BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ilmu hukum mempunyai hakikat interdisipliner,3 Hakikat ini kita ketahui dari digunakannya berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk membantu menerangkan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehadiran hukum di masyarakat. Hukum tidak mudah untuk dipahami oleh masyarakat, maka diperlukan ilmu pengetahuan selain hukum yang mendukung keberdaannya di dalam masyarakat. Berbagai aspek dari hukum yang ingin kita ketahui ternyata tidak dapat dijelaskan dengan baik tanpa memanfaatkan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan, seperti politik, anthropologi, ekonomi dan lain-lainnya. Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun selalu menyembabkan perubahan, bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita pergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan suasana damai dan teratur.4 Sehubungan dengan fungsi dan peranan hukum yang sering kali tertinggal dari perkembangan masyarakat, hal ini sesuai dengan adagium hukum yang menyatakan: “Het Recht Hinkt Achter De Feiten Aan”. Perkembangan globalisasi di berbagai aspek di samping menimbulkan manfaat positif bagi kehidupan 3
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, hlm. 7 Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, hlm.1 4
2
manusia juga harus diwaspadai efek sampingnya yang bersifat negatif, yaitu timbulnya “globalisasi kejahatan” dan meningkatnya kuantitas (jumlah) serta kualitas (modus operandi) tindak pidana di berbagai negara dan antar negara.5 Pemberlakuan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) pada akhir tahun 2015 merupakan tantangan tersendiri aparat penegak hukum yang secara langsung dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan yang telah ada, apakah mampu mengatasi masalah setelah MEA diterapkan, apakah sistem pemidanaan yang telah ada selama ini menjadi kewenangan pengadilan sudah mampu memberi keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan kepada kedua belah pihak dan masyarakat yang seluas-luasnya. Perubahan tujuan pemidanaan dari balas dendam, membuat jera yang hanya melihat keadilan dengan pemidanaan terhadap pelaku, namun bagaimana dengan korban, masyarakat dan kerusakan yang telah diakibatkan oleh perbuatan pelaku. Pembentukan sebuah peraturan perundang-undang di Indonesia akan selalu berpedoman dan tidak boleh bertentangan dengan Ideologi atau dasar Negara Indonesia yaitu PANCASILA, substansi dari peraturan perundangundangan harus selalu berpedoman kepada Pancasila terutama masalah keadilan sebagaimana dalam butir ke-5 dari Pancasila berbunyi : “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”. Hukum pidana merupakan hukum yang masuk ke dalam kategori hukum publik, yaitu: hukum yang mengatur kepentingan umum. Karena mengatur 5
Nyoman Serikat Putra Jaya, Globalisasi Ham Dan Penegakan Hukum, Makalah disampaikan pada matrikulasi mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) tahun 2010, tanggal 18 September 2010. Termasuk dalam hal tindak pidana korporasi , tindak pidana korporasi dapat terjadi di dalam lingkup suatu Negara dapat pula terjadi secara lintas batas Negara (antarnegara).
3
tentang kepentingan umum maka negara hadir untuk menjaga ketertiban dan keseimbangan hukum dalam masyarakat, Hukum pidana sendiri memiliki pengertian, yaitu: Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggarnya. Dalam perkembangannya kebijakan hukum publik negara juga hadir dalam sengketa yang terjadi pada daerah privat (pribadi) antara orang perorangan ada persinggungan dengan hukum perdata, maka sebagai pembatas campur tangan negara munculah delik aduan dalam hukum pidana yang mewajibkan adanya pengaduan dari yang berhak mengadu. Hukum pidana bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya. Penestapaan pelanggar terbukti tidak dapat mengurangi kejahatan dan tidak dapat memulihkan kerusakan yang terjadi akibat suatu kejahatan, sehingga konsep keadilan restoratif yang memprioritaskan pemulihan terhadap korban, pelaku dan masyarakat sebagai sebuah solusi. Walaupun pengaturan keadilan restoratif dalam hukum pidana kita masih sebatas diversi pada sistem peradilan anak, sehingga dalam penerapannya akan bersinggungan dengan kepastian hukum. Persoalan lain tentang kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat dimana hukum pidana tersebut diberlakukan dan berkesesuaian dengan nilai-nilai keadilan yang dimiliki masyarakat. Sebagaimana kita ketahui hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini, merupakan warisan peninggalan bangsa Belanda dahulu. KUHP kita sekarang ini masih merupakan terjemahan dari
4
KUHP Belanda (Wetboek van Strafrecht), sehingga diperlukan sebuah kebijakan dalam hukum pidana yang mampu mengikuti perkembangan global. Sudarto, Pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu:6 a.
Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.
b.
Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.
c.
Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Hukum positif Indonesia belum memberikan ruang perkara pidana dapat
diselesaikan di luar proses pengadilan, akan tetapi dalam hal-hal tertentu dimungkinkan pelaksanaanya. Dalam praktiknya penegakan hukum pidana di Indonesia, walaupun tidak ada landasan hukum formalnya perkara pidana sering diselesaikan diluar proses pengadilan melalui diskresi aparat penegak hukum, mekanisme perdamaian, lembaga adat dan sebagainya. Konsekuensi makin diterapkan eksistensi mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara dibidang hukum pidana melalui restitusi dalam proses pidana
6
Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, hlm.113-114 (lihat juga, hukum dan Hukum Pidana, 1981, hlm.161) dalam Barda Nawawi Arief, 2011, Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group, Semarang, hlm. 3
5
menunjukkan bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi.7 Menurut Romli Atmasasmita8, terjadinya musibah dalam kehidupan hukum di Indonesia pada akhir-akhir ini, seperti peradilan terhadap Hakim dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum serta friksi yang timbul dalam masyarakat sebagai akibat pelaksanaan penegakan hukum, tampaknya tidak (harus) selalu dikembalikan kepada masalah mentalitas aparat pelaksana penegak hukum sebagaimana lazimnya dilontarkan masyarakat, melainkan juga ada kemungkinan disebabkan karena memang nilai keadilan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dewasa ini sudah jauh dari memadai, bahkan bertentangan dengan pendapat dan rasa keadilan masyarakat kita. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik, dengan konsep ini, kepentingan yang hendak dilindungi oleh hukum pidana adalah kepentingan umum, sehingga kedudukan negara dengan alat penegak hukumnya menjadi pedoman. Moeljatno, mengatakan bahwa hukum pidana digolongkan dalam golongan hukum publik, yang mengatur hubungan antara negara dan perseorangan atau kepentingan umum.9 Sependapat dengan hal tersebut Andi Zainal Abidin yang mengatakan, bahwa sebagian besar kaedah dalam hukum pidana bersifat publik, sebagian lagi bercampur dengan hukum publik dan hukum privat, memiliki sanksi istimewa karena sifatnya yang melebihi sanksi bidang
7
Barda Nawawi Arief, 2008,Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan, Pustaka Magister, Semarang, hlm. 4-5 8 Romli Atmasasmita, 2010,Sistem Peradilan Pidana Kontenporer, Kencana Prenadamedia Goup, Jakarta, hlm. 68 9 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan kedelapan, Renika Cipta, Jakarta,hlm.2
6
hukum lainnya, berdiri sendiri, dan kadangkala menciptakan kaidah baru yang bersifat dan tujuannya berbeda dengan kaidah hukum yang telah ada.10 Dunia peradilan belakangan ini banyak membuat terobosan yang dilakukan oleh Hakim dalam memutus sebuah perkara untuk memberikan keadilan kepada para pencari keadilan, dengan melakukan terobosan hukum menyampingkan peraturan perundang-undangan yang ada karena peraturan yang telah ada kurang mencerminkan perkembangan global saat ini, dengan mengutamakan restorative justice dalam penanganan perkara pidana. Sejalan dengan hal tersebut Ketua Balai Pertimbangan Permasyarakatan Departemen Kehakiman, Muhamad Mustofa11 menegaskan Restorative Justice mengutamakan perbaikan terhadap kerusakan yang terjadi dan memberikan perhatian pada kepentingan korban kejahatan, pelaku kejahatan dan masyarakat. Pada korban, penekanannya adalah pemulihan kerugian aset, derita fisik, keamanan, harkat dan kepuasan atau rasa keadilan. Bagi pelaku dan masyarakat, tujuan adalah pemberian malu kalau pelaku mengulangi lagi perbuatannya, dan masyarakat pun menerimanya. Dengan model restoratif, pelaku tidak perlu masuk penjara kalau kepentingan dan kerugian korban sudah direstorasi, korban dan masyarakat pun sudah memaafkan, sementara pelaku sudah menyatakan penyesalannya. Menurut Setyo Utomo, tentang pengaturan tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan sanksi alternatif baru diatur dalam Rancangan Kitab Undang-
10
Andi Azainal Abidin Farid, 2007,Hukum Pidana I, Cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.13 11 Ridwan Mansyur, 2010, Mediasi Penal Terhadap perkara KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, hlm.126-127.
7
undang hukum pidana dimana terdapat konsep restorative justice.12 Restorative Justice sebagai suatu bentuk perkembangan terakhir dari berbagai pemikiran tentang hukum pidana dan pemidanaan, sehingga saat ini masih menjadi suatu konsep yang diperdebatkan.13 Pemidanaan pada dasarnya merupakan gambaran dari sistem moral nilai kemanusiaan dan pandangan filosofis suatu masyarakat manusia pada suatu zaman, sehingga permasalahan mengenai sistem pemidanaan paling tidak harus meliputi tiga perspektif yaitu filosofis, sosiologis dan kriminologis.14 Dalam pelaksanaannya tidak semua aparat penegak hukum dapat mewujudkan terciptannya keadilan restoratif, dikarenakan tidak ada payung hukum bagi mereka di dalam penerapannya. Hakim salah satu aparat penegak hukum, beberapa tahun belakangan ini banyak memutus perkara dengan pertimbangan di luar hukum formal. Apakah hal tersebut merupakan sebuah menemuan hukum?. Penemuan hukum (rechtsvinding) bukanlah merupakan ilmu baru, tetapi telah lama dikenal dan dipraktikan selama ini oleh Hakim, pembentuk undang-undang, dan para sarjana hukum yang tugasnya memecahkan masalahmasalah hukum.15 Hakim bukan merupakan terompet undang-undang, sebagaimana dalam Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat (1) menyebutkan: Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan 12
Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana yang Berbasis Restorative Justice, Majalah Hukum Nasiomal Nomor 01 Tahun 2011, BPHN, Jakarta,hlm.137-162. 13 Eva Achjani Zulfa, 2011,Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, hlm.3 14 Ibid. 15 Sudikno Mertokusumo, 2014, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm.1
8
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim dalam hal terjadinya kekosongan hukum atau menafsirkan undang-undang dari tujuan pembentuk undang-undang, merupakan suatu keharusan, dikarenakan Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya, namun akan timbul pertanyaan bagaimana jika Hakim menyampingkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada apakah bisa disebut sebuah penemuan hukum yang akan menciptakan suatu norma baru sehingga dapat memberikan kepastian hukum di dalam menangani kasus yang serupa. Penanganan delik aduan dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh Terdakwa Sudarta bin Wahid yang didakwa melanggar dalam dakwaan kesatu melanggar pasal 44 ayat (1) Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dakwaan kedua melanggar pasal 44 ayat (4) Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kemudian pasal 51 Undangundang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga berbunyi “ Tindak Pidana Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan”, dalam putusan Pengadilan Negeri Sumber Nomor 336/Pid.B/2012/PN/.Sbr. tanggal 7 Agustus 2012 jo Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 372/Pid.Sus/2012/PT.BDG. tanggal 3 Oktober 2012 jo Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2238 K/Pid.Sus/2013 tanggal 5 Maret 2014, diterima.
menyatakan penuntutan Penuntut Umum tidak dapat
9
Putusan yang serupa juga pernah dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 317/Pid.B/2008/PN.YK. tanggal 3 Desember 2008 jo Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 01/PID/Plw/2009/PT.Y. tanggal 2 Maret 2009 jo putusan Mahkamah Agung Nomor 1600 K/Pid/2009 tanggal 24 Nopember 2009 dalam perkara atas nama Terdakwa Ismayawati, yang mengabulkan pencabutan pengaduan yang diajukan oleh korban (Emiwati) dan menyatakan penuntutan perkara Nomor: 317 / Pid.B / 2008 / PN.Yk. atas nama Terdakwa Ismayawati tidak dapat diterima. Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan.16 Sementara hapusnya kewenangan menuntut pidana diatur dalam bab VIII KUHP yaitu : Pasal 76 tentang nebis in idem, Pasal 77 jika tertuduh meninggal dunia, Pasal 78 karena daluwarsa, 78 ayat (1) tentang kewenangan menuntut menjadi hapus jika pelanggaran yang diancam pidana denda saja, kalau dengan suka rela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya. Untuk delik aduan, kewenangan menuntut menjadi hapus karena dikabulkannya pencabutan perkara yang dilakukan oleh korban. Untuk perkara delik aduan diatur dalam pasal 72 KUHP yang secara garis besar menyebutkan selama orang
yang terkena kejahatan yang hanya boleh
16
Pasal 1 butir 7 UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
10
dituntut atas pengaduan, mengenai pencabutan pengaduan dalam delik aduan diatur dalam pasal 75 KUHP yang berbunyi “orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.” Namun dalam perkara diatas, Majelis Hakim mengabulkan pencabutan pengaduan yang telah lewat dari batas waktu (daluwarsa). Pengecualian batas waktu pencabutan delik aduan diatur untuk kejahatan aduan perzinahan, dimana pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belumlah dimulai (284 ayat 4), jadi tidak tunduk pada tenggang waktu tiga bulan menurut pasal 75. Berdasarkan uraian diatas maka penulis berkeinginan mengkaji lebih mendalam dengan melakukan Restoratif
penelitian yang berjudul Penerapan Keadilan
Dalam Putusan Pengadilan Yang Menyampingkan Batas Waktu
Pencabutan Pengaduan. B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas mengenai penerapan keadilan restoratif dalam putusan pengadilan yang menyampingkan batas waktu pencabutan pengaduan dalam penelitian ini ada beberapa permasalahan yang perlu mendapat penjelasan yaitu: a. Bagaimanakah penerapan penyampingan batas waktu pencabutan pengaduan dalam putusan pengadilan? b. Bagaimanakah metode yang digunakan Hakim dalam mengambil keputusan untuk mewujudkan keadilan restoratif?
11
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk : 1. Tujuan Umum : a). Memperoleh
data
dan
pemahaman
bagaimanakah
penerapan
penyampingan batas waktu pencabutan pengaduan dalam putusan pengadilan. b). Memperoleh informasi dan data tentang metode yang digunakan Hakim dalam mengambil keputuskan untuk mewujudkan keadilan restoratif. 2. Tujuan Khusus : Untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik guna mencapai derajat Magister Hukum dalam bidang Ilmu Hukum, minat utama Hukum Litigasi pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat atau kegunaan baik yang bersifat praktis maupun teoritis. Dari segi praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya menegakkan hukum. Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman di bidang akademik, di bidang ilmu hukum khususnya hukum pidana dalam delik aduan, serta penerapan keadilan restoratif.
12
E. Keaslian Penelitian Penelitian ini merupakan hasil pemikiran penulis sendiri, namun apabila ternyata ditemukan tesis dengan tema yang sama, maka tesis ini akan melengkapi tulisan yang sudah ada. Berdasarkan hasil penelusuran penulis di perpustakaan secara langsung maupun lewat online ada beberapa penelitian hukum yang terkait dengan obyek penelitian hukum penulis yang berjudul“Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Pengadilan Yang Menyampingkan Batas Waktu Pencabutan Pengaduan” dengan Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah penerapan penyampingan batas waktu pencabutan delik aduan dalam putusan pengadilan? 2. Bagaimanakah metode yang digunakan Hakim dalam mengambil keputusan untuk mewujudkan keadilan restoratif? Penelitian Hukum lainnya: 1. Judul : KEBIJAKAN FORMULASI KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN ANAK17 Jenis Penelitian Hukum : Tesis Peneliti : I MADE WAHYU CHANDRA SATRIANA Asal : Pascasarjana Universitas Udayana Rumusan Masalah: a. Apakah ide dasar keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana anak?
17
I Made Wahyu Chandra Satriana, 2013, Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Anak, Tesis, Universitas Udayana.
13
b. Bagaimanakah kebijakan formulasi keadilan restoratif dalam Undang Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak? Kesimpulan: 1. Ide dasar keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana anak adalah ditinjau dari aspek filosofis yaitu: anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya dan untuk memberikan perlindungan hukum dan untuk kesejahteraan anak yang berhadapan dengan hukum. Aspek yuridis ide dasar keadilan restoratif tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang secara singkat menyatakan: “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila” serta mengingat bangsa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (UN’s Convention on the Rights of the Child) pada tanggal 20 November 1989 yang merupakan suatu instrumen internasional yang secara hukum mengikat negara-negara peratifikasi dan juga mempunyai kewajiban hukum internasional untuk menerapkannya ke dalam norma hukum. Sedangkan ditinjau dari aspek sosiologis ide dasar keadilan restoratif adalah mensyaratkan
agar
adanya
keseimbangan
fokus
perhatian
antara
kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat. 2. Kebijakan formulasi keadilan restoratif dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan suatu kebijakan preventif yaitu kebijakan yang diberikan oleh undang-undang
14
kepada aparat penegak hukum untuk mencegah atau tidak mengajukan tersangka ke pengadilan. Sesuai dengan landasan filosofis yang terdapat dalam Undang–undang ini yaitu untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, dalam upaya mewujudkan keadilan restoratif (pemulihan) melalui upaya diversi dari proses penerimaan laporan oleh pihak kepolisian sampai proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Hal ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan besar Terdakwa dikenakan pidana penjara sehubungan dengan adanya sistem perumusan ancaman pidana penjara yang bersifat imperatif. Kebijakan ini dapat ditempuh dengan memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan seleksi terhadap para tersangka yang akan diajukan ke pengadilan walaupun orang itu jelas-jelas telah melakukan suatu tindak pidana. Terlihat secara jelas perbedaan mengenai pokok pembahasan dengan tesis penulis dalam hal obyek pembahasan: penulis membahas delik aduan, metode penemuan hukum yang digunakan oleh Hakim dalam memutus perkara, keadilan restoratif dalam putusan Hakim, sedangkan I Made wahyu Chandra Satriana membahas tentang ide dasar keadilan restoratif dan kebijakan formulasi dalam sistem peradilan anak 2. Judul:
IMPLEMENTASI
PENDEKATAN
KEADILAN
RESTORATIF
DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK18 Jenis Penelitian Hukum : Tesis 18
Redwin Darwis, 2014, Implementasi Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makasar.
15
Penulis : REDWIN DARWIS Asal:
KONSENTRASI
HUKUM
PIDANA
PROGRAM
STUDI
MEGISTER ILMU HUKUM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASAR Rumusan Masalah: a. Bagaimana relevansi penerapan diversi dengan penyelesaian perkara dalam hukum acara pidana anak? b. Bagaimana penerapan keadilan restoratif dengan cara diversi dalam penegakan hukum pidana anak? Kasimpulan: 1. Penerapan diversi memiliki relevansi dengan penyelesaian perkara dalam hukum acara pidana, karena ketika diupayakan diversi oleh penegak hukum (baik oleh pihak kepolisian, kejaksaan, dan hakim), dan upaya diversi tersebut berhasil, maka secara otomatis perkara tersebut selesai pada tahap itu (tanpa harus lanjut ke proses selanjutnya). Jika upaya diversi tidak berhasil, barulah perkara tersebut berlanjut ke tahapan proses hukum selanjutnya.Terkait dengan hal itu, UU SPPA telah mengatur tentang penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan atas dasar diversi, sehingga dengan demikian berdasarkan asas lex specialis maka pengaturan tentang penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan dalam KUHAP dapat dikesampingkan. 2. Penerapan keadilan restoratif dengan cara diversi dalam penegakan hukum pidana anakoleh para penegak hukum telah diupayakan, baik itu ditingkat
16
kepolisian, kejaksaan, maupun ditingkat pengadilan, dan hal tersebut sudah banyak yang 142 berhasil, hanya saja terkendala pada pembuatan penetapan pengadilan. Selain berpedoman pada UU SPPA dan SKB tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Dalam mengupayakan diversi, Hakim berpedoman juga pada Peraturan Mahkamah Agung RI No. 4 Tahun 2014 yang sayangnya peraturan internal tersebut hingga kini belum dimiliki oleh penegak hukum lainnya (Kepolisian dan Kejaksaan). Perbedaan mengenai pokok pembahasan dengan penelitian ini dalam hal obyek pembahasan: penulis membahas masalah delik aduan, metode penemuan hukum yang digunakan oleh Hakim dalam memutus perkara, keadilan restoratif dalam putusan pengadilan, sedangkan Redwin Darwis membahas tentang keadilan restoratif dalam penerapan diversi, sistem peradilan anak. 3. Judul : PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF JUSTICE DALAM PUTUSAN PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN (studi kasus terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat, Analisa Putusan No. 21 / PID.B / 2009 / PN.Srln Dan No. 22 / PID.B / 2009 / PN.Srln)19 Jenis Penelitian Hukum : Tesis Penulis : NOFITA DWI WAHYUNI Asal : Program Pascasarjana Universitas Indonesia 19
Nofita Dwi Wahyuni, 2013, Penerapan Keadilan Restoratif Justice Dalam Putusan Pengadilan Sebagai Tujuan Pemidanaan (studi kasus terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat, Analisa Putusan No.21/PID.B/2009/PN.Srln Dan No.22/PID.B/2009/PN.Srln), Tesis, Universitas Indonesia.
17
Rumusan Masalah: a. Bagaimanakah eksistensi restoratif justice di pengadilan? Dan apakah restoratif justice dapat sebagai tujuan pemidanaan? b. Bagaimanakan sistem penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme adat?dan apakah ada hubungannya restoratif justice dengan nilai hukum adat? c. Bagaimana penerapan restoratif justice dalam putusan pengadilan terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat? Kesimpulan: 1. Indonesia belum mengatur konsep restoratif justice (kecuali dalam Undangundang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak). Pada tahun sebelum berlakunya undang-undang tersebut, penulis mencatat setidaknya ada lima putusan yang menerapkan restoratif justice sebagai tujuan pemidanaan. Putusan tersebut antara lain: Putusan No. 1600.K/Pid.B/2009, Putusan No.2238 K/Pid.B/2009 dan Putusan No. 307K/Pid.B/2010, sedangkan dua putusan yang menjadi analisa dalam penelitian ini yaitu Putusan No. 21/Pid.b/2009/PN.Srln dan Putusan No. 22/Pid.B/2009/PN.Srln adalah putusan yang diputus di tingkat pertama. Penelitian ini memang tidak mencari berapa banyak putusan pengadilan yang menerpakan restoratif justice namun menegaskan bahwa walaupun belum ada pengaturannya, Hakim dapat menerapkannya dalam putusannya. Hal ini didasarkan bahwa Hakim tidak bisa menolak perkara karena hukum yang tidak ada atau tidak jelas. Hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai yang hidup (living law)
18
di dalam masyarakat untuk menemukan hukum tersebut. Hal ini dapat disimpulkan bahwa restorative justice telah diakui keberadaannya/ eksistensinya dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan. 2. Adanya nilai-nilai hukum adat dalam restorative justice. Restorative justice yang bertujuan menyelesaikan konflik antara korban, pelaku dan masyarakat, adalah sama dengan tujuan sanksi adat yaitu mengembalikan keseimbangan, keharmonisan, kerukunan antara pihak yang berkonflik. Dengan sistem penyelesaian dalam hukum adat yang tidak membedakan pidana dengan perdata, sehingga korban dan masyarakat ikut berpartisipasi untuk menyelesaikan konflik tersebut. Dan hukum adat ini adalah jelas merupakan hukum yang hidup dan tumbuh di masyarakat. Penyelesaian konflik dengan mempertimbangkan kepentingan dari pelaku, korban dan masyarakat maka keadilan pun dirasakan oleh pelaku, korban dan masyarakat, keadilan yang dimana tidak ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan, keadilan sebagai fairness. 3. Restorative justice sebagai tujuan pemidanaan telah diterapkan dalam putusan
pengadilan.
Putusan
No.21/Pid.B/2009/PN.Srln
dan
No.22/Pid.B/2009/PN.Srln telah menerapkan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan, walaupun tidak disebutkan secara tegas dan jelas. Dalam kedua putusan tersebut yang merupakan suatu kejadian yang sama (bentrokan dua kelompok suku anak dalam) namun karena berdasarkan fakta hukum pembuktian, maka berkas dipisahkan, telah berhasil menyelesaikan konflik antara pelaku, korban dan masyarakat. Majelis
19
Hakim telah melihat dan mempertimbangkan permanfaatan yang terjadi antara kelompok Celitai/Terdakwa dengan kelompok Majid/korban. Majelis Hakim melihat bahwa sudah tidak ada permasalahan diantara mereka, karena tidak adanya tuntutan dari kedua kelompok (kedua kelompok samasama menjadi korban). Penyelesaian adat yang telah terjadi diantara kedua kelompok, membantu Majelis untuk menyelesaikan konflik tersebut dan berkeyakinan bahwa sudah tidak ada masalah lagi antara kedua kelompok tersebut. Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan dari obyek pembahasan yaitu: penulis pembahasan tentang delik aduan, metode penemuan hukum oleh Hakim dan keadilan restoratif, sedangkan Nofita Dwi Wahyuni membahas tentang hukum adat, restorative justice sebagai tujuan pemidanaan.