundang, memiliki tanggungjawab dan biasanya dihasilkan dalam suatu pemilihan lokal. Banovets menyebutkan bahwa pemerintahan lokal (daerah) adalah sendiri dari sistem pemerintahan, baik negara kesatuan maupun federal (local goverment also was the cornerstone of the goverment system). Pemerintahan lokal mempunyai satu dari dua arti, yaitu (1) pemerintahan dari semua bagian dari negara memakai alat-alat lokal yang disetujui dan bertanggungjawab hanya kepada pemerintah sentral. Jadi, ini meruapakan bagian dari sistem sentralisasi, disebut pemerintahan negara lokal dan (2) pemerintahan oleh badan-badan lokal, dipilih secara bebas dan tunduk kepada
supremasi
pemerintah
nasional,
ditopang
dalam
beberapa
kehormatan dengan kekuasaan, kebijakan dan tanggung jawab yang bisa mereka lalukan tanpa pengawasan pemerintah yang lebih tinggi. Menurut Prabawa, dikenal ada dua jenis pemerintahan lokal, yaitu pemerintahan lokal administratif dan pemerintahan lokal yang mengurus rumah tangga sendiri. Menurut Nasroen, daerah otonom adalah suatu bentuk pergaulan hidup oleh sebab itu antara rakyat/penduduk daerah otonom itu harus ada ikatan, diantaranya kepentingan bersama. Jadi, daerah otonom
57
tidak boleh bertentangan dan merusak bingkai dasar kesatuan dalam negara. Menurut Burns, dalam negara kesatuan, semua kekuasaan pemerintahan ada di tangan pemerintah pusat, pemerintah pusat dapat mendelegasikan kekuasaannya kepada unit-unit tetapi memungkinkan juga ditarik kembali38. Wolhoff menyatakan bahwa pada dasarnya kekuasaan yang ada pada negara kesatuan dimiliki seluruhnya oleh pemerintah pusat. Artinya, peraturan-peraturan pemerintah pusat yang menentukan bentuk dan susunan pemerintahan daerah otonom, termasuk macam dan luanya otonomi menurut inisiatifnya sendiri. Pemerintah pusat tetap mengendalikan kekuasaan pengawasan terhadap daerah-daerah otonom. Pertama, the relative otonomy model, yang diasumsikan bahwa kewenangan-kewenangan lokal tidak mengingkari realitas negara nasional. Kedua, the agency model, yang diasumsikan bahwa otoritas lokal dilihat sebagai agen bagi kebijakankebijakan pusat. Kebijakan secara khusus dan detail dituangkan dalam undang-undang yang pelaksaannya dikontrol. Ketiga, antara pemerintah pusat dengan daerah terlibat dalam pola relasi-relasi yang kompleks, kedua pihak saling mempengaruhi, dalam proses politik keduanya saling berhubungan melalui mandat rangkap. Menurut John Alder, hubungan pemerintah pusat dengan daerah sebagai partnership yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Pemerintah pusat mempunyai kekuasaan yang lebih besar. Salah satu permasalahan yang menonjol di antara sekian banyak permasalahan yang
38
Ibid. Hal. 112
58
muncul dalam konteks kebijakan desentralisasi adalah perbedaan persepsi yang luas mengenai pengertian kewenangan (authority) dan urusan (functions). Sejak kelahiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menggantikan
Undang-Undang
Nomor
5
Tahun
1974,
kemudian
diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
dan
selanjutnya
disebut
Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, ada harapan besar untuk mempersiapkan Daerah di masa depan agar lebih otonom dan demokratis. Menemukan keseimbangan yang tepat hubungan antara Pusat dan Daerah dalam Negara Kesatuan untuk mendukung pembangunan secara efektif. Pemerintah pasca Orde Baru kemudian mengubah tata pemerintahan dengan mengeluarkan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang secara otomatis diikuti oleh perubahan manajemen pemerintahan termasuk
sistem
perencanaan
pembangunan
yang
mengacu
pada
PERMENDAGRI No 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D) mengambil peran yang dikenal dengan bottom up planing. Pada masa lalu (Orba) pemerintah lebih dominan dalam pelaksanaan pembangunan tetapi sekarang dengan acuan yang baru (UU No 22 Tahun 1999) pemerintah diharapkan
59
hanya menjadi pelaksana pembangunan dan masyarakat mempunyai tanggungjawab lebih besar dalam pembangunan39. Desentralisasi bukan sekedar pemencaran kewenangan, tetapi juga pembagian kekuasaan untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan
negara
antara
Pemerintah
Pusat
dan
satuan-satuan
pemerintahan tingkat lebih rendah. Dengan demikian, sistem desentralisasi mengandung maksud pengakuan penentu kebijaksanaan pemerintah terhadap potensi dan kemampuan Daerah dengan melibatkan wakil-wakil rakyat di daerah dalam menyeIenggarakan pemerintahan juga pembangunan. UU No.32 Tahun 2004 menegaskan bahwa Pemerintah daerah dalam menyelengarakan
urusan
pemerintahan
memiliki
hubungan
dengan
Pemerintah Pusat dan dengan Pemerintah daerah lainnya; Pemerintah Daerah Propinsi, kabupaten dan kota atau antar Pemerintah Daerah. Hubungan
yang
meliputi
wewenang
keuangan,
pelayanan
umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang dilaksanakan secara adil dan selaras; menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan Pasal 14 UU No.32 Tahun 2004 menegaskan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota yang meliputi : a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
39 I Made Suwandi, dkk. 2004. Reformasi Pemerintahan Daerah. Surakarta : Pustaka Cakra. Hal 131-132.
60
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. Penyediaan sarana dan prasarana umum; e. Penanganan bidang kesehatan; f. Penyelenggaraan pendidikan; g. Penanggulangan masalah sosial; h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. Pengendalian lingkungan hidup; k. Pelayanan pertanahan; 1. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. Pelayanan administrasi penanaman modal; o. Penyelenggaraan pelayanan dasar Iainnya; dan n
Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh Peraturan Perundangundangan Agar supaya semua tindakan pemerintah daerah sah dan dapat
diterima oleh rakyat di daerahnya, maka semua kebijakan di daerah harus ada dasar pijakan yuridis sehingga memudahkan daerah mengatur dirinya sesuai aspirasi masyarakat antara lain dalam Peraturan daerah (Perda) Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perahiran Penmdangan-undangan, yang menggantikan Ketetapan MPR No.1IUMPR/2000, ditegaskan dalam pasal 12 bahwa materi muatan
61
Peraturan
Daerah
adalah
seluruh
materi
muatan
dalam
rangka
penyelengaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan (medebewind), dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undanan yang lebih tinggi. Sistem otonomi yang dijalankan sekarang adaIah otonomi nyata (faktor riil masing-masing daerah) dan bertanggungjawab. Dari cara pembuatannya, kedudukan Peraturan Daerah setara dengan Undang-Undang dalam arti semata-mata merupakan produk hukum lembaga legislatif. Namun dari segi isinya, kedudukan peraturan yang mengatur materi dalan ruang lingkup daerah yang lebih sempit dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dibandingkan peraturan dengan ruang lingkup wilayah yang lebih luas. Jadi, sesuai dengan prinsip hierarkhi peraturan perundang-undangan, peraturan yang lebih rendah itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi. Menurut Bagir Manan mengingat bahwa Peraturan Daerah dibuat oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom), dengan lingkuugan wewenang yang mandiri pula, maka dalam pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan
"pertingkatan",
melainkan
juga
pada
"lingkungan
wewenangnya" kecuali UUD40.
40
Huda, 2005, Otonomi Daerah; Filosofi, Sejarah Perkembangan dan problematika / Ni'matul Huda Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal 128
62
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Peraturan PerundangUndangan menegaskan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis. Adapun jenis dan hierarkhi peraturan penmdang-undangan diatur dalam Pasal 7 sebagaimana tersebut di bawah ini : a. UUD Negara Republik Indonesia Talnm 1945 b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah : l . Perda Provinsi 2. Perda Kabupaten/Kota 3. Peraturan yang setingkat Keputusan Kepala Daerah dibuat untuk melaksanakan peraturan daerah yang bersangkutan, untuk melaksanakan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau dalam rangka menjalankan tugas wewenang dan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pemerintahan daerah
(pimpinan
kewenangan
eksekutif
membuat
daerah).
ketetapan
Kepala
daerah
(heschikking)
dan
mempunyai peraturan
kebijaksanaan (beleidsregel atau pseudo-wetgeving) seperti pembuatan "Juklak dan Juknis".
63
Keputusan Kepala Daerah, yang melaksanakan Peraturan Daerah adalah peraturan delegasi, karena itu materi muatannya semata-mata mengenai hal-hal yang diatur dalam Peraturan Daerah bersangkutan. Kepala Daerah dapat membuat keputusan untuk melaksanakan suatu Peraturan Daerah apabila memang diperlukan walaupun tidak ada delegasi yang tegas dalam Peraturan Daerah tersebut41 .Dengan demikian Keputusan Kepala Daerah merupakan keputusan yang mengikat secara umum dan dibuat berdasarkan kewenangan adalah termasuk perundangundangan dalam bidang desentralisasi.
B. Peneltian yang Relevan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Danang Vidri Aditya (2006) tentang Implementasi Kebijakan Bupati Daerah Tingkat II Sukoharjo Nomor 6 Tahun 1993 Tentang Kebersihan, Ketertiban dan Keindahan terhadap Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima di Kabupaen Sukoharjo, menghasilkan temuan bahwa Pertama, implementasi kebijakan Bupati Sukoharjo terinspirasi dalam Pasal 5 huruf f, g dan h penegakan Perda Tingkat II Sukoharjo Nomor 6 Tahun 1993. Diketahui hasil survey terbukti jumlah Pedagang Kaki Lima yang berada di 7 wilayah Kecamatan Sukoharjo sebesar 805 dengan keragaman kegiatan 45 jenis, sehingga terdapat 1.610 orang
termasuk tenaga kerja aktif dan lowongan pekerjaan yang terdata
tersedia 45 jenis. Keuntungan munculnya Pedagang Kaki Lima, maka 41
Abdul Latif bin Wahab Al Ghomidi; Fisik: Buku kecil, Softcover; 136 hal; Penerbit Pustaka At-Tibyan. Hal 20
64
pengangguran dapat teratasi 50% dari ketersediaan pekerjaan diluar program Pemerintah yang diketemukan dalam penelitian melalui keberadaan Pedagang Kaki Lima. Kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan Bupati Sukoharjo tersebut, antara lain : faktor hukum, penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat, ekonomi, sosial, dan politik. Ketiga, proses penataan letak dan bentuk dasaran Pedagang Kaki Lima sesuai Perda Tingkat II Sukoharjo No. 6 Tahun 1993 membuktikan hasil operasi yang dilakukan Satpol PP jumlah keseluruhan Pedagang Kaki Lima sebesar 805 rincian hasil penataan yang diperingatkan 49,7% dan pembongkaran rerata 24%, selanjutnya diklasifikasikan menjadi kategori Pedagang Kaki Lima tertib 274, kategori Pedagang Kaki Lima dibina 357dan kategori Pedagang Kaki Lima liar 174. Akhirnya kinerja Satpol PP dalam penataan representatif belum optimal karena masih 23,98 % Pedagang Kaki Lima liar, menjadi program kerja tahun anggaran 2008 kategori yang belum ditangani 212 Pedagang Kaki Lima. Adapun perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada masalah Pemberdayaan dan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta dalam Perspektif Hukum dan Kebijakan Publik.
C. Kerangka Pemikiran
65
Istilah Pedagang Kaki Lima diambil dari pengertian tempat di tepi jalan yang lebarnya lima kaki (5 feet), umumnya terletak di trotoar, di depan toko dan di tepi jalan. Ada pula yang menyatakan bahwa istilah pedagang kaki lima berasal dari orang yang berdagang yang menggelarkan barang dagangannya, mereka cukup menyediakan tempat darurat berupa lapak-lapak yang biasanya berkaki empat, ditambah dengan sepasang kaki pedagangnya sehingga berjumlah lima yang kemudian dijuluki sebagai pedagang kaki lima. PKL sebagai pelaku ekonomi golongan ekonomi lemah agar berkembang, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidupnya. Pengaturan tempat usaha dimaksudkan
supaya PKL dalam melakukan
kegiatannya berada pada area/tempat-tempat umum yang telah ditentukan oleh pemerintah. Penentuan area/tempat tersebut dengan mempertimbangkan antara lain ketertiban, keamanan dan keindahan lingkungan sekitar/keindahan kota. Penunjukan dan penempatan pada area tertentu dimaksudkan agar supaya mudah memantau dan mendata keberadaan PKL di wilayah kerja pemerintah Kota Surakarta. Pendataan mana berkaitan dengan upaya lanjutan berupa pembinaan yang telah menjadi program pemerintah kota Surakarta dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan peran serta PKL dalam pembangunan Kota Surakarta. Upaya Pemerintah Kota Surakarta untuk meningkatkan kesejahteraan PKL disamping untuk meningkatkan daya guna tata ruang kota Surakarta, adalah dengan membuat dan mengimplementasikan Kebijakan Pemberdayaan dan Penataan PKL baik itu berupa Peraturan Daerah maupun Program
66
Kebijakan yang lain. Untuk memperjelas konsep berpikir dalam penelitian ini, maka akan lebih jelas bila tergambar dalam bagan berikut: Bagan 2 Kerangka Berpikir
Fenomen Keberadaan Pedagang Kaki Lima
Peraturan daerah PKL, Perda Tata Ruang Kota
Implementasi Perda
Lokasi Lama
Lokasi Baru
Permasalahan dan Solusi
67
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Tidak ada kesatuan pendapat di antara para ahli tentang pengertian hukum. Artinya, pengertian hukum itu bermacam-macam sebab hukum mempunyai banyak aspek yang meliputi banyak hal. Meskipun demikian batasan tentang hukum diperlukan untuk penelitian ini agar dapat diketahui dan dimengerti hukum yang bagaimana yang dimaksud dalam penelitian ini. Hal ini berkaitan dengan metode penelitian yang hendak dilakukan dimana metode penelitian yang akan dipakai tergantung pada konsep hukumnya. Mengikuti pendapat Soetandyo Wignyosoebroto ada 5 (lima) konsep hukum, yaitu : 1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal; 2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional; 3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan tersistematisasi sebagai judge made law; 4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik;
68
5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. 42 Memperhatikan konsep hukum di atas, jenis penelitian ini adalah berdasarkan pada konsep hukum 5 (lima), yaitu hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik pada perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. Jenis penelitian hukum ini adalah sosio-legal dengan metode penelitian kualitatif yang bertujuan mendeskripsikan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta sehingga berjalan tanpa konflik fisik dalam Pesrpektif Hukum dan Kebijakan Publik di Kota Surakarta (Studi Kasus Pemindahan Pedagang Kaki Lima di Sekitar Monumen Banjarsari ke Pasar Notoharjo Surakarta).
B. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Surakarta.
Alasan dipilihnya
lokasi penelitian tersebut adalah karena Kota Surakarta memberi perhatian yang serius terhadap keberadaan PKL ini. Meskipun menghadapi berbagai kendala, upaya penataan dan pembinaan PKL terus dilakukan. Perhatian Pemkot terhadap PKL ini semakin meningkat dalam era kepemimpinan Jokowi (Joko Widodo, Walikota Surakarta). Dimulai dengan sosialisai di tahun 2005 yang dilanjutkan dengan realisasi penataan PKL pada tahun 2006, membuktikan kerja keras semua pihak. Relokasi PKL ’Klitikan” dari
42
Hal 8
Setiono, 2005, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Program Studi Pascasarjana UNS.
69
Lapangan Banjarsari ke bangunan Pasar Klitikan Notoharjo yang megah dan permanen dilengkapi upacara ”boyongan” dengan prosesi kirab budaya, menunjukkan pendekatan yang humanis dalam penataan PKL. Pembangunan shelter-shelter permanen di Kompleks Gelora Manahan dan Kleco, tendanisasi dan grobagisasi PKL dengan pendekatan pemberdayaan melalui fasilitasi bangunan/tempat berdagang.
C. Jenis Data dan Sumber Data 1. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data primer Data primer adalah sejumlah fakta-fakta yang diperoleh secara langsung dari sumbernya. Data diperoleh secara langsung dari wawancara, yaitu orang yang dijadikan key informant. Adapun sumber data primer ini adalah : 1) Pemerintah Terkait 2) Pedagang Kaki Lima 3) LSM 4) Masyarakat. b. Data sekunder Data sekunder adalah data yang tidak langsung diperoleh dari lapangan, yang memberikan keterangan tambahan atau pendukung kelengkapan data primer. Termasuk dalam data ini adalah, dokumen-
70
dokumen, tulisan-tulisan, buku ilmiah dan literatur-literatur yang mendukung.
2. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah : a. Sumber data primer Sumber data primer merupakan keterangan yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama. Dalam penelitian ini sumber data primer berupa hasil wawancara langsung di lokasi penelitian. Sedangkan yang dipilih sebagai informan adalah : 1) Pemerintah Terkait 2) Pedagang Kaki Lima 3) LSM 4) Masyarakat b. Sumber data sekunder Sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak secara langsung memberi keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer. Termasuk dalam sumber data ini adalah bukubuku serta dokumen lain. Juga berbagai literatur lain berupa peraturan-peraturan yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari: 1) Bahan Hukum Primer Yaitu peraturan perundang-undangan termasuk Perda
71
2) Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Yang termasuk bahan hukum sekunder adalah buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang diteliti serta artikel-artikel, jurnal.
D. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, maka teknik-teknik pengumpulan data yang digunakan berbeda dengan penelitian kuantitatif yang mengarahkan pada perhitungan statistik. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan berbagai pertimbangan berdasar konsep teknik yang digunakan, keingintahuan pribadi, karakteristik empiris dan sebagainya43. Untuk memperoleh gambaran mengenai penataan pedagang kaki lima di Kota Surakarta, maka penulis menggunakan teknik : a. Wawancara Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu. Dalam suatu wawancara terdapat dua pihak yang mempunyai kedudukan berbeda, yaitu pengejar informasi yang biasa disebut pewawancara atau interviewer dan pemberi informasi yang disebut informan, atau responden 44
43
HB. Sutopo. 2002. Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press. Hal 12 44
Burhan Ashshofa. 1996. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta. Hal 9
72
Wawancara
ini
menggunakan
wawancara
mendalam
(depth
interview) dengan wawancara tidak berpatokan atau bebas terpimpin. Alasan penggunaan jenis ini adalah dengan wawancara tidak berpatokan atau bebas terpimpin akan dicapai kewajaran secara maksimal, dapat diperoleh data secara mendalam dan akan dimungkinkan masih dipenuhinya prinsip batas keabsahan data hasil wawancara yang masih berada dalam garis kerangka pertanyaan serta dapat diarahkan secara langsung pada pokok permasalahan dalam penelitian ini. Wawancara ini bertujuan untuk mendapat keterangan atau untuk keperluan informasi. Oleh karena itu, individu yang menjadi sasaran wawancara adalah informan. b. Studi kepustakaan Studi pustaka dalam menulis tesis ini, penulis mempelajari data-data sekunder yang diperoleh antara lain dari : buku-buku literatur, undangundang, dan dokumen-dokumen lainnya. c. Dokumen Dokumen merupakan bahan catatan rekaman yang bersifat formal dan terencana dalam organisasi, yang berkaitan dengan suatu peristiwa tertentu dan dapat secara baik di manfaatkan sebagai sumber data dalam penelitian45.
45
HB. Sutopo. 2002. Opcit. hal. 54
73
E. Teknik Analisis Data Analisis data menurut Lexy J. Moleong adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahmilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain46 Untuk lebih jelasnya tahap-tahap analisis kualitatif menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman meliputi: 1. Reduksi data, merupakan suatu proses pemilihan, pemusatan perhatian, pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar. Reduksi data dalam hal ini merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan penggolongan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik. 2. Penyajian
data
merupakan
informasi
tersusun
yang
memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan melihat penyajian-penyajian data itu dapat dipahami apa yang terjadi dan apa yang dapat dilakukan, lebih jauh menganalisis ataukah mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang diperoleh dari penyajian data.
46
Hal 49
Moleong, Lexy. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.
74
3. Penarikan kesimpulan (verifikasi) Kegiatan analisis yang penting adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Dimana dari yang semula kesimpulan yang belum jelas kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh. Kesimpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan dapat dipertanggungjawabkan. 47 Reduksi dan sajian data disusun pada waktu penulis sudah mendapatkan data-data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam penelitian yaitu hal-hal yang terkait dengan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta. Dalam mereduksi data penulis menyisihkan data-data yang tidak diperlukan dan mengambil data yang diperlukan. Untuk penyajian data penulis membuat dalam bentuk narasi yang disusun secara logis. Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, penulis mulai melakukan untuk menarik kesimpulan yang didasarkan pada semua yang terdapat dalam reduksi data dan sajian data. Metode analisis yang digunakan bersifat deskriptif kualitatif. Untuk lebih jelasnya, proses analisis data dengan model interaktif ini dapat digambarkan sebagai berikut.
47
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 2007, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI Press. Hal 12
75
Gambar 1 Model Analisis Interaktif Pengumpulan data
Sajian data
Reduksi data
Penarikan simpulan/ verifikasi
76
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Dasar Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima Di Kota Surakarta a. Deskripsi Lokasi Penelitian Kota Surakarta terletak antara 110-111 dan antara 7,6-8 LS, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut. 1) Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali. 2) Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. 3) Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo. 4) Sebelah barat berbatasan dengan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. Wilayah Kota Surakarta terletak pada ketinggian ± 92 m di atas permukaan air laut, yang berarti berada pada dataran rendah. Merupakan pertemuan antara Sungai Pepe, Sungai Anyar, Sungai Jenes, dengan Sungai Bengawan Solo di sebelah timur, sehingga Surakarta yang lebih dikenal dengan kota “Solo” dapat dikatakan beriklim panas dengan : -
Suhu udara rata-rata 27,04 ºC dengan suhu maksimum 34,08 ºC dan suhu minimum 21 ºC.
77
-
Rata-rata tekanan udara 1009,5 mbs.
-
Kelembaban udara 74,83%. Luas wilayah Kota Surakarta ± 4404, 0593 ha yang sebagian besar
terdiri dari tanah liat dengan pasir (regosol kelabu) di sana-sini terdapat tanah padas dan di tengah-tengah dan di sebelah timur terdiri dari endapan lumpur (Kraton dan daerah Kedung Lumbu) karena dulu adalah daerah rawa. Wilayah Kota Surakarta didiami oleh lebih dari 500.000 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk 12.177 per km. Jumlah penduduk di wilayah kota ini terbagi ke dalam 5 wilayah kecamatan meliputi : Tabel 1 Keadaan Penduduk Wilayah Kota Surakarta No. Kecamatan
Luas (km2)
Jml. Penduduk
Tingk. Kepadatan
1.
Laweyan
8,638
10.178
11.776
2.
Serengan
3,194
62.112
19.446
3.
Psr. Kliwon
4,815
82.784
17.185
4.
Jebres
12,562
123.492
10.212
5.
Banjarsari
14,811
158.558
10.705
Sumber : Kantor Statistik Kota Surakarta Berdasarkan tabel tersebut, jika dilihat dari tingkat kepadatan penduduk dari masing-masing kecamatan di wilayah Kota Surakarta, maka terlihat bahwa Kecamatan Banjarsari memiliki jumlah penduduk
78
yang paling besar. Hal ini jika diasumsikan tingginya tingkat angkatan kerja di Kecamatan Banjarsari. Pemerintah Kota Surakarta terdiri dari 5 (lima) kecamatan yang dibagi dalam 51 (lima puluh satu) kelurahan, 562 Rukun Warga (RW), dan 2.515 Rukun Tetangga (RT).
b. Visi dan Misi Kota Surakarta Rencana
stratejik
Pemerintah
Kota
Surakarta
merupakan
serangkaian rencana tindakan (rencana tindak) dan kegiatan mendasar yang dibuat untuk diimplementasikan, diterapkan oleh seluruh jajaran penyelengara pemerintahan dalam kerangka pencapaian visi, misi pemerintah kota Surakarta. Visi dan Misi Pemerintah Kota Surakarta : 1) Visi : Visi Pemerintah Kota Surakarta adalah "Terwujudnya Kota Surakarta sebagai sentra perdagangan, jasa dan pendidikan menuju masyarakat berdaya dan sejahtera dalam suasana tertib dan aman". Visi Pemerintah Kota merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penterjemahan mandat Walikota sebagai pimpinan tertinggi dari penyelenggara pemerintahan dalam membawa rnasyarakat Kota menuju pada cita-cita luhur yang diharapkan dalam kerangka waktu masa jabatan politis yang diembannya.
79
2) Misi : Misi berfungsi sebagai pemersatu gerak langkah serta tindakan nyata penyelenggara pemerintahan. Misi memberikan inspirasi bagi setiap aparat untuk mengarahkan sumberdaya yang dimiliki Pemerintah
Kota
untuk
kepentingan
sebesar-besarnya
bagi
terwujudnya kesejahteraan warga Kota. Adapun Misi Pemerintah Kota Surakarta adalah : "Menciptakan peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang beorientasi pada pelayanan publik dan kemandirian ekonomi masyarakat
kota
pembangunan
dengan partisipatif
tetap dan
mengutamakan kerjasama
peningkatan pengelolaan
pembangunan". Tujuan dan sasaran ditetapkan berdasarkan hasil analisa lingkungan pada masing-masing bidang kewenangan yang telah ditetapkan dengan tetap pada koridor Visi dan Misi yang dirumuskan terlebih dahulu. Atas dasar hal tersebut tujuan dan sasaran pemerintah kota yang berkaitan dengan tujuan untuk misi frasa keempat, "Meningkatkan kenyamanan, keindahan dan ketertiban kota dengan mempertahankan keseimbangan partisipasi penggunaan lahan dan penegakan terhadap norma-norma yang berlaku.
80
c. Dasar hukum dan kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta Bagi
pemerintah
sendiri,
keberadaan
birokrasi
sangat
dibutuhkan agar program-program pemerintah dapat dilaksanakan sampai
tingkat
paling
bawah.
Birokrasi
adalah
aktor
yang
menggerakkan hukum. Hukum hanyalah tinggal hukum yang berupa konsep-konsep idealis di atas kertas, abstrak. Hukum baru bergerak, berjiwa apabila sudah berada dalam tangan aktor penggerak hukum yakni birokrasi. Jadi, hukum merupakan aspek yang fundamental dalam mekanisme birokrasi. Dalam setiap mekanisme birokrasi sebaiknya dilakukan dengan dasar hukum tertentu. Dasar hukum akan memberikan dan merumuskan landasan hukum yang berkaitan dengan batas-batas tugas, fungsi, kekuasaan dan kewenangan masing-masing pemerintah. Dasar hukum juga dimaksudkan agar pelaksanaan fungsi badan-badan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dasar hukum diperlukan agar dapat dihindari multitafsir dan kesalahan bagi masing-masing badan pemerintahan melalui rumusan wewenang dan tanggungjawab yang jelas dan tegas sesuai dengan kebutuhan masyarakat, publik. Dasar hukum Pemerintah Kota Surakarta dalam melakukan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta, antara lain :
81
1) Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. 2) Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembiaan PKL. 3) Peraturan Walikota Surakarta Nomor 11-C Tahun 2006 tentang Penyeleggaraan Kawasan Tertib. 4) Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup. Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang informal yang menempati kaki lima (trotoar-pedestrian) keberadaannya tidak boleh mengganggu fungsi politik, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, fisik visual, lingkungan dan pariwisata. Istilah PKL erat kaitannya dengan istilah di Perancis tentang pedestrian untik pejalan kaki di sepanjang jalan raya, yaitu Trotoir (baca : trotoar). Disepanjang jalan raya kebanyakan berdiri bangunan bertingkat. Pada lantai paling bawah biasanya disediakan ruang untuk pejalan kaki (trotoir) selebar 5 kaki (5 feet setara dengan 1,5 m). Pada perkembangan berikutnya pada pedagang informal akan menempati trotoir tersebut, sehingga disebut dengan istilah Pedagang Lima Kaki (di Indonesia disebut Pedagang Kaki Lima = PKL).
82
Selain definisi secara umum, Kota Surakarta telah mendefinisikan PKL secara khusus sebagaimana dimuat dalam Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Beberapa pasal terkait dengan definisi PKL, tempat usaha dan pembinaannya dapat diuraikan sebagai berikut : Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, (c) Pedagang Kaki Lima adalah orang yang melakukan usaha dagang dan atau jasa, di tempat umum baik menggunakan atau tidak menggunakan sesuatu, dalam melakukan kegiatan usaha. (d) Tempat Usaha Pedagang Kali Lima adalah tempat umum yaitu tepitepi jalan umum. trotoar dam lapangan serta tempat lain diatas tanah negara yang ditetapkan oleh Walikota Kepala Daerah.
Sebagai upaya untuk mentertibkan PKL yang berada di Kota Surakarta, maka di diperlukan hukum yang mengatur keberadaan PKL tersebut.
Hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap
produk hukum akan sangat ditentukan dan diwarnai oleh imbangan kekuatan politik yang melahirkannya. Setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan politisi. Meskipun dari sudut idealnya politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun lebih melihat pada kenyataannya, politik justru melatarbelakangi munculnya hukum. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengakuan
83
terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini tugas politik hukum adalah meneliti perubahanperubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum tersebut merumuskan arah perkembangan tertib hukum Bersama lajunya perkembangan jaman tidak dapat disangkal lagi bahwa ruang gerak politik hukum berkembang, tidak hanya sebatas Negara sendiri saja melainkan meluas sampai keluar batas Negara hingga ke tingkat Internasional Hukum, walaupun diciptakan oleh negara dianggap mengatur perbuatan negara, yang dipahami seperti seorang manusia, di mana hukum mengatur perbuatan manusia. Hukum termasuk ke dalam kategori norma, oleh karena itu hukum merupakan suatu sistem norma. Hukum sebagai kategori moral serupa dengan keadilan, pernyataan yang ditujukan untuk pengelompokkan sosial tersebut sepenuhnya benar, yang sepenuhnya mencapai tujuannya dengan memuaskan semua. Rindu akan keadilan, yang dianggap secara psikologis, adalah kerinduan abadi manusia akan kebahagiaan, yang tidak bisa ditemukannya sebagai seorang
84
individu dan karenanya mencarinya dalam masyarakat. Kebahagiaan sosial dinamakan ’keadilan’48 Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturanperaturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam dalam pelaksaannya sesuai dengan hukum sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain hukum harus sesuai dengan ideology bangsa sekaligus sebagai pengayom masyarakat49. Dalam pelaksanaannya hukum dapat dipaksakan daya berlakunya oleh aparatur menaga untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib, dan adil. Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut supaya melakukan perbuatan yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat Negara. Kendatipun hukum dalam bentuk hukum positif daya berlakunya terikat oleh ruang dan waktu. Pemkot Surakarta memiliki perhatian yang besar pada pembinaan dan penataan PKL melalui pendekatan pemberdayaan. Beberapa kebijakan tersebut terutama didasarkan pada : a. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Substansi
kebijakan
yang
termaktub
pada
peraturan
perundangan di atas dapat dijelaskan sebagaimana uraian berikut ini.
48
49
Hans Kelsen. 2008. Pengantar Teori Hukum. Bandung : Nusamedia. Hal 43
Dahlan Thaib, dkk. 1999.Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hal 59
85
Selain definisi tentang PKL, Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima juga memuat beberapa ketentuan lain, yaitu : Pada Pasal 2 disebutkan bahwa : 1. Tempat
Usaha
Pedagang
Kaki
Lima
ditetapkan
oleh
Walikotamadya Kepala Daerah. 2. Walikotamadya Kepala Daerah dalam menetapkan tempat usaha sebagaimana dimaksud ayat (1), pasal ini, mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi, ketertiban, keamanan, kebersihan dan kesehatan serta tata ruang kota sesuai dengan Peraturan Daerah yang belaku. Pada Pasal 3 disebutkan bahwa : 1) Setiap Pedagang Kaki Lima harus bertanggung jawab terhadap ketertiban, kerapian, kebersihan, keindahan, kesehatan lingkungan dan keamanan di sekitar tempat usaha. 2) Untuk mewujudkan akebersihan, kerapian, dan keindahan tenpat usaha serta keamanan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini. Walikotamadya
Kepala
Daerah
menetapkan
persyaratan-
persyaratan lebih lanjut. b. Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembiaan PKL.
86
Langkah
pembinaan
dan
penataan
PKL
secara
lebih
operasional didasarkan pada Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan PKL. Pada bab II berisi tentang Larangan Tempat Berusaha Pedagang Kaki Lima. Pada Pasal 2 disebutkan bahwa : 1) Untuk menjaga ketertiban, keamanan, ketentraman dan kebersihan di kota Surakarta, dilarang menggunakan tempat-tempat atau fasilitas umum termasuk parit, tanggul, taman kota, jalur hijau, cagar budaya, monumen, sekolah Taman Pahlawan, sekitar bangunan Tempat ibadah sebagai tempat kegiatan usaha Pedagang Kaki Lima. 2) Selain tempat-tempat yang dilarang sebagaimana tersebut ayat (1) Pasal ini, Jl. Jenderal Sudirman dilarang sebagai tempat Usaha Pedagang Kaki Lima. Pada Pasal 3 dijelaskan bahwa : 1) Untuk Alun-alun dan lapangan olahraga, pada acara-acara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah atau Pihak Swasta yang telah mendapat izin dari Walikota, dapat digunakan berjualan Pedagang Kaki Lima dengan ketentuan setelah acara selesai harus bersih dari Pedagang Kaki Lima.
87
2) Dalam menetapkan tempat-tempat usaha atau fasilitas umum dan sebagainya Walikota mempertimbangkan akepentingan sosial, ekonomi, ketertiban, keamanan, kebersihan, dan keseshatan serta keindahan. c. Peraturan Walikota Surakarta Nomor 11-C Tahun 2006 tentang Penyeleggaraan Kawasan Tertib. Selain itu penataan dan pembinaan PKL di lapangan juga didasarkan pada Peraturan Walikota Surakarta Nomor 11-C Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Kawasan Tertib. Pada peraturan tersebut ditegaskan bahwa Kawasan Tertib adalah suatu kawasan di sebagian Kota Surakarta yang ditetapkan sebagai kawasan tertib berdasarkan Peraturan, dan apabila melanggar dapat terkena sanksi. Sebagai pilot project/percontohan kawasan tertib ditetapkan sepanjang Jalan Slamet Riyadi, Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Urip Sumoharjo. d. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup. Terkait dengan aspek lingkungan, pembinaan dan penataan juga memperhatikan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup. Pada peraturan tersebut dilarang:
88
1) melakukan pembuangan sampah atau limbah padat pada sumbersumber air, dan tempat-tempat lain yang tidak diperuntukkan sebagai tempat pembuanagan sampah. 2) mendirikan bangunan, melakukan usaha dan / atau kegiatan di tempat yang ditetapkan sebagai hutan kota, jalur hijau kota, taman kota, resapan air dan daerah sepadan sungai.
d. Eksistensi PKL Kota Surakarta Perkembangan aspek sosial ekonomi PKL tidak akan terlepas dari perkembangan kota Surakarta secara keseluruhan. Oleh karenanya di bawah ini disajikan data dan perkembangan Kota Surakarta berdasarkan Buku Kota Surakarta Dalam Angka tahun 2006 serta Buku RT/RW Kota Surakarta tahun 2007-2016. Berdasarkan Buku Direktori PKL tahun 2003, jumlah PKL di Kota Surakarta sebanyak 3.843 PKL tersebar di 5 wilayah kecamatan. Di Kecamatan Banjarsari sebanyak 1.405 PKL, di Kecamatan Jebres 678 PKL, di Kecamatan Laweyan 571 PKL, di Kecamatan Pasar Kliwon 604 PKL dan di Kecamatan Serengan 396 PKL. Pada tahun 2005, Kantor PKL melakukan pendataan kembali. Jumlah PKL pada tahun tersebut sebanyak 5.817 PKL yang juga tersebar di 5 (lima) wilayah Kecamatan. Dari tahun 2003 sampai 2005 terjadi peningkatan jumlah PKL sebesar 51,7%. Peningkatan jumlah
89
tersebut juga meningkatkan variasi maupun intensitas permasalahan yang ditimbulkan oleh PKL. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan secara tuntas dapat diketahui jumlah dan penyebaran PKL. Jumlah PKL yang berada di jalan-jalan arteri dan kolektor di Kota Surakarta pada tahun 2007 sebanyak 3.917 PKL, tersebar di 5 wilayah Kecamatan. Sebagian besar PKL berada di wilayah Kecamatan Jebres dan Banjarsari. Di Kecamatan Banjarsari terdapat 1.050 PKL (26,81%) dan di Kecamatan Jebres 1.172 PKL (29,92%). Jika dibandingkan dengan jumlah PKL pada tahun 2005, terlihat penurunan jumlah PKL secara signifikan (menurun 32,66%). Penurunan tersebut
secara langsung maupun tidak langsung
merupakan prestasi Pemkot Surakarta dalam melakukan pembinaan dan penataan PKL melalui program relokasi (dimasukkan ke dalam pasar tradisional, ke dalam kantong-kantong PKL maupun berbagai lokasi lainnya), penyuluhan, penertiban dan lain sebagainya. Tabel 2 Jumlah PKL per Kecamatan di Kota Surakarta Tahun 2007 No 1 2 3 4 5
Kecamatan Banjarsari Jebres Laweyan Pasar Kliwon Serengan Total
Jumlah 1,050 1,172 697 617 381 3,317
% 26.81 29.91 17.79 15.75 9.73 100
90
Tabel 3 Jumlah dan penyebaran PKL di Kota Surakarta tahun 2007 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Nama Jalan Abdul Muis Adi Sucipto Dahlan Jend. A. Yani Arifin (Mashela) Balapan Bhayangkara Brigjend. Katamso Brigjend. Slamet Riyadi Brigjend. Sudiarto Cokroaminoto (Pucangsawit) Cut Nya Dien Demangan Dewi Sartika Dilangan Diponegoro Dr. Cipto Mangun Kusumo Dr. Muwardi Dr. Rajiman Dr. Wahidin Gajah Mada Gatot Subroto Gotong Royong Griyan Kahar Mujakar Hasanuddin Honngowongso Imam Bonjol Ir. Juanda Kartasanjaya Ir. Sutami Jambu Raya Jaya Wijaya Joko Tingkir Kahuripan Kalilarangan Kapt. Adi Sumarmo Kapt. Mulyadi Pattimura Kapt Tendean KS Tubun
Kode AM AS AD AY ARF BA BH KA SR BS COK CUT DE DS DIL DIP MK DRM RJ DW GM GS GTR GR KH HAS HO IB JKS SUT JR JW JK KUT KL KAS KM KP TE KST
Jumlah 5 202 4 83 27 18 15 95 364 55 44 4 20 4 12 11 4 16 133 16 31 41 33 6 9 55 80 5 175 99 3 61 6 6 37 57 114 2 78 24
91
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
Kartini Kebangkitan Nasional Kelud Kerinci K.H Agus Salim KH. Maskur Ki Hajar Dewantara Kol. Sugiono Kol. Sutarto Mayjend. Kusmanto Kyai Gede Sala Mangun Sarkoro Kyai Mojo Letjen Suparman Letjen Suprapto Letjen Sutoyo Lumban Tubing Manunggal Panjaitan Mayor Sunaryo Menteri Supeno M. Husni Tamrin Moh. Yamin Monginsidi MT Haryono Nangka (Kenari) Pangeran Wiji Perintis Kemerdekaan Prof. Dr. Supomo Prof.Yohanes RE Martadinata Reksoniten Ring Road RM. Said Ronngowarsito Sam Ratulangi KH Samanhudi Sambas Sampangan Syamsul Pijal Soropadan Sugiyopranoto DR. Suharso Sumpah Pemuda
KAR KN KU KER KAGS MAS KHD KSG SU KUS KGS KMS MO SP LS STY LT MAN MDP MS MSU MT MY MOS MTH NA PW PK SUP YOH REM REK RR RS RO SRL SAM SAMB SAMP SMR SO SUG SUH SMP
6 13 5 12 19 22 125 24 102 5 28 36 55 61 21 34 40 28 15 77 30 5 31 9 18 8 3 1 33 39 38 12 52 29 24 12 12 8 20 5 20 55 32 72
92
85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98
Sumpah Pemuda Nayu Suryo Suryaprawoto Sutan Syahrir Tangkuban Perahu Tentara Pelajar Transito Untung Suropati Urip Sumoharjo Veteran Werdi Sastro Yos Sudarso Yosodipuro Yudhistira Jumlah Total PKL
SPN SUR SRP SS TPR TP TR USR US VE WS YS YOS YU
15 46 10 31 20 68 3 19 91 129 15 75 41 4 3,917
Berdasarkan alamat PKL sebagaimana tercantum pada KTP, sebagian besar PKL merupakan penduduk Kota Surakarta, yaitu sebanyak 3.057 PKL atau 78,04%. Namun demikian PKL yang berasal dari luar kota jumlahnya juga cukup besar, yaitu 860 Pkl atau 21,96% dari total PKL. Jika dikaitkan dengan jumlah penduduk kota Surakarta, maka PKL menjadi penopang 2,84% keluarga di kota Surakarta (dengan asumsi 1 keluarga terdiri dari 4 orang). Jika dikaitkan dengan jumlah commuter (penglajo) dari luar kota ke dalam Kota Surakarta (menurut informasi, jumlah penduduk Kota Surakarta di siang hari mencapai sekitar 1,5 juta hingga 2 juta orang, sehingga jumlah commuter diperkirakan 1 juta hingga 1,5 juta orang), maka proporsi PKL sebagai commuter hanya 0,06%-0,09%.
93
Tabel 4 Asal (KTP) PKL No 1 2
Asal (KTP) PKL Kota Surakarta Luar Kota Surakarta Jumlah
Jumlah 3.057 860 3917
% 78.04 21.96 100.00
Makanan merupakan jenis dagangan yang dipilih sebagai komoditi utama oleh sebagian besar PKL, jumlahnya mencapai 2.445 PKL atau 62,42%. Buah-buahan, rokok an kelontong menempati urutan kedua, meskipun proporsinya jauh lebih kecil yaitu berkisar 2-3 %. Selain makanan, pakaian dan onderdil kendaraan bermotor merupakan jenis dagangan yang diminati oleh PKL. Data terakhir menunjukkan bahwa PKL di tepi jalan raya saat ini menjual pakaian dan onderdil jumlahnya sangat kecil (0,84% dan 1,10%). Pengurangan jumlah tersebut bisa dikarenakan sebagian besar telah direlokasi di tempat-tempat lainnya (ke dalam Pasar Klitikhan Semanggi dan ke dalam Lapangan Gelora Manahan). Tabel 5 Jenis dagangan PKL No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Dagangan Makanan/minuman Buah-buahan Pakaian Rokok Voucher HP Onderdil Kelontong Mainan anak Tanaman hias/buah
Jumlah 2,445 112 33 128 51 43 113 14 44
% 62.42 2.86 0.84 3.27 1.30 1.10 2.88 0.36 1.12
94
10 Alat elektronik 11 Furniture 12 Binatang 13 Lain-lain Jumlah
28 8 7 891 3,917
0.71 0.20 0.18 22.75 100.00
Ditinjau dari sisi waktu berdagang, jumlah PKL yang menempati lokasi secara relative permanent jumlahnya cukup besar mencapai 52,85%. Proporsi tersebut terdiri dari PKL yang berjualan dari pagi hingga sore hari sebanyak 1.322 PKL (33,75%), pagi hingga malam hari sebanyak 86 PKL (2,2%) dan siang hingga malam hari sebanyak 662 PKL (16,9%). Lamanya waktu berdagang PKL biasanya terkait dengan bangunan tempat berdagang PKL, semakin pemanen bangunan, semakin lama pula PKL menempati area tersebut. Tabel 6 Waktu berdagang PKL No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu Berdagang PKL Pagi Siang Sore Malam Pagi-siang Pagi-sore Pagi-malam Siang-sore Siang-malam Sore-malam jumlah
Jumlah 73 371 265 17 383 1,322 86 299 662 439 3,917
% 1,86 9,47 6,77 0,43 9,78 33,75 2,20 7,63 16,90 11,21 100,00
95
Sebagian besar PKL merupakan pedagang yang cenderung menetap, jumlahnya mencapai 3.624 PKL atau 92,52%. Dari jumlah tersebut, sebagian besar merupakan PKL dengan bangunan permanen (seluruh maupun sebagian bangunan selalu berada di tempat), jumlahnya mencapai 2.280 atau 62,91PKL dengan bangunan permanent sebagian. Type bangunan permanen juga sering digabung
dengan
bangunan
bongkar
pasang,
gerobak
atau
gelaran/dasaran/lesehan. PKL dengan bangunan bongkar pasang jumlahnya juga cukup banyak, yaitu 645 PKL atau 17,81%. PKL dengan sarana berdagang yang bersifat moveable proporsinya juga cukup besar. Hal yang menarik, banyak PKL yang menggunakan mobil sebagai saranna untuk berdagang, jumlahnya mencapai 50 mobil atau 1,38% dari total PKL yang cenderung menetap. Sedangkan PKL yang cenderung bergerak/berkeliling, jumlahnya hanya 293 PKL atau 7,48 %. Selain di lapangan jumlahnya tidak terlalu banyak, PKL tipe ini sulit dideteksi keberadaan lokasinya. Bisa jadi pada waktu survey, PKL yang bersangkutan berada di lokasi lain. PKL type bergerak sebagian besar menggunakan gerobag sebagai sarana berdagangnya, proporsinya mencapai 68,94%, kemudian disusul dengan PKL dengan seeda kayuh yaitu 39 PKl atau 13,31%.
96
Tabel 7 Type Bangunan/sarana PKL No
Type Bangunan/Sarana
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Permanen Bongkar pasang/tenda Gerobag (cenderung berhenti) Mobil (cenderung berhenti) Gelaran/oprokan Pikulan Gendongan Sepeda kayuh Sepeda roda tiga Sepeda motor Gerobag (keliling) Jumlah %
Cenderung Menetap 2,280 645 427 50 222
3,624 92,52
Cenderung Bergerak
13 3 39 19 17 202 293 7,48
Jumlah 2,280 645 427 50 222 13 3 39 19 17 202 3,917 100,00
Tabel 8 Type bangunan / tempat PKL yang cenderung menetap No 1 2 3 4 5
Type bangunan/tempat Permanen Bongkar pasang Gerobag (cenderung berhenti) Mobil (cenderung berhenti) Gelaran / oprokan Jumlah
Jumlah 2.280 645 427 50 222 3,624
% 62,91 17,80 11,78 1,38 6,13 100.00
Tabel 9 Type sarana PKL yang cenderung bergerak No 1 2 3 4 5 6
Type sarana Pikulan Gendongan Sepeda rodatiga Sepeda roda tiga Sepeda motor Gerobag (keliling) Jumlah
Jumlah 13 3 39 19 17 202 293
% 4.44 1.02 13.31 6.48 5.80 68.94 100.00
97
Belum tinggi tingkat kesadaran PKL dalam mengelola limbah yang dihasilkannya (bahkan cenderung masih rendah). Dari seluruh PKL 49,2% diantaranya belum mengelola limbah yang dihasilkanya dengan baik. Jika dikaitkan dengan jenis dagangannya, PKL yang relative menghasilkan limbah adalah PKL yang menjual makanan (PKL jenis ini proporsinya sebesar 62,42 %). Hal ini berarti hanya 13,22% PKL penjual makanan yang telah melakukan pengelolaan limbahnya dengan baik. Tebel 10 Pengelolaan limbah oleh PKL No 1 2
Nama Jalan PKL mengelola limbah dengan baik PKL tidak mengelola limbah dengan baik Jumlah
Jumlah 1.990 1.927 3.917
% 50,80 49,20 100,00
Meskipun limbah belum terkelola dengan baik (disalurkan begitu saja ke selokan atau ditampung ke dalam wadah tersendiri), secara fisik visual sebagian besar PKL sudah terlihat bersih dan rapi (2.762 PKL atau 70,51 PKL). Hal ini perlu terus ditingkatkan, sebagai amanah Perda Pembinaan dan Penataan PKL, dimana PKL diwajibkan untuk menjaga kebersihan dan kerapian lingkungannya. Tabel 11 Kebersihan dan kerapian lingkungan PKL No 1 2
lingkungan PKL Bersih dan rapi Belum bersih dan rapi Jumlah
Jum2lah 2,762 1,155 3,917
% 70,51 29,49 100,00
98
Sebagian besar PKL memiliki omset kurang dari Rp.500.000,00 perhari. PKL dengan omset antara Rp.100.000,00-Rp.499.000,00, proporsinya mencapai 57,54%. PKL dengan omset sangat kecil proporsinya cukup banyak, yaitu 18,77% untuk PKL dengan omset Rp. 50.000,00-Rp.99.000,00 dan 14,77 % untuk PKL dengan omset kurang dari Rp. 50.000,00 per hari. Lihat tabel di bawah ini. Tabel 12 Omset PKL perhari No 1 2 3 4 5
Omset per hari < Rp.50.000,00 Rp.50.000,00-Rp.99.000,00 Rp.100.000,00-Rp.499.000,00 Rp.500.000,00-Rp.999.000,00 Rp.1.000.000,00-Rp.1.500.000,00 Jumlah
Jumlah 48 61 187 17 12 325
% 14,77 18,77 57,54 5,23 3,69 100,00
Sebagian besar PKL berpendidikan tingkat SLTA, SD, dan SLTP (37,23%, 32,62% dan 22,15%). PKL dengan tingkat pendidikan Perguruan Tinggi dan PKL tidak sekolah proporsinya sangat kecil, masing-masing 3,69% dan 4,31%. Jka dikaitkan dengan omset, tingginya tingkat pendidikan tidak terkait langsung dengan tingginya omset PKL. PKL dengan omset sangat besar (Rp.1.000.000,00-Rp.1.500.000,00) didominasi oleh PKL dengan tingkat pendidikan SLTP dan SLTA.
99
Tabel 13 Keterkaitan omset/hari dengan tingkat pendidikan No Tingkat Omset per hari (dalam rupiah) pendidikan < 50.000- 100.000- 500.000- 1.000.000- jumlah 50.000 90.000 499.000 999.000 1.500.000 1 Tidak 1 2 8 0 1 12 sekolah 2 SD21 22 60 1 2 106 sederajat 3 SLTP11 12 43 2 4 72 sederajat 4 SLTA13 24 69 11 4 121 sederajat 5 Perguruan 2 1 7 3 1 14 Tinggi (D1, D2, D3, S1) Jumlah 48 61 187 17 12 325
Tabel 14 Persentase keterkaitan omset/hari dengan tingkat pendidikan No
1 2 3 4 5
Tingkat pendidikan
Omset per hari (dalam rupiah) < 50.000- 100.000- 500.000- 1.000.000- jumlah 50.000 99.000 499.000 999.000 1.500.000 2.08 3.28 4.28 0.00 8.33 3.69
Tidak sekolah SD43.75 sederajat SLTP22.92 sederajat SLTA27.08 sederajat Perguruan 4.17 Tinggi (D1, D2, D3, S1) jumlah 100.00
36.07
32.09
5.88
16.67
32.62
19.67
22.99
11.76
33.33
22.15
39.34
36.90
64.71
33.33
37.23
1.64
3.74
17.65
8.33
4.31
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100
Tabel 15 Persentase keterkaitan omset/hari dengan tingkat pendidikan no
Tingkat pendidikan
1
Tidak sekolah SDsederajat SLTPsederajat SLTAsederajat Perguruan Tinggi (D1, D2, D3, S1) jumlah
2 3 4 5
omset per hari (dalam rupiah) jumlah < 50.000- 100.000- 500.000- 1.000.00050.000 99.000 499.000 999.000 1.500.000 8.33 16.67 66.67 0.00 8.33 100.00 19.81
20.75
56.60
0.94
1.89
100.00
15.28
16.67
59.72
2.78
5.56
100.00
10.74
19.83
57.02
9.09
3.31
100.00
14.29
7.14
50.00
21.43
7.14
100.00
18.77 57.54 5.23 Sumber : Tim Peneliti, 2007
3.69
100.00
14.77
Dikaitkan dengan dagangan omset, makanan dan buah-buahan merupakan jenis dagangan yang berpeluang meningkatkan omset PKL. PKL Rp.1000.000,00-Rp.1.500.000,00 yang memiliki jenis dagangan makanan proporsinya mencapai 66,67%, sedangkan yang menjual buahbuahan sebesar 16,67%. Namun demikian PKL penjual makanan yang omsetnya sangat kecil (kurang dari Rp.50.000,00) proporsinya juga cukup besar (43,75%) dibanding dengan jenis dagangan lainnya.
101
Tabel 16 Keterkaitan omset/hari dengan jenis dagangan no
Jenis dagangan
omset per hari (dalam rupiah) jumlah < 50.000- 100.000- 500.000- 1.000.00050.000 99.000 499.000 999.000 1.500.000 1 makanan/minuman 21 45 145 14 8 233 2 buah-buahan 0 1 5 0 2 8 3 Pakaian 0 0 4 0 0 4 4 Rokok 6 1 5 1 0 13 5 voucher HP 1 0 2 0 0 3 6 Onderdil 0 0 1 0 0 1 7 Kelontong 1 3 6 0 1 11 8 mainan anak 0 0 1 0 0 1 9 tanaman hias/buah 0 0 3 0 0 3 10 Furniture 0 0 2 0 0 2 11 lain-lain 19 11 13 2 1 46 jumlah 48 61 187 17 12 325
Tabel 17 Persentase keterlaitan omset/hari dengan jenis dagangan no
Jenis dagangan
omset per hari (dalam rupiah) jumah < 50.000- 100.000- 500.000- 1.000.00050.000 99.000 499.000 999.000 1.500.000 1 makanan/minuman 43.75 73.77 77.54 82.35 66.67 71.69 2 buah-buahan 0.00 1.64 2.67 0.00 16.67 2.46 3 Pakaian 0.00 0.00 2.14 0.00 0.00 1.23 4 Rokok 12.5 1.64 2.67 5.88 0.00 4.00 5 voucher HP 2.08 0.00 1.07 0.00 0.00 0.92 6 Onderdil 0.00 0.00 0.53 0.00 0.00 0.31 7 Kelontong 2.08 4.92 3.21 0.00 8.33 3.38 8 mainan anak 0.00 0.00 0.53 0.00 0.00 0.31 9 tanaman hias/buah 0.00 0.00 1.60 0.00 0.00 0.92 10 Furniture 0.00 0.00 1.07 0.00 0.00 0.62 11 lain-lain 39.58 18.03 6.95 11.76 8.33 14.15 jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
102
Tabel 18 Persentase Keterkaitan Omset/hari dengan Jenis Dagangan No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis Dagangan
Makanan/minuman Buah-buahan Pakaian Rokok Voucher HP Onderdil Kelontong Mainan anak Tanaman hias/buah Furniture Lain-lain
Jumlah
< 50.000 9.01 0.00 0.00 46.15 33.33 0.00 9.09 0.00 0.00 0.00 41.30 14.77
Omset per hari (dalam rupiah) 50.000- 100.000- 500.000- 1.000.00099.000 499.000 999.000 1.500.000 19.31 62.23 6.01 3.43 12.50 62.50 0.00 25.00 0.00 100.00 0.00 0.00 7.69 38.46 7.69 0.00 0.00 66.67 0.00 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00 27.27 54.55 0.00 9.09 0.00 100.00 0.00 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00 23.91 28.26 4.35 2.17 18.77 57.54 5.23 3.69
Jumlah
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
PKL dengan bangunan permanen dan bongkar pasang memiliki omset yang sangat besar. PKL yang memiliki omset Rp.1.000.000,00-Rp.1.500.000,00 secara keseluruhan merupakan type bangunan permanen dan bongkar pasang, 73,29% merupakan type PKL dengan type bangunan permanen dan 16,77% adalah PKL dengan type bangunan bongkar pasang. PKL dengan type bangunan bongkar pasang sebagian besar memiliki omset Rp.100.000,00-Rp.499.000,00, proporsinya mencapai 55,56%.
103
2. Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta
dalam
Penataan PKL di Surakarta yang tidak menimbulkan konflik fisik Warga masyarakat yang peduli keberadaan PKL menyambut baik keberadaan Perda disertai upaya Pembinaan, karena bagaimanapun PKL adalah warga masyarakat yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Walaupun selanjutnya mempertanyakan kenyataan bahwa PKL berada dimana-mana, di setiap ruas jalan umum tanpa menghiraukan kepentingan orang lain sebagai pemakai jalan, fasilitas umum, PKL berada di setiap sudut, di luar tempat/lokasi yang ditentukan, untuk mendekati konsumen. Pemindahan PKL dilakukan melalui proses yang panjang. Pedagang diberi pengarahan, agar pada waktu yang ditentukan menempati tempat relokasi PKL dapat berlangsung dengan baik. Pemerintah Kota Surakarta dapat memberikan solusi yang baik bagi para PKL. Selain itu juga adanya konsekuansi dan ketegasan aturan yang dijalankan oleh Pemerintah Kota Surakarta. Hubungan dekat dan simpati antara Pemerintah Kota dengan PKL membuat ketegangan proses pemindahan dapat melunak. Pelan-pelan Namur pasti Pemerintah Kota Surakarta yang di Pimpin Oleh Joko Widodo (Walikota) terjun langsung mendekati PKL untuk berbicara dari hati kehati dan melakukan musyawarah untuk melaksanakan relokasi. Selain itu keamanan dapat diwujudkan karena Pemerintah Kota sendiri memberikan waktu yang cukup lepada para PKL untuk berbenah.
104
Penyeragaman, penampilan yang indah dan menarik untuk sarana PKL berjualan misalnya, gerobak, tenda dan sebagainya disetujui oleh PKL dengan syarat ada bantuan berupa dana. Sebab sebagian besar PKL adalah pengusaha golongan ekonomi lemah modal kecil dengan barang dagangan yang tidak beragam. Demikian juga jika PKL ditempatkan pada suatu lokasi tertentu yang tidak merusak keindahan taman kota atau fasilitas umum lainnya, PKL mensyaratkan bahwa tempat tersebut haruslah ramai, didatangi banyak pelanggan. Sikap, perilaku, cara pandang warga masyarakat, PKL tentang keindahan mempengaruhi implementasi Perda PKL dalam rangka mewujudkan keindahan Kota Surakarta. Budaya hukum suatu masyarakat akan tampak pada penghayatan terhadap hukum yang berlaku, dalam hal ini tentang Perda No 08 Tahun 1995, penghayatan PKL tentang nilai keindahan mempunyai akibat langsung dan tidak langsung terhadap kepatuhan Perda. Oleh karena penghayatan terhadap arti keindahan adalah sebagai nomor kesekian, maka kepatuhan dan rasa ikut mewujudkan serta memiliki kota yang indah adalah tindakan nanti-nanti saja, tindakan nomor kesekian. Kota Surakarta memberi perhatian yang serius terhadap keberadaan PKL ini. Meskipun menghadapi berbagai kendala, upaya penataan dan pembinaan PKL terus dilakukan. Perhatian Pemkot terhadap PKL ini semakin meningkat dalam era kepemimpinan Joko Widodo, Walikota Surakarta. Dimulai dengan sosialisai di tahun 2005 yang dilanjutkan
105
dengan realisasi penataan PKL pada tahun 2006, membuktikan kerja keras semua pihak. Relokasi PKL ’Klitikan” dari Lapangan Banjarsari ke bangunan Pasar Klitikan Notoharjo yang megah dan permanen dilengkapi upacara ”boyongan” dengan prosesi kirab budaya, menunjukkan pendekatan yang humanis dalam penataan PKL. Pembangunan sheltershelter permanen di Kompleks Gelora Manahan dan Kleco, tendanisasi dan grobagisasi PKL dengan pendekatan pemberdayaan melalui fasilitasi bangunan/tempat berdagang.
B. Pembahasan 1. Dasar hukum dan kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang informal yang menempati kaki lima (trotoar-pedestrian) keberadaannya tidak boleh mengganggu fungsi politik, baik ditinjau dari aspek ekonomi, social, fisik visual, lingkungan dan pariwisata. Istilah PKL erat kaitannya dengan istilah di Perancis tentang pedestrian untik pejalan kaki di sepanjang jalan raya, yaitu Trotoir (baca : trotoar). Disepanjang jalan raya kebanyakan berdiri bangunan bertingkat. Pada lantai paling bawah biasanya disediakan ruang untuk pejalan kaki (trotoir) selebar 5 kaki (5 feet setara dengan 1,5 m). Pada perkembangan berikutnya pada pedagang informal akan menempati trotoir tersebut, sehingga disebut dengan istilah Pedagang Lima Kaki (di Indonesia disebut Pedagang Kaki Lima = PKL).
106
Selain definisi secara umum, Kota Surakarta telah mendefinisikan PKL secara khusus sebagaimana dimuat dalam Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Beberapa pasal terkait dengan definisi PKL, tempat usaha dan pembinaannya dapat diuraikan sebagai berikut : Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, (c) Pedagang Kaki Lima adalah orang yang melakukan usaha dagang dan atau jasa, di tempat umum baik menggunakan atau tidak menggunakan sesuatu, dalam melakukan kegiatan usaha. (d) Tempat Usaha Pedagang Kali Lima adalah tempat umum yaitu tepitepi jalan umum. trotoar dam lapangan serta tempat lain diatas tanah negara yang ditetapkan oleh Walikota Kepala Daerah.
Sebagai upaya untuk mentertibkan PKL yang berada di Kota Surakarta, maka di diperlukan hukum yang mengatur keberadaan PKL tersebut.
Hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap
produk hukum akan sangat ditentukan dan diwarnai oleh imbangan kekuatan politik yang melahirkannya. Setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan politisi. Meskipun dari sudut idealnya politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun lebih melihat pada kenyataannya, politik justru melatarbelakangi munculnya hukum. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengakuan
107
terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini tugas politik hukum adalah meneliti perubahanperubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum tersebut merumuskan arah perkembangan tertib hukum Bersama lajunya perkembangan jaman tidak dapat disangkal lagi bahwa ruang gerak politik hukum berkembang, tidak hanya sebatas Negara sendiri saja melainkan meluas sampai keluar batas Negara hingga ke tingkat Internasional Hukum, walaupun diciptakan oleh negara dianggap mengatur perbuatan negara, yang dipahami seperti seorang manusia, di mana hukum mengatur perbuatan manusia. Hukum termasuk ke dalam kategori norma, oleh karena itu hukum merupakan suatu sistem norma. Hukum sebagai kategori moral serupa dengan keadilan, pernyataan yang ditujukan untuk pengelompokkan sosial tersebut sepenuhnya benar, yang sepenuhnya mencapai tujuannya dengan memuaskan semua. Rindu akan keadilan, yang dianggap secara psikologis, adalah kerinduan abadi manusia akan kebahagiaan, yang tidak bisa ditemukannya sebagai seorang
108
individu dan karenanya mencarinya dalam masyarakat. Kebahagiaan sosial dinamakan ’keadilan’50 Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturanperaturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam dalam pelaksaannya sesuai dengan hukum sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain hukum harus sesuai dengan ideology bangsa sekaligus sebagai pengayom masyarakat51. Dalam pelaksanaannya hukum dapat dipaksakan daya berlakunya oleh aparatur menaga untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib, dan adil. Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut supaya melakukan perbuatan yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat Negara. Kendatipun hukum dalam bentuk hukum positif daya berlakunya terikat oleh ruang dan waktu. Pemkot Surakarta memiliki perhatian yang besar pada pembinaan dan penataan PKL melalui pendekatan pemberdayaan. Beberapa kebijakan tersebut terutama didasarkan pada : a
Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Substansi
kebijakan
yang
termaktub
pada
peraturan
perundangan di atas dapat dijelaskan sebagaimana uraian berikut ini.
50
51
Hans Kelsen. 2008. Pengantar Teori Hukum. Bandung : Nusamedia. Hal 135
Dahlan Thaib, dkk. 1999.Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hal 9
109
Selain definisi tentang PKL, Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima juga memuat beberapa ketentuan lain, yaitu : Pada Pasal 2 disebutkan bahwa : 1. Tempat
Usaha
Pedagang
Kaki
Lima
ditetapkan
oleh
Walikotamadya Kepala Daerah. 2. Walikotamadya Kepala Daerah dalam menetapkan tempat usaha sebagaimana dimaksud ayat (1), pasal ini, mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi, ketertiban, keamanan, kebersihan dan kesehatan serta tata ruang kota sesuai dengan Peraturan Daerah yang belaku. Pada Pasal 3 disebutkan bahwa : 1) Setiap Pedagang Kaki Lima harus bertanggung jawab terhadap ketertiban, kerapian, kebersihan, keindahan, kesehatan lingkungan dan keamanan di sekitar tempat usaha. 2) Untuk mewujudkan kebersihan, kerapian, dan keindahan tempat usaha serta keamanan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini. Walikotamadya Kepala Daerah menetapkan persyaratan-persyaratan lebih lanjut. b
Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembiaan PKL.
110
Langkah
pembinaan
dan
penataan
PKL
secara
lebih
operasional didasarkan pada Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan PKL. Pada bab II berisi tentang Larangan Tempat Berusaha Pedagang Kaki Lima. Pada Pasal 2 disebutkan bahwa : 1) Untuk menjaga ketertiban, keamanan, ketentraman dan kebersihan di kota Surakarta, dilarang menggunakan tempat-tempat atau fasilitas umum termasuk parit, tanggul, taman kota, jalur hijau, cagar budaya, monumen, sekolah Taman Pahlawan, sekitar bangunan Tempat ibadah sebagai tempat kegiatan usaha Pedagang Kaki Lima. 2) Selain tempat-tempat yang dilarang sebagaimana tersebut ayat (1) Pasal ini, Jl. Jenderal Sudirman dilarang sebagai tempat Usaha Pedagang Kaki Lima. Pada Pasal 3 dijelaskan bahwa : 1) Untuk Alun-alun dan lapangan olahraga, pada acara-acara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah atau Pihak Swasta yang telah mendapat izin dari Walikota, dapat digunakan berjualan Pedagang Kaki Lima dengan ketentuan setelah acara selesai harus bersih dari Pedagang Kaki Lima.
111
2) Dalam menetapkan tempat-tempat usaha atau fasilitas umum dan sebagainya Walikota mempertimbangkan akepentingan sosial, ekonomi, ketertiban, keamanan, kebersihan, dan keseshatan serta keindahan. c
Peraturan Walikota Surakarta Nomor 11-C Tahun 2006 tentang Penyeleggaraan Kawasan Tertib. Selain itu penataan dan pembinaan PKL di lapangan juga didasarkan pada Peraturan Walikota Surakarta Nomor 11-C Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Kawasan Tertib. Pada peraturan tersebut ditegaskan bahwa Kawasan Tertib adalah suatu kawasan di sebagian Kota Surakarta yang ditetapkan sebagai kawasan tertib berdasarkan Peraturan, dan apabila melanggar dapat terkena sanksi. Sebagai pilot project/percontohan kawasan tertib ditetapkan sepanjang Jalan Slamet Riyadi, Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Urip Sumoharjo.
d
Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup. Terkait dengan aspek lingkungan, pembinaan dan penataan juga memperhatikan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup. Pada peraturan tersebut dilarang:
112
1) melakukan pembuangan sampah atau limbah padat pada sumbersumber air, dan tempat-tempat lain yang tidak diperuntukkan sebagai tempat pembuanagan sampah. 2) mendirikan bangunan, melakukan usaha dan / atau kegiatan di tempat yang ditetapkan sebagai hutan kota, jalur hijau kota, taman kota, resapan air dan daerah sepadan sungai. Berdasarkan paparan diatas dapat dikatakan bahwa hukum sebagai sarana kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Kontrol sosial ini dijalankan dengan menggunakan berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang diorganisasi secara politik maupun melalui lembagalembaga yang dibentuknya. Keadaan tersebut berbeda dengan hukum sebagai sarana social engineering. Hukum sebagai sarana social engineering adalah penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan atau untuk melakukan perubahanperubahan yang diinginkan.
Kemampuan seperti ini biasanya hanya
dilekatkan pada hukum modern. Maka dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai Dasar hukum dan kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam Pemberdayaan dan Penataan
Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta, sesuai dengan
pendapat Robert Seidman yang menyatakan bahwa tindakan apapun yang
113
akan diambil baik oleh pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana maupun
pembuat
undang-undang
selalu
berada
dalam
lingkup
kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik, dan lain-lain sebagainya. Seluruh kekuatan-kekuatan sosial itu selalu ikut bekerja dalam setiap upaya untuk memfungsikan peraturan-peraturan yang berlaku, menerapkan sanksi-sanksinya, dan dalam seluruh aktifitas lembaga-lembaga pelaksanaannya. Dengan demikian, peranan yang pada akhirnya dijalankan oleh lembaga dan pranata hukum itu merupakan hasil dari bekerjanya berbagai macam faktor. Dengan menggunakan model dari Seidmen tersebut dapat dijelaskan pengaruh faktor-faktor atau ketentuanketentuan
sosial
mulai
dari
tahap
pembuatan
undang-undang,
penerapannya dan sampai kepada peran yang diharapkan. Demikian pula, pengaruh kekuatan-kekuatan sosial dirasakan juga dalam bidang penerapan hukum. Peranan yang diharapkan dari warga masyarakat juga sangat ditentukan dan dibatasi oleh kekuatan-kekuatan sosial tersebut, terutama sistem budaya. Yang dimaksud “pemegang peran” adalah semua warga negara baik itu hakim, polisi dan sebagainya. Apapun terminologi yang diajukan untuk menjelaskan apa itu hukum, pada dasarnya hukum merupakan budaya masyarakat atau aktivitas mesyarakat tertentu yang berjalinan erat dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Eran Vigoda-Gadot sebagai berikut:
114
”Without doubt, we live in an era of great challenges for modern societies. The tenty-first century will necessitate enormous changes in our conventional perceptions of governmental activities and responsibilities. It will similarly require a reformation of the meaning of citizenship and a redefinition of the role of citizens, businesses and private sector firms, the third sector, the media, and academia. All these players, and others, will need to collaborate to some serious extent. Most importantly, they will need to collaborate with public administration as its impact grows, in order to provide the people with better services and with the high quality goods they deserve”.52 (Tanpa ragu, kita hidup di era tantangan besar bagi masyarakat modern. Pada abad ke-21 akan memerlukan perubahan besar dalam persepsi konvensional mengenai kegiatan pemerintah dan tanggung jawab. Ini juga akan memerlukan reformasi arti kewarganegaraan dan redefinisi peran warga, bisnis dan perusahaan swasta, sektor ketiga, media, dan akademisi. Semua pemain, tanpa kecuali, akan perlu untuk berkolaborasi dalam beberapa hal serius. Yang paling penting, mereka harus berkolaborasi dengan administrasi publik sebagai dampak yang tumbuh, dalam rangka memberikan layanan kepada masyarkat dengan lebih baik serta memperoleh kualitas produk yang layak.
Suatu peraturan dibuat atau dikeluarkan tentunya berisi harapanharapan yang hendaknya dilakukan oleh subyek hukum sebagai pemegang peran. Namun bekerjanya harapan itu tidak ditentukan hanya oleh kehadiran peraturan itu sendiri, melainkan juga oleh beberapa faktor lain, antara lain : (a) sanksi-sanksi yang terdapat di dalamnya, (b) aktifitas dari lembaga pelaksana hukum, dan (c) seluruh kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang bekerja atas diri pemegang peranan di situ.
52
Gadot, Eran Vigoda, 2004, “Collaborative Public Administration Some Lessons from the Israeli Experience”, Managerial Auditing Journal, Vol. 19 No. 6, pp.700-711, Israel : University of Haifa. Hal. 710.
115
2. Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta yang tidak memunculkan konflik fisik Pendorong utama munculnya PKL di perkotaan adalah faktor ekonomi. himpitan kebutuhan ekonomi di satu sisi dan terbatasnya lapangan pekerjaan di sisi lainnya menyebabkan PKL menjadi alternative yang banyak dipilih. Terkait dengan sejarah munculnya peristilahan PKL, dalam perkembangan pola penyebaran PKL di trotoar hampir dijumpai pada semua fungsi kawasan, baik dengan fungsi utama perkantoran, pendidikan, kesehatan, perumahan maupun perdagangan. Secara umum, faktor utama pemicu hadirnya PKL adalah pejalan kaki. Jika kemudian pada kawasan perdagangan muncul banyak PKL, karena kawasan tersebut lebih banyak pejalan kakinya. Demikian pula jika diarea pabrik banyak karyawan yang berjalan kaki, maka disitupun banyak PKL. Namun demikian bukan berarti kawasan yang sedikit pejalan kakinya akan steril dari PKL. Terdapat beberapa kawasan yang bukan tempat lalu lalang pejalan kaki, tetapi banyak di huni PKl. Sebut saja PKL dilapangan Banjarsari-Solo (sebelum relokasi ke Pasar Klitikan di Notoharjo tahun 2006). PKl di tempat ini bukan lagi didatangi sambil lalu atau kebetulan lewat, tetapi menjadi tujuan utama perjalanan para pembeli. Kebanyakan, mereka datang dengan kendaraan dengan menggunakan kendaraan bermotor, baik roda empat maupun roda dua. Meskipun
116
demikian yang datang dengan menggunakan sepeda ”onthel” (kayuh) maupun berjalan kaki, jumlahnya juga tidak sedikit. Warga masyarakat yang peduli keberadaan PKL menyambut baik keberadaan Perda desertai upaya Pembinaan, karena bagaimanapun PKL adalah warga masyarakat yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Walaupun selanjutnya mempertanyakan kenyataan bahwa PKL berada dimana-mana, di setiap ruas jalan umum tanpa menghiraukan kepentingan orang lain sebagai pemakai jalan, fasilitas umum, PKL mermaba setiap sudut, di luar tempat/lokasi yang ditentukan, untuk mendekati konsumen. Kenyataan bahwa sebagian besar PKL dan masyarakat belum atau tidak mengetahui tentang Perda No 08 Tahun 1995 hal ini menandakan kurangnya sosialisasi sehingga pengenalan serta pemahaman terhadap keberadaan Perda demikian minim. Penetapan tempat/lokasi dan pembentukan tim pembina yang ada tidak ditindaklanjuti dengan pelaksanaan sekaligus pengawasan secara maksimal di lapangan; terkesan “asal ada” saja. Sementara itu setiap pihak yang terlibat bersikap menunggu, tidak aktif berinisiatif karena birokratisasi. Dari hasil penelitian yangelah penulis lakukan, maka dalam pembahasan ini dapat diketahui indikator keberhasilan implementasi kebijakan pemberdayaan dan penataan pedagang kaki lima di Kota Surakarta yang tidak memunculkan konflik adalah ketertiban, keamanan dan keindahan.
117
a. Ketertiban Menurut kamus Bahasa Indonesia tertib berarti teratur, aturan, rapi, peraturan yang baik. Jadi ketertiban adalah menyiratkan suatu keteraturan, keadaan sesuai dengan aturan. Ketertiban diperlukan agar kehidupan tidak berubah menjadi anarki; keadaan tanpa aturan, kacau, chaos. Hanya melalui hukum-lah manusia hendak menghindarkan diri dari anarki, mengingat fungís hukum yang mendasar adalah mencegah terjadinya konflik karena kepentingan masing-masing anggota masyarakat. Secara konseptual, ketertiban (umum) dipahami sebagai manifestasi dari statu keadaan damai yang dijamin oleh keamanan kolektif, yaitu statu tatanan, dimana manusia merasa aman secara kolektif. Kebebasan individu dibatasi oleh kepentingan kolektif. Apeldoorn dalam Budiono berpandangan bahwa hukum secara substansi berlaku umum dan tidak diskriminatif, sehingga tertib hukum menjadi tertib yang berlaku umum. Hukum dapat menciptakan tertib (umum)
hanya
jika
hukum
berhasil
menjaga
keseimbangan
kepentingan antar manusia dalam masyarakat. Hukum bisa ditegakkan apabila mendatangkan keadilan bagi mereka yang berkepentingan terhadap keadaan tertib itu. Hukum menjaga pemenuhan terhadap kepentingan dasar manusia, misalnya kebebasan untuk bekerja dan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Perda No 08 Tahun 1995 sebagai wujud hukum
118
untuk menjaga pemenuhan terhadap kepentingan dasar PKL yakni bekerja dan berusaha sebagai PKL; Pasal 27 (2) UUD 1945. Apabila kepentingan
dasar
tidak
terlindungi
manusia
akan
berusaha
memperoleh perlindungan dan keadilan bagi dirinya sendiri, bisa dibayangkan
apabila
setiap
manusia
mengejar
pemenuhan
lepentingannya dengan mengorbankan ketertiban umum. Dengan demikian jika ketertiban umum harus merupakan tertib hukum maka ketertiban umum itu haruslah merupakan suatu keadaan tertib yang adil. Memahami pandangan Gustav Radbruch, bahwa fungsi utama nilai dasar hukum mencerminkan adanya keadilan, menegakkan keadilan. Bukankan tujuan hukum menurut pandangan teori campuran adalah ketertiban sebagai syarat terbentuknya masyarakat yang teratur; ketertiban yang diharapkan tercipta melalui Perda No 08 Tahun 1995. Eko (30 tahun) seorang PKL pada wawancara tanggal 9 Maret 2010, berpendapat bahwa ketertiban itu adalah menurut aturan. Pada kenyataannya, yang bersangkutan berjualan di luar tempat/lokasi yang ditentukan alias liar. Eko berpandangan bahwa aturan itu buatan manusia sehingga boleh, sah-sah saja bila dilanggar. Apalagi penegak hukumnya juga tidak keberatan aturannya dilanggar? “Kalo aturan Tuhan tidak boleh dilanggar”, demikian lanjutnya. Dengan demikian untuk menciptakan ketertiban (umum) memerlukan sesuatu yang mampu mengakibatkan bahwa keadaan secara umum adalah tertib.
119
Sesuatu itu selain berupa aturan (hukum) juga ada pihak yang berperan untuk menjalankan prosedur penertiban itu sendiri. Dalam hal ini adalah Satpol PP, aparat pemerintah/birokrasi. Tentunya sulit menciptakan, mewujudkan ketertiban (umum) jika aparat pemerintah sendiri tidak memperhatikan citra tertib; secara teratur dan berkala mengawasi juga mengadakan pembinaan terhadap PKL misalnya. Seperti yang dikatakan oleh Eko, bahwa pemindahan PKL dilakukan melalui proses yang panjang. “Awalnya pedagang diberi pengarahan, lalu pada waktu yang ditentukan menempati tempat relokasi” Hal ini diamini oleh Agus (42 Tahun) yang mengatakan bahwa pemindahan atau relokasi PKL dapat berlangsung dengan baik karena Pemerintah Kota Surakarta dapat memberikan solusi yang baik bagi para PKL. Selain itu juga adanya konsekuansi dan ketegasan aturan yang dijalankan oleh Pemerintah Kota Surakarta. Oleh karenanya terhadap PKL yang memperjualbelikan tempat/lokasi dan atau kemudian yang berjualan di luar tempat/lokasi yang telah ditentukan patut untuk diproses sesuai Perda, yakni izin dicabut, denda atau bahkan pidana kurungan. Pada saat tertentu encaman pidana yang diterapkan dengan tegas dan bijaksana mampu mengurangi, menimbulkan efek jera pada pelanggar. Hal ini bertalian dengan pandangan instrumental terhadap hukum yang menyatakan bahwa seseorang akan mematuhi hukum sepanjang kepatuhan itu akan mengakibatkan
pemenuhan
kebutuhan
pribadinya.
Jadi
sanksi
120
merupakan unsur yang sangat penting. Menurut keterangan Denny (anggota Satpol PP) dalam wawancara pada 22 Pebruari 2010, bertempat di Kantor PP menjelaskan, baginya memproses PKL untuk dipidanakan memerlukan waktu dan koordinasi yang tidak mudah di samping kekurangan personal yang mempunyai kewenangan untuk bertindak selaku Penyidik PNS. Penambahan jumlah PKL (diluar tempat/lokasi yang ditunjuk) yang tidak ditindak tegas menimbulkan rasa ketidakadilan bagi PKL yang berada di lokasi resma/berizin. Tidak adil karena di lokasi liar lebih resma pelanggan sepi, dilokasi liar ramai sebab biasanya lokasi liar lebih strategis dan dekat serta mudah dijangkau oleh konsumen, pelanggan. Ketidakadilan tersebut menimbulkan kekacauan yang mengarah kepada tindakan brutal seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, perkelahian antara PKL “resmi” dan “liar”. Jadi peraturan yang berkeadilan dapat menciptakan ketertiban. Berkeadilan serta sikap tegas aparat pemerintah Kota Surakarta sangat berpengaruh pada keberhasilan implementasi Perda agar tercipta ketertiban (umum). Pada
kenyataanya,
pelaksanaan
relokasi
PKL
yang
dilaksanakan Pemerintah Kota Surakarta tidak seperti yang dialami oleh kota-kota lain. Kota Surakarta memberi perhatian yang serius terhadap keberadaan PKL ini. Meskipun menghadapi berbagai kendala, upaya penataan dan pembinaan PKL terus dilakukan. Perhatian Pemkot terhadap PKL ini semakin meningkat dalam era
121
kepemimpinan Jokowi (Joko Widodo, Walikota Surakarta). Dimulai dengan sosialisai di tahun 2005 yang dilanjutkan dengan realisasi penataan PKL pada tahun 2006, membuktikan kerja keras semua pihak. Relokasi PKL ’Klitikan” dari Lapangan Banjarsari ke bangunan Pasar Klitikan Notoharjo yang megah dan permanen dilengkapi upacara ”boyongan” dengan prosesi kirab budaya, menunjukkan pendekatan yang humanis dalam penataan PKL. Pembangunan sheltershelter permanen di Kompleks Gelora Manahan dan Kleco, tendanisasi dan grobagisasi PKL dengan pendekatan pemberdayaan melalui fasilitasi bangunan/tempat berdagang. Berdasarkan uraian di atas dikatakan bahwa ketertiban yang diinginkan oleh Perda No 08 Tahun 1995 melalui tindakan menunjuk dan
menentukan
tempat/lokasi
berjualan
bagi
PKL
berjalan
sebagaimana seharusnya/ tercapai
b. Keamanan Aman mempunyai arti bebas dari bahaya, terlindung (Daryanto 1998 : 33). Keamanan artinya keadaan aman atau ketentraman yakni statu keadaan dimana seseorang merasa bebas dari bahaya, merasa terlindungi dan tenteram (keadaan damai, tidak terdapat kekacauan). Sarjipto Rahardjo menegaskan bahwa hukum hendaknya bisa memberi kebahagiaan, kedamaian bukan sebaliknya membuat ketidaknyamanan bahkan ketidaktentraman hidup.
122
Walaupun ada keraguan bahwa keberadaan PKL menimbulkan kerawanan keamanan sebagaimana dikatakan oleh Sumarwan dari Disperindata
dalam
wawancara
pada
19
April
2006,
pada
kenyataannya tahun 2005, kerusuhan yang dilakukan PKL pada saat relokasi tidak terjadi. Pandangan dan pendapat serta pemikiran PKL tentang keamanan adalah keadaan dimana tidak ada penggusuran, obrakan, “penertiban” oleh petugas. Keamanan dalam pandangan Satpol PP adalah keadaan dimana PKL patuh untuk tidak membuat keributan dan pada kenyataannya PKL tidak berjualan di tempat/lokasi yang dilarang (wawancara dengan Denny pada 18 Maret 2010). Hubungan dekat dan simpati antara Pemerintah Kota dengan PKL membuat ketegangan proses pemindahan dapat melunak. Pelanpelan Namur pasti Pemerintah Kota Surakarta yang di Pimpin Oleh Joao Widodo (Walikota) terjun langsung mendekati PKL untuk berbicara dari hati kehati dan melakukan musyawarah untuk melaksanakan relokasi. Selain itu keamanan dapat diwujudkan karena Pemerintah Kota sendiri memberikan waktu yang cukup lepada para PKL untuk berbenah (Wawancara dengan Manto PKL) Pada bulan November 2008 pemerintah kota Solo mempunyai kebijakan untuk melakukan relokasi PKL yang berada di Jebres untuk menciptakan kebersihan dan tata kota yang baik. Akan tetapi kebijakan ini tentu memakan korban PKL yang sudah bertahun-tahun mencari
123
nafkah di tempat tersebut. Kebijakan pemerintah kota ini tidak hanya sekedar menggusur akan tetapi menyediakan tempat yang lebih teratur dan rapi dengan biaya dari APBD. Pada dasarnya anggota PKL ini tidak menolak akan tetapi perlu mengambil beberapa sikap untuk melakukan pengawalan pendataannya, sehingga para anggota PKL tidak ada yang tercecer. Untuk melakukan proses pengawalan ini PKL meminta kepada SOMPIS melakukan advokasi rencana relokasi yang dilakukan oleh Pihak pemkot. Kegiatan advokasi dilakukan kepada kelompok pedagang kaki lima (PPSK) yang diketuai oleh mbah sukir. Agenda advokasi yang dilakukan adalah : 1) Melakukan pendataan ulang etrhadap kios yang akan direlokasi dan rencana huniannya mbah sulir di sekitar bantaran sungai Bengawan Solo tepatnya di Kampung Sawah Karang, kelurahan Jebres. 2) Pendataan ulang dengan melibatkan dinas PKL agar tidak menimbullkan konflik di tingkat basis. Begitu juga dengan pihak kelurahan juga telah melakukan pendataan karena pada tahun 2009 relokasi ini akan segera dilakukan menunggu kios yang disediakan jadi. Proses advokasi ini sampai di bulan Desember masih belum selesai. Masih ada anggota PKL yang belum terdata dan mempunyai kekhawatiran tercecer. Dengan berbagai perbincangan yang terus dilakukan antara PPSK dan SOMPIS serta pemerintah kota akhirnya
124
dihasilkan kesepakatan-kesepakatan bahwa yang belum terdata akan mendapatkan kios pada tahun 2009. Pada bulan Januari persoalan ini belum kelar, dan pihak pemkot meminta kepada KOMPIP dan SOMPIS untuk memfasilitasi pertemuan dengan para PKL (PPSK) agar terjadi proses penyelesaian secara dialogis dan cara yang baik. Akhirnya pada hari senin, 12 Januari 2009 dilakukan pertemuan antara KOMPIP, SOMPIS dan PPSK bertempat di rumah makan Boga Bogi dengan dihadiri oleh Pemkot, Satpol PP dan tokoh masyarakat Jebres. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan sebagai 1) Adanya kesepahaman bersama bahwa PKL sejumlah 176 sampai 200 PKL yang belum terakomodir akan melalui APBD Kota Solo sebesar 2,4 m. 2) Sikap KOMPIP terhadap Relokasi ke Pasar; menolak konsep penataan PKL dengan model Pasar dan ”Pasarisasi” adalah Cara Halus dari Penggusuran, karena : a. Ahistoris Pada perjalanan sejarahnya pasar secara struktural, berada kesatuan ekologi cultural sebagai bagian dari bangunan njobo keraton (luar kraton), antara lain pasar, tugu pemendengan ndalem, gapura gladhag, gapura pamurakan, alun-alun, masjid agung, pagelaran dan siti (hi)nggil dan fungsi pasar selain sebagai tempat jual beli juga melambangkan sakral magis karena melahirkan konsep dasar pasar candi. Oleh karena itu pasar tradisional di kota Solo mengandung memori kolektif yang melekat di hati rakyatnya dan
125
begitu juga dengan pasar-pasar tradisional yang lain. Sehingga konsep penataan PKL dengan membangun Pasar Tradisional menyalahi konsep historinya Pasar Tradisional di kota Solo. b. Merubah Identitas Secara umum pasar merupakan tempat pertemuan antara penjual dan pembeli. Pedagang informal dalam hal ini PKL (Pedagang Kaki Lima) identik dengan jemput bola atau menjemput keramaian, kegiatan belanjanya bisa barter, dengan modal kecil, sedang Pasar tradisional atau pasar formal identik dengan modal besar, menetap dan dengan modal besar. Sehingga penataan PKL dengan Pasarisasi akan merubah identitas Pedagang informal menjadi formal akan menyebabkan ”gagap” identitas, yang akibatnya apabila tidak bi sa menyesuaikan ”tradisi” akan tergusur dengan sendirinya, dan cita-cita kesejahteraan tidak akan terwujud. Hal ini bisa kita lihat di Pasar Notoharjo, ketika di bulan pertama banyak yang harus gulung tikar, karena tidak bisa memenuhi target penjualan, kendaraan harus ditarik leasing dan lain sebagainya. c. Pengkondisian Yang Cukup Lama Proses Transisi menuju kondisi Jual Beli di Pasar Tradisional baru membutuhkan waktu yang cukup lama, karena dibutuhkan konsep yang matang tidak parsial dalam proses penkondisian seperti komunikasi dengan PKL, tata letak, design pasar, promosi, rekayasa transportasi, permodalan.
126
d. Tingkat Konflik Tinggi Penataan PKL dengan Pasarisasi akan menyebabkan Konflik kepentingan dan gesekan di internal PKL sangat tinggi, dan yang paling rentan adalan pada pendataan dan pembagian jatah kios. e. Resiko Gagal Lebih Tinggi Melihat konsep paparan diatas konsep ini akan rawan gagal, dan jauh dari cita-cita kesejahteraan kelompok miskin. Berdasarkan paparan diatas, karenanya selama sikap, perilaku pembuat peraturan (Pemkot Surakarta) dan petugas Satpol PP sebagai pelaksana masih sudah sedemikian rupa berusaha mendekati PKL dan melakukan musyawarah untuk mencari solusi terbaik, maka keamanan pemindahan PKL dapat tercipta. Hal tersebut di atas sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mitchell F. Rice sebagai berikut: ”Incorporating cultural competency into the study of public administration/public service delivery and moving a public agency toward cultural competence is an ongoing effort that requires the recognition of several activities. First, the study of public administration should acknowledge that cultural differences are important in the delivery of public services and programs. Second, continuous internal leadership and support are required by all members of the agency. Third, culturally competent public administration and public service delivery requires the following attributes: cultural appropriateness, cultural accessibility, and cultural acceptability”.53 (Memasukkan kompetensi budaya ke dalam studi administrasi publik/umum layanan pengiriman dan bergerak suatu instansi publik terhadap kompetensi budaya adalah berkelanjutan upaya yang mengharuskan pengakuan beberapa kegiatan. Pertama, studi tentang 53
Rice, Mitchell F, 2007, “A post-modern Cultural Competency Framework for Public Adminitration and Public Service Delivery”, International Journal of Public Sector Management Vol. 20 No. 7, USA : Texas A&M University. Hal. 630
127
masyarakat administrasi harus mengakui bahwa perbedaan budaya yang penting dalam pelayanan publik dan program. Kedua, kepemimpinan internal, berkesinambungan dan dukungan yang diperlukan oleh semua anggota badan tersebut. Ketiga, budaya kompeten publik administrasi dan pelayanan publik memerlukan atribut-atribut berikut: kesesuaian budaya, budaya aksesibilitas, dan budaya penerimaan.
c. Keindahan Keindahan adalah suatu keadaan yang indah, elok dan menyenangkan jika dipandang mata, demikian menurut Kamus Bahasa Indonesia. Keindahan suatu kota, dalam hal ini kota Surakarta, tampak pada penataan tata ruang Kota Surakarta yang memperhatikan beberapa hal antara lain: keberadaan ruang terbuka atau taman kota, jalan-jalan yang bersih dan teratur, pedagang yang berjualan pada tempat yang telah disediakan dengan penampilan yang menarik dan tidak kumuh, taman yang terpelihara, lingkungan yang tidak tercemar dan sebagainya. Untuk itu perlu pengelolaan lingkungan kota dengan memperhatikan daerah atau sumber yang berpotensi menimbulkan permasalahan ketertiban, kesemrawutan, juga pencemaran karena daripadanya dihasilkan sampah. Hartoyo dan beberapa PKL yang berjualan mentol bakso ini menyatakan pendapatnya tentang keindahan sebagai sesuatu yang nomor kesekian dan mengatakan,”untuk apa kota tampak indah jika rakyatnya sengsara, tenderita, tidak berpenghasilan?”. Menjaga kebersihan
sebagai
konsekuensi
terwujudnya
keindahan
sulit
diterapkan oleh karena PKL menganggap dengan membayar retribusi
128
kebersihan/sampah maka kewajiban membersihkan sampah kegiatan mereka gugur dan menjadi beban kewajiban Pemerintah Kota melalui DKP (Dinas Kebersihan dan Pertamanan) Kota Surakarta Penyeragaman, penampilan yang indah dan menarik untuk sarana PKL berjualan misalnya, gerobak, tenda dan sebagainya disetujui oleh PKL dengan syarat ada bantuan berupa dana. Sebab sebagian besar PKL adalah pengusaha golongan ekonomi lemah modal kecil dengan barang dagangan yang tidak beragam. Demikian juga jika PKL ditempatkan pada suatu lokasi tertentu yang tidak merusak keindahan taman kota atau fasilitas umum lainnya, PKL mensyaratkan bahwa tempat tersebut haruslah ramai, didatangi banyak pelanggan. Sikap, perilaku, cara pandang warga masyarakat, PKL tentang keindahan mempengaruhi implementasi Perda PKL dalam rangka mewujudkan keindahan Kota Surakarta. Budaya hukum suatu masyarakat akan tampak pada penghayatan terhadap hukum yang berlaku, dalam hal ini tentang Perda No 08 Tahun 1995, penghayatan PKL tentang nilai keindahan mempunyai akibat langsung dan tidak langsung terhadap kepatuhan Perda. Oleh karena penghayatan terhadap arti keindahan adalah sebagai nomor kesekian, maka kepatuhan dan rasa ikut mewujudkan serta memiliki kota yang indah adalah tindakan nanti-nanti saja, tindakan nomor kesekian. Budaya hukum dibedakan antara budaya hukum prosedural dan hukum substantif. Secara prosedural PKL mempunyai kewajiban
129
membayar retribuís kebersihan, hasil retribuís tersebut dipergunakan untuk “menjaga” kebersihan kota yang dilaksanakan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Jadi menjaga kebersihan dan keindahan kota
adalah
kewajiban
DKP
karena
PKL
telah
memenuhi
kewajibannya membayar retribusi. Di pihak lain secara substansif, adalah adil jika yang melaksanakan pekerjaan membersihkan, menjaga kebersihan keindahan kota dan taman-taman kota adalah DKP bukan PKL. Apabila demikian dapat dikatakan bahwa implementasi Perda No 08 Tahun 1995 akan terlaksana dengan baik. Beberapa PKL memiliki kepekaan terhadap unsur keindahan tampak pada penampilan gerobak dan rombong atau tempat berjualan yang dilata dengan Apik dan kreatif sehingga menimbulkan kesan menarik. Namun sebagian besar berpenampilan seadanya bahkan cenderung kotor. Keberadaan PKL yang teratur, tertib, tertata Apik dalam suasana aman tentu menarik wisatawan, pengunjung yang berakibat pada meningkatnya PAD Pemkot Surakarta. Dari deskripsi di atas maka tingkat ketercapaian akan ketertiban, keamanan dan keindahan dalam implementasi Perda No 08 Tahun 1995 tentang Pengaturan Tempat Usaha dan Pembinaan PKL telah dapat dilaksanakan secara efektif. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Teori konflik dahrendorf bahwa mata rantai antara konflik dan perubahan sosial yang mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai. Menurut Marx “kepentingan” selalu dipandang dari segi
130
materialnya saja tetapi sebenarnya menurut dahrendorf “kepentingan” selalu memiliki suatu harapan-harapan. Dalam memegang peran penguasa seseorang tersebut akan bertindak demi keuntungan organisasi sebagai suatu keseluruhan dan dalam kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan. Dahrendorf melihat masyarakat berisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerjasama, sehingga segala sesuatunya dapat dianalisa dengan fungsionalisme struktual dan dapat pula dengan konflik
131
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Pemerintah Kota Surakarta berhasil menata Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta sehingga berjalan tanpa konflik fisik dengan cara : 1. Pemerintah Kota Surakarta membuat Regulasi atau Peraturan Peraturan yang Jelas dan tegas serta konperhensif.Regulasi tersebut tidak hanya mengatur keberadaan PKL secara fisik, tetapi juga memberi tugas dan tanggungjawab kepada Pemerintah Kota Surakarta untuk melakukan pemberdayaan kepada PKL agar bisa bertahan hidup dan eksis melakukan usahanya ditempat tempat yang telah disediakan oleh Pemerintah Kota. 2. Regulasi atau Peraturan Peraturan tersebut diimplementasikan melalui kebijakan dan Program Relokasi yaitu memasukan PKL ke Pasar Pasar Tradisional, baik itu Pasar yang sudah ada atau Pasar Pasar yang memang dibangun untuk menampung PKL, menempatkan PKL di Kantung Kantung PKL dengan cara membuat shelter shelter PKL. 3. Melakukan proses sosialisasi terhadap program Relokasi secara kontinyu dengan melibatkan para PKL, Tokoh Masyarakat,LSM, sampai didapatkan titik temu bahwa Program Relokasi adalah menguntungkan semua pihak, yaitu PKL sendiri, masyarakat, dan Pemerintah Kota. 4. Malakukan penegakan hukum terhadap PKL yang melanggar Peraturan Daerah Tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL.
132
B. Implikasi Penataan Pedagang Kaki Lima dapat dilakukan tanpa adanya konflik yang berarti apabila pemerintah daerah dapat memberikan solusi yang baik bagi keberadaan para pedagang kaki lima tanpa harus menggusur keberadaan mereka. Pada saat akan dilakukan penataan, pemerintah daerah dapat melakukan dialog dengan para pedagang kaki lima sehingga konflik yang mungkin terjadi dapat diminimalkan atau bahkan dihindari apabila ada komunikasi yang baik. Penataan pedagang kaki lima memaang diperlukan untuk menciptakan kawasan yang tertib dan indah di Kota Surakarta namun penataan itu sendiri juga harus tetap memberikan ruang bagi pedagang kaki lima karena bagaimanapun, keberadaan pedagang kaki lima jika dikelola dengan dengan akan memberikan kontribusi bagi peningkana pendapatan asli daerah.
C. Saran 1. Pemerintah Kota Surakarta yang telah merelokasi PKL ke dalam Pasar Pasar Tradisional terutama pasar yang baru, harus selalu memberdayakan PKL dengan cara antara lain: memberi fasiltas Modal Usaha dengan pinjaman lunak (bunga rendah atau tampa bunga), mendorong PKL untuk berkoperasi, membuka akses seluas luasnya dan semudah mungkin kepada masyarakat untuk masuk ke Pasar Tradisional dimana PKL membuka Usahanya, melakukan kegiatan dan program produktif yang mempercepat keramaian Pasar Pasar Tradisional tersebut.
133
2. Menindak tegas PKL yang keluar dari Pasar Tradisional dan kembali ke tempat berjualan semula, atau PKL PKL baru yang berjualan dengan cara melangar Peraturan Daerah yang mengatur tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL.