BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia pada dasarnya merupakan mahkluk yang berbudaya karena padanya budaya tercipta dan dikembangkan. Dalam hal ini, budaya atau kebudayaan merupakan suatu yang dilahirkan sebagai hasil pemikiran manusia yang diwariskan dan dipertahankan dari generasi ke generasi lainnya karena memiliki kebaikan tertentu. Dalam perkembangannya, kebudayaan diterima oleh para penganutnya tidak hanya sebagai tradisi tetapi juga sebagai identitas yang membedakannya dengan kelompok budaya lainnya. Secara singkat budaya dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka meningkatkan kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia melalui proses belajar. Dengan demikian kebudayaan merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu dalam setiap pola, tindakan dan perilaku masyarakat yang diterima dari generasi ke generasi, yang muncul sebagai akibat adanya reinkarnasi dari kebiasaan nenek moyang sebagai suatu yang kompleks. Wujud utama dari kebudayaan ini bersifat abstrak, tak dapat diraba atau difoto, serta merupakan wujud ideal dari kebudayaan, terdapat dalam alam pikiran masyarakat yang bersangkutan hidup dan lazim kita kenal sebagai adat atau adat istiadat. Wujud kedua, adalah sistem sosial atau social sistem yang berkaitan dengan tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud kebudayaan yang ketiga, adalah kebudayaan fisik yang merupakan totalitas hasil fisik dari aktifitas, perbuatan dan karya manusia yang bersifat kongkrit. Karena dapat diraba dan dilihat. Salah satu contohnya adalah rumah adat dengan keseluruhan interior kampungnya.
1
Salah satu indetitas fisik dari setiap kelompok budaya adalah rumah adat yang merupakan tempat berkumpulnya anggota kelompok budaya tertentu dalam menjalankan berbagai aktivitas kebudayaan. Masing-masing kelompok budaya memiliki rumah adat yang dijadikan sebagai pusat penyelenggaraan budaya, begitu halnya dengan kelompok budaya masyarakat Ruteng Pu’u, Kelurahan Golo Dukal, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai. Pada kehidupan kebudayaan masyarakat ini, rumah adat (Mbaru Gendang) tidak saja menjadi pusat penyelenggaraan budaya tetapi lebih dari itu mencerminkan keseluruhan makna kehidupan yang dianut kelompok masyarakat ini. Dilihat dari pola konstruksi, rumah adat Manggarai pada dasarnya terbentuk dari dua pola tata ruang yakni pola sentri petal dan sentri fugal. Sentri petal merupakan tata letak ruangan dimana setiap pintu rumah adat di tempatkan pada satu garis lurus dalam artian pintu depan (para bolo) hingga pintu belakang (para musi) bangunan ditempatkan berjejer tanpa adanya sekat dari depan sampai belakang. Oleh orang Manggarai, simbolisasi ini sesungguhnya mengandung makna sosial seperti keterbukaan dalam pergaulan, kesetiakawanan dan kesolidaritasan sebagai anggota masyarakat untuk saling tolong menolong dalam hidup sehari-hari. Dalam prakteknya, makna sosial ini menyata melalui semangat kekeluargaan yang ada pada hubungan kekerabatan antara sub klan yang terdapat di Manggarai. Selain itu juga pada bagian dalam Mbaru Gendang terdapat ruang tengah atau ruang utama (lutur). Lutur merupakan ruangan utama dari Mbaru Gendang yang dibiarkan kosong tanpa sekat dan biasanya memiliki ukuran yang besar karena digunakan sebagai tempat menerima tamu, tempat rapat umum untuk warga kampung, juga sebagai tempat berkumpulnya warga adat untuk melaksanakan seluruh kegiatan yang berkaitan
2
dengan aktifitas adat. Ruang tengah ini mewakili makna kekeluargaan dan solidaritas di antara seluruh warga kampung. Pola kedua adalah Sentri Fugal yang merupakan pola pembagian ruangan yang berukuran kecil. Pada bagian dalam Mbaru Gendang terdapat beberapa kamar yang seluruhnya ditempatkan mengelilingi ruang utama atau lutur. Tiap-tiap kamar dibangun dalam ukuran yang sama besar dan banyaknya kamar disesuaikan dengan jumlah keseluruhan dari keluarga ranting atau panga yang ada. Kamar-kamar tersebut umumnya bersifat pribadi atau tertutup untuk umum artinya yang tinggal dan menempati kamar tersebut bukan sembarangan melainkan orang yang ditunjuk khusus oleh Tua Panga untuk menempati ruangan tersebut. Selain itu ruangan tersebut bisa juga digunakan sebagai ruang tidur serta ruang penyimpanan perabot makan atau dapur, tempat penyimpanan benda-benda pusaka juga alat-alat musik seperti gong, gendang dan lain-lain. Lazimnya yang berhak menempati ruanganruangan ini adalah keluarga sub klan atau ranting (panga) yang diwakili satu kepala keluarga. Tujuannya adalah selain untuk menjaga kamar di Mbaru Gendang juga untuk mempermudah koordinasi dan informasi kepada setiap anggota sub klan yang ada apabila akan diadakan kegiatan adat tertentu. Secara garis besar, penempatan rumah adat Manggarai mencerminkan pola pemukiman yang sangat strategis. Hal ini dapat dilihat dari posisi rumah adat Mbaru Gendang yang letaknya langsung berhadapan dengan pelataran atau halaman terbuka (natas), dimana di tengah-tengahnya terdapat sebuah bangunan megalitik yang bersifat sakral yang tersusun dalam bentuk lingkaran (compang). Selain itu juga pada bagian depan natas terdapat pintu gerbang yang disebut pa’ang. Natas ini sering digunakan oleh masyarakat Manggarai sebagai tempat untuk melaksanakan upacara penti, caci dan sebagainya, juga sering digunakan oleh anak-anak, kaum muda dan
3
orang dewasa sebagai arena bermain misalnya bermain gasing, rangkung alu dan sebagainya. Dalam tata kehidupan orang Manggarai pada umumnya dan secara khusus masyarakat Ruteng Pu’u, berkembang keyakinan bahwa kehidupan manusia diatur oleh berbagai makna, baik jasmaniah maupun rohaniah. Pandangan ini dipengaruhi oleh filosofi yang dianut masyarakat ini sejak dulu kala yakni keyakinan akan adanya hal-hal yang konkrit (das Sein) dan hal-hal yang ideal (das Sollen). Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kerja keras agar segala sesuatu yang dilakukan (das Sein) dapat sejalan dengan apa yang dicita-citakan (das Sollen). Filosofi ini ada dalam kehidupan masyarakat Ruteng Pu’u yang terwujud dalam berbagai simbol yang terdapat dalam Mbaru Gendang sepeti Periuk persembahan (lewing tana), tanduk kerbau (rangga kaba), sepotong kayu berbentuk gasing (mangka) dan atap ijuk yang berbentuk kerucut seperti yang terlihat pada konstruksi Mbaru Gendang bagian luar serta kinang, siri mese (siri bongkok dan siri lélés), ngaung, wasé lélé, wasé mesé, lémparaé, sekang kodé, ‘ruang’ koé, rangkung api dan sapo serta lutur yang merupakan konstruksi bagian dalam dari Mbaru Gendang. Simbol tersebut merupakan satukesatuan yang bulat dan utuh dan diberlakukan secara turun-temurun pada orang Manggarai. Wujud-wujud kebudayaan ini merupakan simbol-simbol yang mewakili satu makna hidup yang dianut oleh masyarakat Ruteng Pu’u, misalnya Tanduk Kerbau (rangga kaba) yang menjadi simbol kerja keras. Simbol-simbol dalam kebudayaan masyarakat Ruteng Pu’u ini kemudian dijadikan panutan atau peringatan bagi segenap masyarakat untuk mengamalkan makna tersebut dalam keseharian hidupnya. Pengetahuan, pemahaman dan pengamalan tentang makna yang ada dibalik simbol-simbol tersebut saat ini mulai mengalami kemunduran. Kemajuan teknologi dan
4
perkembangan pendidikan pelan-pelan mulai menggeser simbol-simbol yang diyakini menjadi penopang hidup masyarakat Ruteng Pu’u. Banyak masyarakat Ruteng Pu’u terutama kaum muda bahkan tidak mengetahui dan memahami tentang makna dari simbol-simbol tersebut. Selain itu, di beberapa daerah di wilayah Manggarai bahkan sudah mulai merenovasi bangunan rumah adat (Mbaru Gendang) seperti mengganti atap ijuk dengan atap dari seng atau batu dengan semen. Ini dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana kebakaran. Dengan pergantian tersebut maka pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut akan berubah atau bahkan hilang. Fenomena ini dapat dibendung jika ada pengetahuan, pemahaman dan pengamalan yang menyeluruh tentang simbolsimbol budaya masyarakat Ruteng Pu’u. Pemahaman dan pengamalan makna itu dapat terjadi jika ada pengetahuan tentang makna simbolik dari wujud-wujud budaya Manggarai seperti rumah adat Mbaru Gendang dengan segala atribut di dalamnya. Atas dasar pemikiran inilah peneliti bermaksud menggali dan mengetahui lebih dalam tentang tentang Mbaru Gendang dengan judul: “Makna Simbolik Konstruksi Rumah Adat Manggarai Studi Kasus Kampung Ruteng Pu’u, Kelurahan Golo Dukal, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai.” 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Apakah makna simbolik konstruksi rumah adat Mbaru Gendang di kampung Ruteng Pu’u, Kelurahan Golo Dukal, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai?”
5
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud penelitian ini ialah untuk mengetahui tentang makna simbolik pada konstruksi rumah adat Mbaru Gendang di kampung Ruteng Pu’u, Kelurahan Golo Dukal, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini ialah untuk memperoleh pengetahuan tentang makna simbolik konstruksi rumah adat di kampung Ruteng Pu’u, Kelurahan Golo Dukal, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai. 1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini dibedakan atas aspek praktis dan aspek teoritis. Kegunaan praktis berkaitan dengan pemahaman kebutuhan berbagai pihak yang memerlukannya.
Kegunaan
teoritis
berkaitan
dengan
pengembangan
ilmu
pengetahuan. 1.4.1 Kegunaan Praktis 1. Memberikan tambahan pengetahuan bagi peneliti dan mahasiswa/i FISIP tentang makna simbolik konstruksi rumah adat Manggarai di kampung Ruteng Pu’u Kelurahan Golo Dukal Kecamatan Langke Rembong Kabupaten Manggarai. 2. Bagi almamater, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam melengkapi kepustakaan ilmu komunikasi. 3. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat Manggarai pada umumnya dan masyarakat Ruteng Pu’u pada khususnya tentang makna simbolik konstruksi rumah adat (Mbaru Gendang).
6
1.4.2 Dari aspek teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi akademik demi pengembangan Komunikasi pada umumnya dan ilmu komunikasi pada khususnya dalam Komunikasi Antar Budaya. 1.5 Kerangka Pikir, Asumsi dan Hipotesis Penelitian 1.5.1 Kerangka Pikir Penelitian Kerangka memecahkan
pikir
masalah
adalah penelitian
penalaran ini.
yang
Kerangka
dikembangkan pikir
pada
dalam dasarnya
menggambarkan jalan pikiran dan landasan rasional dalam melaksanakan penelitian tentang makna simbolik pada konstruksi rumah adat Mbaru Gendang di kampung Ruteng Pu’u, Kelurahan Golo Dukal, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai. Mbaru Gendang merupakan pusat segala kegiatan adat masyarakat Ruteng Pu’u yang memiliki arti dan makna hidup yang berkembang dan tetap dilestarikan sampai saat ini. Keberadaan simbol-simbol budaya, diyakini sebagai sesuatu yang mutlak dan disepakati oleh masyarakat Manggarai pada umumnya dan masyarakat Ruteng Pu’u khususnya. Proses pemaknaan ini dihadirkan dalam kehidupan masyarakat Manggarai termasuk masyarakat Ruteng Pu’u melalui lambang atau simbol budaya. Salah satunya adalah melalui rumah adat Mbaru Gendang. Masyarakat Manggarai khususnya masyarakat Ruteng Pu’u memaknai konstruksi rumah adat dilihat dari tiga aspek makna yakni makna individual, makna sosial dan makna religius. Proses pemaknaan ini terjadi ketika masyarakat melihat konstruksi Mbaru Gendang dari sisi individual, sisi sosial dan sisi religius. Makna individual, makna sosial dan makna religius yang dimaknai oleh masyarakat Ruteng Pu’u didasarkan atas interpretasi masyarakat itu sendiri
7
terhadap simbol-simbol yang terdapat pada konstruksi rumah adat Mbaru Gendang. Makna Individual mencakup kerja keras, kebutuhan, pengetahuan dan pengalaman serta kedekatan emosional sedangkan Makna Sosial mencakup persatuan dan kesatuan, permusyawaratan/perwakilan dan kesejahteraan sosial dan Makna Religius mencakup keyakinan. Jadi yang ditekankan dalam penelitian ini adalah bagaimana masyarakat Ruteng Pu’u memaknai simbol atau makna yang terdapat pada konstruksi rumah adat Manggarai dilihat dari tiga aspek yaitu makna individual, makna sosial dan makna religius. Dengan demikian kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Makna Simbolik Mbaru Gendang Masyarakat Ruteng Pu’u
Makna Individual Kerja Keras Kebutuhan Pengetahuan dan Pengalaman Suasana Emosional
Makna Sosial Persatuan dan Kesatuan Permusyawaratan/pe rwakilan Kesejahteraan Sosial
Makna Religius
1.5.2 Asumsi Penelitian Asumsi penelitian ini merupakan preposisi-preposisi antasenden dalam penalaran yang tersirat pada kerangka pemikiran yang dijadikan sebagai pegangan peneliti untuk sampai pada tujuan penelitian. Adapun asumsi yang dipegang oleh peneliti sebelum melakukan penelitian ini adalah: wujud fisik kebudayaan sebuah masyarakat dapat menjadi simbol komunikasi yang mengandung arti dan makna kehidupan yang dianut para anggotanya.
8
1.5.3 Hipotesis Penelitian Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti membangun sebuah hipotesis yang menjadi acuan yang mengarahkan peneliti dalam melakukan penelitian. Oleh karena itu, hipotesis yang digunakan adalah hipotesis kerja, yakni: Mbaru Gendang merupakan filosofi hidup masyarakat Ruteng Pu’u karena mengandung tiga makna simbolik pada konstruksi bangunannya yakni makna individual, makna sosial dan makna religius.
9