BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Korupsi sudah dianggap sebagai penyakit moral. Ada kecenderungan
intensitas dan modusnya semakin berkembang dengan penyebab multi factor. Korupsi terjadi secara sistemik yang melibatkan semua unsur terkait, yang terjadi di berbagai instansi seperti unsur Lembaga Tinggi Negara, Pemerintah maupun kelompok masyarakat. Meskipun upaya pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi telah dilakukan secara sungguh-sungguh antara lain dengan menerbitkan UndangUndang Nomor: 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi. Pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999; Undang-Undang nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Inpres nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Peraturan Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 60 tahun 2012 Tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan melayani di Lingkungan Kementrian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, namun upaya pemerintah tersebut belum sepenuhnya membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan.
Era otonomi daerah membawa dampak positif pada satu sisi dan dampak negatif pada sisi lainnya. Semakin terarahnya kegiatan pembangunan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah merupakan salah satu dampak positif. Pada sisi lain seiring dengan bertambahnya kewenangan dan semakin besar jumlah dana yang dikelola daerah telah mendorong semakin besarnya potensi terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi mulai bergeser dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Selain itu, korupsi yang terjadi di daerah tidak hanya melibatkan pihak eksekutif tetapi juga melibatkan legislatif. Di Sektor pemerintahan, khususnya di Tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Jawa Barat, praktik korupsi dilakukan dengan berbagai bentuk dan modus operasi yang bervariasi. Modus tersebut diantaranya dengan melakukan legalisasi suatu kondisi/aktivitas melalui kebijakan yang dikeluarkan, baik oleh pihak eksekutif maupun legislatif untuk memperkaya diri sendiri atau golongan. Disamping itu maraknya bantuan program pusat/daerah yang dimanfaatkan
oleh
sosial/masyarakat
pihak
tertentu
dengan
mengatasnamakan
kelompok
sehingga pada akhirnya bukan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat tetapi menyengsarakan masyarakat dan merugikan keuangan negara. Di tengah gencarnya upaya pemerintah untuk mendorong terwujudnya praktik Good corporate Governance di Sektor Privat, ternyata praktik korupsi masih sering terjadi pada beberapa BUMN dan BUMD yang antara lain disebabkan lemahnya pengawasan internal dan pengelolaan risiko (management risk) perusahaan.
Terkait mengenai hal tersebut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah instansi pemerintah yang menghasilkan berbagai produk jasa pelayanan yang dapat digunakan oleh instansi pemerintah lainnya. Berbagai produk jasa pelayanan yang dihasilkan BPKP pada dasarnya merupakan produk jasa pelayanan yang tersedia di pasar dan biasanya diproduksi oleh BPK dan sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang konsultansi seperti kantor akuntan publik. Penggunaan produk jasa BPKP oleh instansi pemerintah pada dasarnya merupakan keinginan dari instansi pemerintah yang bersangkutan, hal ini karena memang tidak ada keharusan bagi suatu instansi pemerintah untuk menggunakan jasa layanan BPKP. Salah satu layanan jasa yang dihasilkan BPKP adalah layanan audit investigasi, Jasa audit investigasi ini diberikan terutama untuk memenuhi permintaan penyidik seperti kejaksaan dan kepolisian terkait penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. Layanan audit investigasi yang diberikan kepada pihak penyidik dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pembuktian kasus tindak pidana korupsi dalam proses hukum di pengadilan. Dalam proses pembuktian kasus pidana ini, auditor investigasi biasanya diminta menjadi pemberi keterangan ahli dalam persidangan di pengadilan. Saat ini kebutuhan terhadap jasa audit investigasi semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat luas berharap adanya peningkatan kemampuan penyidik dalam mengungkap kasus kasus korupsi. Demikian juga pihak penyidik sangat
mengharapkan bantuan layanan audit investigasi yang berkualitas dari BPKP guna membantu pengungkapan berbagai kasus dugaan korupsi yang ditanganinya. Dalam periode 2003-2008, BPKP memegang peran terbesar dalam kegiatan audit investigasi untuk membantu pihak penyidik (KPK, Kepolisian dan Kejaksaan) dalam mengungkap berbagai kasus tindak pidana korupsi di Indonesia dibandingkan dengan peran yang telah diberikan oleh lembaga audit lainnya termasuk BPK (Tuanankotta,2009:202). Dalam penanganan kasus tindak pidana tersebut, auditor investigasi BPKP berperan aktif dalam setiap tahapan proses penegakkan hukum oleh penegak hukum, yaitu sejak tahapan penyelidikan, penyidikan, dan proses penuntutan di pengadilan. Peran besar auditor investigasi BPKP secara nasional dalam proses penegakan hukum atas berbagai kasus tindak pidana korupsi juga terjadi secara regional di wilayah hukum Jawa Barat yang diperankan oleh auditor investigasi BPKP Perwakilan Provinsi Jawa Barat. Bahkan setiap tahunnya terjadi peningkatan peran auditor investigasi BPKP Jawa Barat sejalan dengan meningkatnya jumlah kasus tindak pidana korupsi yang ditangani pihak penyidik di wilayah hukum Jawa Barat. Sepanjang tahun 2014, tercatat 51 (Lima puluh satu) kasus tindak pidana korupsi di wilayah Provinsi Jawa Barat yang ditangani oleh BPKP Perwakilan Jawa Barat melalui
kegiatan audit investigasi. Meningkatnya permintaan
penyidik terhadap jasa layanan audit investigasi guna membantu pengungkapan berbagai kasus korupsi ini perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan yang diberikan oleh BPKP Perwakilan Jawa Barat. (Tya, 2014).
Namun demikian, BPKP Perwakilan Jawa Barat tampaknya belum sepenuhnya dapat mengimbangi peningkatan permintaan layanan audit investigasi dengan peningkatan kinerjanya sesuai dengan harapan penyidik. Hal ini setidaknya dapat diketahui dari adanya keluhan dari berbagai pihak seperti penyidik dan masyarakat luas terhadap kualitas layanan audit investigasi yang diberikan BPKP Perwakilan Provinsi Jawa Barat sebagaimana sering dimuat dalam berbagai media masa atau keluhan yang disampaikan langsung oleh pihak terkait kepada auditor BPKP Perwakilan Provinsi Jawa Barat. Diantaranya adalah terkait dengan lambannya penyelesaian penugasan audit oleh auditor BPKP sehingga laporan belum dapat diterbitkankan. Adanya batasan kondisi ini akan berimbas pada terhambatnya proses pelimpahan kasus di persidangan. Kurangnya kemampuan komunikasi antara auditor dengan pihak penyidik dan adanya batas waktu penanganan kasus oleh pihak penyidik menjadi faktor penghambat. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas audit investigasi pada Kantor Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Barat sangat ditentukan oleh empat faktor,yaitu: 1. Kecepatan dalam penyelesaian penugasan audit dan kecepatan dalam penyampaian laporan hasil audit kepada pihak penyidik. 2. Adanya komunikasi yang baik antara auditor dengan pihak penyidik/jaksa penuntut umum (JPU). 3. Laporan hasil audit telah memenuhi kebutuhan penyidik (professional, lengkap, akurat, objektif, jelas dan meyakinkan).
4. Auditor memiliki kemampuan yang memadai untuk tampil sebagai pemberi keterangan ahli (saksi ahli) di persidangan. (PPBI,2010). Sementara itu AAA Financial Accounting Commite (2000) dalam Christiawan (2002:83) menyatakan bahwa kualitas audit ditentukan oleh 2 hal yaitu kompetensi dan independensi. Kedua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas audit. Menurut Christiawan (2002:84) kompetensi berkaitan dengan pendidikan dan pengalaman memadai yang dimiliki akuntan publik dalam bidang auditing dan akuntansi. Dalam melaksanakan audit, akuntan publik harus bertindak sebagai seorang yang ahli di bidang akutansi dan auditing. Selain itu menurut Christiawan (2002:86) independensi adalah merupakan salah satu komponen etika yang harus dijaga oleh akuntan publik. Independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaan untuk kepentingan umum. Auditor berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik. Potensi untuk menemukan fraud tergantung kepada waktu dan keahlian auditor, untuk itu kompetensi merupakan hal yang penting dimiliki oleh auditor investigatif. Kelemahan auditor biasanya terlihat dari kebiasaan melaporkan temuan mereka. Temuan yang begitu penting dapat berakhir dengan kalimat ‘tidak didukung bukti-bukti yang cukup’ (Tuanakotta, 2007:45).
Semakin baik keahlian yang dimiliki auditor maka semakin singkat waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan audit investigatif. Apabila auditor dinilai lamban, maka masyarakat akan resah, misalnya kasus yang terjadi di Aceh, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di Aceh dilaporkan ke BPKP Pusat oleh Masyarakat Transparansi Aceh (MaTa) perihal BPKP dinilai lamban dalam mengaudit kerugian negara pada sejumlah kasus korupsi di Aceh (Gusnandar, 2014). Banyak kasus penyelewengan yang terjadi dikalangan auditor terkait dengan kompetensi dan independensinya sebagai auditor. Bahwa salah satu auditor BPK yakni kasus audit Bagindo Quirino menerima dana suap di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) terkait temuannya dimana suap tersebut diberikan agar Bagindo tidak melaporkan semua temuannya dalam kasus korupsi penyelewengan dana Anggaran Belanja Tambahan (ABT). (Rizky, 2009). Fenomena lain terkait pada kasus Hambalang yang tidak ada sinkronisasi antara fakta temuan dengan data-data kerugian yang dialami menurut Agus D.W Martowardojo
beliau
dahulu
yang
menjabat
sebagai
Menteri
Keuangan
mengemukakan ada 10 bentuk pelanggaran, yaitu terkait surat keputusan hak pakai ,terkait lokasi dan site plan,terkait Izin Mendirikan Bangunan, tentang teknis, terkait revisi
Rencana
Kerja
Anggaran
Kementerian/Lembaga
(RKA-KL),
terkait
permohonan kontrak tahun jamak, terkait persetujuan RKA-KL 2011, terkait pelelangan, terkait pencarian anggaran 2010, terkait pelaksanaan perkerjaan konstruksi (Gatra, 2012).
Sepuluh temuan audit BPK tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas audit Hambalang menimbulkan pernyataan ambigu mengenai laporan keuangan serta pertentangan prinsip kewajaran laporan keuangan (Johnstone et al., 2013:16).
Adanya Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), diharapkan tidak terjadi cara audit yang tidak jujur dan akurat dan serta banyak terjadi penyimpangan. Hal tersebut mengenai sejumlah auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) diungkapkan turut menerima "uang haram" saat penyusunan SOP kegiatan audit pengawasan dan pemeriksaan sarana prasarana bersama dengan Itjen Kemendiknas. Agus D.W Martowardojo selaku Menteri Keuangan menyesalkan khususnya di itjen dan BPKP menyatakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP, selain untuk mencapai tujuan organisasi yang efisien dan efektif, juga bertujuan meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, serta meminimalisasi penyimpangan anggaran dan korupsi di departemen (Putranto, 2013). Kasus lain yang terkait mengenai Menteri Keuangan yaitu Sri Mulyani yang mana pada tahun 2007 membekukan izin Akuntan Publik (AP) Djoko Sutardjo dari Kantor Akuntan Publik Hertanto, Djoko, Ikah & Sutrisno selama 18 bulan. Djoko dinilai telah melakukan pelanggaran atas pembatasan penugasan audit dengan hanya melakukan audit umum atas laporan keuangan yang menimbulkan kualitas audit menjadi berkurang pada PT Myoh Technology Tbk. Penugasan ini dilakukan secara berturut-turut sejak tahun buku 2002 hingga 2005 (Malik, 2007).
Beberapa fenomena diatas merupakan kasus pelangaran mengenai tindak korupsi dan perihal mengenai kualitas audit yang memerlukan kompetensi serta independensi auditor dalam penyelesaian proses penyidikan. Untuk itu, dalam memberikan kualitas audit investigatif diperlukan kompetensi yang terdiri atas pengetahuan, pengalaman, dan sikap mental yang baik. Aspek penting yang diperlukan lainya adalah independensi yang terdiri atas penyusunan program, verifikasi investigatif serta pelaporan. Dengan adanya kompetensi dan independensi yang dimiliki auditor maka akan menumbuhkan sikap professional dalam melakukan pekerjaannya.
Dalam
sektor
publik,
Goverment
Accountability
Office
(GAO),
mendefinisikan kualitas audit sebagai ketaatan terhadap standar profesi dan ikatan kontrak selama melaksanakan audit (Lowenshon et al., 2005). Audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Auditor harus memiliki dan meningkatkan pengetahuan mengenai metode dan teknik audit serta segala hal yang menyangkut pemerintahan seperti organisasi, fungsi, program, dan kegiatan pemerintahan (BPKP, 1998). Seorang auditor juga harus bersikap independen, yaitu sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh orang lain, tidak tergantung pada orang lain. Pihak yang seharusnya tidak pantas untuk melakukan pelanggaran, tidak seharusnya melanggar kode etik auditor dan melakukan tugas dengan sebagaimana mestinya, oleh karena itu didalam audit khususnya dalam kualitas audit
investigatif,
auditor
investigatif
harus
memiliki
kompetensi
dan
independensi yang memadai, hal ini dikarenakan agar memberikan hasil yang
tepat, akurat serta berkompeten dalam memberikan kualitas audit yang memadai. Kaitannya mengenai kualitas audit investigatif merupakan suatu tantangan bagi auditor, hal ini disebabkan karena minimnya pengalaman dalam mendeteksi kecurangan hal tersebut menjadi permasalahan dalam pemberian keterangan kepada berbagai pihak. Dengan demikian berdasarkan latar belakang permasalahan di atas,maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian yang kemudian hasilnya akan dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul : “PENGARUH
KOMPETENSI
DAN
INDEPENDENSI
TERHADAP KUALITAS AUDIT INVESTIGATIF
AUDITOR
(Studi Kasus Pada
Auditor Investigasi di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Jawa Barat)”.
1.2 Identifikasi Masalah Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, audit investigasi merupakan salah satu tahap penting pembuktian kecurangan (fraud) khususnya tindak pidana korupsi. Aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian, kejaksaan dan KPK meminta kepada auditor untuk melakukan audit investigasi maka berdasarkan permintaan tersebut auditor wajib melaksanakan audit tersebut dengan standar dan ketentuan yang berlaku secara efektif, dengan hal ini bertujuan untuk meninjau lebih apakah hasil audit investigatif efektif dan efisien dalam menentukan kualitas audit yang baik. Akan tetapi audit investigasi adalah optional bagi pengadilan, artinya belum tentu pihak pengadilan meminta bantuan auditor untuk melakukan audit investigasi jika alat bukti yang diajukan oleh penuntut umum sudah
dipandang cukup. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peniliti mengidentifikasikan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaruh kompetensi auditor terhadap kualitas audit investigatif. 2. Bagaimanakah pengaruh independensi auditor terhadap kualitas audit investigatif. 3. Bagaimanakah pengaruh kompetensi dan independensi auditor terhadap kualitas audit investigatif.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang pelaksanaan audit investigasi yang dilakukan oleh auditor dalam menentukan kualitas audit investigatif, serta untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki seorang auditor untuk dapat melakukan audit yang efektif. Sesuai dengan masalah yang telah di identifikasi, tujuan penelitian adalah: 1. Untuk mengetahui pengaruh kompetensi auditor terhadap kualitas audit investigatif. 2. Untuk mengetahui pengaruh independensi auditor terhadap kualitas audit investigatif. 3. Untuk mengetahui pengaruh kompetensi dan independensi auditor terhadap kualitas
audit
investigatif
di
Badan
Pengawasan
Pembangunan (BPKP) perwakilan Provinsi Jawa Barat.
Keuangan
dan
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoritis Pengembangan ilmu pengetahuan : 1. Dapat memberikan tambahan informasi bagi para pembaca yang ingin menambah wawasan pengetahuan khusus di bidang auditing dan sektor publik. 2. Memberikan pengetahuan bagi para pembaca mengenai audit investigatif. 3. Sebagai sarana bagi penelitian yang mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh peneliti dari bangku kuliah dengan yang ada di dalam dunia kerja
1.4.2 Kegunaan Praktis Penelitian yang dilakukan penulis ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi : 1. Penulis Diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pengaruh kompetensi dan independensi auditor terhadap kualitas audit investigasi. 2. Pembaca Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi dan referensi bagi penilitian sejenis.
3. Instansi terkait Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan baik kepada auditor investigasi dalam kemampuannya untuk membuktikan dalam pelaksaannya seorang auditor dapat memberikan sebuah kualitas audit investigasi yang baik. 4. Bagi Akademik Diharapkan dari hasil penilitian ini dapat dijadikan sumbangan pemikiran dan bahan referensi awal bagi mahasiswa khususnya Jurusan Akutansi
1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian Untuk memperoleh data sehubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penyusunan proposal ini, maka penulis akan melakukan penelitian pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Jawa Barat Bandung. Untuk memperoleh data yang diperlukan sesuai objek yang diteliti, maka penulis melaksanakan penelitian dari bulan Maret 2015 sampai dengan selesai.