1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra, sejarah, dan politik seakan tak bisa lepas dari keterkaitannya. Tak terkecuali jika kita berkaca pada roman sejarah kolonial Belanda di Indonesia (Indische Letteren Nederlands – Indies Literatuur). Dalam ranah tersebut, politik kolonial melalui sebuah upaya rekayasa sejarah yang mewujud ke dalam sebuah roman sejarah tentang tanah jajahan tentulah sangat memiliki peran dan posisi yang sangat politis. Hal tersebutlah yang dilakukan dalam penelitian ini yang menjadikan roman Sang Jenderal dan Sang Penasihat menjadi objek kajiannya. Fokus utama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengkaji peran roman sebagai sebuah karya sastra yang berfungsi sebagai alat politik bekas kolonial. Konstruksi wacana, posisi historis karya, dan relasi kuasa serta politik pewarisan ingatan dibalik terbitnya kedua roman ini adalah hal juga yang akan menjadi perhatian khusus dalam penelitian ini. Ann Rigney (2004:383) menyebut pewarisan ingatan tersebut sebagai Cultural Memory. Memori kebudayaan berupa artefak teks yang dalam pandangan Rigney berfungsi sebagai Portable Monument, yakni monumen yang tertanam, terbawa dan terwariskan dalam memori lintas generasi. Pewarisan tersebut dikonstruksi dan dimanipulasi sedemikian rupa agar apa yang telah terjadi pada masa sebelumnya memiliki praktik pemaknaan (signification practices) yang tidak keluar dari kepentingan subjek kolektif penulis sebagai bekas kolonial. Agar di masa yang akan datang tetap berada
2
dalam hegemoni dan dominasi bekas kolonial itu sendiri. Sehingga pada konteks demikian, penjajahan secara fisik boleh berakhir, akan tetapi penjajahan secara pemikiran, moral, dan selera yang berkenaan dengan objek hegemoni lainnya dapat terus berlangsung. Roman De Laatste Generaal (Sang Jenderal) dan De Raadsman (Sang Penasihat) mulai ditulis oleh H.J. Friedericy ketika masa penjajahan kolonialisme Belanda berakhir dan Jepang mengambilalih kekuasaan atas Hindia Belanda pada tahun 1942. Di saat bersamaan negeri Belanda juga diduduki oleh Jerman ketika Perang Dunia II berlangsung di Eropa. Di penjara Struiswijk Jakarta tempat Friedericy ditahan, ide tentang penulisan roman ini mulai dijalankannya. Roman Bontorio yang merupakan versi pertama dari De Laaste Generaal terbit tahun 1947. Kemudian pada tahun 1958 versi pertama yang berjudul Bontorio tersebut terbit ulang dengan perubahan judul menjadi De Laatste Generaal. Roman kedua hampir bersamaan terbit, yakni De Raadsman pada tahun 1958 (Hartoko,1985:310-311). Adapun penerjemahan kedua roman ini dilakukan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1990 untuk De Raadsman dengan judul “Sang Penasihat” dan De Laatste Generaal dengan judul “Sang Jenderal” ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1991. Jika Sang Jenderal bercerita tentang superioritas Belanda dalam hal penaklukan bersenjata, maka Sang Penasihat bercerita tentang pemberadaban (civilization) Belanda dalam menerapkan sistem pendidikan, pemerintahan dan pemberlakuan hukum kolonial. Setting tempat roman kedua Friedericy ini adalah daerah bekas kekuasaan Kerajaan Gowa dan Bone yang ditaklukkan
3
pada tahun 1905-1906 hampir bersamaan dengan semua Kerajaan di Sulawesi Selatan. Setting waktu roman ini berkisaran masa setelah pra-penaklukan pada tahun 1870 sampai pada beberapa tahun setelah kemerdekaan sebelum roman ini ditulis pada tahun 1958. Sebagai seorang intelektual yang mempelajari ilmu indologi dan penghasil karya tentang masyarakat Bugis-Makassar, Friedericy bisa dikatakan telah menjalankan tugasnya dengan sangat sempurna dengan menjadi pejabat kontrolir sekaligus mempelajari masyarakat Bumiputera yang menjadi masukan kepada Pemerintah Kolonial Belanda (Amir,2009:16). Peran misionaris seolah digantikan oleh para orientalis seperti Friedericy yang belajar Indologi di negerinya, kemudian bertugas sebagai pejabat kolonial di Hindia Belanda sekaligus melakukan penelitian di sisi lain sebagai sebuah tugas studinya. Meski Hartoko (1985:309) menyebutnya sebagai generasi Leiden berhaluan etis dan a-politis, akan tetapi posisi Friedericy yang menjadi pejabat kolonial sekaligus peneliti antropologi yang sangat etnografis dengan semangat orientalisnya bisa dikatakan bersifat sebaliknya dalam kacamata kajian poskolonial di masa sekarang ini. Dalam khasanah pengkajian ilmiah dan praktik berkebudayaan, kedua roman ini pula telah dijadikan referensi untuk pengkajian sastra dan sejarah serta menjadi sebuah judul naskah drama yang dipentaskan di Makassar beberapa waktu yang lalu. Untuk Sang Jenderal, telah dikaji oleh salah seorang Mahasiswa Sastra Belanda UI (Pattiserlihoen:1995) ke dalam sebuah skripsi. Sedangkan untuk Sang Penasihat telah menjadi rujukan tesis untuk
4
melihat sejarah Makassar di masa pemerintahan kolonial (Amrullah Amir:2009)1. Selain itu juga menjadi bahan referensi dalam makalah Amrullah pada Kongres Sejarah2 tahun 2011 lalu. Untuk pentas drama sendiri alur cerita tentang Sang Jenderal ini diadopsi oleh Fahmi Syarif (2013) dengan judul Jenderal Terakhir (Yudhistira:2014)3. Keterangan di atas menjelaskan bahwa kedua roman Friedericy ini setidaknya menjadi sebuah monument yang terwarisi oleh beberapa generasi sampai hari ini. Baik sebagai bahan untuk kajian ilmiah maupun untuk pelaksanaan pentas seni sebagai salah satu praktik berkebudayaan. Disitulah penulis melihat arti pentingnya karya Friedericy ini dalam hal pewarisan wacana dan memori kebudayaan. Friedericy lewat dua romannya ini dapat dikatakan telah melakukan apa yang disebut oleh Edward Said sebagai orientalisme baru setelah terjadinya Perang Dunia II, oleh Bill Ashcroft dilihat sebagai keberlanjutan hegemoni budaya melalui karya sastra sebagaimana dalam karyanya The Empire Writes Back dan juga. Ann Rigney menyatakan hal di atas sebagai Portable Monument. Monument keabadian yang tertanam, terwarisi dan yang selalu terbawa melalui memori kebudayaan (Culture Memory). Bagaimana praktik – praktik representasi superioritas kolonial pada kedua teks roman sejarah Friedericy ini ditampilkan dan dihidupkan kembali setelah penjajahan fisik berakhir. Bagaimana peran politis Friedericy sebagai seorang penulis, 1
Thesis di Jurusan Sejarah UGM tahun 2009 Amrullah Amir, Melihat Sejarah social Makassar melalui Roman dan Cerpen H.J Friedericy. Tulisan ilmiah pada konferensi nasional Sejarah IX di Jakarta Juli 2011 3 Lihat Kolom Literasi di Koran Tempo Makassar dengan Judul Pentas Jenderal Terakhir, Edisi Jumat,21 Februari 2014 hlm. A15 2
5
begitupula sejarah yang direpresentasikan secara politis, serta konteks sejarah penulisan dan penerjemahan kedua karya ini juga dilihat sebagai gambaran situasi politik apa yang direspon sesuai konteks penulisannya (1947 dan 1958) pada masa kekuasaan Soekarno
dan penerjemahannya ke dalam Bahasa
Indonesia di masa kekuasaan Soeharto (1990 dan 1991). Pendekatan poskolonial merupakan pisau analisa yang akan digunakan dalam menelaah wacana kolonial yang beroperasi dalam kedua karya Friedericy ini. Juga alasan politis dibalik penerjemahan kedua karya ini ke dalam Bahasa Indonesia di masa setelah penjajahan fisik kolonial Belanda berakhir. Diskursus (wacana) kolonial berupa praktik representasi terhadap pribumi (other/liyan) oleh subjek kolonial (self) yang beroperasi dalam karya sastra khususnya akan menjadi bahasan penting pada penelitian ini. Pisau analisa inilah nantinya yang akan membantu peneliti dalam menunjukkan bagaimana karya sastra kolonial yang ditulis pada masa penjajahan fisik yang telah berakhir ini bukanlah hal yang lahir dari ruang hampa dan merupakan karya kreatif yang bersifat imajinatif dan estetik belaka. Akan tetapi merupakan sebuah praktik berkebudayaan yang bersifat ideologis dan politis. 1.2 Rumusan Masalah 1. Wacana Kolonial apa yang ditampilkan dalam roman Sang Jenderal dan Sang Penasihat? 2. Mengapa roman Sang Jenderal dan Sang Penasihat yang memuat wacana kolonial Belanda hadir dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia?
6
1.3 Tujuan Penelitian Penelitan ini bertujuan melihat hubungan kedua roman Friedericy (Sang Jenderal dan Sang Penasihat) sebagai produk kebudayaan dengan upaya kekuasaan kolonial Belanda dalam mengukuhkan superioritas dan klaim jasa pemberadabannya sebagai bekas kolonial terhadap bekas jajahannya Indonesia yang sudah memerdekakan diri secara politik. Baik dalam upayanya menaklukkan tanah jajahan pada konteks roman Sang Jenderal dan juga pada upayanya mewariskan ingatan dan pengaruhnya dalam hal misi pemberadaban bekas jajahan dalam pewarisan pendidikan modern dan hukum kolonial yang menggantikan pola yang dianggap tradisional pada konteks roman Sang Penasihat. Kedua roman sejarah Friedericy di atas akan ditelaah dengan melihat konstruksi wacana kolonial berupa konsep “diri”/”liyan” yang direpresentasikan dalam karya. Kemudian sejarah yang direpresentasikan dalam karya digenesiskan dengan konteks sejarah yang hadir secara faktual di masa itu. Setelah itu konteks situasi sosial politik pada waktu kedua novel tersebut ditulis dan diterjemahkan juga dilihat dalam rangka menemukan keterkaitan agenda politis dan ideologis dengan hadirnya kedua roman ini sebagai alat hegemoni dengan berbagai relasi kuasa yang berada dibaliknya.
1.4 Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa karya tulis yang membahas karya Friedericy. baik yang berupa skripsi, tesis, makalah maupun berupa buku terbitan.
7
Beberapa diantaranya bisa dibilang melakukan cara analisa yang masih terpilah sesuai dengan fokusnya masing – masing. Sejauh penelusuran penulis, terdapat satu skripsi yang membandingkan secara intrinsik karya Friedericy yakni Bontorio yang ditulis pada tahun 1947 dan juga De Lastste Generaal (Sang Jenderal) yang merupakan revisi dari Bontorio. Satu tesis yang menggunakan karya Sang Penasihat untuk melihat relevansi karya Friedericy ini dengan sejarah sosial di Makassar. Penulis yang sama dari tesis tersebut juga menulis sebuah makalah yang menggunakan roman Sang Penasihat dan beberapa cerpen Freidericy untuk melihat relevansinya terhadap sejarah sosial Makassar konteks awal sampai pertengahan abad 20. Selain itu, berdasarkan kesamaan pengkajian tentang novel pada masa kolonial terdapat dua mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada dan Universitas Utrecht yakni tesis yang membahas Tinajauan Poskolonia novel Max Havelaar karya Multatuli serta Perbandingan Analisis antara Oeroeg dan Sleuteloog sebagai cerminan karya poskolonial karya Hella S.Haasse. Skripsi Niken I. Pattiserlihoen berjudul Dua Versi De Laatste Generaal Karya H.J. Friedericy; Sebuah Analisis Struktur. Skripsi ini hanya membandingkan versi pertama dan versi kedua roman Sang Jenderal Friedericy secara struktur intrinsik. Skripsi Tahun 1995 Jurusan Sastra Belanda Universitas Indonesia ini memfokuskan analisanya dalam melihat bagaimana alur cerita dari roman Bontorio dan Sang Jenderal dari aspek fokalisasi, struktur karya, tema, dan motif pada kedua versi roman
8
tersebut. Niken juga menambahkan beberapa gambaran di awal skripsinya tentang bagaimana posisi dan tugas Friedericy ketika bertugas di Sulawesi Selatan. Niken tidak sampai menganalisa bagaimana konteks social dan sejarah Sulawesi Selatan terkhusus Kerajaan Bone sebagai genesis Sosial dari roman Bontorio dan Sang Jenderal. Tinjauan Poskolonial juga tidak menjadi perspektif Niken dalam skripsinya ini. Tesis Amrullah Amir yang merupakan tesis sejarah pada Pascasarjana Universitas Gadjah Mada tahun 2009 berjudul Penguasa Kolonial, Bangsawan, dan Orang – orang Makassar: Perubahan Sosial dan
Budaya
Politik
di
Gowa
1906-1942
dan
makalah
yang
dipersembahkan pada Kongres Nasional Sejarah IX tahun 2011 berjudul Melihat Sejarah Sosial di Makassar Melalui Roman dan Cerpen Karya H.J. Friedericy merupakan dua karya dengan penulis yang sama melihat perspektif sejarah Makassar dari karya – karya Friedericy yang berupa roman dan cerpen. Roman yang digunakan terbatas Sang Penasihat dan beberapa cerpen Friedericy. Karena merupakan penelitian sejarah dan hanya menggunakan karya Friedericy Sang Penasihat sebagai sumber untuk melihat relevansinya terhadap sejarah sosial di Makassar yang berkenaan dengan roman tersebut, maka hasil penelitian ini tidaklah memfokuskan bagaimana menilai roman Sang Penasihat ini sebagai sebuah alat politik dalam tinjauan poskolonial. Juga tidak sampai menganalisa teks – teks narasi cerita roman Sang Penasihat sebagai sebuah praktik representasi sebagaimana yang menjadi fokus penulis
9
dalam penelitian ini nantinya. Amrullah Amir hanya melihat bagaimana roman Sang Penasihat bisa dijadikan bahan refleksi sosial dalam melihat dan mengkaji sejarah sosial di Makassar dan Sulawesi Selatan secara umum. Amrullah tidak pula sampai melihat keterkaitan antara Sang Jenderal dan Sang Penasihat sebagai sebuah kesatuan praktik representasi dalam teks dan strategi pewarisan ingatan bekas kolonial Belanda dalam tinjauan poskolonial. Tesis Alina Helsloot yang ditulis pada tahun 2007 di Universitas Utrecht Belanda membahas cerminan historis dalam kacamata poskolonial roman Oeroeg (1948) dan Steutelog (2002) karya Helena S. Haasse (Reflection in a Postkolonial Mirror: A Comparative Analysis of Hella Haasse‟s Oeroeg (1948) and Sleuteloog (2002)) adalah salah satu tinjauan pustaka yang dimasukkan disini. Alina melihat dari perspektif poskolonial terkhusus cara pandang Orientalisme Said namun tidak memfokuskan bagaimana genesis dan konteks sosial secara spesifik direfleksikan dalam karya. Selain itu juga tidak melihat posisi strategis Roman Oeroeg dan Sleuteloog dalam kancah sosial politik dan budaya secara luas dengan melihat roman sebagai alat politik dalam merespon perubahan sosial yang terjadi kala itu. Selanjutnya, tesis Tinjauan Poskolonial Max Havelar karya Christina menggunakan tinjauan paradigma kajian ilmu sastra dengan menekankan
aspek
fokalisasi
dalam
penceritaan
selain
tinjauan
orientalismenya. Tesis ini adalah hasil karya Mahasiswa pascasarjana
10
jurusan Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada pada tahun 2007. Christina fokus pada bagaimana struktur naratif pada novel Max Havelaar dan tinjauan poskolonial melalui beberapa teori poskolonial terutama Orientalisme Said. Tesis ini tidaklah memfokus dalam melihat bagaimana genesis sosial Max Havelaar dalam melihat bagaimana roman ini dapat alat representasi subjek kolektif kolonial sekaligus alat politik dalam. konteks politik penerbitan dan penerjemahan sebagaimana topik yang menjadi fokus bahasan penelitian dalam penelitian saya disini. Selain itu ada beberapa buku yang menuliskan tentang bagaimana biografi Friedericy beserta karya – karyanya dan juga peranannya dalam pemerintahan Kolonial di Hindia Belanda. Buku tersebut adalah karya Robert Nieuwenhuys The Mirror of the Indies: A History of Dutch Colonial Literature Library of the Indies (penerjemah Frans van Rosevelt, editor E.M. Beekman terbitan 1982). Karya Rob Nieuwenhuys yang berjudul asli Oost-Indische Spiegel (1972) ini kemudian ditulis ulang oleh Dick Hartoko ke dalam Bahasa Indonesia pada tahun 1977 dengan judul Bianglala Sastra; Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia (edisi kedua 1985). Selain itu juga terdapat buku (Un) Writing Empire penulis Peter van Zonneveld yang diedit oleh Theo D‟Haen, Two Tales of the East Indies dimana E.M Beekman menjadi pengantar dua roman tersebut memperkenalkan Friedericy sebagai penulis The Conselor (Sang Penasihat) beserta kiprahnya di dunia kesusastraan kolonial Hindia
11
Belanda. Tulisan E.M Beekman yang lain adalah Grounds for Memory, Colonial Literature from the Former of East Indies.
Secara umum
beberapa buku dan tulisan yang menyinggung tentang karya – karya Friedericy di atas hanyalah sekedar menggambarkan secara umum bagaimana Friedericy bercerita dalam karya – karyanya. Terutama dua romannya yang terkenal yakni De Laatste General dan De Raadsman. Penulis – penulis yang disebutkan di atas tersebut juga sedikit memperkenalkan bagaimana Friedericy sebagai seorang pejabat kontrolir pemerintah kolonial yang pernah ditugaskan di Sulawesi Selatan, Palembang, Batavia, dan juga kiprahnya sebagai penasihat pemerintah Belanda urusan politik tanah jajahan yang ditempatkan di Den Haag, Washington, Bonn, dan terakhir di London. Buku Faruk, Belenggu Pasca-Kolonial Sastra Indonesia (2007) dan Novel Indonesia, Kolonialisme dan Ideologi Emansipatoris (2012) adalah dua buku yang membahas bagaimana perspektif poskolonial terhadap novel – novel karya penulis Indonesia pada masa – masa kolonial. Buku pertama (2007) melihat bagaimana resistensi dan hegemoni yang terjadi pada penulis novel – novel Indonesia dari ideologi yang dibawa oleh kolonialisme di Indonesia. Buku kedua (2012) melihat bagaimana genesis sosial dan ideologi romantisisme yang dianggap sebagai ideologi emansipatoris dalam sastra yang terserap dalam novel – novel tradisi Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Buku kedua ini
12
menggunakan metode Strukturalisme Genetik dalam menelaah karya – karya yang ditelitinya. Sejauh penulusuran penulis belum ada yang fokus dalam melihat bagaimana secara spesifik wacana kolonial yang beroperasi dalam kedua roman Friedericy Sang Jenderal dan Sang Penasihat ini. Begitu pula hubungan politis antara teks dan terhadap konteks sejarah yang direpresentasikan, juga konteks sejarah yang melingkupi ketika roman ini ditulis dan diterjemahkan, pergolakan sosial apa yang sedang terjadi pada saat kedua roman tersebut di tulis dan diterjemahkan, dan apa peran politis dari lahirnya roman tersebut baik ketika terbitnya dalam bahasa aslinya maupun ke dalam Bahasa Indonesia. Bedanya di dalam penelitian ini, akan dikaji dua roman sekaligus (Sang Jenderal dan Sang Penasihat) sebagai satu kesatuan diskursus kebudayaan untuk melihat wacana kolonial apa, bagaimana, dan mengapa pewarisan ingatan tentang masa lalu kolonial Belanda ini ditampilkan kepada pembaca generasi Indonesia dengan hadirnya kedua roman Friedericy ini ke dalam Bahasa Indonesia. Adapun posisi studi ini diantara studi lainnya adalah penggunaaan perspektif poskolonial yang akan digunakan dalam melihat konten wacana kolonial yang secara politis dan ideologis dikonstruksi pada kedua roman Friedericy ini, kemudian konteks sejarah yang direpresentasikan sampai faktor politis yang melatar belakangi hadirnya karya ini ke dalam Bahasa Indonesia.
13
1.5 Kerangka Teoritik Keberadaan karya sastra yang merepresentasikan superioritas penjajah dan inferioritas yang dijajah dalam tinjauan poskolonialisme merupakan sebuah tindakan intelektual yang bernilai politis. Terdapat relasi kuasa yang mendasari keberadaan suatu karya. Terlebih lagi jika karya tersebut bersettingkan masa kolonialisme Barat Eropa dan Amerika terhadap Timur Asia, Afrika, dan juga Amerika Latin. Kolonialisme dan imperialisme juga sering disebut sebagai penjajahan negara – negara utara terhadap negara – negara selatan. Motif awal kolonialisme adalah keinginan untuk berdagang dan mendapatkan hasil dagangan langsung dari negeri aslinya. Motif tersebut lambat laun berkembang menjadi keinginan untuk menguasai jalur perdagangan sampai pada penguasaan wilayah penghasil kekayaan alam yang dinilai mampu memberikan keuntungan kepada negeri asal pedagang tersebut. Melihat keuntungan yang sangat besar tersebut, maka kongsi dagang Eropa dan juga pemerintah Kerajaannya mendukung sepenuhnya aksi kolonialisme ini. Kolonialisme dilakukan dengan penaklukan serdadu bersenjata terhadap pribumi dan diawetkan lewat ilmu pengetahuan dan karya sastra. Kontrol pemerintahan kolonial terhadap rakyat jajahan dilakukan secara fisik dan pemikiran. Secara fisik berupa pengawasan pemerintah kolonial dengan serdadu dan birokrasinya, sementara kontrol pemikiran dilakukan melalui
14
kebijakan pendidikan dan penyeleksian bacaan terutama karya sastra4. Secara sistematis di bawah ini akan dibahas mengenai teori – teori yang akan menjadi landasan bagaimana analisa terhadap wacana kolonial yang terkandung dalam teks roman karya Friedericy ini di masa pasca-kolonial Indonesia dan posisi serta peran politis sampai proses alihbahasa ke dalam Bahasa Indonesia yang melibatkan institusi dan intelektual pelaksana politik kebudayaannya.
1.5.1 Kolonialisme, Orientalisme dan Poskolonialisme Sejarah kolonialisme adalah sejarah pendudukan sebuah wilayah dan penaklukan terhadap pribumi penghuni wilayah taklukan. Motifnya adalah perluasan wilayah dalam rangka menguasai sumber ekonomi berupa sumber daya alam dan menjadikan penduduk taklukan sebagai budak pekerja demi keuntungan ekonomi negeri penakluk. Negeri yang menjadi penakluk dalam sejarah disebut sebagai imperium. Imperium Yunani dan Romawi dalam sejarah Eropa dikenal sebagai pemilik koloni awal dalam sejarah peradabannya pada era ribuan tahun sebelum masehi. Setelah itu terdapat juga Imperium Persia dan Islam yang berkuasa setelah kedua Imperium Eropa ini mengalami kemunduran (Loomba,2005:7-9)5. Imperialisme Eropa yang ditopang oleh kolonialisme dan revolusi industri lah yang kemudian
4
Artikel oleh Hilmar Farid di www.hilmarfarid.com, Kolonialisme dan Budaya : Balai Poestaka di Hindia Belanda. Diakses 15 Oktober 2014, pukul 15.07 WIB 5 Ania Loomba. Colonialism/Postkolonialism, Second Edition. (New York: Routledge,2005), hlm.7-9
15
menjadikan kolonialisme modern Eropa ini bersifat kompleks dan berbeda dengan bentuk imperialisme pra-kapitalis yang disebutkan sebelumnya. Kolonialisme Eropa diawali dengan penemuan beberapa daerah koloni baru melalui upaya pelayaran menyeberangi samudera luas oleh beberapa penjelajah Eropa. Kegiatan pelayaran untuk menjelajahi Samudera lepas ini didukung oleh pemimpin mereka di berbagai Kerajaan di Eropa sana. Penjelajahan bangsa Portugis, Spanyol, Prancis, Inggris, dan Belanda ini yang berlayar dalam rangka mendapatkan barang dagangan dari negeri asalnya akhirnya sampai di wilayah Asia Tenggara pada awal abad 16 tepatnya ditandai dengan mendaratnya armada pelayaran Portugis di Malaka pada 1511 (Ricklefs,2007:31-33). Dalam pandangan Ania Loomba (2005) mengenai kolonialisme seperti yang sedikit disinggung di atas, terdapat perbedaan antara praktek kolonialisasi pra-Eropa dan Kolonialisme Bangsa Eropa itu sendiri. Kolonialisasi pra-Eropa disebut kolonialisasi pra-kapitalis dengan meminjam pandangan Marxis dalam melihat sejarah perkembangan masyarakat (Loomba,2005:9-10). Intinya, penaklukan dan pembangunan koloni sebelum kolonialisme Eropa oleh Loomba dinilai belum sampai pada pertautannya dengan kapitalisme yang dibarengi dengan penaklukan budaya tanah jajahan. Itulah yang kemudian membedakan penjajahan ala Eropa ini dengan yang terjadi sebelumnya. Kolonialisme yang berlangsung selama berabad – abad dan memberikan dampak yang berkelanjutan meski pendudukan fisik terhadap tanah jajahan telah berakhir.
16
Kolonialisme Eropa tidak hanya memfokuskan pada penaklukan tanah jajahan beserta penduduknya, kemudian mengambil upeti dan sekedar mengumpulkan kekayaan dari koloni – koloni taklukan, akan tetapi kolonialisme Eropa jauh melampaui itu. Kolonialisme Eropa yang disebut sebagai kolonialisme modern sampai pada tahapan mengubah struktur perekonomian tanah jajahan dan menarik mereka kepada hubungan kompleks negara – negara induk sehingga terjadi arus manusia dan sumberdaya alam antara
negeri
induk
koloni
terhadap
negeri
kolonialnya.
Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di Eropa dan lahirnya revolusi industri mengakibatkan negeri jajahan dijadikan sebagai sumber mengeruk kekayaan alam serta penghasil budak pekerja di perkotaan dan daerah – daerah perkebunan kolonial yang tidak hanya di negeri taklukan tapi juga dipekerjakan di negeri jajahan bangsa Eropa lain. Inilah masa kolonialisme modern yang dimaksud oleh Loomba dalam analisanya mengenai perkembangan kolonialisme dan kapitalisme (Loomba, 2005:9-10). Kolonialisme modern dinilai sebagai bidan yang membantu melahirkan kapitalisme dan imperialism modern itu sendiri. Hubungan antara penjajah dan terjajah jauh lebih kompleks dibanding kolonialisme pramodern dan pra-kapitalis. Hubungan yang tidak setara ini menjadikan negeri jajahan yang nantinya menjadi bekas jajahan tidak mampu melepaskan diri sepenuhnya dari ketergantungan pada negeri bekas penjajah yang sudah menanamkan pengaruhnya yang begitu kuat. Mulai dari segi struktur ekonomi, pengetahuan, kebudayaan, maupun cita rasa dan selera negeri bekas
17
jajahan menjadi dominasi dan hegemoni negeri – negeri kolonial Barat terhadap Timur. Selain dominasi ekonomi, dominasi dan hegemoni budaya dan pengetahuan juga menjadi warisan kolonialisme modern Barat terhadap Timur. Hal ini yang diulas secara lugas oleh Edward Said dalam Orientalisme. Orientalisme Said mengungkap relasi kuasa Barat terhadap Timur melalui praktik representasi dan pengobjektifikasian Timur dari Barat yang berlangsung selama masa kolonialisme sampai pasca-kolonialisme hari ini (Said,1979:14). Representasi melalui karya – karya filologi, sastra, seni, historiografi, film dan berbagai produksi pengetahuan dan kebudayaan lainnya menempatkan Barat sebagai pihak yang superior, beradab, dan merasa terpanggil untuk memperadabkan Timur yang inferior, chaotic, dan tidak beradab dalam kacamata Barat. Sehingga Barat dianggap memiliki kewajiban mulia untuk memperadabkan Timur. Melalui karya sastra, menurut Said praktik – praktik representasi tersebut diproduksi dan direproduksi secara massif dalam rangka mengkonstruksi dan mengawetkan superioritas Barat dan juga semakin menciptakan rekayasa pembenaran akan apa yang dilakukan Barat terhadap Timur. Penemuan Said pada dekade 70-an abad 20 tersebut mendorong para sarjana – sarjana negeri bekas jajahan yang ada di Barat maupun di Timur untuk mengembangkan kajian Said dalam ranah keilmuan di berbagai Universitas di seluruh dunia. India merupakan negeri bekas jajahan Inggris yang bisa dibilang sangat getol dalam mengembangkan kajian yang dinamai
18
poskolonial ini. Kajian poskolonial ini pada akhirnya berkembang menjadi poskolonialisme (Faruk,2007). Paham perlawanan terhadap kolonial dan warisan – warisan kolonial yang mewujud secara ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Terkhusus pada penciptaan karya sastra, film, dan media massa.
1.5.2 Wacana Kolonial dalam Karya Sastra Sebagai seorang perwakilan subjek kolektif kolonial yang memiliki pandangan dunia yang berlawanan dengan subjek kolektif penduduk jajahan atau bekas jajahan dalam perspektif poskolonial, keberadaan karya sastra kolonial ini harus dilihat sebagai sesuatu yang politis. Hal tersebut ditegaskan oleh Ania Loomba dengan “it has been acknowledged that literature mediates between the real and the imaginary” (2005:63). Hal tersebut dikatakan melihat fenomena pesatnya kajian yang mengkorelasikan antara kolonialisme dan sastra sebagai mediator yang faktual dan yang imajiner. Namun, Loomba menafikkan penilaian ortodoks yang menyatakan bahwa karya sastra terkhusus karya sastra hasil karangan penulis kolonial adalah sesuatu yang lepas dari kepentingan ideologis dan politis dari subjek kolonialnya dengan mengatakan “.....literature is also an important means of
appropriating,
inverting
or
challenging
dominant
means
of
representation and colonial ideologies” (Loomba, 2005:63). Jadi bisa dikatakan bahwa karya sastra memiliki keterkaitan sebagai penyokong sekaligus perawat dari praktik kolonialisme itu sendiri. Begitu pula era ketika kolonialisme fisik itu berakhir, upaya merawat dan mewariskan
19
pengaruh kolonial yang salah satunya dengan karya sastra ini adalah sesuatu yang harus dinilai kalau bukan dikritisi secara ideologis dan politis. Representasi merupakan salah satu kata kunci dalam wacana kolonial dalam melihat relasi “Diri/Liyan” dalam teks. Said mengatakan bahwa praktik konstruksi pemaknaan melaui media bahasa dan tandalah yang menghasilkan praktik representasi dalam naskah – naskah karya sastra kolonial (Said:1979:13-15,21-22). Merepresentasikan diri kolonial Barat sebagai yang superior-beradab dan penduduk jajahan atau bekas jajahan yang inferior, terbelakang dan tidak beradab. Sehingga kolonialis Barat inilah yang seolah memiliki kewajiban untuk melakukan upaya pemberadaban terhadap penduduk jajahan dan berlanjut ke bekas jajahan yang dianggap belum mampu untuk berdiri sendiri. Penaklukan dengan dalih
memperadabkan
(civilizing
mission)
ini
dikonstruksi
serta
direpresentasikan melalui metode ilmu pengetahuan dan karya sastra. Kemudian dirawat dan senantiasa dipertahankan oleh para intelektualnya, salah satunya adalah para penulis – penulis karya sastra kolonialnya. Praktik representasi yang dikupas dalam karya Orientalisme-nya Said tersebut merupakan praktek yang terus dipertahankan, dirawat, dan direproduksi secara massif oleh para orientalis. Praktek tersebut berfungsi untuk mengawetkan konstruksi imajiner subjek kolektif kolonial dan penyokong imperialisme atau neokolonialisme yang bergerak semakin massif di masa ketika kemerdekaan bekas jajahan Eropa sekalipun sudah didapatkan.
20
Ambivalensi juga merupakan sebuah kata kunci yang penting dalam melihat bagaimana poskolonialitas dalam roman H.J. Friedericy ini, khususnya dalan Sang Penasihat. Homi K Bhabha (1994) sebagai pencetus teori ini dalam karyanya The Location of Culture6 menyatakan ambivalensi merupakan dilema bekas terjajah dalam upaya melepaskan diri dari bekas penjajahnya. Karakter mendua antara keinginan keluar dari dominasi dan hegemoni bekas penjajah dengan masih beroperasinya sisa – sisa peninggalan kebudayaan bekas penjajah terhadap bekas jajahab. Pandangan Bhabha tersebut merupakan hubungan antara bekas terjajah terhadap bekas penjajahnya. Akan tetapi, hubungan bekas penjajah terhadap bekas jajahannya juga tak kalah kompleksnya. Ridwan Muzir 7 (2010) melalui pembacaannya terhadap Film “Oereog” (1993) yang tidak lain adalah film tentang masa perang kemerdekaan Indonesia yang sebelumnya terbit dalam bentuk roman sejarah Oeroeg karya Hella S. Haasse pada tahun 1948 melihat hal yang sebaliknya terjadi. Dalam tulisannya tersebut, Ridwan Muzir dengan mengutip pembacaan Childs and Williams (1997) atas Homi K Bhaha yang dengan jeli melihat bahwa tidak hanya bekas terjajah yang mengalami ambivalensi, namun juga bekas penjajah juga ditampilkan mengalami hal yang ambivalen ketika memandang bekas jajahannya yang telah mengalami 6
Lihat Bhabha dalam The Location of Culture tentang ambivalensi hlm.86. Terbitan Routledge London dan New York. 7 Lihat Ridwan Muzir, “Kolonialisme dan Ambivalensi Subjektivitas: Pembacaan Post-kolonial atas Film Oeroeg (1993)”, Budiawan (ed.) (2010) Ambivalensi, Post-Kolonialisme Membedah Musik Sampai Agama Di Indonesia, hlm. 145
21
perubahan sejarah yang tak dapat lagi ditolak. Sikap mengakui bekas jajahan yang sudah menikmati kemerdekaannya namun tetap mengklaim diri berjasa atas apa yang dicapai oleh masyarakat bekas jajahan adalah ciri ambivalensi bekas penjajah dalam memandang bekas jajahannya. Wacana Kolonial berupa representasi dan ambivalensi dinarasikan dalam karya fiksi ini dinarasikan melalui praktik naratif dengan menggunakan teknik narasi dan fokalisasi untuk merepresentasikan sebuah kisah peristiwa. Oleh Shlomith Rimmon Kenan dinyatakan dengan; “The foregoing definition of narrative fiction also gives rise to a classification of its basic aspects: the events, their verbal representation, and the act of telling or writing. ...... I shall label these aspects „story‟, „text‟ and „narration‟ respectively (Kenan,1983:3) Proses verbalisasi cerita melalui penulisan karya ditampilkan melalui berbagai teknik narasi yang diwakili oleh tokoh – tokoh dalam cerita. Kenan
(1983:76-77)
menekankan
pandangan
mengenai
teknik
penceritaannya ini dengan menggunakan fokalisasi tokoh pencerita (focalizer) dalam menarasikan cerita – cerita fiksi8. Narator eksternal dan internal adalah dua perbedaan yang disebutkan oleh Kenan pada pandangannya di atas. Selain itu, posisi dan tingkatan fokalisasi juga menjadi bagian inti dari pembahasan dalam melihat bagaimana teknik narasi yang menggunakan fokalisasi dari beberapa tokoh yang dihadirkan sebagai fokalizer. Representasi akan dilihat dengan bagaimana posisi dan hierarki antar tokoh dalam dialog maupun narasi cerita yang ada. Siapa 8
Rimmon-Kenan, Shlomit. Narrative Fiction, Contemporary Poetics (London and New York : Meuthuen,1983)
22
merendahkan dan meninggikan siapa dalam hubungan focalizer dan focalized dalam ranah representasi terhadap peristiwa (event) yang dikisahkan.
1.5.3 Kontinuitas Wacana Kolonial di Masa Pasca-Kolonial Analisa poskolonial (poskolonial reading) kembali akan dilakukan dalam menganalisa praktik politik kebudayaan yang melibatkan relasi bekas kolonial dengan bangsa bekas koloninya. Pelibatan institusi dan individu dalam berbagai program kerjasama yang digawangi oleh pihak bekas penjajah merupakan praktik politik kebudayaan pasca-kolonial. Termasuk Indonesia di hadapan Belanda bekas penjajahnya. Hal itulah yang menjadi titik penekanan pengkaji poskolonial dalam melihat pentingnya bekas jajahan menuliskan ulang kisahnya yang berbeda dengan narasi kolonial sebagai pusat wacana yang masih hidup sampai setelah kolonialisme fisik berakhir sekalipun. Praktik politik kebudayaan dalam ranah pertarungan di arena bahasa melalui karya sastra dalam merepresentasikan kekuasaan kolonial ditegaskan oleh Ashcroft sebagai sesuatu hal yang sangat penting. Dalam konteks inilah The Empire Writes Back yang memandang balik bekas penjajah menjadi sesuatu yang tidak bisa diabaikan oleh bangsa – bangsa yang pernah mengalami penjajahan; During the imperial period writing in the language of the imperial centre is inevitably, of course, produced by a literate elite whose primary identification is with the colonizing power. Thus the first texts produced in the colonies in the new language are frequently
23
produced by „representatives‟ of the imperial power; (Ashcroft,et.al, 1989:4-5) Ashcroft menekankan bagaimana penggunaan “bahasa baru” dalam mendestabilisasi pemaknaan pusat (centre) bekas kolonial terhadap bekas terjajah. Mengenai bagaimana kekuatan bekas kolonial menjalankan praktik politik kebudayaannya di masa pasca-kolonial dipaparkan oleh Ashcroft seperti di bawah ini: Britain and the other European imperial powers have been superseded by the emergent power of the USA. Nevertheless, through the literary canon, …… as a universal norm, the weight of antiquity continues to dominate cultural production in much of the post-colonial world. This cultural hegemony has been maintained through canonical assumptions about literary activity, and through attitudes to postcolonial literatures which identify them as isolated national offshoots ……., and which therefore relegate them to marginal and subordinate positions. More recently, as the range and strength of these literatures has become undeniable, a process of incorporation has begun in which, employing Eurocentric standards of judgement, the centre has sought to claim those works and writers of which it approves as British. (Ashcroft,1989:7) Hegemoni dan dominasi kultural menjadi kata kunci Ashcroft dalam petikan teoritiknya di atas. Bagaimana praktik hegemoni dan dominasi kebudayaan dilakukan oleh bekas kolonial Eropa termasuk Belanda sebagai salah satunya. Politik kanonisasi karya literasi hadir melalui sastra kolonial yang melakukan klaim dan justifikasi dirinya sebagai pusat kebudayaan dan bekas jajahan sebagai subordinat di masa pasca-kolonial (“as a universal norm, the weight of antiquity continues to dominate cultural production in much of the post-colonial world”). Produksi dan reproduksi karya sastra
24
kolonial di masa pasca-kolonial adalah praktik yang menopang sekaligus melanggengkan upaya dominasi Eropa dalam ranah hegemoni kebudayaan dalam tatanan imperialisme dan kapitalisme lanjut dewasa ini. Selanjutnya di dalam Post-colonial Transformation, Bill Ashcroft (2001) menjelaskan bagaimana kebudayaan bertrasformasi di era pascakolonial. A common strategy of post-colonial self-assertion has been the attempt to rediscover some authentic pre-colonial cultural reality in order to redress the impact of European imperialism. Invariably such attempts misconceive the link between culture and identity. Culture describes the myriad ways in which a group of people makes sense of, represents and inhabits its world, and as such can never be destroyed, whatever happens to its various forms of expression. Culture is practiced, culture is used, culture is made. „Culture has life,‟ (Ashcroft,2001:2) Kebudayaan dalam pandangan Ashcroft dalam karyanya ini dipraktekkan, digunakan, dan dikonstruksi. Olehnya itu kebudayaan menjadi hidup. Kebudayaan yang hidup inilah yang menjadi arena perebutan di masa ketika kolonialisme fisik berakhir. Apakah bekas jajahan mampu merepresentasikan ulang kebudayaan pra-kolonial dan pascakolonialnya untuk melawan warisan budaya hasil kolonialisme dan imperialisme Eropa. Ataukah sebaliknya, budaya kolonial yang justru terwarisi melalui berbagai strategi dan mekanisme produksi, reproduksi serta perawatan memori kebudayaan kolonialnya. Fungsi politik representasi melalui medium bahasa dan strategi pewarisan dan transformasinya juga kembali menjadi perhatian Ashcroft dengan memaparkannya seperti di bawah ini;
25
Representation describes both the site of identity formation and the site of the struggle over identity formation. For the positioning of cultural identity has involved the struggle over the means of representation since colonized peoples first took hold of the colonists‟ language to represent themselves. Today the means of representing cultural identity includes the whole range of plastic and visual arts, film and television and, crucially, strategies for consuming these products. Hence, transformation, which describes one way of viewing cultural identity, also describes the strategic process by which cultural identity is represented. By taking hold of the means of representation, colonized peoples throughout the world have appropriated and transformed those processes into culturally appropriate vehicles. It is this struggle over representation which articulates most clearly the material basis, the constructiveness and dialogic energy of the „post-colonial imagination‟. (5) Ashcroft memaparkan bagaimana representasi dilakukan melalui berbagai strategi yang menyatakan keberpihakan wacananya dalam mengagungkan tindakan kolonial di masanya untuk dikonsumsi saat ini. Pertarungan di masa pasca-kolonial antara bekas penjajah (colonizer) dengan bekas terjajah (colonized) dengan berbagai strateginya. Bahasa menjadi sebuah medium yang disebutkan oleh Ashcroft di atas yang bertransformasi ke dalam bentuk seni visual, film dan televise dalam mewarnai kontestasi ideologis pasca-kolonial. Bekas jajahan berada dalam posisi di persimpangan antara warisan dan transformasi kebudayaan pasca-kolonial. Apakah bekas jajahan mampu mengkonstruksi kebudayaannya untuk melepaskan diri dari belenggu warisan penjajahnya ataukah justru mengalami hegemoni dan dominasi
yang
berkelanjutan
ketika kolonialisme
fisik
berakhir.
Setidaknya dalam kedua karya Ashcroft di atas menekankan bagaimana pentingnya bekas jajahan dalam mengantisipasi kalau perlu berperan aktif
26
dalam menentukan sikap tegas garis kebudayaannya di masa pascakolonial. Yakni di masa ketika kolonialisme fisik telah berakhir. Ann Rigney (2004), dalam tulisannya Portable Monuments : Literature, Cultural Memory, and The Case of Jeanie Dean dan Literature and the Production of Cultural Memory: Introduction (Erll & Rigney,2006) menekankan bahwa sastra, memori – memori kolektif kebudayaan yang ditanamkan kepada objek hegemoniknya akan menciptakan sebuah “monument kesadaran” yang dengan mudah terus terbawa bahkan terwariskan. Kontestasi pasca-kolonial menjadi penting untuk dilihat wacana dari subjek kolektif mana yang menjadi pemenang dalam memperebutkan ruang hegemoni mengenai masa lalu kolonialisme beserta warisan – warisannya. Dalam konteks kolonialisme fisik yang telah berakhir, memori yang tertanam melalui karya sastra yang diproduksi dan direproduksi akan tetap menjadi alat hegemoni dari bekas kolonialis. Apalagi ketika pemerintah bekas jajahan memberikan ruang yang seluas – luasnya kepada bekas tuan penjajahnya dalam memproduksi, mereproduksi dan merawat karya sastra masa – masa kolonialnya dan merepresi penulis bangsa sendiri yang mengkritisi atau melawan hegemoni bekas penjajahnya dalam ranah sastra, seni dan budaya. Seperti konteks perjanjian kebudayaan Indonesia-Belanda
yang
bermula
sekitar
tahun
1968
dalam
menerjemahkan kedua roman Friedericy yang dikaji dalam penelitian ini. Masa yang bisa dikatakan bersamaan dengan dilarangnya beredar karya –
27
karya yang berbau anti-kolonial dengan beberapa diantaranya dicap berbau komunisme yang sangat dilarang di Indonesia selama masa kekuasaan rezim Soeharto.
1.6 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan mengidentifikasi praktik wacana kolonial pada teks, konteks sosial historis, dan praktik kebudayaan. Hal tesebut dilakukan dengan mengkaji teks roman Sang Jenderal dan Sang Penasihat karya H.J Friedericy dalam melihat bagaimana praktik representasi dan upaya pewarisan ingatan kolektif kolonial terhadap generasi selanjutnya. Analisis “Teks dan Konteks” dalam kerangka historis, politis, dan ideologis untuk melihat relasi kuasa dan kepentingan yang berada dibalik hadirnya karya adalah metode utama yang menjadi landasan dalam penelitian ini. Selanjutnya praktik berkebudayaan dengan hadirnya karya melalui proses penerbitan yang didahului dengan penulisan dan atau penerjemahan juga menjadi topik utama dalam melihat hubungan antara teks, konteks dan praktik budaya yang bersifat politis (Saukko, 2003:12,100-102). Penelitian dilakukan dengan menelaah teks – teks kedua roman tersebut sebagai data primer untuk melihat berbagai praktik representasi penulis yang secara subjek kolektif merupakan penulis kolonial merepresentasikan “diri/liyan” kolonial di hadapan pribuminya. Selain itu agenda – agenda bekas kolonial melalui pewacanaan dalam kedua roman ini juga akan diidentifikasi dengan melihat teknik bernarasi langsung penulis maupun melalui fokalisasi tokoh yang ditampilkan pada teks cerita. Bagaimana posisi
28
dan hierarki narator dan fokalisator dalam praktik bernarasi yang merepresentasikan kisah dan peristiwa yang dihadirkan pada setiap alur cerita pada kedua roman karya Friedericy ini. Sehingga representasi dan ambivalensi dengan melibatkan tokoh – tokoh yang ditampilkan pada cerita menjadi semakin jelas posisi dan hierarkinya dalam hubungan antara “diri” kolonial Barat Belanda dengan “liyan” pribumi Indonesia dan Timur secara luas. Selanjutnya, penulis akan melihat bagaimana sejarah yang dipolitisasi melalui pewacanaan memori kolonial pada cerita kedua roman tersebut. Konteks sejarah berdasarkan setting waktu dan tempat pada cerita disini akan digunakan untuk melihat bagaimana Friedericy mencoba merepresentasikan kondisi sosial historis masa lalu kolonialisme Belanda di Indonesia lewat kedua
karyanya
ini.
Sekaligus
melihat
posisi
Friedericy
melalui
keberpihakannya ketika menampilkan konstruksi imajiner terhadap apa yang menjadi situasi sosial, politik, dan kebudayaan pada saat menulis karyanya. Konteks sejarah yang melatarbelakangi penulisan dan penerjemahan kedua roman Friedericy ini juga akan ditelusuri dengan menggunakan sumber sekunder berupa catatan sejarah, buku – buku sejarah dan sumber yang berkenaan dengan kebutuhan penelusuran ini. Bagaimana politik sastra yang bersifat imajiner dalam merepresentasikan sejarah yang bersifat faktual adalah kata kunci untuk mempertegas pembahasan pada bagian ini. Setelah teks dan konteks diidentifikasi relasinya, maka tahapan terakhir adalah melakukan analisa dengan menggunakan pendekatan pos-kolonial. Teori poskolonialisme yang dimaksud disini adalah pandangan Edward Said
29
mengenai representasi kolonial Barat terhadap Timur dalam karyanya Orientalisme. Selain itu pandangan mengenai karya sastra sebagai saluran naratif dalam menjalankan agenda kolonialisme baru (neokolonialisme) akan dilihat dari pandangan Ania Loomba mengenai wacana kolonial dalam sastra yang akan dibantu oleh metode identifikasi praktik representasi pada teks Keenan dalam karya fiksi dengan kata kunci narasi dan fokalisasinya. Ambivalensi Homi K.Babha juga akan digunakan sebagai pisau analisa. Selanjutnya mengenai hadirnya karya ini di masa pasca-kolonial Indonesia, Bill Aschcroft dengan pandangan tentang poskolonialnya pada The Empire Writes Back dan Post-colonial Transformation akan dijadikan sebagai pisau analisa dalam melihat bagaimana posisi politis dari praktik penerjemahaan sebagai upaya pewarisan memori kebudayaan melalui karya sastra (dalam Ann Rigney, 2004 & 2006) di masa ketika kolonialisme fisik berakhir (pascakolonial). Kehadiran karya ini pula dalam versi Bahasa Indonesia akan dilihat selain sebagai upaya keberlanjutan wacana kolonial, juga dilihat sebagai upaya penanaman portable monument dalam pandangan Ann Rigney dalam melihat karya sastra dengan memori kebudayaan (cultural memory).
1.7 Sistematika Penulisan Tesis ini akan disusun menjadi lima bab. Bab pertama adalah pembahasan tentang Pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab dua berisi pembahasan tentang bagaimana wacana kolonial dikonstruksi melalui konstruksi identitas
30
“diri/liyan” melalui praktik representasi, ambivalensi, dan citra superioritas kolonial yang beradab dan inferioritas bekas jajahan yang dianggap tidak beradab. Bab tiga terdiri dari pembahasan tentang konteks sejarah yang direpresentasikan oleh roman Sang Jenderal dan Sang Penasihat. Pada Bab empat akan dibahas bagaimana analisa poskolonial terutama keberlanjutan hegemoni wacana kolonial Belanda melalui proses penulisan dan penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia kedua karya Friedericy ini. Sedangkan pada Bab lima adalah kesimpulan yang akan merangkum hasil penelitian ini yang menjadi penemuan dalam tesis ini. Juga saran – saran bagi penelitian selanjutnya.