BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam memberi peluang berkembangnya pemikiran umat Islam dalam menghadapi segala persoalan di era globalisasi. Berbagai jenis transaksi mulai muncul guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Banyak jenis transaksi baru yang menjanjikan keuntungan yang berlipat ganda dengan cara yang mudah dan simpel. Di samping itu, terdapat pula peraturan perudang-undangan yang mengatur tentang transaksi ekonomi era modern ini yang dikeluarkan oleh otoritas pemerintah sebagai upaya penertiban transaksi ekonomi yang ada dan berkembang di masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam. Oleh karena mayoritas masyarakat di Indonesia beragama Islam, maka transaksi ekonomi tersebut harus pula dikaji kejelasannya menurut hukum Islam.1 Akhir-akhir ini, kita sering mendengar kata waralaba/franchising, transaksi bisnis yang bertaraf franchisee kini mulai marak karena selain biaya murah dan bahan sudah disediakan juga tidak terlalu memakan tempat yang begitu luas. Banyak model-model franchising yang kini muncul disekitar kita, seperti waralaba di Supermarket Luwes.
1
http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2007/12/17/tinjauan-hukum-positif-danhukum-islam-konsep-bisnis-waralaba franchising
1
2
Franchise atau waralaba berasal dari bahasa Perancis, yang berarti bebas atau bebas dari perhambaan atau perbudakan (free from servitude). Bila di hubungkan dengan kontek usaha, franchise berarti kebebasan yang di peroleh seseorang untuk menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di wilayah tertentu. Sedangkan pewaralabaan adalah suatu aktifitas dengan sistem waralaba (franchisee), yaitu suatu sistem keterkaitan usaha yang saling menguntungkan antara pemberi waralaba (franchisor) dan waralaba (franchisee).2 Di Indonesia, konsep
franchise diterjemahkan dengan istilah
Waralaba. Kata "waralaba" pertama kali diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM) sebagai padanan kata franchise. Waralaba berasal dari kata "wara" yang berarti lebih atau istimewa dan "laba" berarti untung. Jadi, waralaba berarti usaha yang memberi keuntungan yang lebih atau istimewa dengan sistem bisnis konvensional yang sudah ada.3 Menurut pasal 1 PP No. 16 Tahun 1997 tentang tata cara pelaksanaan pendaftaran waralaba, pengertian waralaba (franchisee) adalah : “perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang
2 3
Lukman Hakim, Info Lengkap Waralaba (Jakarta: PT. Buku Kita, 2008), 14. Ibid., 16.
3
ditetapkan pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan/atau penjualan barang atau jasa”.4 Ayat (2) pasal yang sama menggariskan bahwa Pemberi Waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfatkan dan atau menggunaka hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki. Sedangkan ayat (3) pasal yang sama menetapkan bahwa penerima waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba. Pada dasarnya Franchisee adalah sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Franchisor dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada franchisee untuk melakukan usaha pendistribusian barang atau jasa di bawah nama identitas franchisor dalam wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara yang ditetapkan oleh franchisor. Franchisor memberikan bantuan (assistance) terhadap franchisee, sebagai imbalannya franchisee membayar sejumlah uang berupa initial fee dan royalty. Bila diperhatikan dari sudut bentuk perjanjian yang diadakan dalam waralaba (franchising) dapat dikemukan bahwa perjanjian itu sebenarnya merupakan pengembangan dari bentuk kerjasama (syarikat) hal ini disebabkan oleh karena dengan adanya perjanjian franchising itu, maka secara otomatis
4
Ibid., 18.
4
antara franchisor dengan franchisee terbentuk hubungan kerjasama untuk waktu tertentu (sesuai dengan perjanjian). kerjasama tersebut dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan bagi kedua belah pihak. Waralaba adalah suatu bentuk perjanjian, yang isinya memberikan hak dan kewenangan khusus kepada pihak penerima waralaba. Waralaba merupakan suatu perjanjian yang bertimbal balik karena pemberi waralaba, maupun penerima waralaba, kedua berkewajiban untuk memenuhi prestasi tertentu. Dalam waralaba diperlukan adanya prinsip keterbukaan dan kehatihatian. Hal ini sangat sesuai dengan rukun dan syarat akad menurut hukum Islam dan larangan transaksi gharar (ketidak jelasan). Perjanjian waralaba adalah perjanjian formal. Hal tersebut dikarenakan perjanjian waralaba memang disyarakatkan untuk dibuat secara tertulis. Hal ini diperlukan sebagai bentuk perlindungan bagi kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian waralaba. Dalam hukum Islam, waralaba serupa dengan model Syirkah mudharabah (bagi hasil), tapi sudah mengalami perkembangan seiring berkembangnya zaman dan terdapat gabungan dengan jenis Syirkah lainnya. Syirkah (persekutuan) dalam hukum Islam banyak sekali jenisnya dan terdapat perbedaan oleh para imam madzhab. Dan perlu diketahui bahwa dalam pola transaksi yang diatur oleh hukum Islam adalah menitikberatkan pada sisi moralitas yang lebih tinggi dari pada apapun. Dalam Islam perjanjian kerjasama dibagi menjadi dua. Syirkah amlak (milik), yaitu : persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memiliki suatu
5
benda. Dan Syirkah transaksional (Syirkah Uqud) Yakni akad kerjasama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan Menurut Taqyuddin An-Nabawi, yang disebut Syirkah atau perseroan adalah transaksi dua orang atau lebih yang dua-duanya sepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan. Transaksi perseroan tersebut mengharuskan adanya ijab dan qabul sekaligus, sebagaimana layaknya transaksi yang baru. Di dalam menyatakan ijab dan qabul tersebut harus ada makna yang menunjukkan, bahwa salah satu diantara mereka mengajak kepada yang lain, baik secara lisan atapun tulisan untuk mengadakan kerja sama dalam suatu masalah, adanya kesepakatan untuk melakukan perseroan saja, masih dinilai belum cukup; termasuk kesepakatan memberikan modal untuk perseroan saja, juga masih dinilai belum cukup, tetapi harus mengandung makna bekerja sama (melakukan perseroan) dalam suatu urusan.5 Dari uraian di atas disebutkan bahwa Syirkah diharuskan menyebutkan adanya ijab dan qabul, modal yang disetor, dan obyek atau pekerjaan yang dilaksanakan. Sedangkan syarat sah dan tidaknya transaksi perseroan tersebut amat tergantung kepada sesuatu yang ditransaksikan, atau transaksi perseroan ini haruslah sesuatu yang bisa diwakilkan, sehingga sesuatu yang bisa dikelola tersebut sama-sama mengikat mereka. Dengan demikian akad waralaba harus jelas sehingga tidak merugikan salah satu pihak. Seperti cara pembayaran, ganti rugi, wilayah pemasaran, dan 5
Taqyudin An-Nabawi. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam, terj. Moh. Maghfur Wahid (Surabaya : Risalah, 2002), 153.
6
pengawasan mutu, pengakhiran, pembatalan, dan perpanjangan perjanjian waralaba, serta hal-hal lain yang perlu diketahui penerima waralaba dalam rangka pelaksanaan perjanjian waralaba. Sedangkan untuk obyek perjanjian waralaba adalah hal yang dilarang dalam syariah islam (misalnya : bisnis penjualan makanan dan minuman yang haram). Perjanjian tersebut akan batal jika bertentangan dengan hukum Islam. Perjanjian waralaba adalah kontrak tertulis antara franchisor dan franchisee. Perjanjian waralaba menjelaskan setiap hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Perjanjian tersebut mencantumkan kewajiban dan tanggung jawab setiap pihak. Perjanjian tersebut memberikan detil yang penting tentang hubungan antara penerima waralaba dengan pemberi waralaba.6 Perjanjian tersebut akan menjadi kesepakatan bersama sebelum memulai kerjasama. Seperti dalam ketentuan Islam harus ada kesepakatan masing-masing pihak dalam perjanjian waralaba. Salah satu usaha waralaba saat ini adalah Supermarket Luwes Ponorogo. Supermarket Luwes merupakan Supermarket yang dimiliki dan dikelola oleh terwaralaba (Franchisee) yang diatur dengan perjanjian waralaba (Franchise) dengan Supermaket Luwes Pusat. Supermarket
ini memakai
merek dagang dan sistem "Supermarket Luwes". Supermarket Luwes merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan umum dan jasa eceran yang menyediakan kebutuhan pokok dan sehari-hari. Dari data awal yang diporoleh syarat menjadi terwaralaba adalah:
6
Ibid., 62.
7
1. Perorangan / Badan Usaha (Koperasi, CV, PT, dll). 2. Warga Negara Indonesia. 3. Sudah atau akan mempunyai lokasi tempat usaha dengan luas 80m² (di luar gudang dan tempat tinggal karyawan). 4. Memenuhi persyaratan perijinan. 5. Mempunyai area yang cukup. 6. Bersedia mengikuti sistem dan prosedur yang berlaku di Supermarket Luwes. Seseorang yang akan menjadi
jaringan Supermarket Luwes akan
mendapat izin atau licence franchisee dari pihak franchisor untuk menggunakan kekhasan usaha atau spesifikasi usaha franshisor tersebut. menggunkan merek dan fasilitas Supermarket Luwes. Jadi hipotesisinya adalah pihak waralaba membeli izin untuk merek usaha. Maka perlu suatu penelitian yang cermat untuk mengetahui proses perjanjian dalam usaha waralaba, dan bagaimana pandangan fiqh terhadap praktek waralaba. Dalam penelitian ini akan menjawab permasalahan diataranya: pertama, bagimana pandangan Islam tehadap akad kerjasama yang diterapkan dalam waralaba Supermarket Luwes, yaitu proses usaha pemberian izin waralaba terhadap merek Supermarket Luwes dan lain sebagainya, karena usaha waralaba ini bukan ditanggung secara bersama-sama tapi orang yang ingin masuk dan bekerja sama sudah ada ushanya tinggal membayar biaya waralaba. Kedua, proses pembagian hak dan kewajiaban antara pemberi dan penerima waralaba dalam analisa fiqh muamalah. Supermarket Luwes
8
Ponorogo merupakan salah satu usaha waralaba. Karena dalam waralaba orang yang bergabung dalam Supermarket Luwes akan dikenakan berbagai ketentuan-ketentuan dan perhitungan royalty fee dihitung secara progresif7, tergantung tingkat omzet penjualan yang didapat. Penulis tertarik untuk meneliti perjanjian waralaba yang ada di Supermarket Luwes Ponorogo dengan melakukan sebuah penelitian dengan judul “ANALISA FIQH MUAMALAH TERHADAP PERJANJIAN WARALABA DI SUPERMARKET LUWES JALAN KH. AHMAD DAHLAN PONOROGO”.
B. Identifikasi Masalah Untuk
menghindari
kerancuan
dalam
penelitian,
penulis
mengidentifikasi masalah yang hendak dikaji dalam yaitu: 1. Akad waralaba. 2. Pembagian keuntungan antara franchisor (pemberi waralaba) oleh franchisee (penerima waralaba).
C. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana analisa fiqh muamalah terhadap akad waralaba di Supermarket Luwes Ponorogo?
7
Royalty fee akan di hitung secara meningkat sesuai dengan meningkatnya laba.
9
2. Bagaimana analisa fiqh muamalah terhadap pola pembagian keuntungan antara franchisor (pemberi waralaba) oleh franchisee (penerima waralaba) di Supermarket Luwes Ponorogo?
D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui analisa fiqh muamalah terhadap akad waralaba di Supermarket Luwes Ponorogo. 2. Untuk mengetahui analisa fiqh muamalah pola pembagian keuntungan antara franchisor (pemberi waralaba) oleh franchisee (penerima waralaba) di Supermarket Luwes Ponorogo.
E. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Kegunaan teoritis, untuk menambah kazhanah kailmuan tentang waralaba dan muamalah. 2. Kegunaan praktis: a. Menjadi bahan pertimbangan Supermarket Luwes Ponorogo dalam mengelola usahanya. b. Menjadi pertimbangan masyarakat dalam menentukan bidang usaha yang halal.
10
F. Telaah Pustaka Dalam skripsi Puput Pujowati Aningsih, yang berjudul "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bisnis Dengan Sistem Franchise" skripsi ini meneliti tentang tinjauan Islam terhadap ketentuan perjanjian franscise menurut keputusan Menteri Perdagangan RI No. 12/M.DAG/PER/3/2006. Adapun Buku INFO LENGKAP WARALABA karangan Lukman Hakim diterbitkan Media Pressindo Yogyakarta buku ini membahas Info lengkap tentang waralaba di dalamnya membahas mengenal waralaba berbagai definisi, kilas balik perjalanan waralaba, waralaba dari aspek hukum, mengatisipasi konflik franchisor-franchisee, dll. Sedangkan Buku Cara Waralaba Yang Menjanjikan Profit punulis Peni R. Pramono membahas tentang mengapa berbisnis dengan membeli waralaba, macam-macam waralaba yang ditawarkan. Dan artikel yang membahas tentang waralaba, diantaranya dalam website http: //pmiikomfaksyahum.wordpress.com tinjauan hukum positif dan hukum Islam konsep bisnis waralaba franchising. Suatu waralaba adalah bentuk perjanjian kerja sama (Syirkah) yang sisinya memberikan hak dan wewenang khusus kepada pihak penerima. Waralaba merupakan suatu perjanjian timbal balik, karena pemberi waralaba (franchisor) maupun penerima waralaba (franchisee) keduanya berkewajiban untuk memenuhi prestasi tertentu. Kedudukan skripsi ini membahas yang lebih spesifik tentang analisa fiqh muamalah terhadap akad/perjanjian waralaba di Supermarket Luwes
11
Ponorogo serta membahas pola pembagian keuntungan antara franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee (penerima waralaba).
G. Metode Penelitian 1. Jenis Dan Pendekatan Penelitian Jenis
penelitian
ini
adalah
penelitian
lapangan
dengan
menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu memahami makna fenomenafenomena yang terjadi di dalam masyarakat maupun institusi, baik memahami apa adanya maupun mamahami dengan membandingkannya dengan norma-norma agama. Menurut Sugiono penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang almiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian lebih menekankan pada generalisasi.8 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini berada di Supermarket Luwes Ponorogo jalan KH. Ahmad Dahlan No. 100 Ponorogo. 3. Subyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah orang, yaitu pengelola usaha Supermarket Luwes jalan KH. Ahmad Dahlan No. 100 Ponorogo.
8
Sugiono, Memehami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2005), 1.
12
4. Sumber Data Untuk mendapatkan data tentang akad kerjasama dan proses pembagian keuntungan antara franchisor (pemberi waralaba) oleh franchisee (penerima waralaba) sumber datanya adalah pengelola Supermarket Luwes Ponorogo. 5. Teknik Penggalian Data Teknik penggalian data dalam penelitian ini adalah: a. Wawancara, adalah bentuk komunikasi antara dua orang, malibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan
berdasarkan
tujuan
tertentu.9 b. Observasi, pengamatan langsung terhadap obyek penelitian, peristiwa, keadaan atau hal-hal lain yang menjadi sumber data, observasi ini digunakan untuk memperoleh data tentang usaha dan sistem yang ada di Supermarket Luwes. c. Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya momumental dari seseorang.10 6. Teknik Pengolahan Data a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna, kesesuaian satu dengan lainnya. 9
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif; paradigma baru ilmu komunikasi dan ilmu sosial lainnya (Bandung: Alfabeta, 2005), 82. 10 Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2005), 82.
13
b. Organizing, yaitu menyusun secara sistematis data yang diperlukan dalam rangka paparan yang sudah direncanakan sebelumnya. c. Penemuan hasil riset, yaitu pelaksanaan analisa lanjutan dengan menggunakan teori dan dalil-dalil tertentu senhigga diperoleh kesimpulan sebagai jawaban. 7. Teknik Analisa Data11 a. Berfikir deduktif, yaitu proses berfikir yang berangkat dari suatu teori atau kebenaran dan membuktikan kebenaran teori-teori tersebut pada suatu peristiwa atau kenyataan yang terjadi dilapangan. b. Berfikir induktif, yaitu proses berfikir yang berangkat daridata empirik, fakta-fakta pengamatan menuju kepada teori. c. Refleksi, yaitu kombinasi atau perpaduan antara berfikir deduktif dan induktif
H. Sistematika Pembahasan BAB I
: PENDAHULUAN Pada bab ini akan memaparkan latar belakang masalah penelitian, indentifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, teknik penggalian data, teknik pengolahan data, dan teknik analisa data.
11
Pedoman Penulisan Skripsi (Ponorogo : Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo,2005), 22.
14
BAB II : SYIRKAH DAN WARALABA Pada bab ini akan memaparkan tentang: a. Teori syirkah; pengertian syirkah, landasan hukum syirkah, syarat-syarat melakukan syirkah, macam-macam syirkah, hukum dan macam-macam syirkah, mengakhiri syirkah, model terjadinya akad syirkah, sistem pembagian hak dan kewajiban dalam syirkah, hikmah syirkah. b. Teori waralaba. Termasuk di dalamnya pengertian waralaba, jenis-jenis usaha waralaba. BAB III : PERUSAHAAN WARALABA SUPERMARKET LUWES Dalam bab ini akan memaparkan data-data yang berkaitan dengan perusahaan Supermarket Luwes, di antaranya: a. Profil perusahaan Supermarket Luwes, b. Pembentukan akad waralaba. c. Proses pembagian keuntungan antara franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee (penerima waralaba) BAB IV : ANALISA FIQH TERHADAP PERJANJIAN WARALABA DI SUPERMARKET
LUWES
JALAN
AHMAD
DAHLAN
PONOROGO Bab ini akan memaparkan: a. Analisa fiqh muamalah terhadap akad waralaba di Supermarket Luwes. b. Analisa fiqh muamalah terhadap proses pembagian keuntungan antara
franchisor
(pemberi
waralaba)
(penerima waralaba) di Supermarket Luwes.
oleh
franchisee
15
BAB V : PENUTUP Pada bab ini akan memaparkan kasimpulan dari hasil analisa fiqh muamalah terhadap akad waralaba di Supermarket Luwes dan proses
pembagian
keuntungan
antara
franchisor
(pemberi
waralaba) oleh franchisee (penerima waralaba) di Supermarket Luwes. Bab ini juga berisi saran.
16
BAB II SYIRKÂH DAN WARALABA
A. Syirkah 1. Pengertian Syirkah Syirkah, menurut bahasa adalah ikhthilath yang artinya campur atau percampuran. Maksud percampuran di sini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan.12 Menurut Taqyuddin syirkah yang juga menyebutnya sebagai perseroan adalah transaksi dua orang atau lebih, yang dua-duanya sepakat untuk melakukan kerja yang bersifat financial dengan tujuan mencari keuntungan. Transaksi tersebut mengharuskan adanya ijab dan qabul sekaligus, sebagaimana transaksi yang lain.13 Secara
terminologi
ada
beberapa
definisi
syirkah
yang
dikemukakan oleh para ulama fiqh, yaitu: a. Dikemukakan oleh Ulamah Malikiyah, menurut mereka syirkah adalah suatu perizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerja sama terhadap harta mereka.
12
Hendi Suhendi, Fiqih Muamlah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 125. Taqyudin An-Nabawi. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam, terj. Moh. Maghfur Wahid (Surabaya : Risalah, 2002), 153. 13
17
b. Definisi yang dikemukakan oleh ulama Syafi'iyah dan Hanabillah menurut mereka syirkah adalah hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati. c. Dikemukakan oleh ulama Hanafiyah, menurut mereka syirkah adalah akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerja sama dalam modal dan keuntungannya.14 "Pada dasarnya definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh di atas hanya berbeda secara redaksional, sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya adalah sama, yaitu ikatan kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam perdagangan, dengan adanya akad syirkah yang disepakati oleh kedua belah pihak yang mengikatkan diri berhak bertindak hukum terhadap harta syirkah itu dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan persetujuan yang disepakatinya."15 2. Dasar Hukum Syirkah a. Al-Qur'an Akad syirkah dibolehkan, menurut ulama fiqh berdasarkan firman Allah SWT:
g ِ fُYd ] اeLِ ُءUآَـZَ ـb ُ ْa`ُ Lَ _ َ ]ِ ِ[\ْ ذZَ ـYَ ْا َأ ْآVTُUنْ آَـNِLَ Artinya:…..tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu…(QS. An-Nisa: 12)16 Ayat ini berbicara tentang perserikatan harta dalam pembagian warisan, dalam ayat lain Allah SWT berfirman:
\ َ iْ jِ kl] اUkl] ِإo ٍ kْpqَ eَfr َ ْa`ُ s َ pْ qَ ْtuِ vْ wَ ]َ ِءUَـxfَy ُ ]ْ \ ا َ ًا [ِـZْـwYِ ن َآ l َوِإ ت ِ Uَ]ِUـl]ْا اVfُ|ِ r َ ْا َوV}ُ [َ أ Artinya: sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat dzalim kepada sebagian lain, 14
Nasrun Haroen, Figh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000),165. Abid.,166. 16 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya (Semarang: Karya Toha Putra,tt ), 63. 15
18
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh. (QS. Shad: 24).17 b. Al-Sunnah Di samping ayat di atas dijumpai pada sabda Nabi SAW yang membolehkan akad syirkah, yaitu dalam hadist qudsi:
\ ِ wْ َ iْ Zِ l ] اg ُ ]ِUَ UَT َأ.ل ُ ْVُ iَ َ نا l ِإ: ل َ Uَ ُ َـpLَ َة َرZَ iْ Zَ ُهeِq\ْ َأr َ Ukk|َ `ِ }ِ wْ qَ ْ\ـkk[ِ ُ k ْ Zَ َ ُ Tَ Uـkk َ ذَاNِk Lَ ُ ـkkvَ ِ Uَ[ Uَ| ُ ُهk َ َ\ْ أk y ُ iَ ْ aَ ]Ukk[َ (ةZiZ هeq\ أr aآU] دود واVq)روا أ Artinya: "Dari Abu Hurairah RA. Dinyatakan marfu' bersabda: sesungguhnya Allah berfirman: Aku (Allah) merupakan orang ketiga di antara dua orang yang berserikat selama keduanya tidak melakukan penghianatan terhadap yang lain, jika seorang melakukan penghianatan terhadap yang lain, maka aku akan keluar dari perserikatan antara kedua orang itu." (HR. Abu Daud dan al-Hakim dari Abu Hurairah).18 c. Ijma' Abu Qadamah dalam kitabnya (al-Mughni) sebagaimana dikutip oleh M.Syafi'i Antunio dalam salah satu bukunya yang berjudul Bank Syariah dari Teori Kepraktek telah berkata: "kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi masyarakat secara global walaupun terhadap beberapa perbedaan dalam elemen yang lain."19 3. Rukun Dan Syarat Syirkah Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu: a. Akad (ijab-qabul) disebut juga shighat b. Dua pihak yang berakad (‘âqidâni) syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta)
17
Ibid.,363. Abu Dawud, Sunnah Abu Daud , Terj.A.Syingity Djamaluddin (Semarang: CV. Asysyifa, juz IV,1993), 33. 19 M. Syafi'i Antonio, Bank Syariah dari Teori Kepraktek (Jakarta : Gema Insani, 2000), 91. 18
19
c. Obyek akad (mahal) disebut juga ma‘qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl).20 Syarat-syarat syirkah setidaknya ada dua yaitu: a. Syarat orang dan pihak yang mengadakan perjanjian syirkah, antara lain: 1. Berakal 2. Baligh 3. Harus kehendak sendiri, tanpa ada paksaan b. Syarat terhadap barang dan modal, antara lain: 1. Barang dan modal dapat dihargai 2. Barang dan modal yang disertakan oleh masing-masing pihak dijadikan satu, yaitu menjadi harta perseroan dan tidak dipersoalkan lagi dari mana asal-usul barang tersebut. 4. Hukum Dan Macam-Macan Syirkah Syirkah itu ada dua macam: a. Syirkah Hak Milik (Syirkah Amlak). Yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan salah satu barang dengan salah satu sebab kepemilikan, seperti jual beli, hibah atau warisan. Persekutuaan itu terjadi dengan sendirinya, syirkah amlak dibagi menjdi dua: 1. Syirkah amlak jabr, syirkah yang terjadi secara otomatis dan 20
http: www.syariah.org. M. Shiddiq Al-Jawi. 30 August, 2008.
20
paksa.
Otomatis
membentuknya.
ini Paksa
tidak
memerlukan
karena
tidak
ada
perjanjian
untuk
alternatif
untuk
menolaknya. Hal ini terjadi dalam proses waris mawaris, manakala dua saudara atau lebih menerima warisan dari orang tua mereka. 2. Syirkah amlak ikhtiar, syirkah yang terjadi secara otomatis tetapi bebas. Otomatis berarti tidak memerlukan perjanjian sebelumnya, dan bebas berarti adanya pilihan untuk menolak, misalkan mendapatkan hadiah atau wasiat.21 b. Syirkah Transaksional (Syirkah Uqud). Yakni akad kerjasama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan22. Syirkah uqud dibagi menjadi lima jenis, yaitu syirkah ’inan, syirkah abdan, syirkah mudlarabah, syirkah wujuh, syirkah mufawadlah, dan penjelasannya sebagai berikut: 1) Syirkah ‘Inan Yaitu kerjasama bisnis yang dilakukan dua orang atau lebih, di mana masing-masing menyertakan harta (modal) dan sekaligus
juga
menjadi
pengelolanya
(tenaga),
kemudian
keuntungannya dibagi di antara mereka berdasarkan kesepakatan. Jika mengalami kerugian, maka kerugiannya akan ditanggung bersama berdasarkan proporsional modalnya. 21
Muhammad, Tehnik Penghitungan Bagi Hasil Dan Profit Margin Pada Bank Syariah (Yogyakarta: UII Press, 2006), 29. 22 Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, terj. Abu Umar Basyar (t.t.: t.p.,t.t.), 148.
21
Dalam syirkah ‘inan, harta yang dijadikan modal haruslah riil, bukan hutang dan nilainya harus jelas. Jika berbentuk barang, maka harus dikonversi sesuai harga yang disepakati sehinggan memiliki nilai yang jelas yang bisa disatukan dengan harta dari pemodal lainnya. Dalam perseroan semacan ini yang menjadi investasi adalah uang, sebab, uang adalah nilai kekayaan dan nilai harga yang harus dibeli. Sedangkan modal tidak boleh dipergunakan untuk mengadakan perseroan ini, kecuali kalau sudah dihitung nilainya pada saat melakukan investasi pada saat terjadinya transaksi, dan nilai tersebut akan dijadikan sebagai investasi pada saat terjadinya transaksi. Syaratnya investasi tersebut harus jelas, sehingga langsung bisa dikelola. Sebab, perseroan dengan investasi yang tidak jelas, tidak diperbolehkan. Oleh karena itu tidak boleh mengadakan perseroan dengan kekayaan yang tidak ada atau hutang, sebab ketika secara tiba-tiba terjadi pembubaran harus dikembalikan kepada investasi awal. Di samping, karena hutang tidak mungkin langsung dikelola, padahal disitulah tujuan perseroan tersebut.23 Dalam perseroan ini tidak disyaratkan agar nilai kekayaan kedua belah pihak harus sama jumlahnya, dan tidak harus satu macam. Hanya saja, kekayaan kedua belah pihak harus dinilai 23
, Taqyudin An-Nabawi. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam, terj. Moh. Maghfur Wahid (t.t.: t.p.,t.t.), 156.
22
dengan nilai yang sama, sehingga keduanya bisa melebur menjadi satu. Sehingga boleh saja, terjadi perseroan antara dua pihak dengan menggunakan mata uang yang berbeda, namun keduanya harus dinilai dengan nilai (standar) yang sama, yang bisa menjadi pijakan katika kedua belah pihak melakukan pembubaran, disamping kedua belah pihak agar bisa melebur menjadi satu. Sebab disyaratkan investasi perseroan tersebut harus berupa kekayaan yang satu (melebur), sehingga bisa berlaku untuk semua pihak. Adapun syarat yang lain, kakayaan tersebut harus menjuadi hak milik masing-masing orang yang melakukan perseroan itu. Perseroan model 'inan dibangun dengan prinsip perwakilan (wakalah) dan kepercayaan (amanah). Sebab masing-masing pihak dengan memberikan kepercayaannya kepada perseronya, berarti telah memberikan kepercayaan kepada perseronya, serta dengan izinnya mengelola harta tersebut, maka masing-masing pihak telah mewakilkan kepada perseronya. 24 Kedua belah pihak yang melakukan perseroan tersebut tidak harus sama nilai kekayaannya, namun yang sama adalah keterlibatannya dalam mengelola kekayaan tersebut. Kekayaan masing-masing bisa berbeda dan boleh juga sama nilainya. Sedangkan pembagian labanya tergantung pada kesepakatan mereka.
24
Ibid., 157.
23
Syirkah semacam ini diperbolehkan berdasarkan ijma’ karena umat Islam sudah terbiasa melakukan transaksi semacam ini disetiap tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya25. Rukun syirkah ‘inan, pertama dua transaktor atau lebih yang sudah dewasa, mampu membuat pilihan-pilihan, dan mempunyai kompetensi. Kedua, obyek transaksi, yang meliputi modal, usaha, dan keuntungan. Ketiga, pelafalan akad perjanjian.26 2) Syirkah Abdan Syirkah abdan adalah syirkah antara dua orang atau lebih dengan badan mereka masing-masing pihak, tanpa harta dari mereka. Dengan kata lain mereka melakukan perseroan dalam pekerjaan yang mereka lakukan dengan tangan-tangan mereka, misalkan melakukan pekerjaan tertentu, baik pekerjaan pemikiran atau fisik.27 Syirkah abdan merupakan kerjasama bisnis antara dua orang atau lebih yang mengandalkan tenaga atau keahlian orangorang untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu yang mereka sepakati. Dalam syirkah ini semua akan berkerja sesuai keahlian masing-masing dan hasilnya (keuntungan) akan dibagi sesuai kesepakatan. Antar persero tidak harus ada kesamaan dalam masalah keahlian, dan tidak 25
harus semua persero yang terlibat dalam
Mushlih dan Shalah, Fiqh Ekonomi, 149. Ibid., 150. 27 Taqyudin, Membangun Sistem Ekonom, 158. 26
24
perseroan tersebut terdiri para pengrajin. Oleh karena itu apabila pengrajin dengan beragam keahliannya telah melakukan perseroan, maka perseroan tersebut hukumnya mubah.28 Pembagian laba dalam syirkah abdan ini sesuai dengan apa yang menjadi kesepakatan mereka. Bisa jadi sama, atau bisa jadi tidak. Sebab, pekerjaan tersebut layak memperoleh keuntungan, dan karena orang yang melakukan perseroan tersebut bisa berbedabeda dalam melakukan pekerjaan, maka keuntungan yang diperoleh diantara mereka juga bisa berbeda-beda. Masing-masing, berhak mendapatkan upah dari pihak yang mengontrak mereka, sekaligus mendapatkan harga barang yang mereka produksi dari pihak pembeli. 29 Kebolehan syirkah ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Atsram dengan sanad dari Ubaidah dari Bapaknya, Abdullah bin Mas’ud yang mengatakan: “Aku, Ammar bin Yasir, dan Sa’ad bin Abi Waqash melakukan syirkah terhadap apa yang kami dapatkan pada perang Badar, kemudian As’ad membawa dua orang tawanan perang, sedangkan aku dan Ammar tidak membawa apa-apa”. Tindakan mereka ini dibiarkan oleh Rasulullah SAW. Para ahli fiqh berbeda pendapat tentang disyariatkannya syirkah semacam ini, mayoritas ulama membolehkannya, yakni dari hanafiyah, malikiyah dan hambaliyah, sedangkan Imam Syafi’i
28 29
Ibid., 158. Ibid., 159.
25
melarangnya. Alasan yang diambil Imam Syafi’i adalah bahwa syirkah itu dilakukan tanpa modal harta sehingga tidak akan mencapai tujuan, yakni keuntungan. Semantara modal di sini tidak ada, maka syirkah ini tidak sah.30 Rukun-rukun syirkah abdan antara lain: Pertama, dua atau lebih transaktor yang mempunyai kemampuan beraktifitas. Kedua, obyek transaksi, yang meliputi usaha dan keuntungan. Ketiga, pelafalan akad perjanjian.31 3) Syirkah Mudhârabah Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/ rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai
pengelola
modal
(‘âmil/mudhârib)
dalam
usaha
perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong). Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan 30 31
Mushlih dan Shalah, Fiqih Ekonomi, 160. Ibid., 161.
26
konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah Hukum
syirkah
mudhârabah
adalah
jâ’iz
(boleh)
berdasarkan dalil As-Sunnah (taqrîr Nabi saw.) dan Ijma Sahabat dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/’âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan diantara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya. Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.32
4) Syirkah Wujuh Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua badan dengan modal dari pihak di luar kedua badan tersebut. Artinya, salah seorang memberikan modalnya kepada dua orang atau lebih, yang
32
Taqyudin, Membangun Sistem Ekonomi, 160-162.
27
bertindak sebagai mudlarib. Sehingga kadua pengelola tersebut menjadi persero yang sama-sama bisa mendapatkan keuntungan dari modal pihak kedua. Kedua pihak tersebut kemudian boleh membuat kesepakatan untuk membagi kauntungan, misalkan 3/3 masing-masing pengelola mendapatkan 1/3 dan pihak pemodal mendapatkan 1/3.33 Perseroan ini merupakan bentuk lain, yang berbeda dengan perseroan mudlarabah, meski hakikatnya perseroan tersebut tetap kembali kepada model mudlarabah, yaitu bergabungnya modal dengan badan. Model syirkah wujuh yang lain adalah apabila ada dua orang atau lebih melakukan perseroan dengan harta yang samasama menjadi pembelian mereka, karena adanya kepercayaan para pedagang kepada mereka. Syirkah jenis ini mengikat dua orang atau lebih yang tidak memiliki modal uang. Namun mereka mempunyai nama baik di tengah masyarakat sehingga membuka kesempatan buat mereka untuk bisa membeli secara berhutang. Mereka bersepakat untuk membeli barang untuk berhutang dengan tujuan untuk dijual, lalu keuntungan jual beli mereka bagi bersama.34 Dua model perseroan wujuh ini sama-sama diperbolehkan. Sebab, bila masing-masing pihak melakukan perseroan dengan 33 34
Ibid., 163. Mushlih dan Shalah, Fiqih Ekonomi, 164.
28
harta pihak lain, maka perseroan tersebut termasuk dalam kategori perseroan mudlarabah, yang telah dinyatakan berdasarkan AsSunnah dan ijma’ para sahabat. Apabila masing-masing melakukan perseroan dengan harta pihak lain yang mereka peroleh, yaitu hasil pembelian mereka, karena kedudukan dan kepercayaan pedagang kepada mereka, maka perseroan ini termasuk dalam kategori syirkah
abdan
yang
juga
telah
dinyatakan
kebolehannya
berdasarkan As-Sunnah.35 5) Syirkah Wufawadhah Syirkah ini merupakan gabungan dari berbagai jenis syirkah, baik Inan, abdan, mudharabah, Kebolehan syirkah ini didasarkan pada kebolehan dari masing-masing jenis syirkah yang digunakan, oleh karenanya menjalankan secara keseluruhannya pun diperbolehkan. Secara terminologis artinya yaitu: Setiap syirkah di mana para anggotanya memiliki kesamaan dalam modal, aktivitas dan hutang piutang, dari mulai berdirinya syirkah hingga akhir. Syirkatul Mufawadhah adalah sebuah syirkah komprehensif yang dalam syirkah itu semua anggota sepakat melakukan aliansi dalam semua jenis kerja sama, seperti 'inan, abdan dan wujuh. Dimana masing-masing menyerahkan kepada pihak lain hak untuk mengoperasikan segala aktivitas yang menjadi komitmen kerja
35
Taqyudin, Membangun Sistem Ekonomi, 164.
29
sama tersebut, seperti jual beli, penjaminan, penggadaian, sewa menyewa, menerima tenaga kerja, dan sejenisnya. Namun tidak termasuk dalam syirkah ini berbagai hasil sampingan yang didapatkannya, seperti barang temuan, warisan dan sejenisnya. Dan juga masing-masing tidak menanggung berbagai bentuk denda, seperti mengganti barang yang dirampas, ganti rugi syirkah , mengganti barang-barang yang dirusak dan sejenisnya.36 Para ulama kembali berbeda pendapat tentang hukum syirkah ini: Kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hambaliyah membolehkannya. Sedangkan Imam Syafi’i melarangnya. Alasan pendapat mayoritas ulama adalah sebagai berikut: a. Karena syirkah ini menggabungkan beberapa macam bentuk syirkah yang masing-masing dari syirkah itu dibolehkan secara terpisah, maka demikian pula hukumnya bila dikombinasikan. b. Karena masyarakat diberbagai tempat dan masa telah terbiasa melakukan bentuk syirkah semacam ini tanpa ada pula ulama yang menyalahkannya. Sementara alasan Imam Syafi’i melarangnya adalah sebagai berikut: Karena syirkah ini berbentuk perjanjian usaha yang mengandung penjaminan terhadap jenis hal yang tidak diketahui, dan juga jaminan terhadap sesuatu yang tidak diketahui. Keduanya sama-sama rusak secara terpisah, apalagi bila digabungkan.
36
Ibid., 166-167.
30
Kalangan Hambaliyah menetapkan syarat sahnya syirkah ini bahwa tidak boleh dimasukkan ke dalamnya berbagai hasil sampingan dan denda-denda. Kalau keduanya dimasukkan dalam perjanjian, syirkah itu batal, karena ada unsur manipulasi. Karena masing-masing akan menanggung kewajiban yang lain. Bisa jadi ia akan menanggung sesuatu yang tidak mampu ia lakukan, apalagi itu
merupakan
menyerupainya
perjanjian dalam
yang
ajaran
tidak
syariat.
ada
contoh
Sementara
yang
kalangan
Hanafiyah memberikan syarat bagi sahnya syirkah ini sebagai berikut: a. Kesamaan modal, aktivitas dan keuntungan. Maka harus dibuktikan dahulu kesamaan dari awal sampai akhir dalam beberapa hal tersebut. Karena menurut mereka al-Mufawadhah itu sendiri artinya adalah penyamaan. Kalau kesamaan itu tidak dimiliki salah satu pihak, maka syirkah itu batal. b. Keumuman dalam syirkah yakni diberlakukan dalam semua jenis jual beli. Jangan sampai salah satu diantara mereka melakukan jual beli yang tidak dilakukan pihak lain. c. Agar salah satu pihak yang terlibat tidak memiliki saham dalam syirkah lain, dan tidak juga ikut dalam perjanjian syirkah lain, karena hal itu menyebabkan ketidaksamaan. d. Hendaknya
dengan
pelafalan
mufawadhah.
Karena
mufawadhah mengandung banyak persyaratan yang hanya bisa
31
digabungkan
dalam
pelafalan
itu,
atau
dengan
cara
pengungkapan lain yang bisa mewakilinya.37 5. Mengakhiri Syirkah Syirkah akan berakhir jika terjadi hal-hal berikut: a. Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lainnya sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kadua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk melaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini menunjukkan pencabutan kerelaan syirkah oleh salah satu pihak b. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk mengelola harta atau beraktifitas, baik karena gila ataupun karena alasan lain. c. Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja. Apabila ahli waris anggota menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut, maka dilakukan perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan. d. Salah stau pihak ditaruh dibawah pengapuan, baik karena boros atau ketololannya yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sebab yang lain. e. Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah.38 6. Model Terjadinya Akad Syirkah. 37 38
Ibid., 168-169. Hendi Suhendi, Fiqih Muamlah, 133-134.
32
Akad syirkah terjadi tidak terlepas dari kebutuhan orang untuk berusaha dalam bentuk bekerja sama dengan orang lain dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Bentuk akad yang dibuat sesuai kesepakan mereka, akad yang dibuat harus memenuhi syarat dan rukun syirkah seperti yang diterangkan di atas, selain itu masing-masing pihak menyatakan dengan perkataan misalkan “saya menjadikan anda sebagai mitra saya dalam hal yang menyangkut barang,” lalu dapat dijawab “saya setuju”. Orang bersyirkah berarti bergabungnya dua orang atau lebih dalam satu kepentingan. Keduanya menyebutkan secara rinci semua hak dan kewajiban semua pihak, misalkan persamaan modal, keuntungan , partisipasi mutual dan kewajiban atas hutang yang dilakukan salah satu pihak.39 Akad syirkah ini bermaksud untuk menciptakan hubungan kontrak melalui perjanjian. Dengan demikian perjanjian dibentuk dengan kesepakatan masing-masing pihak dan dapat dibubarkan melalui kesepakatan masing-masing pihak.40 7. Sistem Pembagian Hak Dan Kewajiban Dalam Syirkah. Hak dan kewajiban dimaksudkan sebagai bentuk konsekuensi dari akad yang telah dilakukan di antaranya modal yang disetor, keuntungan,
39
Afzalur Rahman, Dokterin Ekonomi Islam jilid 4, terj. Drs Soeroyo, MA. Drs. Nastangin (Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995), 379. 40 Ibid.
33
kerugian, misalkan dalam syirkah abdan adalah kemampuan atau aktifitas yang dilakukan. Cara membagi keuntungan dalam syirkah tergantung besar kecilnya modal yang mereka tanamkan. Contohnya seperti dalam tabel ini:41 Nama
Modal masing-
Jumlah
anggota
masing
modal
Keuntungan
Persentase keuntungan
Ahmad
1.500
¼ x 600 = 150
Hadi
1.000
1/10 x 600 = 6.000
600
100
Anas
500
1/12 x 600 = 50
Imron
3.000
½ x 600 = 300
Keuntungan dalam syirkah ini adalah berdasarkan kesepakatan semua pihak yang beraliansi, dengan cara disamaratakan atau ada pihak yang dilebihkan. Karena usahalah yang berhak mendapatkan keuntungan. Sementara perbedaan usaha dalam syirkah ini dibolehkan. Maka juga dibolehkan juga adanya perbedaan jumlah keuntungan. Berdasarkan hal ini, kalau mereka pempersyaratkan usaha dibagi dua (1-1) dan keuntungannya 1-2 boleh-boleh saja. Karena modal itu adalah usaha dan keuntungan adalah modal. Usaha bisa dihargai dengan
41
Hendi Suhendi, Fiqih Muamlah, 132-133.
34
penilaian kualitas, sehingga bisa diperkirakan harganya dengan prediksi kualitasnya, dan itu tidak diharamkan. Kewajiban yang dibebankan terhadap anggota syirkah adalah tergantung pada kesepakatan yang dilakukan pada waktu akad. Misalkan dalam syirkah inan seseorang disyaratkan menyetorkan sejumlah uang untuk modal usaha, selain itu juga ada kewajiban untuk menanggung apabila didera kerugian. 8. Hikmah Syirkah Hikmah syirkah antara lain: a. Karena syirkah merupakan
bentuk kerjasama maka akan terjadi
interaksi sesame manusia sehingga akan meningkatkan kepadulian, solidaritas, perstuan, dan gotong royong b. Syirkah adalah salah satu bentuk upaya yang disyariatkan untuk mencari rezeki c. Syirkah dapat memajukan perekonomian negara d. Syirkah dapat dikatakan bertujuan untuk mencapai kemakmuran bersama.
B. Waralaba atau Franchise 1. Pengertian Waralaba ( franchise) Franchise berasal dari bahsa Perancis, yang berarti bebas atau bebas dari perhambaan atau perbudakan (free from servitude). Bila dihubungkan dengan konteks usaha, franchise berarti kebebasan yang
35
diperoleh seseorang untuk menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di wilayah tertentu. Sedangkan pewaralabaan adalah (franchising) adalah suatu aktifitas dengan sistem waralaba (frinchise), yaitu suatu sistem keterkaitan usaha yang saling menguntugkan antara pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchisee).42 Pola yang biasa ditawarkan pewaralaba adalah pola kerjasama dan waralaba. Pola kerjasama atau sering disebut profit sharring adalah sesuatu sistem di mana investor hanya menyediakan tempat atau lokasi usaha. Investor brsifat pasif dan tidak ikut serta dalam operasional restoran.43 Dalam pola kerjasama yang lebih besar, pewaralaba menanggung resiko dan potensi keuntungan yang lebih besar. Namun dalam waralaba investor memiliki sepenuhnya bisnisnya itu dan mengoperasikannya sendiri. Resiko dan proporsi keuntungan lebih besar ada pada investor. Bila investor menyukai tantangan, seperti lazimnya seorang wiraswasta, sistem waralaba lebih cocok.44 Franchising adalah sistem pemasaran barang dan atau jasa dan atau teknologi, yang didasarkan pada kerja sama tertutup dan terusmanerus antara pelaku-pelaku independen. Menurut Dr. Martin Mendelsonh, pakar waralaba asal Amerika Serikat, format bisnis Franchoise adalah modal izin dari satu orang (franchisor) kepada orang lain (franchisee), yang memberi hak (dan biasanya mempersyaratkan) 42
Lukman Hakim, Info Lengkap Waralaba (Jakarta: PT. Buku Kita, 2008), 14. Ibid., 04. 44 Ibid., 05. 43
36
franchisee untuk mengadakan bisnis di bawah nama dagang franchrisor, meliputi seluruh elemen yang dibutuhkan untuk membuat orang yang sebelumnya. Sementara itu, Pradmod Khera mendefinisikan waralaba sebagai metode distribusi di mana pemberi hak waralaba.45 Di Indonesia, konsep franchise diterjemahkan dengan istilah Waralaba. Kata "waralaba" pertama kali diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM) sebagai padanan kata franchise. Waraklaba berasal dari kata "wara" yang berarti lebih atau istimewa dan "laba" berarti untung. Jadi, waralaba berarti usaha yang memberi keuntungan yang lebih atau istimewa-beberapa dengan sistem bisnis konvensional yang sudah ada. Yang dikemukakan beberapa definisi franchise, sebagai berikut : 1. Franchise adalah sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa dimana sebuah perusahaan induk (franchisor) yang memberikan kepada individu atau perusahaan lain (franchisee) yang berskala kecil dan menengah, hak istimewa untuk melakukan suatu sistem usaha tertentu dangan cara tertentu, waktu terentu, dan disuatu tempat tertentu. 2. Franchise adalah sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada masyarakat konsumen, yang dijual kepada pihak lain yang berminat. Pemilik dari metode yang dijual ini disebut
45
Ibid., 15.
franchisor
37
sedang pembeli hak untuk menggunakan metode ini disebut franchisee. 3. Franchising adalah suatu hubungan berdasarkan kontrak antara franchisor dan franchisee. Franchisor menawarkan dan berkewajiban menyediakan perhatian terus-menerus pada bisnis dan franchise melalui penyediaan pengetahuan dan pelayanan. Franchisee beroperasi dengan menggunakan nama dagang, format atau prosedur yang dipunyai, serta dikendalikan oleh franchisor.46 Waralaba adalah hubungan kemitraan antara usahawan yang usahanya kuat dan sukses dengan usahawan yang relatif baru atau lemah dalam usaha tersebut dengan tujuan saling menguntungkan khususnya dalam bidang usaha penyediaan produk dan jasa langsung kepada konsumen. Ini memaknai waralaba sebagai salah satu bentuk kesepakatan. Yaitu pemilik dari suatu produk atau jasa mengizinkan orang lain untuk membeli hak distribusi produk atau jasa tersebut dan mengoperasikannya dengan bantuan pemilik.
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba yang dikeluarkan tanggal 18 Juni 1997: ”Waralaba adalah perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan inteleklual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan barang dan atau jasa” (Pasal 1 ayat 1).
46
Ibid, 27.
38
Ayat (2) pasal yang sama menggariskan bahwa Pemberi Waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki. Sedangkan ayat (3) pasal yang sama menetapkan bahwa Penerima Waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki Pemberi Waralaba. Menunjukkan bahwa franchise pada dasarnya mengandung elemen-elemen pokok sebagai berikut: 1.
Franchisor yaitu pihak pemilik/produsen dari barang atau jasa yang telah memiliki merek tertentu serta memberikan atau melisensikan hak eksklusif tertentu untuk pemasaran dari barang atau jasa itu.
2.
Franchisee yaitu pihak yang menerima hak ehsklusif itu dari franchisor.
3.
Adanya penyerahan hak-hak secara eksklusif (dalam praktik meliputi sebagai macam hak milik intelektual/hak milik perindustrian) dari franchisor kepada franchise.
4.
Adanya penetapan wilayah tertentu, franchise area dimana franchise diberikan untuk beroperasi di wilayah tertentu. Contoh: hanya diperbolehkan untuk beroperasi di Pulau Jawa.
39
5.
Adanya imbal-prestasi dari franchisee kepada franchisor yang berupa Initial Fee dan Royalties serta biaya-biaya lain yang disepakati oleh kedua belah pihak.
6.
Adanya standar mutu yang ditetapkan oleh franchisor bagi frnchisee, serta supervisi secara berkala dalam rangka mempertahankan mutu.
7.
Adanya pelatihan awal, pelatihan yang bersifat berkesinambungan, yang
diselenggarakan
oleh
franchisor
guna
peningkatan
ketrampilan.47 Tipe-tipe waralaba menurut Leon C. Megginson dan kawankawan,48 secara umum sistem pewaralabaan (franschising) dibedakan menjadi dua kategori besar, yaitu waralaba produk dan merek dagang, serta waralaba format bisnis. 1. Waralaba produk dan merek dagang; dalam format ini franchisor memberikan kepada franchisee hak untuk menjual secara luas suatu produk atau brand tertentu. Dalam waralaba ini, pemberi waralaba menghasilkan produk dan penerima waralaba menyediakan outlet untuk produk yang dihasilkan pemberi waralaba. Contoh waralaba pompa bensin. 2. Waralaba format bisnis; franchisor memberika kepada franchisee hak untuk memasarkan suatu produk atau merek dagang tertentu serta menggunakan sistem operasi lengkap dari franchisor. Dan waralaba ini, penerima waralaba diberi lisensi untuk melakukan usaha dengan 47 48
Ibid.,19. Ibid., 21.
40
menggunakan
paket
dikembangkan
oleh
bisnis
dan
penberi
merek
waralaba.
dagang
yang
Contohnya
telah
waralaba
McDonald’s Imam Sjahputra Tunggal (2005) mengkatogerikan waralaba menjadi tiga tipe:49 1.
Product franchising (trade-name franchising). Dalam pengaturan ini, dealer diberi hak untuk mendistribusikan produk untuk pabrikan. Untuk hak tersebut dealer (penerima waralaba) membayar fee untuk hak menjual kepada produsen (penerima waralaba). Praktik ini dapat ditemukan tahun 1800, ketika singer coorporation mendistribusikan produk mesin jahit, kemudian menjdi umum dalam pompa bensin dan industri otomotif.
2.
Manufacturing franchising (product-distribution franchising). Sering digunakan dalam industri minuman ringan (pepsi, coca-cola). Dengan menggunakan jenis franchising ini, franchisor membrikan kepada
dealer
(bottler)
hak
ekslusif
memproduksi
dan
mendistribusikan produk di daerah tertentu.
3.
Busines format franchising (pure comprehensive franchising). Yaitu suatu pengeturan dimana franchisor menawarkan serangkaian jasa yang luas kepada franchisee, mencakup pemasaran, advertensi
49
Ibid., 22.
41
(iklan), perencanaan strategi, pelatihan produksi dari manual dan standar operasi, pedoman pengendalian mutu, dan lain-lain.50 2. Jenis-Jenis Franchise / Waralaba Ada dua tipe utama franchise , yaitu:51 1. Produk and trademark franchising 2. Business format franchising Produk and trademark franchising merupakan suatu pengaturan yaitu franchisee diberikan hak untuk menjual serangkaian produk atau merek yang terkenal. Kebanyakan dari waralaba demikian berkonsentrasi menangani lini produk pewaralaba dan mengandalkan usaha mereka sendiri. Automobile and truc dealership, gasoline servis station, and soft drink bottler. pewaralaba melakukan sangat sedikit pengendalian atas operasi terwaralaba, yang dikendalikan adalah memelihara integritas produk, bukan operasi usaha terwaralaba. Business
format
franchising
merupakan
hubungan
yang
terwaralaba diberi hak untuk menggunakan sistem pemasaran secara keseluruhan bersama dengan bantuan yang terus menerus serta pedoman dari pewaralaba, kelompok industri dengan volume penjualan yang terbesar dalam tipe franchising ini adalah restoran, pengecer (bukan makanan), hotel dan motel, business old and services, produk dan jasa otomotif, dan convhechience strokes.
50 51
Ibid., 23. Ibid.
42
Sedangkan menurut Imam Sjahputra terdapat tiga jenis/tipe waralaba, yaitu:52 a. Trade mark / trade name franchise Tipe waralaba ini mirip lisensi (licensing) yaitu pemberi waralaba (franchisor) memberikan penerima waralaba (franchisee) hak untuk memproduksi produk dengan menggunakan brand name, trade name, trade mark, logo, caricatur, dan lainnya yang dimiliki oleh pembeli waralaba untuk setiap daerah/area. Pendekatan tipe waralaba ini tidak memerlukan suatu sistem lengkap, namun penerima waralaba perlu mensupervisi untuk memastikan mutu dan nama baik dari merek yang diimiliki. Contoh dari tipe waralaba ini adalah pembotolan minuman ringan coca cola, pepsi cola dan produksi kartun walt Disney b. Produet distribution franchise Dalam waralaba tipe ini pemberi waralaba memberikan penerima waralaba hak untuk menjual dan mendistribusikan produk yang dihasilkan oleh penerima waralaba. Biasanya pemberi waralaba memberikan pedoman dan pelatihan kepada penerima waralaba tentang
bagaimana
mengelola
distribusi
produk.
Namun
pengembangan dari sistem operasinya tidaklah terlalu lengkap. Tipe waralaba ini popular di antara
industri otomotif, sepeti edaran
Otomobil Nasional Berhard (ONB) di Malaysia, beberapa rantai stasiun bensin, seperti petronas, shell, mobil dan lain-lain.
52
Ibid.,80.
43
c. Business format franchise paling lengkap dan popular, melalui sistem ini, penerima waralaba tidak hanya diberi hak untuk menggunakan brand name atau untuk mendistribusikan barang produksi pemberi waralaba, tetapi juga hak untuk menduplikasikan seluruh system usaha seperti yang dipraktekkan oleh pemberi waralaba dan penerima waralaba dalam jaringan kerja usaha yang sama. Dalam tipe ini, pemberi waralaba bertanggung jawab menyiapkan penerima waralaba mulai dari konsep pengembangan dan pemilihan lokasi, sampai manual operasi, pelatihan, sistem akuntansi, paket Business format franchise adalah tipe
sistem
waralaba
yang
advertasi
dan
promosi,
bantuan
pengembangan usaha yang berkelanjutan. Tipe ini merupakan sistem waralaba yang paling luas dipraktekkan. Contohnya adalah yang dipraktekkan oleh mc Donald.53
53
Hendi, Fiqh Muamalah (Jakarta : Raja Grapindo Persada, 2000), 292.
44
BAB III PERUSAHAAN WARALABA SUPERMARKET LUWES PONOROGO
A. Gambaran Umum Supermarket Luwes Ponorogo 1. Sejarah Berdirinya Supermarket Luwes Ponorogo Supermarket Luwes Ponorogo didirikan oleh Bapak Ir.Handoko Prastiyo sekarang sebagai direktur utama dan sekaligus pimpinan supermarket Sami Luwes yang bertempat di kota Solo pada awalnya supermarket ini hanya dipegang oleh Bapak Ir.Handoko akan tetapi sekarang untuk wilayah barat dipegang oleh Bapak Indarni. Untuk Bapak Ir.Handoko wilayah tengah dan timur termasuk Supermarket Luwes Ponorogo, sampai sekarang supermarket ini di bawah pimpinan Bapak Ir.Handoko ada sekitar 14 supermarket yang tersebar di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.54 Supermarket Luwes Ponorogo berdiri pada tanggal 02 Oktober 2004 bertempat di Jln. KH. Ahmad Dahlan No.100 Desa Bangunsari Kecamatan Kota Kabupaten Ponorogo di bawah pimpinan (store manager) Bapak Drs.Eddy Siswanto. Sekarang sudah berjalan kurang lebih 5 tahun. Supermarket Luwes Ponorogo di bawah pimpinan beliau mengalami kemajuan yang sangat signifikan dari faktor konsumen, harga yang
54
01/W/Yulistyaningsih (Kabag Administrasi) / Sejarah berdirinya Supermarket Luwes Ponorogo / 20 Mei 2009.
45
standart murah dibanding
supermarket
atau swalayan yang ada di
Ponorogo. Sampai saat ini produk yang dijual di supermarket tersebut sudah memenuhi standart kebutuhan masyarakat Ponorogo, karena sifat masyarakat yang responsibility dan konsumtif Supermarket Luwes Ponorogo sangatlah diminati oleh masyarakat Ponorogo baik dari kalangan menengah ke bawah sampai pada menengah ke atas. Dari wawancara yang penulis lakukan pada konsumen, masyarakat Ponorogo 60 % konsumen memilih Supermarket Luwes Ponorogo sebagai alternatif berbelanja yang pas.55 Sampai tahun 2009 jumlah pengusaha luar yang masuk ke Luwes Ponorogo sekitar 175 pengusaha dan 90 pengusaha Home Industri. Sebagai
bentuk
otonomi daerah pemerintah Ponorogo sangatlah
diuntungkan dengan adanya Supermarket Luwes ini sebab dari pendapatan melalui pajak bertambah dan dari nama Ponorogo pun bukan hanya dikenal sebagai kota budaya akan tetapi juga dikenal sebagai kota dengan tingkat ekonomi tidak kalah berkembang dengan daerah lain. Maka dari itu Supermarket sebagai pendongkrak ekonomi masyarakat Ponorogo dan dapat mengurangi angka pengangguran di wilayah ini. Dapat dilihat ada sekitar seratus 130 karyawan berasal dari daerah lokal Ponorogo dengan agama mayoritas muslim.56
55
02/W/Evi Lestari (konsumen) / Tingkat Konsumen berbelanja di Supermarket Luwes Ponorogo / 20 Mei 2009. 56 03/W/ Purwaningsih (Supervisor/Area Manager)/ Jumlah Karyawan / 20 Mei 2009.
46
2. Faktor
yang Mempengaruhi Pilihan Lokasi Supermarket Luwes
Ponorogo Yang menjadi pertimbangan didirikannya Supermarket Luwes Ponorogo di daerah Ponorogo adalah sebagai berikut:57 a. Di daerah tersebut masyarakat Ponorogo identik dengan masyarakat dengan tingkat konsumsinya tinggi. b. Di daerah tersebut mudah diperoleh tenaga kerja karena daerah Ponorogo masih tinggi angka penganggurannya sehingga mudah diperoleh tenaga kerja yang dibutuhkan oleh Supermarket Luwes Ponorogo. Tenaga kerja yang diambil mayoritas berasal dari daerah lokal Ponorogo sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat sekitar Supermarket Luwes Ponorogo. c. Masalah trasportasi cukup terjamin karena letak Supermarket Luwes Ponorogo di pinggir jalan raya sebagai jalur yang padat lalu lntas, sehingga
memudahkan
Supermarket
Luwes
Ponorogo
untuk
mendapatkan barang dari distributor serta memudahkan biro pemasaran. d. Letak Supermarket Luwes Ponorogo di Jalan. KH. Ahmad Dahlan No.100 yang sangat strategis sebagai upaya peningkatan konsumen dan upaya memperkenalkan produk-produk supermarket, dengan luas bangunan 2000 meter persegi.
57
04/W/Eddy Siswanto (Manager) Supermarket Luwes Ponorogo / 20 Mei 2009.
Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Lokasi
47
3. Bentuk Hukum Supermarket Luwes Ponorogo Supermarket Luwes Ponorogo dalam melakukan aktifitasnya dan legalitas sertifikasi perusahaan sebagai berikut:58 a. SIUP (Surat Izin Usaha Perusahaan) b. NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) : 02.036.078.0-621.001 4. Pemilik Supermarket Luwes Ponorogo Pemilik Supermarket Luwes Ponorogo adalah Bapak Ir. Handoko Prastiyo pemilik juga sebagai direktur utama Supermarket Luwes.
B. Operasional Supermarket Luwes Ponorogo 1. Produk yang digunakan Dalam melakukan proses produksi Supermarket Luwes Ponorogo menjual barang-barang kosmetik, fashion, peralatan rumah tangga, logistik, sampai pada permainan anak-anak dan lain-lain.59 2. Saluran Distribusi Dalam menyalurkan produksinya Supermarket Luwes Ponorogo menggunakan saluran distribusi sebagai berikut: a.
Langsung pada konsumen Produsen
Konsumen
58 05/W/ Eka Sri Lestari (Administrasi) /Bentuk Hukum Supermarket Luwes Ponorogo / 21 mei 2009. 59 06/W/ Ifa Rahayu (Supervisor) / Operasional Supermarket Luwes Ponorogo / 21 Mei 2009.
48
Yaitu produsen memasarkan langsung produknya kepada konsumen. Di sini Supermarket Luwes Ponorogo membuat stand khusus untuk melayani konsumen yang langsung datang ke Supermarket Luwes Ponorogo. Konsumen akan dilayani dan dengan sendirinya konsumen bisa mengambil produk sehingga dapat memudahkan konsumen dalam memilih barang. b. Malalui Supplier Produsen
Perantara
Konsumen
Yaitu dalam memasarkan hasil produksinya Supermarket Luwes Ponorogo menggunakan supplier sebagai perantara antara produsen dan konsumen. c.
Kondisi Persaingan Supermarket Luwes Ponorogo dalam memasarkan produknya tidak terlepas dari persaingan-persaingan dengan supermarket lain yang ada di daerah Ponorogo yang juga memproduksi barang-barang sejenis meskipun yang ada di sekitar Supermarket Luwes sangatlah ketat akan tetapi berlangsung dengan sehat tanpa adanya monopoli dalam penetapan harga.60 Adapun
saingan
dari
Supermarket
Luwes
Ponorogo
diantaranya adalah Ponorogo Permai Plaza (POPER), Swalayan Surya yang tersebar dibeberapa cabang daerah Ponorogo, Indomart, 60
07/W/Nungki Evasari (Supervisor) Kondisi Persaingan/ 21 Mei 2009.
49
Swalayan Berkah, Pos Mode, Jenny Fashion, dan beberapa toko atau swalayan di daerah Ponorogo. d. Promosi Kegiatan promosi sangat diperlukan untuk meningkatkan jumlah
penjualan.
Promosi
adalah
usaha
perusahaan
untuk
meningkatkan folume penjualan dengan cara mempengaruhi konsumen secara tidak langsung agar tertarik dengan hasil produknya. Adapun promosi yang dilakukan Supermarket Luwes Ponorogo dengan cara memasang nama perusahaan dengan memberi cab atau lebel Supermarket Luwes disetiap produknya, selain itu agar terjadi pembelian kembali dari konsumen. Supermarket Luwes Ponorogo selalu menjaga mutu dari setiap produknya. e.
Harga Produk Harga produk merupakan landasan untuk menetapkan jumlah kontribusi margin yang didapat dari setiap produk.
f. Permintaan Produk Permintaan produk diketahui dari data penjualan produk supermarket, sehingga diketahui seberapa besar permintaan konsumen terhadap produk-produk yang ada. Di mana dari data tersebut Supermarket Luwes diharapkan mengetahui berapa permintaan produk tahun mendatang sehingga ada suatu perencanaan produk yang baik.
50
3. Sumber Daya Manusia (SDM)61 a. Struktur Organisasi Luwes Ponorogo Struktur organisasi dalam suatu perusahaan boleh dikatakan suatu alat untuk mencapai tujuan perusahaan secara efektif dan efisien. Dengan dibentuk suatu struktur organisasi, maka semua aktifitas perusahaan
bisa
diatur
dan
diawasi
dengan
sebaik-baiknya.
Supermarket Luwes memakai job diskription yang dilakukan pada rapat atau meeting. Dalam pelaksanaannya di Supermarket Luwes seluruh wilayah cabang yang meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur bahwa kepekerjaan pimpinan dibantu oleh kepala bagian personalia yang menduduki jabatan masing-masing dan bertanggungjawab atas pimpinan Supermarket Luwes, maka struktur organisasi Supermarket Luwes menganut sistem organisasi garis. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam struktur organisasi sebagai berikut
61
08/W/Yulistiyoningsih (Kabag Administrasi)/ Sumber Daya Manusia / 21 Mei 2009.
51
STRUKTUR ORGANISASI SUPERMARKET LUWES 62
Direktur Utama
Store Manager
Store Manager
Store Manager
Store Manager
Supervisor
Administrasi
Koordinator Stand
Gudang, Cleaning Servis
Packing Stand
Stand Tenaga Antar
62
09/W/Yulistyaning (Kabag Administrasi) Struktur Organisasi Supermarket Luwes Ponorogo / 21 Mei 2009
52
53
b. Pembagian Tugas dan Tanggungjawab (job diskription)63 1) Pimpinan Supermarket Luwes Ponorogo .Pimpinan Supermarket Luwes Ponorogo mempunyai kekuasaan
dalam
mengatur
kinerja
supermarket
dan
bertanggungjawab atas kebijaksanaan dan segala keputusan yang diambil. 2) Personalia Bagian personalia disini bertugas untuk merekrut tenaga kerja dan pemutusan hubungan kerja karyawan
dengan
Supermarket Luwes 3) Administrasi Bagian ini bertugas mengadakan pencatatan secara teratur semua transaksi keluar masuknya barang. 4) Kepala Produksi Bagian ini bertugas melaporkan jika ada barang-barang yang rusak (cacat), serta mengawasi mutu dan kwalitas dari produk yang dijual kepada konsumen. 5) Bagian Keuanagn Bagian ini bertugas mencatat seluruh biaya-biaya keuangan yang dikeluarkan Supermarket Luwes Ponorogo untuk keperluan produksinya, meliputi biaya promosi, pembelian produk dan hasil penjualan. 63
10/W/Eddy Siswanto (Manager)/ Pembagian Tugas dan Tanggungjawab (job diskription) 21 mei 2009.
54
c. Jumlah Karyawan dan Kwalitasnya64 Jumlah karyawan Supermarket Luwes Ponorogo secara keseluruhan adalah 150 orang dengan perincian sebagai berikut: 90 orang perempuan dan 60 orang laki-laki, dengan agama145 Islam dan 5 orang Kristen. Table 3.265 Kwalitas Karyawan Supermarket Luwes Ponorogo JABATAN
S-1
D-3
D-2
SMA
JUMLAH
Pimpinan
1
-
-
-
1
Pesonalia
1
3
-
-
4
Kepala Produksi
1
-
-
-
1
Kepala Keuangan
-
-
1
-
1
Administrasi
1
-
-
-
1
Satpam
-
-
-
3
3
Juru Parkir
-
-
-
7
7
Karyawan
-
-
10
123
133
Jumlah
150
4. Hari Kerja Dan Sistem Pengupahan Supermarket Luwes Ponorogo beroprasi setiap hari (senin s.d minggu) dengan waktu rata-rata 12 jam/hari dengan sistem setiap 6 jam pergantian karyawan. Pagi (buka 09.00-14.00 WIB) sore (14.00-21.00 WIB) sedangkan hari kerja supplier 6 hari dalam satu minggu (senin s.d sabtu) jam 09.00-14.00 WIB. Sistem pengupahan pada karyawan
64 65
2009.
11/W/Dwi Irawati / Jumlah Karyawan dan Kwalitasnya/ 21 Mei 2009. 12/W/ Dwi Irawati /Tabel Kwalitas Karyawan Supermarket Luwes Ponorogo /21 Mei
55
Supermarket Luwes Ponorogo menetapkan upah sesuai dengan UMK (Upah Minimum Kabupaten) sebesar 500.000,- perbulan. C. Jenis Syirkah dan Waralaba di Supermarket Luwes Ponorogo Jenis syirkah di Supermarket Luwes Ponorogo termasuk dalam kategori syirkah mudharabah. Karena yang dimaksud Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi modal sedangkan pihak lain memberikan konstribusi kerja. Contoh: Supermarket Luwes Solo sebagai pemodal kepada Supermarket Luwes Ponorogo
yang bertindak sebagai pengelola modal untuk bisnis
perdagangan. Sedangkan jenis waralaba di Supermarket Luwes Ponorogo adalah Business format franchise66 yaitu jenis waralaba yang paling lengkap dan popular, melalui sistem ini, penerima waralaba tidak hanya diberi hak untuk menggunakan brand name atau untuk mendistribusikan barang produksi pemberi waralaba, tetapi juga hak untuk menduplikasikan seluruh system usaha seperti yang dipraktekkan oleh pemberi waralaba dan penerima waralaba dalam jaringan kerja usaha yang sama. Dalam tipe ini, pemberi waralaba bertanggung jawab menyiapkan penerima waralaba mulai dari konsep pengembangan dan pemilihan lokasi, sampai manual operasi, pelatihan, sistem akuntansi, paket
Business format franchise adalah tipe
sistem waralaba yang advertasi dan promosi, bantuan pengembangan usaha yang berkelanjutan. 66
16/W/Eddy Siswanto (Manager)/Jenis waralaba Supermarket Luwes/02 Juli 2009.
56
D. Pembentukan Akad Waralaba Di Supermarket Luwes Ponorogo Akad kerjasama antara franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee (penerima waralaba) dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama yang telah dibuat oleh Supermarket Luwes Solo dan dibubuhi materai di bawahnya sehingga mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan sudah ditandatangani kedua belah pihak. Isi yang tertuang dalam perjanjian kerjasama tersebut dibuat oleh Supermarket Luwes Solo kemudian disodorkan kepada pihak pengelola (Supermarket Luwes Ponorogo), setuju atau tidak, kalau setuju dengan isi perjanjian tersebut maka pihak pengelola menandatangani kontrak kerjasama yang berarti bahwa kerja sama tersebut terjalin.67 Akad atau perjanjian yang dilakukan dalam waralaba di Supermarket Luwes Ponorogo dilakukan dengan kata sepakat atau ijab qabul antara pihak franchisor (pemberi waralaba) dan
franchisee (penerima waralaba)
sebagaimana yang tertuang dalam surat perjanjian. Apabila telah tercapai kesepaktan atau suatu perjanjian yanng dibuat antara franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee (penerima waralaba) berkaitan dengan barang yang diperjanjikan, maka persetujuan itu sebagai kesepakatan (undang-undang) dan harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut yaitu franchisor (pemberi waralaba) dan
franchisee (penerima
waralaba).68
67 68
Mei 2009.
D/ perjanjian kerja sama / 22-10/2003. 13/W/Eddy Siswanto (Manager)/Pembentukan akad waralaba Supermarket Luwes/23
57
Proses atau pelaksanaan akad waralaba di Supermaket Luwes Ponorogo antara pemberi waralaba dan penerima waralaba sebegai berikut : 1. Adanya pihak pemberi waralaba di Supermaket Luwes Ponorogo. Pemberi waralaba merupakan faktor yang sangat penting dalam bisnis waralaba karena pemberi waralaba adalah orang yang memberikan seluruh modal untuk usaha. 2. Adanya pihak penerima waralaba (pengelola) Supermaket luwes Ponorogo. Penerima waralaba juga merupakan faktor yang sangat penting dalam bisnis waralaba karena penerima waralaba adalah sebagai pihak yang menjalankan sekaligus pengelola bisnis. Maju dan tidaknya bisnis tergantung pada si pengelola dalam hal ini penerima waralaba. 3. Adanya aqad (perjanjian ijab qabul) Akad atau perjanjian waralaba akan menentukan terhadap pelaksanaan bisnis waralaba. Karena bisnis waralaba ini dapat terlaksana jika sudah ada ijab dan qabul antara pemberi waralaba dan penerima waralaba menyangkut didalamnya perjanjian pembagian keuntungan. 4. Itikad baik dari kedua belah pihak Itikad baik di sini merupakan hal yang harus ada dalam setiap perjanjian karena dengan itikad baiklah suatu perjanjian akan mudah untuk dilaksanakan dan diterima oleh masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian.69
69
Ibid.
58
Contoh ijab qabul yang dilaksanakan oleh pihak franchisor (pemberi waralaba) dan pihak franchisee (penerima waralaba) adalah sebagaimana tertuang dalam surat perjanjian dimana pihak franchisor memberikan modal kepada franchisee dan franchisee menerima modal tersebut untuk dikelola dalam bentuk bisnis di Supermaket Luwes Ponorogo. Adapun perjanjian waralaba di Supermarkat Luwes Ponorogo dengan terpenuhinya unsur-unsurnya karena unsur-unsur itu yang akan membentuk suatu tindakan suatu hukum. Bila unsur-unsur itu belum terpenuhi maka tindakan atau perbuatan tersebut juga belum merupakan suatu tindakan hukum yang sempurna.
E. Pola Pembagian Keuntungan Antara Franchisor (Pemberi Waralaba) Oleh Franchisee (Penerima Waralaba) Seseorang bekerja adalah untuk mendapatkan hasil, laba dan keuntungan. Begitu juga dengan Supermarket Luwes Ponorogo. Dalam menjalankan bisnis waralabanya Supermarket Luwes Ponorogo sebagai pihak franchisee (penerima waralaba) bekerjasama dengan Supermarket Luwes Solo sebagai pihak franchisor (pemberi waralaba) telah sepakat bahwa setelah bisnis waralaba ini berjalan maka akan dibagi laba dan keuntungannya. Di Supermarket Luwes Ponorogo sebagai pihak franchisee (penerima waralaba) sebelum menjalankan bisnisnya maka pihak Supermarket Luwes Ponorogo harus memenuhi persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pihak franchisor (pemberi waralaba) yaitu pihak Supermarket Luwes
59
Ponorogo harus menyediakan sarana dan prasarana penunjang terlebih dahulu. Sedangkan franchisor (pemberi waralaba) adalah pihak yang memberikan modal secara keseluruhan untuk menjalankan dan mengembangkan bisnisnya. Sejak awal sudah ditetapkan bahwasannya kemitraan yang terjalin antara Supermarket Luwes Solo dan Supermarket Luwes Ponorogo berdasarkan prinsip pembagian keuntungan. Seluruh pendapatan yang diterima dalam penyelenggaraan bisnis di Supermarket Luwes Ponorogo ditentukan oleh kedua belah pihak Supermarket Luwes Ponorogo sebagai pengelola dan sebagai pihak yang menjalankan dan mengembangkan bisnis waralaba sudah sepantasnya menerima haknya setelah memenuhi persyaratan dan ketentuan yang diajukan oleh
franchisor
(pemberi
waralaba)
yaitu
mendapatkan
laba
dan
keuntungan.dari kerja kerasnya.70 Pola pembagian keuntungan di Supermarket Luwes Ponorogo sesuai dengan akad/perjanjian awal yaitu pihak franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee (penerima waralaba) adalah sama atau fifty-fifty (50%-50%) dari seluruh hasil penjualan di mana pihak franchisor (pemberi waralaba) yang mempunyai seluruh modal bisnis dan franchisee (penerima waralaba) sebagai pihak yang menyediakan sarana dan prasarana serta pengelola dan yang mengembangkan bisnis waralaba di Supermarket Luwes Ponorogo.71 Jika
70
Ibid. 14/W/Eddy Siswanto Luwes/23 Mei 2009. 71
(Manager) /pembagian keuntungan waralaba Supermarket
60
terjadi kerugian maka akan ditanggung bersama yakni oleh pemberi waralaba dan penerima waralaba.72
72
Ibid.
61
BAB IV ANALISA FIQH MUAMALAH TERHADAP PERJANJIAN WARALABA DI SUPERMARKET LUWES PONOROGO
A. Analisa Fiqh Muamalah Terhadap Akad/Perjanjian Waralaba di Supermarket Luwes Ponorogo Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara' yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedang qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Ijab dan qabul itu dinyatakan dengan maksud untuk menunjukkan adanya suka rela timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersangkutan. Dari pengertian tersebut, akad terjadi antara dua pihak dengan suka rela, dan menimbulkan kewajiban atas masing-masing secara timbals balik. Islam menyuruh untuk memperhatikan akad/perjanjian sebelum melakukan kerja sama. Akad bisa dilakukan dengan tulisan ataupun saksi yang tujuannya agar hak masing-masing pihak dapat terjamin dan ditegakkannya keadilan manakala terjadi perselisihan Islam memberikan kebebasan kepada macam-macam akad/perjanjian yang dilakukan untuk mengambil bentuk yang menunjukkan keabsahannya. Cara apa saja yang telah menunjukkan adanya ijab qabul sudah dianggap
62
adanya aqad yang mencakup perbuatan dan adat istiadat manusia yang baik dan telah berlaku di masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan dalam paparan data khusus di atas bahwasannya prosedur akad/perjanjian waralaba antara franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee (penerima waralaba) di Supermarket Luwes adalah ijab qabul untuk melakukan kerja sama. Dalam rangka melakukan kerja sama tersebut maka pihak franchisor (pemberi waralaba) memberikan modal dan franchisee (penerima waralaba) menyediakan sarana dan prasarana terlebih dahulu, apabila semuanya sudah terpenuhi sesuai dengan rekomendasi franchisor (pemberi waralaba) maka kerjasama itu akan diikat melalui kontrak perjanjian kerjasama, sehingga keduanya terjalin kerjasama yang saling menguntungkan. Prosedur pelaksanaan akad/perjanjian di atas perlu kita kaji apakah sudah sesuai dengan hukum fiqh muamalah menyangkut ijab qabul dalam mengoperasikan (menjalankan) usaha waralaba antara franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee (penerima waralaba). Dari prosedur di atas terkandung di dalamnya akad waralaba dengan syarat-syarat dan ketentuan dari franchisor (pemberi waralaba) antara lain adalah
memberi
modal
sedangkan
franchisee
(penerima
waralaba)
menyediakan sarana dan prasarana. Dalam masalah akad waralaba bahwasannya salah satu pihak sebagai pemberi waralaba (franchisor) yang mempunyai hak penuh terhadap modal memberikan modalnya untuk dikelola oleh pihak franchisee (penerima
63
waralaba) melalui perjanjian ijab qabul untuk kerjasama. Untuk mengelola usaha tersebut perlu kiranya pelaksanaan persiapan segala sesuatu seperti alatalat usaha tersebut sebagai sarana dalam menjalankan dan memanfaatkan modal untuk meraih keuntungan. Semua yang menyangkut sarana dalam mengoperasikan bisnis waralaba itu dianggap sebagai sesuatu persyaratan untuk terjadinya kerjasama dan
mengenai
modal
sudah
disepakati
oleh
pemberi
waralaba
(franchisor).kesepakatan kedua belah pihak tersebut menuju kerelaan masingmasing sehingga akad waralaba dapat dilaksanakan. Sebelum malakukan kontrak kerjasama franchisor (pemberi waralaba) memberikan ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan menyangkut hak
dan kewajiban masing-masing pihak yang bekerjasama. Hak dan
kewajiban tersebut mempunyai hukum yang mengikat kedua belah pihak dan harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Ketentuan lain disebutkan bahwa apabila ada perubahan prosentase pembagian keuntungan karena adanya kebijakan-kebijakn yang lain dari franchisor (pemberi waralaba) demi kelancaran bisnisnya maupun dalam kerjasamanya dengan franchisee (penerima waralaba).ketentuan perubahan itu selama tidak mendholimi pihak lain dalam hal ini adalah franchisee (penerima waralaba) dan berdasarkan kerelaan kedua belah pihak, maka hal tersebut sah menurut kesepakatan besama.
64
Syarat dan ketentuan yang diberikan oleh franchisor (pemberi waralaba) terhadap franchisee (penerima waralaba) tersebut merupakan syarat yang sah, karena syarat tersebut sesuai dengan tujuan akad, yaitu saling memberikan kemudahan dan keuntungan kedua belah pihak. Kaidah umum dalam ajaran Islam menentukan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan dalam keadaan akal sehat dan bebas menentukan pilihan pasti mempunyai tujuan tertentu yang mendorongnya melakukan suatu perbuatan, oleh karena itu tujuan akad sangat menentukan tentang sah tidaknya dan halal haramnya suatu akad.73 Dengan demikian sebagaimana uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa pembentukan akad kerjasama antara franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee (penerima waralaba) dimana masing-masing terikat dalam kontrak kerja yang saling menguntungkan keduanya sudah sesuai dengan fiqh muamalah.
B. Analisis Fiqh Muamalah Terhadap Pola Pembagian Keuntungan Antara Franchisor (Pemberi Waralaba) dan Franchisee (Penerima Waralaba) di Supermarket Luwes Ponorogo Dalam analisis ini akan dibahas tentang kerjasama dan pola pembagian keuntungan antara franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee (penerima waralaba), apakah sudah sesuai dengan fiqh muamalah atau belum dan apakah
73
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah, (Yogyakarta: PERPUS F Hukum UII, 1988), 62.
65
terdapat penyimpangan dari kode etik muamalah dalam hukum Islam atau tidak. Dalam melaksanakan kerjasama bisnis waralaba dengan sistem pembagian keuntungan terlebih dahulu harus diadakan akad/perjanjian agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan dikemudian hari dan supaya masing-masing pihak terjadi kesepakatan mengenai bentuk kerjasama yang akan dilakukan, suatu kerjasama sudah sesuai dengan hukum Islam apabila sudah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya, dan masing-masing pihak mampu memenuhi hak dan kewajiban masing-masing sebagaimana yang diakadkan bersama. Secara
terperinci
hukum
Islam
memberi
pedoman
dalam
melaksanakan muamalah dalam hidup masyarakat, hal ini dimaksudkan untuk menghindari perselisihan dan perbuatan yang merugikan orang lain. Sesuai dengan sunnah Nabi SAW dalam hadits Qudsi yang berbunyi :
ٌgk kِ]U UkkkT أ: e]Ukkkp ُ لا َ Ukkk : aَ fّk k ِ وk kwfr ُ اeّfk k ِ لا ُ Vkkkَل ر َ Ukkkَ Ukk|َ `ِ }ِ wْ qَ ْ\k[ِ ُ k ْ Zَ َ ن َ Ukk َ ذَاNِk Lَ ،ُvَ ِ Ukk َ Uَ| ُ ُهk َ \ْ َأk y ُ iَ ْa]َUkk[َ \ ِ wْ َ iْ Zِ l k ]ا (aآU] داوود و اVq)روا أ Artinya:"Rosulullah SAW bersabda: Allah Ta'ala berfirman: aku adalah ketiga dari orang-orang yang bersekutu, selama salah seorang tidak menghianati temannya tetapi apabila mereka khianat makaaku keluar dari mereka"(HR. Abu Dawud dishohehkan oleh Hakim )74 Prosentase pembagian keuntungan antara franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee sudah dinyatakan dengan jelas dan dituangkan dalam perjanjian kerjasama yang dibuat franchisor (pemberi waralaba) menentukan kebijakan menyangkut prosentase pembagian keuntungan sesuai 74
Hafidz Al-Mundziry, Sunan Abu Dawud IV,(Semarang : CV. Asyifa'1993),33.
66
aturan yang berlaku sipemberi waralaba. Jadi paling tidak penerima waralaba harus menerima semua aturan yang berlaku tersbut. Besarnya prosentase pembagian keuntungan yang diterima oleh franchisee (penerima waralaba) di sini adalah Supermarket Luwes Ponorogo
yaitu 50% dari semua hasil
penjualan yang laku disetiap bulannya. Sebagaimana yang penulis ketehui dilapangan melalui wawancara dengan manager Supermarket Luwes Ponorogo bahwa pembagian keuntungan 50% itu pihak franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee (penerima waralaba) sudah sama-sama rela dan adil tidak ada yang dirugikan. Kata adil berarti memberikan setiap orang untuk menjadiakan haknya atau yang seharusnya diterima olehnya, sehingga ia dapat melaksanakan kewajiban tanpa rintangan. Dengan kata lain pembagian keuntungan dikatakan adil apabila hak masing-masing pihak seimbang dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Bagian yang sehaurusnya diperoleh sesuai dengan jerih payah yang telah dilakukan. Sebagaimana firman Allah swt dalam surat An-najm ayat 39 :
(39: a£}] )اepَUَ[ Ul]ن ِإ ِ Uَ¢Tْ Nِfْ ]ِ ن l َوَأ Artinya : "Bawasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya"75 Ayat di atas memberikan pengertian bahwa sesuatu yang diperoleh manusia itu tergantung kepada usaha dan jerih payah yang dilakukan. Adapun penilaian adil dalam tinjauan hukum positif dan hukum Islam serta fiqh muamalah tergantung pada perjanjian yang dilakukan. Apabila perjanjian dengan segala isi dan persyaratan telah disepakati bersama, suka 75
Depag RI Al-Qur'an dan terjamhanya : 874.
67
sama suka, maka perjanjian tersebut mengikat semua belah pihak dan harus dipenuhi. Menurut tinjauan fiqh muamalah pembagian keuntungan (profit sharing) yang dilakukan Supermarket Luwes Solo sebagai franchisor (pemberi waralaba) dan Supermarket Luwes Ponorogo sebagai franchisee (penerima waralaba) sudah sesuai dengan fiqh muamalah. Karena didasari pada kerelaan masing-masing pihak telah sepakat. Ditambah lagi masingmasing pihak tidak mersa dirugikan dengan adanya pembagian keuntungan tersebut. Timbulnya rasa percaya
dari masing-masing pihak dapat
menentukan berlangsung tidaknya kerjasama yang dilakukan.
68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Kerjasama waralaba antara franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee (penerima waralaba) di Supermarket Luwes Ponorogo tergolong dalam bentuk syirkah, perjanjian akad tersebut sudah memenuhi syarat dan rukunnya, dan sudah tercakup di dalamnya hak dan kewajiban masingmasing pihak, sehingga akad kontrak terjadi sesuai dengan fiqh muamalah. 2. Mengenai pembagian keuntungan antara franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee (penerima waralaba) di Supermarket Luwes Ponorogo masing-masing
sudah
sepakat
terhadap
pembagian
keuntungan.
Kesepakatan tersebut menunjukkan kerelaan dan keridloan kedua belah pihak, dan ini sesuai dengan fiqh muamalah
B. Saran-Saran 1. Syarat-syarat akad atau perjanjian antara franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee (penerima waralaba) hendakya dilakukan dengan cara transparan antara kedua belah pihak atas dasar kujujuran dalam rangka kerjasama yang saling menguntungkan. 2. Sistem pembagian keuntungan antara franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee (penerima waralaba) sebaiknya terus dilakukan sesuai dengan
69
kesapatan awal demi berlangsungnya bisnis waralaba di Supermarket Luwes Ponorogo. 3. Bila terjadi persengketaan hendaknya diselesaikan dengan hati nurani dan mempertimbangkan kemaslahatan bersama.
70
DAFTAR PUSTAKA Antonio, Syafi'i M. Bank Syariah dari Teori Kepraktek. Jakarta : Gema Insani, 2000. An-Nabhani, Taqyuddin. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam, (terj). Moh Maghfur Wachid. Surabaya: Risalah Gusti, 2002. Al-Mushlih, Abdullah & Ash-Shawi, Shalah. Fiqih Ekonomi Keuangan Islam. (terj). Abu Umar Basyar. TT. Al-Mundziry, Hafidz. Sunan Abu Dawud IV. Semarang : CV. Asyifa',1993. Basyir, Azhar, Ahmad. Asas-asas Hukum Muamalah. Yogyakarta: PERPUS F Hukum UII, 1988. Chapra, Umer. Sistem Moneter Islam. (terj). Ikhwan Abidin Basri. Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Depag RI. Al-qur'an dan Terjemahannya. Jakarta: ttp, 1997. Dawud, Abu. Sunnah Abu Daud. (terj).A.Syingity Djamaluddin Semarang: CV. Asy-syifa, juz IV,1993. Hakim, Lukman. Info Lengkap Waralaba. Jakarta: PT. Buku Kita, 2008. Haroen, Nasrun. Figh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Lubis, Suhrawardi K. Hukum Ekonomi Islam. Surabaya : Sinar Grafika, 178. Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: PT Remaja Rosda Karya, 2004. Muhammad. Tehnik Penghitungan Bagi Hasil Dan Profit Margin Pada Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press, 2006. Sugiono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2005. Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, 2002. Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam jilid IV. Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 2003. http://www. afc.com./Aceh forum community/waralaba/.
71
http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2007/12/17/tinjauan-hukum-positifdan-hukum-Islam-konsep-bisnis-waralaba-franchising/. http://franchisewaralaba.com/2008/11/20/peluang-waralaba-Indonesia/. http:// www.wikipedia.com http:// indoskripsi.com launched at November 2007-2009. Website hosting by IdeBagus. http: www.syariah.org. M. Shiddiq Al-Jawi. 30 August, 2008.